yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa. Teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang isinya
membentangkan sebuah alur. Sedang teks-teks puisi ialah semua teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur.
Bila ditinjau secara pragmatis, ada keunggulan masing-masing jenis tersebut. Jenis prosa atau gancaran, memiliki keunggulan-keunggulan
komunikatif, antara lain: lugas dan jelas. Lugas, maksudnya secara umum lebih banyak menggunakan kosa kata sehari-hari sehingga lebih mudah untuk dicerna
pembaca. Sedang jelas, maksudnya secara umum lebih banyak menggunakan stuktur gramatikal sesuai dengan standar bahasa formal yang berlaku. Kedua sifat
gancaran tersebut berimplikasi lebih lanjut pada sifat yang lebih komunikatif. Artinya, sangat memungkinkan bagi pembaca untuk memahami isinya dalam
waktu yang relatif singkat. Pembaca mengerti dan memahami hanya dengan sekali baca.
Jenis puisi meniliki keunggulan-keunggulan estetis, yakni antara lain menekankan pemilihan diksi yang padat, bebas dan indah. Padat, artinya bahwa
dalam satu kata puisi dapat menampung keluasan makna imajinatif sehingga menawarkan pemaknaan yang relatif sangat dalam. Bebas, maksudnya tidak
sangat terikat oleh kaidah-kaidah linguistis, seperti halnya kaidah gramatikal. Larik-larik puisi tidak harus berstruktur seperti kalimat formal, ada subyeknya ada
predikatnya dan seterusnya. Indah, maksudnya menekankan pentingnya segala unsur yang bernilai keagungan seni. Ketiga sifat puisi tersebut secara estetis
membuatnya tidak kaku tidak membosankan dan kaya akan makna. Jenis drama menekankan dialog dan lakuan yang mengarah pada konflik
para pelakunya. Jenis ini tentu saja memiliki keunggulan aksi dramatik. Artinya, jenis drama lebih banyak menawarkan gerak laku dan pembicaraan efektif yang
berisi alur cerita. Dengan demikian pengekspresiannya diaktualisasikan dalam pertunjukan.
Dari segi cara sarana penuangan idenya atau cara penyebarannya, karya sastra dapat dibedakan menjadi sastra tulis, yakni menggunakan sarana tulisan,
dan sastra lisan, yakni yang disebarkan secara lisan atau dari mulut ke mulut.
D. Pendekatan terhadap Karya Sastra
17
Karya sastra pada dasarnya menyangkut berbagai aspek, yakni tentang karya sastra itu sendiri segi intrinsik dan berbagai aspek kehidupan segi
ekstrinsik. Oleh karena itu perihal teori sastra juga mencakup aspek yang sangat luas, yakni seluas ilmu yang ada dalam kehidupan ini yang tercakup dalam ilmu
kebudayaan secara umum. Dengan demikian, teori sastra berhubungan dengan semua unsur kebudayaan, yakni bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan,
kemasyarakatan, ekonomi, teknologi, dan religi. Pada mulanya, teori sastra setidak-tidaknya menyangkut tiga hal, yakni
teori moral, teori formal dan teori sosial. Teori moral berkembang dalam sastra sejak semula. Secara moral, karya sastra bernilai dalam rangka pemaknaan pada
pengalaman pribadi perorangan untuk membangun moralitasnya. Bagi ahli moral, nilai karya sastra tidak semata-mata terletak pada estetikanya, melainkan fungsi
moralnya. Pada akhirnya nilai karya sastra ditentukan oleh sumbangannya kepada pengalaman orang dalam perkembangan moralnya pada keseluruhan hidupnya,
dalam rangka kemajuan dan kedamaian dalam sejarah suatu masyarakat. Teori formal muncul lebih belakangan, lebih kompleks, dan lebih canggih.
Dengan teori formal, sastra dapat diungkapkan secara beragam bentuk, berjenis- jenis. Teori formal juga telah merambah ke arah estetika sastra. Karya sastra
dipandang sebagai struktur-struktur tertentu dengan fungsinya masing-masing. Teori formal mengandaikan pentingnya struktur karya sastra itu, sehingga pada
tataran tertentu menolak hubungan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra yang bersangkutan. Pada tataran tertentu, secara ideal karya sastra adalah
otonom, terlepas dari pengarang dan kehidupannya, terlepas dari sejarah kemunculannya, terlepas dari lingkungan sosialnya.
