Sastra Prosa Jawa Modern

Seperti telah disinggung di atas, karya sastra berdasarkan bentuknya, secara sederhana dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni karya sastra prosa, puisi dan drama. Sesungguhnya klasifikasi berdasarkan bentuknya semacam ini hanyalah sekedar mempermudah pembatasan pembicaraanya agar kerangka berpikirnya tidak terlalu luas. Pada kenyataan di lapangan, ditemukan karya-karya yang berada di antara dua jenis atau bahkan di antara tiga jenis. Hal itu perlu disampaikan di sini agar jangan sampai mengarahkan pada cara berpikir yang kaku bertumpu pada pola-pola jenis tertentu, mengingat pemaknaan karya sastra dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian secara sederhana, berdasarkan bentuk penulisannya, sastra Jawa modern juga dapat diklasifikasikan ke dalam jenis prosa, puisi dan drama. Jenis prosa dalam bahasa Jawa sering disebut gancaran. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jenis ini bercirikan penekanannya pada ceritaan atau narasi dengan bahasa yang berupa kalimat-kalimat formal. Adapun jenis puisi, secara sederhana bercirikan penekanannya pada diksi atau pilihan kata, dan disajikan dengan bahasa estetis yang biasanya tertulis dalam larik-larik Sedangkan jenis drama menekankan pada teknik lakuan dan dialog-dialog yangmembentangkan alur.

1. Sastra Prosa Jawa Modern

Prosa, bila klasifikasinya didasarkan pada penekanan adanya alur atau narasi, atau dengan kata lain prosa itu identik dengan narasi, maka dalam sastra Jawa menjadi ambigu. Hal ini dikarenakan banyak karya sastra Jawa yang berjenis naratif tetapi disusun dalam bentuk tembang. Padahal, bentuk tembang pada umumnya dikategorikan sebagai puisi. Sebagai contoh adalah karya roman pewayangan banyak yang dikisahkan melalui bentuk tembang macapat. Demikian pula sastra babad yang notabene berisi sejarah narasi, kisahan, juga banyak yang ditulis dalam bentuk tembang macapat. Oleh karena itu yang dimaksud prosa di sini, dikhususkan pada jenis sastra prosa Jawa modern yang dalam istilah Jawa sering disebut sebagai jenis gancaran. Jenis gancaran ditandai dengan struktur bahasa Jawa formal konvensional yang dari segi linguistik cenderung mempertimbangkan struktur subyek jejer -predikat wasesa- dan obyek lisan. Disamping itu tidak memperhatikan 66 berbagai aturan dalam hubungannya dengan bait-bait, baris-baris, atau bunyi-bunyi persajakan tertentu. Dalam khasanah sastra Jawa banyak karya sastra yang ditulis dalam bentuk tembang yang kemudian ditulis kembali dalam bentuk gancaran, atau sebaliknya dari bentuk gancaran ditulis kembali dalam bentuk tembang. Dengan demikian, dari segi isinya jenis prosa gancaran tidak banyak berbeda dengan yang berjenis puisi. Oleh karena itu sastra prosa Jawa modern pada dasarnya juga telah menghasilkan tema-tema yang telah disebutkan diatas, yakni sejarah, ajaran, wiracarita wayang dan sebagainya, mistik, dongeng, hantu jagading lelembut, primbon, cerkak, novel, dan sebagainya.

