tuntunan, wayang menak, dsb., serta pengaruh budaya Barat yang kemudian tampak pada kehidupan sastra Jawa modern, hingga pengaruh kompleksitas
nasionalisme yang kemudian memunculkan sastra-sastra Jawa bervisi Indonesia, adalah contoh-contoh yang harus dicermati. Demikian pula pengaruh globalisasi
yang pada akhirnya membawa dampak pada berbagai kehidupan berkesenian, termasuk bersastra Jawa.
Menurut A. Teeuw 1984: 101, sastra dan seni selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan, antara konvensi dan inovasi. Dengan
demikian, kehidupan sastra Jawa akan selalu menjadi anak bangsa Jawa sekaligus juga menjadi anak jamannya. Artinya, nilai-nilai budaya Jawa yang
merupakan hasil perenungan dan pengendapan dari berbagai benturan budaya asli dan asing, akan selalu mendasari penciptaan karya sastra Jawa, sekaligus juga
terjadi tawar-menawar dengan berbagai budaya yang berlaku secara up to date di Jawa. Tidak mustahil bila beberapa waktu yang lalu muncul ketoprak dengan
bahasa Indonesia, tetapi secara substantif tetap berisi budaya Jawa secara kental. Sebaliknya, karya-karya yang berbau postmodernisme hingga dekonstruksi juga
mewarnai karya-karya sastra Jawa, seperti tampak pada berbagai sastra cerkak, ketoprak plesetan, dsb.
B. Sastra dan Bahasa Jawa
Pembicaraan mengenai sastra Jawa, pada dasarnya membicarakan karya sastra yang berbahasa Jawa, baik bahasa Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, maupun
bahasa Jawa baru, dengan latar belakang pengaruh kebudayaan tertentu dan dalam jenis sastra dan bentuk sastra tertentu.
Telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa secara historis atau secara vertikal sastra Jawa menggunakan media bahasa Jawa yang meliputi bahasa Jawa
Kuna, Jawa Pertengahan dan Bahasa Jawa Baru. Sedang secara horizontal, terdapat bahasa standar atau baku dan bahasa dialek tertentu. Dewasa ini setidak-
tidaknya terdapat bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta yang dianggap sebagai bahasa standar, bahasa dialek Banyumasan dan bahasa dialek Jawa
Timuran. Dalam rangka karang-mengarang, pada umumnya menggunakan bahasa standar, namun juga tidak tertutup kemungkinan penggunaan dialek tertentu
sebagai warna lokal local colour yang memunculkan efek suasana cerita menjadi
20
semakin hidup. Bahkan karya sastra Jawa dengan pengantar dialek tertentu akan memperkaya khasanah sastra Jawa.
Bahasa Jawa Kuna dalam arti luas, dapat dibedakan dalam dua istilah, yakni bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan dengan ciri-cirinya
masing-masing. Bahasa Jawa Kuna, di samping dipakai dalam beberapa bentuk prosa, dipakai dalam bentuk puisi kakawin. Sedang bahasa Jawa Pertengahan, di
samping dipakai dalam beberapa bentuk prosa, juga dipakai dalam bentuk puisi kidung.
Menurut Poerbatjaraka 1964: 68, penggunaan bahasa Jawa Kuna dalam kehidupan sehari-hari hanya sampai pada waktu sebelum berdirinya kerajaan
Singasari. Setelah itu, orang sudah menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Pada jaman Majapahit, bahasa Jawa Pertengahan sudah menjadi bahasa sehari-hari dan
bahasa umum. Namun demikian dalam bahasa sastra, para pujangga Majapahit masih menggunakan bahasa Jawa Kuna, seperti dalam Nagarakretagama,
Arjunawijaya, dan sebagainya, bahkan tradisi penulisan sastra dengan bahasa Jawa Kuna masih dapat ditemukan di Bali pada jaman modern ini.
Adapun menurut Zoetmulder 1983: 29-37, istilah bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan bukanlah semata-mata pembagian secara kronologis,
bahwa Jawa Pertengahan berawal dari bahasa Jawa Kuna. Bahasa Jawa Pertengahan tidak menjembatani bahasa Jawa Kuna dengan bahasa Jawa Modern.
Pembagian kronologis berdasarkan bahasa sering merupakan landasan yang rapuh, yang harus dipertimbangkan lebih jauh berdasarkan bukti-bukti lain.
Zoetmulder mengetengahkan fakta kerapuhan bukti linguistis atau evidensi intern itu antara lain sebagai berikut.
C. Kitab Siwaratrikalpa Lubdhaka yang semula ditafsirkan sebagai hasil