Suluk dan Wirid Jenis-jenis Sastra Jawa Modern Berdasarkan Temanya

3. Suluk dan Wirid

Istilah suluk dalam khasanah sastra Jawa ada dua macam, yakni suluk pedalangan dan suluk yang berisi ajaran tasawuf. Suluk pedalangan ialah jenis puisi tembang, yang sering dilantunkan oleh seorang dalang dalam seni pewayangan, baik wayang kulit purwa atau jenis pertunjukan wayang lainnya. Suluk jenis ini berfungsi sebagai pendukung latar suasana pada bagian-bagian cerita tertentu, misalnya untuk suasana sedih akan dilantunkan jenis suluk yang disebut tlutur. Pada umumnya, suluk pedalangan ini diambilkan dari jenis tembang gedhe yang merupakan pengaruh dari kakawin atau dari bentuk seloka dari sastera Sansekerta. Tidak berlebihan bila teks cakepan suluk pedalangan ini sering kali telah bergeser dari sumbernya, bahkan sebagian lagi sulit untuk diterjemahkan atau bahkan tidak dapat dilacak lagi dari mana sumber awalnya.. Dalam pedalangan di Jawa, isi teks cakepan suluk pedalangan tidak harus sesuai dengan cerita pokoknya, karena semata-mata hanya menekankan kesamaan suasana ceritanya. Berbeda dengan suluk pedalangan di Bali, yang isi teksnya banyak diambil dari bagian seloka-seloka Sansekerta atau kakawin Jawa Kuna yang sama dengan bagian cerita pedalangan yang dilakonkan oleh dalang yang bersangkutan. Adapun jenis sastra suluk yang berisi ajaran tasawuf, kata suluk di sini berasal dari kata salaka atau sulukun bahasa Arab yang berarti ‘pengembaraan’ atau ‘perjalanan’. Kata ini kemudian dihubungkan dengan makna hidup manusia, yakni perjalanan hidup yang harus ditempuh, atau pengembaraan hidup untuk mencari kebenaran Ilahi. Dari pandangan lain, sering juga terdengar penelusuran dari etimologi tradisional Jawa, yakni yang sering disebut kerata basa atau jarwadhosok. Keratabasa atau Jarwadhosok adalah memaknai kata dengan cara mencari kemungkinan kepanjangan kata tersebut. Dalam hubungannya dengan kata suluk, dinyatakan bahwa kata suluk berasal dari kata yen sinusul muluk yang berarti ‘kalau dikejar semakin membubung tinggi’. Maksudnya, keilmuan dalam suluk, bila semakin dipikirkan akan semakin jauh untuk dijangkau pikiran atau logika awam. Hal ini dikarenakan, permasalahan dalam suluk ini berhubungan erat dengan hal-hal gaib yakni hal supranatural dalam hubungannya dengan Tuhan dan 54 kehidupan manusia. Oleh karena itu wajar bila sebagian besar karya suluk memiliki struktur yang tidak mudah dipahami maknanya atau relatif membingungkan, terutama bagi yang tidak biasa menggelutinya. Jenis sastra suluk ini berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup dalam hubungannya dengan ajaran tasawuf Islam atau Islam-kejawen. Dalam ajaran ini pada umumnya dibicarakan tentang sangkan paraning dumadi yakni asal dan tujuan hidup manusia. Di dalamnya, sering kali dijumpai idiom-idiom yang berhubungan dengan falsafah hidup dan masalah kemanusiaan dalam hubungannya dengan ketuhanan, atau bentuk isbat seperti nggoleki susuhing angin, nggoleki galihing kangkung, atau nggoleki tapaking kuntul nglayang mencari sarang angin, mencari hati atau batang keras pada pohon kangkung, mencari jejak burung kuntul yang melayang dan sebagainya. Sebagian sastra suluk ditulis dalam bentuk dialog, baik antara guru dengan murid, antara sahabat, antara orang tua dengan anak atau cucu, atau antara suami dengan isteri. Di Jawa, ajaran suluk ini dapat dibedakan menjadi suluk Islam dan Islam- kejawen. Suluk Islam pada umumnya merupakan suluk yang berasal dari daerah Pesisiran pantai yang kental dengan pengaruh Islam. Suluk Pesisiran ini merupakan hasil gubahan dari masyarakat pesantren di pantai utara Jawa, sehingga cenderung menekankan ajaran transendensi Tuhan. Untuk menuju kesempurnaan hidup manusia harus menjalankan syariat Islam sehingga dapat dekat dengan Tuhan. Kemanunggalan manusia sebagai hamba dengan Tuhan tetap ada batas-batasnya. Manusia tetap berada pada kemanusiaannya dan tidak pernah menyatu luluh dengan Tuhan. Tuhan tetap di atas segala-galanya dan tak terjangkau oleh akal pikir dan jiwa-raga manusia. Eksistensi Tuhan semacam ini dalam suluk sering disebut tan kena kinaya ngapa yang berarti ‘tidak dapat diandai-andaikan’, atau adoh tanpa wangenan celak tanpa sesenggolan yang berarti ‘jauhnya tak berbatas dan meskipun dekat sekali tetapi tak dapat bersentuhan’. Adapun suluk Islam-kejawen, pada umumnya berasal dari daerah pedalaman, terutama pengaruh kraton. Suluk ini merupakan hasil olahan yang menekankan panteisme dan monisme, atau mengajarkan immanensi Tuhan Tuhan bisa hadir dalam diri manusia. Oleh karena itu, di dalamnya sering berisi idiom- idiom seperti manunggaling kawula-Gusti atau jumbuhing kawula-Gusti bersatunya hamba dengan Tuhannya. Kemanunggalan ini pada suatu saat dapat 55 benar-benar luluh atau jumbuh, sehingga dapat mengaburkan batas-batas antara manusia dengan Tuhannya. Kemanunggalan itu sering digambarkan seperti curiga manjing warangka, warangka manjing curiga bilah keris yang berada di dalam sarungnya dan sarung yang berada di dalam bilahnya atau kodhok ngemuli lenge katak menyelimuti liangnya, dengan makna bahwa Tuhan yang berada dalam diri manusia menguasai dan melindungi manusia yang bersangkutan. Pada jenis suluk ini, sebagiannya menafikan syariat Islam dengan mengajarkan bahwa manusia harus selalu ingat kepada Tuhan dan bersembahyang setiap saat seiring dengan aktivitas keluar dan masuknya nafas. Ajaran suluk semacam ini dianggap menyimpang oleh kelompok Wali Sanga, dan beberapa tokoh yang mengajarkannya dihukum mati. Suluk semacam ini antara lain terdapat dalam ajaran Seh Sitijenar dalam berbagai suluk yang menceritakan tokoh Seh Sitijenar dan ajaran Ki Amongraga dalam Suluk Tambangraras atau Serat Centhini. Sastra suluk pada umumnya ditulis dalam bentuk tembang macapat. Namun juga ada yang berbentuk prosa, yang biasanya disebut wirid. Pada umumnya judul sastra suluk dimulai dengan kata suluk, atau wirid untuk prosanya. Contoh jenis suluk antara lain: Suluk Wujil 1529 AJ, Suluk Sukarsa, Suluk Malang Sumirang, Suluk Residriya, Suluk Seh Malaya, Suluk Tekawardi, Suluk Purwadaksina, Suluk Gontor, Suluk Luwang, dan masih banyak lagi. Adapun judul-judul wirid antara lain: Wirid Hidayat Jati dan Wirid Maklumat Jati.

4. Wiracarita