a. Sekilas Perkembangan Sastra Prosa Jawa Modern

Dari sisi perkembangannya, pada mulanya bentuk-bentuk karya sastra prosa Jawa modern relatif miskin, sebagian hasil karya prosa yang ada, nilai susastranya dan tingkat kefiksiannya kurang. Hal ini antara lain disebabkan sebagai berikut. Pertama, semula karya sastra Jawa modern pada umumnya ditulis dalam bentuk puisi berupa tembang gedhe, tembang tengahan dan tembang macapat. Karya-karya yang sering digolongkan dalam sastra Jawa modern atau berbahasa Jawa baru, tetapi bersifat tradisional, adalah karya-karya dalam bentuk tembang ini, terutama pada jenis-jenis yang berisi babad, niti, wayang, dan suluk. Jenis- jenis ini pada abad ke-20 sudah jarang diproduksi, bahkan relatif sedikit yang direproduksi, baik dalam bentuk cetak maupun carik tulisan tangan. Kedua, bentuk prosanya, semula atau sebelum abad ke-20-an, terbatas, seperti halnya hasil karya primbon, jurnalistik, baik dalam bentuk laporan perjalanan maupun biografi tokoh-tokoh tertentu atau jenis lainnya, surat-surat pribadi dan beberapa jenis lainnya yang tidak begitu populer. Ketiga, hasil karya prosanya berupa bangunan kembali dari karya sastra yang telah ada yakni karya-karya versi prosa dari beberapa karya sastra Jawa klasik istilah J.J. Ras yang kebanyakan semula ditulis dalam bentuk tembang gedhe, tembang tengahan atau tembang macapat. Keempat, karya-karya prosa yang muncul sebelum tahun 1900-an, sangat menekankan dedaktik atau ajaran moral, yang dari satu sisi, oleh J.J.Ras 1985: 67 13 dinilai merusakkan estetika, sehingga tampak keindahan bentuknya tidak terlalu dipertimbangkan karena lebih menekankan isinya. Bentuk prosa sebagaimana karya prosa yang merupakan hasil pengaruh dari sastra Barat, yakni novel, novelet dan cerita pendek, pada akhir abad ke-19 masih asing dan langka. Karya sastra prosa Jawa yang bentuknya novel atau protonovel baru tercatat karya R. Ng. Ranggawarsita yakni Serat Witaradya. Kemudian pada tahun 1909, R. Martadarsana menulis Topeng Mas I dan Topeng Mas II. Selanjutnya Ki Padmasusastra menulis berjudul Serat Rangsang Tuban berupa novel kebatinan Surakarta, 1912. Bentuk novel awal lainnya, karya Pakubuwana X dan R. Ng. Purbadipura, berjudul Srikarongron. Kemudian R. Ng. Mangunwidjaja, taun 1916 menulis Serat Trilaksita, dan Koeswadihardja menulis Serat Tjarijosipun rara Kadreman. Awal mula perkembangan novel tidak terlepas dari peranan munculnya penerbit Balai Pustaka. J.J. Ras 1985: 8-17 mencatat hasil-hasil karya sastra yang dimotori oleh penerbit tersebut dan beberapa lembaga swasta. Dari hasil- hasil yang tercatat semula, yakni pada dasawarsa pertama abad ke-20 , antara lain berupa buku-buku kecil dan dengan halaman yang relatif pendek, beisi ajaran- ajaran moral yang ditulis secara fulgar, belum memperhitungkan keindahan permainan unsur-unsur struktur fiksi. Pada tahun 1920 terbitlah Serat Riyanta karya R.B. Sulardi yang merupakan novel Jawa awal yang relatif bagus. J.J. Ras mencatat bahwa buku ini merupakan buku pertama yang tidak dirusakkan oleh kecenderungan didaktik atau ajaran moral, yang berisi kisah dengan alur yang benar-benar bagus yang dibangun di sekitar tema yang jelas pula. Temanya dikaitkan dengan masalah sosial, yakni pemberontakan generasi muda terhadap perkawinan adat yang banyak dilalui oleh para orang tua dengan cara menjodohkan anak-anaknya. Setelah terbitnya novel