Alur atau Plot dalam Lakon Wayang Purwa

12 Tema boyong, yakni tentang perpindahan tempat bagi tokoh-tokoh tertentu. Misalnya lakon Semar Boyong, Pandhawa Boyong, Sri Mulih, dsb 13 Tema takon bapa, yakni tentang tokoh-tokoh kesatria, atau panakawan yang menanyakan siapa sebenarnya ayahnya. Misalnya lakon Antasena Takon Bapa, Petruk Takon Bapa, Tirtanata Takon Bapa, atau anak-anak Arjuna yang mencari tahu siapa ayahnya, dsb. 14 Tema tentang surga, yakni tokoh-tokoh kesatria yang dengan bertapa, dsb., sehingga dapat naik ke kahyangan untuk menanyakan tentang surganya atau surga bagi orang tuanya. Misalnya lakon Anoman Takon Swarga, Pandhawa Swarga, Pandhu Swarga, dsb. 15 Tema tentang pertalian Ramayana dengan Mahabharata. Misalnya lakon Semar Boyong, Rama Nitik, Rama Nitis, Wahyu Makutharama, dsb. 16 Tema larung, yakni tokoh tertentu yang dibuang, misalnya lakon Sembadra Larung 17 Tema sesaji, yakni sesaji tertentu untuk memenuhi persyaratan tertentu. Misalnya lakon Sesaji Rajasuya. 18 Tema perjudian, misalnya lakon Pandhawa Dhadhu. 19 Tema banjaran, yakni tema yang menekankan biografi tokoh tertentu. Misalnya lakon Banjaran Karna, Banjaran Bima, Banjaran Gathutkaca, dsb. 20 DSb.

2. Alur atau Plot dalam Lakon Wayang Purwa

Menurut Becker 1971: 220 Plot wayang disusun oleh peristiwa yang bersifat koinsidensi atau kebetulan. Dalam wayang sesuatu kebetulan memotivasi tindakan-tindakan. Wayang sangat sarat dengan simbol. Plot wayang terdiri dari tiga bagian utama yang masing-masing ditandai dengan suatu rentang titinada tertentu yang disebut pathet, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Setiap pathet terdiri dari adegan utama yaitu jejer, adegan, dan perang. Setiap adegan utama mempunyai tiga unsur: janturan, gambaran tentang tindakan sebelumnya, ginem, serta sabetan. Plot wayang berjalan memutar seperti spiral. Pada umumnya karya sastra pedalangan atau lakon wayang purwa terikat oleh urut-urutan adegan secara konvensional. Urutan adegan dalam tradisi pedalangan Surakarta, misalnya, selalu diawali dengan jejer, disusul adegan gapuran, kedhatonan, paseban jawi, sabrangan, perang gagal, adegan pertapan, 147 perang kembang, sampak tanggung, adegan manyura, perang brubuh, dan tancep kayon Wibisono, 1987: 11. Urutan adegan gaya Surakarta yang lebih terinci dapat dirumuskan sebagai berikut bdk. Sri Mulyono 1979: 111-113. 1. Periode pathet nem, dibagi menjadi 6 adegan jejeran: a. Jejeran raja yang dilanjutkan dengan kedhatonan, yaitu setelah selesai bersidang, raja disambut permaisuri untuk bersantap bersama. b. Adegan Paseban Jawi, yakni patih mewartakan hasil sidang kepada prajurit c. Adegan jaranan pasukan binatang d. Adegan Perang ampyak menghadapi rintangan diperjalanan e. Adegan sabrangan, yaitu adegan raksasa dari negeri lain f. Perang gagal, yaitu perang yang belum diakhiri dengan kemenangan dan kekalahan, atau berpapasan saja, atau mencari jalan lain 2. Periode pathet sanga dibagi menjadi tiga adegan: a. Adegan bambangan, yakni seorang kesatria berada di tengah hutan atau menghadap seorang pendeta b. Perang kembang, yakni perang antara raksasa melawan kesatria yang diikuti panakawan c. Adegan sintren, yaitu adegan kesatria yang sudah menetapkan pilihannya dalam menempuh jalan hidup 3. Periode pathet manyura, dibagi menjadi tiga adegan: a. Jejer manyura. Dalam adegan ini tokoh utamanya sudah menetapkan tujuan hidupnya, sudah dekat dengan yang dicita-citakan b. Perang brubuh, yakni adegan perang yang berakhir dengan kemenangan dan banyak korban c. Tancep kayon, yakni setelah tarian Bima atau Bayu, gunungan atau kayon ditancapkan di tengah kelir. Diakhiri dengan tarian golekan boneka. Pembagian adegan gaya Surakarta tersebut sedikit berbeda dengan pembagian adegan gaya Yogyakarta. Bila disimak lebih jauh, perbedaan yang mendasar dalam pembagian adegan adalah sering munculnya tamu pada adegan pertama pada gaya Yogyakarta. Adanya tamu ini menyebabkan adegan kedua dan ketiga sedikit berbeda dengan gaya Surakarta. Di samping itu perbedaan yang lain adalah nama perang yang terjadi. Gaya Yogyakarta pada perang setelah jejer kedua disebut perang simpangan, perang setelah jejer ketiga disebut perang gagal. 148 Hingga jejer ketiga dalam gaya Yogyakarta belum terjadi korban kematian dalam perang. Jejer ketiga diikuti adegan gara-gara. Kemudian jejer keempat, dan seterusnya yang bila dilihat dari adegannya hampir sama bdk. Mudjanattistomo, dkk. 1977, jilid I: 163-166. Contoh gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta di atas, pada dasarnya hanya menegaskan bahwa alur dramatik wayang purwa yang menyangkut pembagian adegan-adegannya sangat terikat oleh konvensi yang berlaku pada masing-masing gaya yang ada.

3. Penokohan dalam Wayang Purwa