Dongeng dan Jagading Lelembut

yang bercirikan keutuhan makna keseluruhan. Keutuhan makna keseluruhan itu ditentukan oleh prinsip komposisi tertentu dan mempertahankan otonomi lihat pendekatan strukturalisme dalam karya sastra, misalnya dalam Teeuw, 1984. Dengan kata lain, keeratan dan keterjalinan berbagai unsur strukturnya, serta kesatuan maknanya, telah terpantau atau diatur semenjak penyusunan novel atau cerkak yang bersangkutan. Demikian pula kemungkinan keotonomian karya sebagai dunia dalam cerita, juga telah dipertimbangkan, meskipun tidak sepenuhnya demikian.

6. Dongeng dan Jagading Lelembut

Dongeng pada sastra Jawa modern semula ditulis dalam bentuk tembang maupun prosa, namun kemudian banyak yang ditulis dengan prosa. Adapun jagading lelembut kebanyakan berbentuk prosa, dan berkembang pesat setelah terbitnya majalah-majalah berbahasa Jawa. Antara jenis dongeng dan jagading lelembut, dari segi panjangnya, pada umumnya bisa dikategorikan sebagai cerkak. Namun juga ada beberapa dongeng dan jagading lelembut yang relatif panjang seperti novel, dan sebagian lagi diselipkan pada cerita-cerita panjang lainnya seperti roman, novel, babad, dsb. Antara dongeng, jagading lelembut, dan cerkak penekanan isinya berbeda. Cerkak biasanya berisi cerita kehidupan manusia sehari-hari. Dongeng berisi cerita ngaya wara, khayal fantastis dengan tokoh manusia, binatang, atau benda-benda tertentu. Sedang jagading lelembut, berisi cerita tentang manusia dalam hubungannya dengan dunia hantu jagading lelembut. Namun demikian juga terdapat jenis cerkak yang menekankan cerita surealisme, misalnya dengan tokoh-tokoh yakni bagian-bagian tubuh manusia yang dapat berbicara sendiri- sendiri. Dengan demikian, terutama perbedaan cerkak dengan dongeng, dalam beberapa segi, sering kali menjadi sulit ditentukan. Jenis cerkak dan jagading lelembut berkembang dalam majalah-majalah berbahasa Jawa. Hampir setiap terbitan majalah berbahasa Jawa selalu memuat rubrik cerkak dan rubrik jagading lelembut. Cerita jagading lelembut ini diperkirakan memiliki pandhemen pembaca, pecinta yang cukup signifikan untuk selalu dimuat dalam setiap terbitan. Adapun jenis dongeng, tidak selalu muncul dalam setiap terbitan majalah, meskipun sebenarnya, dongeng telah ada sejak sastra Jawa Kuna, yakni antara lain dalam cerita Tantrikamandaka. 61 Pada sastra Jawa modern, bentuk dongeng antara lain tercatat Serat Kancil berangka tahun 1871 AJ, Cariyos Panca Candran 1878 AD, Serat Kancil Kridha Martana Karya R.P. Naranata, tahun 1909 dan 1910 AD, Peksi Glathik karya Yasawidagda, 1913 AD, Layang Dongeng Sato Kewan karya CF Winter, 1930 AD, Serat Kancil Tanpa Sekar Padmasusastra, 1931 AD, Dongeng Isi wewulang Becik 1849 AD oleh C.F. Winter, Kancil Kepengin Mabur S. Suryasubrata, 1951 AD, Dongeng Sato Kewan Prijana Winduwinata, 1952 AD, dsb.

7. Kisah Perjalanan dan Biografi