Serat Riyanta, lalu bermunculan karya sastra berbentuk novel atau novelet. Pada sekitar tahun 1960-an, demi memenuhi tuntutan keperluan bacaan masyarakat, banyak muncul novel-novel yang sangat pendek novelet, diterbitkan dalam bentuk stensilan menjadi buku kecil-kecil dan tipis-tipis, dengan tema-tema percintaan dan banyak dibumbui oleh adegan- adegan cremedan berbau porno, setidak-tidaknya dari kacamata para pembaca jaman munculnya karya-karya yang bersangkutan. Dewasa ini novel-novel Jawa 68 pada umumnya berisi ceritera kehidupan sehari-hari pada masyarakat modern saat ini, yang tidak bersifat istanasentris. Karya cerita pendek Jawa yang dikenal dengan nama cerkak crita cekak mulai muncul pada tahun 1935 dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat oleh Sambo dengan judul Netepi Kwajiban, dan tahun 1936 dalam majalah Kejawen Ras, 1985: 18. Jenis ini muncul dalam hubungannya dengan keperluan praktis untuk mengisi kolom dan halaman majalah berbahasa Jawa, sehingga kebanyakan ditulis oleh anggota redaksi majalah yang bersangkutan. Tidak berlebihan bila ditulis dengan anonim atau dengan nama samaran. Dewasa ini jenis cerkak banyak ditulis oleh para cerpenis Jawa dan tidak terbatas pada mereka yang duduk di meja redaksi majalah. Dari segi isinya, jenis cerkak mampu menampung tema-tema yang lebih luas daripada jenis novel. Jenis cerkak ini dapat menceritakan kehidupan sehari-hari para tokohnya, hingga kehidupan dunia fantasi, dapat bersifat realis dan dapat juga surealis. Pada perkembangan tertentu, muncul karya prosa yang mengetengahkan tema tertentu, yang akhirnya berkembang menjadi jenis tersendiri, yakni jagading lelembut. Seperti telah disinggung di atas, Jagading lelembut, adalah cerita yang mengisahkan tokoh manusia dalam hubungannya dengan dunia hantu. Cerita semacam itu dari sisi tertentu dapat dikategorikan sebagai dongeng. Dalam khasanah sastra Jawa, jagading lelembut berkembang secara khas yakni melalui kolom-kolom atau halaman-halaman dalam rubrik majalah-majalah berbahasa Jawa dalam bentuk mirip seperti cerkak atau cerita bersambung. Pada mulanya rubrik jagading lelembut dimaksudkan untuk menampung kisah-kisah nyata yang dialami atau terjadi di masyarakat. Pada perkembangannya, jagading lelembut tidak harus berisi kisah nyata, atau kisah nyata yang telah diberi berbagai tambahan bersifat fiktif agar lebih menarik. Jenis sastra dongeng Jawa, dalam arti luas, kadang-kadang muncul dalam rubrik majalah berbahasa Jawa, baik untuk bacaan anak-anak dongeng bocah maupun untuk umum. Pada perkembangan terakhir karya-karya novel juga lebih banyak terbit dalam terbitan majalah-majalah berbahasa Jawa, yakni dalam bentuk cerita bersambung. Demikian pula jenis cerpen Jawa cerkak, terutama hidup sebagai sastra majalah. Oleh karena itu beberapa kalangan mengklaim bahwa karya sastra Jawa modern tergantung pada kehidupan majah berbahasa Jawa. Mereka menyebut karya sastra Jawa modern sebagai sastra majalah. 69 Hal tersebut di atas, ada benarnya, namun juga tidak sepenuhnya benar. Hal ini ditandai dengan masih munculnya beberapa novel Jawa pada dekade terakhir ini. Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu juga muncul lomba-lomba penulisan sastra Jawa, baik dongeng, cerkak atau novel. Pada umumnya, hasil dari lomba-lomba inilah yang kemudian juga diterbitkan dalam bentuk buku novel atau antologi dongeng atau cerkak.