Teori sosial menganggap sastra adalah gejala sosial. Teori ini mengacu pada landasan sosial yang melatar-belakangi munculnya suatu karya sastra,
hubungan karya sastra dengan kelompok sosial tertentu, hingga fungsi karya sastra dalam kehidupan kelompok sosial tertentu. Pada tataran tertentu teori ini
sampai pada teori komunikasi, yakni karya sastra sebagai sarana komunikasi. Pengarang menulis karya sastra untuk mengkomunikasikan segala ide atau
gagasan serta segala amanatnya, yang disampaikan kepada masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, muncul berbagai pendekatan, antara lain
yang dicetuskan oleh Abrams, suatu teori sastra menyangkut empat situasi karya sastra secara menyeluruh, yakni pencipta pengarang, karya sastra itu sendiri,
18
alam semesta, dan pembaca Teeuw, 1984: 50. Dengan demikian teori sastra di samping membicarakan karya sastra itu sendiri yang berhubungan dengan struktur
karya sastra dan makna karya sastra; juga berhubungan dengan latar belakang yang menyangkut alam dan kehidupan manusia di sekitar munculnya karya sastra;
berhubungan dengan pengarang dan proses penciptaan karya sastra; dan berhubungan dengan pribadi pembaca atau lingkungan masyarakat pembaca.
BAB II KHASANAH SASTRA JAWA A. Pandangan Filosofis sebagai Bingkai Sastra Jawa
Di atas telah disinggung bahwa karya sastra Jawa sedikit atau banyak akan terikat oleh konvensi yang ada pada masing-masing jenis sastra yang
bersangkutan. Konvensi yang ada dalam setiap jenis sastra Jawa, tentu saja tidak akan bertentangan dengan idealisme filosofis yang dimiliki oleh masyarakat Jawa.
Memang tidak mudah menangkap idealisme filosofis Jawa yang mana yang tercermin dalam tiap-tiap jenis sastra, bahkan tiap-tiap teks sastra. Namun
demikian, setidak-tidaknya dinamika kebudayaan Jawa secara luas mestinya tetap diacu dalam penciptaan teks-teks sastra baru maupun dalam pemaknaannya.
Dengan pandangan di atas, setidak-tidaknya harus ditekankan pengertian adanya pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan besar yang telah masuk dalam
eksistensi kebudayaan Jawa dari waktu ke waktu. Adanya budaya animisme- dinamisme sebagai dasar kehidupan budaya nenek moyang, pengaruh budaya
Hindu-Budha yang saat ini masih tercermin dalam berbagai cerita wayang purwa, pengaruh budaya Islam yang kemudian tercermin dalam sastra suluk, sastra
19
tuntunan, wayang menak, dsb., serta pengaruh budaya Barat yang kemudian tampak pada kehidupan sastra Jawa modern, hingga pengaruh kompleksitas
nasionalisme yang kemudian memunculkan sastra-sastra Jawa bervisi Indonesia, adalah contoh-contoh yang harus dicermati. Demikian pula pengaruh globalisasi
yang pada akhirnya membawa dampak pada berbagai kehidupan berkesenian, termasuk bersastra Jawa.
Menurut A. Teeuw 1984: 101, sastra dan seni selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan, antara konvensi dan inovasi. Dengan
demikian, kehidupan sastra Jawa akan selalu menjadi anak bangsa Jawa sekaligus juga menjadi anak jamannya. Artinya, nilai-nilai budaya Jawa yang
merupakan hasil perenungan dan pengendapan dari berbagai benturan budaya asli dan asing, akan selalu mendasari penciptaan karya sastra Jawa, sekaligus juga
terjadi tawar-menawar dengan berbagai budaya yang berlaku secara up to date di Jawa. Tidak mustahil bila beberapa waktu yang lalu muncul ketoprak dengan
bahasa Indonesia, tetapi secara substantif tetap berisi budaya Jawa secara kental. Sebaliknya, karya-karya yang berbau postmodernisme hingga dekonstruksi juga
mewarnai karya-karya sastra Jawa, seperti tampak pada berbagai sastra cerkak, ketoprak plesetan, dsb.
B. Sastra dan Bahasa Jawa