b. Kekhasan Jenis Prosa Jawa Modern dan Kemungkinan Pendekatannya

Yang perlu diperhatikan dalam perkembangan prosa Jawa modern, adalah konteks sastra yang muncul pada masa-masa tertentu. Setiap jenis sastra memiliki kekhasannya masing-masing yang sebagiannya dikarenakan konteks sosial budaya masing-masing yang berbeda-beda. Tulisan ini tidak bermaksud mendikte atau menggariskan secara pasti, namun hanya merupakan catatan secara umum yang dengan sendirinya dapat saja berbeda dengan kenyataan khusus di lapangan. Pada jenis kisah perjalanan, jenis biografi, dan sastra dedaktik moral, tentu saja masalah permainan unsur-unsur strukturalnya tidak begitu ditekankan, namun lebih mementingkan tema dan amanatnya. Dengan demikian pendekatannya cenderung secara tematik, pragmatik atau filosofis ke arah moral dan sosial. Pada karya-karya prosa yang merupakan bangunan kembali dari karya- karya sebelumnya, tentu saja hasil kecermatan studi banding sangat diperlukan, baik secara filologis, intertekstual maupun perbandingan tematik. Melalui perbandingan dengan naskah-naskah sebelumnya atau sumbernya, tentu didapatkan kejelasan makna secara lebih memadahi, baik dalam hubungannya dengan amanat yang ditawarkan oleh penyalin, maupun dalam hubungannya dengan pandangan masyarakat tertentu pada era tertentu. Pada jenis jagading lelembut dan dongeng lainnya, tentu saja dapat diterapkan pendekatan seperti yang dilakukan pada jenis-jenis folklore. Dengan demikian pengkajian motif-motif tertentu atau tema-tema tertentu, pengkajian jenis-jenis tokoh tertentu, pengkajian fungsi terhadap masyarakatnya atau latar belakang budayanya sangat diperlukan. Adapun pada jenis-jenis sastra prosa yang merupakan hasil pengaruh dari jenis sastra dan teori sastra Barat, baik novel, novelet, maupun cerkak, sifat permainan unsur-unsur strukturalnya sangat penting untuk diperhatikan. Dengan demikian pendekatan formal harus ditekankan dan dibutuhkan pengetahuan 70 tentang teori struktural untuk mendekatinya, sebelum dikembangkan pada pengkajian yang lain.

c. Unsur-unsur Struktur Sastra Prosa Jawa Modern

Unsur-unsur struktur sastra, khususnya sastra prosa Jawa modern, tidak berbeda dengan unsur-unsur yang ditemukan pada karya-karya sastra prosa pada umumnya, yakni yang menyangkut unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur- unsur intrinsik, yakni unsur-umsur yang membangun struktur sastra itu sendiri atau secara langsung membangun cerita. Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur- unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau organisme karya sastra Nurgiyantoro, 1995: 23. Pemahaman unsur ekstrinsik akan membantu dalam hal pemahaman karya sastra, karena terciptanya karya sastra tidak berasal dari situasi kekosongan budaya. Unsur-unsur ekstrinsik antara lain visi dan misi pengarang, lingkungan alam dan lingkungan sosial pengarang, termasuk ekonomi dan politik yang terjadi, dsb. Pada kenyataannya sering kali pemisahan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik menemui kesulitan. Hal ini terutama dikarenakan bahasa, sebagai sarana sastra, mengandung bentuk dan isi sekaligus. Dari segi bentuknya, bahasa menyampaikan informasi seperti apa yang ada dalam kata atau frasa atau kalimat dst. yang ada dalam bahasa itu. Dari segi isinya, informasi yang ada itu sering kali bersifat tidak eksplisit atau simbolis, yang pemaknaannya harus dicari dari latar belakang sosial budayanya. Di samping itu, antara bahasa dan sastra sama-sama merupakan sistem semiotik simbol makna yang kadang-kadang tidak jelas batas- batasnya. Dengan kata lain, dalam menguraikan unsur-unsur intrinsik sering kali harus menengok ke latar belakang sosial budaya pengarang maupun pembacanya, sehingga mau tidak mau harus mencari unsur-unsur ekstrinsiknya. Sebagai contoh konkrit, dalam menguraikan penokohan, sering kali orang harus berangkat dari sistem nilai etika dan moralitas yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Bila dalam sastra Jawa dinyatakan bahwa seorang pria akan dan harus memilih calon istrinya dengan mempertimbangkan bobot, bibit, bebet dan dalam karya sastra yang bersangkutan istilah itu tidak pernah dijelaskan lagi, maka konsep bobot, bibit, bebet tersebut harus dicari penjelasannya dari konteks sosial budaya Jawa. Dan sebagainya dan sebagainya. 71 Unsur-unsur intrinsik yang membangun sastra prosa atau prosa fiksi antara lain peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan sebagainya Nurgiyantoro, 1995. Stanton 1965; via Suwondo, 1994 juga mendeskripsikan unsur-unsur struktur fiksi yang terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. 1 Tema Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita Tentang tema dan klasifikasinya lihat: Nurgiyantoro, 1995, Oemarjati, 1962; Hutagalung 1967, dsb.. 2 Fakta Cerita Fakta cerita yang meliputi alur, tokoh dan latar, merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel fiksi. Oleh karena itu ketiganya juga disebut struktur faktual factual structure atau derajat faktual factual level sebuah cerita. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain. a Plot Alur Alur sering disebut juga plot cerita, sering juga disebut struktur naratif atau sujet. Dalam hal ini yang harus dicermati ialah bahwa plot bukan sekedar jalan cerita atau urutan peristiwa secara kronologis, namun rangkaian peristiwa yang ditandai dengan hubungan sebab-akibat. Hal ini misalnya pernah dikemukakan oleh Stanton, oleh Forster, dsb. Menurut Stanton 1965: 14, via Nurgiyantoro, 1995 plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Senada dengan itu Forster juga menyatakan bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas bdk Oemarjati, 1962: 94; Lubis, 1960: 16 Menurut Forster via Nurgiyantoro, 1995 plot memiliki sifat misterius dan intelektual. Misterius maksudnya bahwa dalam plot itu belum tentu langsung 72 diselesaikan secara cepat tapi sedikit demi sedikit, atau peristiwanya sengaja dipisahkan pada bagian yang berjauhan urutan penceritaannya, atau ditunda pengungkapan kunci permasalahannya, atau justru dibalik urutan waktu kejadiannya. Hal yang demikian itu yang menimbulkan keingintahuan pembaca untuk membaca terus karya sastra yang bersangkutan hingga selesai. Harapan dan rasa ingin tahu pembaca terhadap kelanjutan plot yang misterius itu sering disebut suspense. Sedang yang dimaksud dengan intelektual ialah bahwa dalam plot terkandung logika tentang hubungan sebab akibat yang harus disikapi dengan intelek dan kritis oleh pembaca agar pembaca yang bersangkutan mampu memahami permainan plot pada karya sastra yang dibacanya. Dalam hubungannya dengan analisis struktural justru permainan plot itu harus dijelaskan secara rinci sehingga dapat dengan mudah dijelaskan hubungannya dengan anasir-anasir selain plot dalam rangka pemahaman makna secara keseluruhan. Membicarakan plot pada dasarnya membicarakan tentang berbagai peristiwa dan konflik. Yang disebut peristiwa ialah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Peristiwa, setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi tiga, yakni peristiwa fungsional, kaitan dan acuan. Peristiwa fungsional merupakan peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan alur atau plot. Peristiwa kaitan adalah perstiwa-peristiwa yang mengaitkan antar peristiwa-peristiwa penting fungsional dalam pengurutan plot. Sedang peristiwa acuan merupakan peristiwa-peristiwa yang tidak berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan alur, tetapi mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya watak tokoh, suasana yang berpengaruh pada watak tokoh, dsb Luxemburg, dkk.1989. Nurgiyantoro mencatat bahwa anatar peristiwa itu di samping mempunyai hubungan logis juga mempunyai sifat hierarkhis logis, tingkat kepentingannya, keutamaannya, atau fungsionalitasnya. Roland Barthes menyebut peristiwa yang dipentingkan atau diutamakan sebagai peristiwa utama atau peristiwa mayor; sedang yang tidak dipentingkan disebut peristiwa minor atau peristiwa pelengkap. Senada dengan itu Chatman menyebut peristiwa utama sebagai kernel, sedang peristiwa pelengkap sebagai satelit Nurgiyantoro, 1995: 120. Perbedaan peristiwa-peristiwa tersebut akan tampak jelas bila sebuah karya fiksi diringkas Luxemburg, dkk, 1989. Semakin tidak penting peristiwa itu akan semakin besar kemungkinannya untuk tidak dituliskan kembali dalam ringkasan. 73 Konflik menyaran pada sesuatu yang tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh cerita. Bila tokoh itu memiliki kebebasan untuk memilih, maka ia tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya Meredith Fitzgeralt, via Nurgiyantoro, 1995. Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan Wellek Warren, via Nurgiyantoro, 1995. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun pada hakikatnya merupakan peristiwa. Konflik dapat dibagi menjadi dua, yakni konflik internal konflik kejiwaan dan konflik eksternal. Konflik internal terjadi dalam diri seorang tokoh, sedang konflik eksternal terjadi antara tokoh dengan lingkungannya, yakni tokoh-tokoh lain atau lingkungan alam. Konflik juga dapat dibagi menjadi konflik batin dan konflik fisik Nurgiyantoro, 1995. Di samping itu berdasarkan fungsinya konflik juga bisa dibagi menjadi konflik utama dan konflik pendukung konflik tambahan. Dengan demikian bisa didapatkan konflik utama internal, konflik utama eksternal, konflik pendukung internal dan konflik pendukung eksternal. Dalam fiksi sering terjadi pertemuan antar berbagai konflik sehingga konflik itu semakin meningkat. Bila konflik meningkat hingga mencapai tingkat intensitas tertinggi maka keadaan itu disebut klimaks. Klimaks merupakan pertemuan antara dua atau lebih hal keadaan yang dialami oleh tokoh-tokoh utama, yang dipertentangkan, dan yang menentukan bagaimana permasalahan konflik pada tokoh-tokoh utama itu akan diselesaikan Nurgiyantoro, 1995. Ditinjau dari segi keberhasilannya, struktur plot setidak-tidaknya harus memperhatikan plausibilitas, suspense, surprise, dan kesatupaduan plot, serta menghindari deus ex machina. Plausibilitas maksudnya bahwa plot harus dapat dipercaya atau diterima dari segi logika cerita. Dalam hal ini tidak harus berarti bahwa cerita itu harus realis sesuai dengan keadaan pada dunia nyata, tetapi lebih mengacu pada sifat koheren dan konsisten pada sebab-akibat dalam plot. Misalnya, logika cerita untuk novel realis tentu berbeda dengan novel surealis atau cerita jagading lelembut. Bila tokoh Gathutkaca bisa terbang bukan berarti alur cerita itu tidak memenuhi konsep plausibilitas. Tapi bila Gathutkaca tidak bisa terbang, justru itulah yang harus dicari alasannya dan plausibilitasnya. 74 Apabila suatu cerita secara tiba-tiba, tanpa diberikan alasan yang jelas, dimunculkan dengan cara kebetulan Jw: ndilalah dan dipaksakan sebagai alasan untuk mengembangkan cerita selanjutnya atau untuk menyelesaikan permasalahan hingga tampak tidak masuk akal, maka alasan itu disebut sebagai deus ex machina. Adanya deus ex machina mengurangi kadar plausibilitas pada plot karya sastra. Nurgiyantoro, 1995 Suspense atau sering disebut tegangan menyaran pada perasaan kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi atau harapan yang belum pasti terhadap akhir cerita Suspense harus dibangun dan dipertahankan dalam plot untuk memotivasi, menarik dan mengikat pembaca agar tetap setia menyelesaikan bacaannya karena penasaran. Salah satu cara untuk membangkitkan suspense ialah dengan cara memunculkan foreshadowing dalam cerita. Foreshadowing adalah bagian cerita yang dapat dipandang sebagai pertanda atau isyarat akan terjadinya sesuatu dalam cerita selanjutnya. Bagi orang Jawa, misalnya menampilkan peristiwa “ketiban cecak” sebagai isyarat akan terjadinya musibah pada tokoh yang kejatuhan cicak itu Nurgiyantoro, 1995. Di samping suspense, plot sebaiknya juga mengandung surprise atau kejutan. Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bertentangan dengan harapan pembaca Abrams, via Nurgiyantoro, 1995. Dalam hal ini sebenarnya tekanannya pada plot itu sendiri dalam kaitannya dengan sebab- akibat. Sebagai contoh pada fiksi ditektif, biasanya memberikan surprise pada menjelang akhir kisah, yakni pembunuh atau terdakwanya biasanya orang yang, oleh pembaca, tak terduga sama sekali. Mungkin orang terdekat korban yang pada beberapa hal ditampilkan baik budi, namun pada hal-hal tertentu bisa berbuat buruk dan jahat. Antara suspense, surprise dan plausibilitas harus berjalinan erat, dan saling menunjang -mempengaruhi serta membentuk satu kesatuan yang padu. Surprise, walaupun mengejutkan tetapi harus tetap bisa dipertanggungjawabkan logika sebab akibatnya, agar tidak menjadi deus ex machina Nurgiyantoro, 1995. Plot juga harus memiliki kesatupaduan atau keutuhan atau unity. Kesatupaduan menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan dan acuan, yang mengandung konflik, atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan, 75 mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Ada benang merah yang menghubungkan berbagai aspek cerita sehingga seluruhnya dapat terasakan sebagai satu kesatuan yang utuh padu Nurgiyantoro, 1995. Apabila dalam karya fiksi terdapat peristiwa yang menyimpang dari pokok masalah yang dikembangkan atau menjadi bagian yang menyimpang yang tak langsung bertalian dengan alur dan tema karya sastra, bagian itu disebut sebagai digresi atau lanturan Sudjiman, 1986. Misalnya adegan Limbukan, Cantrikan, dan Gara-gara dalam plot wayang purwa, ditinjau dari struktur isi pembicaraannyanya sebenarnya sering merupakan digresi. Namun demikian adegan tersebut sah bila ditinjau dari segi konvensi atau tradisi wayang purwa. b Penokohan Istilah penokohan dalam ilmu sastra sering juga disebut tokoh, watak, perwatakan, karakter, atau karakterisasi. Penokohan adalah penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra Sudjiman, 1986. Penokohan lebih luas pengertiannya dari pada istilah tokoh dan istilah perwatakan, sebab sekaligis mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatannya dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita Nurgiyantoro, 1995. Penokohan dapat digambarkan secara fisik, psikologis maupun psikologis. Dari segi fisik, misalnya: kelaminnya, tampangnya, rambutnya, bibirnya, warna kulitnya, tingginya, gemuk atau kurusnya, dsb. Dari segi psikologis, misalnya: pandangan hidupnya, cita-citanya, keyakinannya, ambisinya, sifat-sifatnya, inteligensinya, bakatnya, emosinya, dsb Dari segi sosiologis, misalnya: pendidikannya, pangkat dan jabatannya, kebangsaannya, agamanya, lingkungan keluarganya, dsb. Walaupun tokoh dan penokohannya dalam cerita itu hanya merupakan ciptaan pengarang, namun harus diperhitungkan logika kewajarannya. Ia harus merupakan tokoh yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang mempunyai pikiran dan perasaan; sekaligus harus sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya. Jika terjadi seorang tokoh bersikap lain, maka harus tidak terjadi begitu saja, karena harus memiliki kadar plausibilitas dan yang terpenting haruslah konsisten bdk: Nurgiyantoro, 1995: 167. 76 c Latar atau Setting Latar atau setting atau landas tumpu menyaran pada tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan Abrams, via Nurgiyantoro, 1995. Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas, untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Latar, setidak-tidaknya dapat dipisahkan menjadi latar tempat di mana lokasinya, latar waktu kapan terjadinya, dan latar suasana bagaimana keadaannya; termasuk suasana alam, suasana masyarakat sosial, dan suasana lahir dan batin tokoh cerita. Dalam karya fiksi, latar waktu yang diceritakan sering menunjuk pada waktu-waktu tertentu yang pernah berlangsung, bahkan hingga disebutkan bulan atau tahunnya, atau penunjukan pada suatu peristiwa yang pernah terjadi dalam fakta sejarah. Dengan demikian latar waktu itu seakan-akan merupakan latar yang ada dalam realita kehidupan sesungguhnya bukan sekedar karangan. Namun demikian di dalam karya fiksi, sering dimunculkan berbagai hal yang ada pada realita kehidupan sesungguhnya, yang menurut waktunya tidak sesuai atau tidak tepat sehingga fiksi tersebut menjadi tidak logis. Misalnya, pada cerita ketoprak yang mengangkat cerita historis, misalnya jaman Majapahit, lalu tokoh abdinya membicarakan tentang keluarga berencana KB yang sesungguhnya baru muncul pada tahun 1970-an. Hal yang menjadikan latar waktunya menjadi tidak logis itu sering disebut anakronisme Nurgiyantoro, 1995, yakni ketidak sesuaian antara waktu dalam cerita dengan waktu dalam realita yang diacu oleh karya fiksi yang bersangkutan. 3 Sarana Sastra Sarana sastra atau sarana pengucapan sastra atau sarana kesastraan literary devices adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita peristiwa dan kejadian menjadi pola yang bermakna. Tujuan penggunaan atau pemilihan sarana sastra adalah untuk memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana yang dilihat pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimana yang ditafsirkan pengarang, dan merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang. Macam sarana sastra antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya 77 bahasa dan nada, simbolisme dan ironi Nurgiyantoro, 1995. Di bawah ini terutama hanya akan dibicarakan perihal sudut pandang penceritaan dan simbolisme a Sudut Pandang Sudut pandang atau point of view atau viewpoint, adalah cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan oleh pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca Abrams, via Nurgiyantoro, 1995. Jadi ia merupakan cara atau siasat atau strategi dari pengarang untuk menyampaikan ceritanya. Dalam hal ini cara yang dipakai adalah dengan mengambil posisi atau mendudukkan dirinya pada peristiwa atau cerita yang disampaikannya. Pencerita itu bisa berposisi sebagai orang luar atau orang yang tidak terlibat dalam peristiwa -peristiwa yang diceritakan, namun juga bisa sebagai orang yang ikut terlibat dalam kejadian-kejadian yang diceritakan. Bila ia berada di luar kejadian-kejadian dalam cerita atau tidak terlibat, maka tokoh-tokoh yang diceritakan akan dipandang sebagai orang ketiga atau disebut gaya “dia” atau gaya orang ketiga. Sedang bila pencerita itu terlibat, maka ia akan menceritakan melalui tokoh “aku” atau disebut gaya “aku” atau gaya orang pertama. Penggunaan gaya orang ketiga atau pun gaya orang pertama tampak bukan pada bentuk dialog tetapi pada bentuk narasi. Dalam karya sastra Jawa gaya orang ketiga tampak pada narasi yang diungkapkan dengan kata ganti orang ketiga: dheweke atau dheke, dsb. Sedang gaya aku tampak pada narasi yang diungkapkan dengan kata ganti aku atau kula. Pada sudut pandang orang ketiga, dapat diklasifikasikan lagi menjadi: gaya “dia” maha tahu dan gaya “dia” terbatas atau tidak maha tahu. Bila berbagai hal yang dialami tokoh -tokoh cerita, termasuk apa pun yang dipikirkan atau dirasakan atau dipendam dalam hati, diketahui oleh pencerita sehingga diceritakan dalam suatu fiksi, maka sudut pandang itu termasuk gaya “dia” maha tahu. Namun bila pencerita tidak menceritakan hal-hal yang ada dalam pikiran atau batin tokoh- tokoh cerita, maka termasuk dalam gaya “dia” terbatas. Gaya “dia” terbatas…….pengamat. 78

b. Simbolisme SIMBOLISME

2. Sastra Puisi Jawa Modern