Babad. Jenis-jenis Sastra Jawa Modern Berdasarkan Temanya

Bonang tersebut masih menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Dengan demikian tidak semua karya sastra Jawa yang mendapat pengaruh Islam merupakan karya sastra Jawa Modern. Namun ada kemungkinan yang menggunakan bahasa Jawa Pertengahan relatif Jaman Islam awal. Mungkin juga di daerah-daerah tertentu ketika itu, Bahasa Jawa Baru telah berlaku menjadi bahasa sehari-hari, namun belum lazim dipergunakan untuk bahasa sastra.

A. Jenis-jenis Sastra Jawa Modern Berdasarkan Temanya

Bila ditinjau dari segi isi pembicaraan atau tema-temanya, karya sastra Jawa Modern, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni antara lain babad, niti, wirid, wayang menak, panji, novel dan cerkak, jagading lelembut, dongeng, biografi, kisah perjalanan, primbon dsb. yang bisa dijelaskan sebagai berikut.

1. Babad.

Kata babad semula berarti ‘menebas dengan pisau besar’. Dalam hubungannya dengan jenis sastra babad, agaknya kata babad dipergunakan secara lebih sempit, yakni ’menebangi pepohonan di hutan atau membuka hutan untuk dijadikan daerah pemukiman’. Kata ini mengingatkan pada lakon dalam cerita wayang purwa, yakni Babad Alas Wanamarta, yang bermakna membuka hutan Wanamarta untuk dijadikan kerajaan Indraprasta. Sastra babad pada umumnya berisi tentang sejarah lokal yang ditulis dengan cara pandang tradisional, sehingga dibumbui dengan berbagai cerita yang bersifat pralogis atau bahkan bersifat fiktif dan simbolik. Di dalamnya sering kali berisi genealogi, mitologi, legenda, cerita orang suci, kesaktian dan kekebalan tubuh terhadap senjata tajam, ramalan, mimpi, wahyu, dsb. yang dari segi logika sering kali tidak masuk akal. Babad sering ditulis dalam bentuk puisi tembang, namun membentangkan bentuk kisahan atau naratif. Judul-judul sastra babad biasanya berhubungan dengan nama tempat, daerah, kerajaan, nama suatu kejadian atau peristiwa yang monumental, dsb. atau berhubungan dengan tokoh besar terentu. Yang berhubungan dengan nama tempat yakni antara lain: Babad pajajaran, Babad Majapahit, Babad Mataram, Babad Tanah Jawi, Babad Pakepung, Babad Clereng, Babad Lowano, dan Babad Giyanti. Yang berhubungan dengan suatu kejadian, antara lain: Babad Perang Sepei, Babad Bedhah Ngayogyakarta, 51 Babad Palihan Nagari, dan Babad Pacina. Yang berhubungan dengan nama tokoh antara lain Babad Dipanegara, Babad Mangir, Babad Ajisaka, Babad Surapati, Babad Trunajaya, dsb. Penulisan babad pada umumnya berada di lingkungan kraton dengan rajanya selaku penguasa daerah yang bersangkutan, atau di lingkungan bangsawan yang lebih kecil, misalnya di kabupaten atau di kadipaten. Materi babad ditulis sebagian dengan menggunakan kisah nyata dan sebagiannya dengan menggunakan karya sastra fiktif atau cerita yang sudah ada, ditambah dengan pengalaman yang dihayati pribadi penulis dan para informan di sekitarnya. Pada umumnya babad ditulis dengan tujuan : a mencatat segala peristiwa, kejadian atau pengalaman yang pernah terjadi pada masa lampau, memberikan gambaran kepada anak cucu untuk menunjukkan contoh dan sejarah sebagai cermin kehidupan; b untuk menjadi teladan yang baik untuk diambil manfaatnya; c untuk memperkuat sakti raja dan mengukuhkan legitimasinya; sebagai catatan sejarah bagi kepentingan penguasa dan keturunannya Sedyawati, ed. 2001: 267. Babad juga bisa ditulis dalam rangka sanggahan terhadap cerita babad yang lainnya yang sekaligus berfungsi sebagai pembenaran pada kelompok tertentu. Dengan demikian, sering kali babad dutulis dalam versi-versi. Kejadian yang sama sering kali ditulis oleh beberapa penulis yang berbeda, dengan tujuan subyektif yang boleh jadi berbeda pula. Tidak berlebihan bila setiap penulis loyal terhadap tuannya masing-masing, maka tujuan penulisan babadnya sama-sama untuk mengukuhkan legitimasi penguasa masing-masing. Dengan demikian terjadi versi-versi penulisan babad. Misalnya saja, motif perseteruan antara Kademangan mangir di Mangiran-Bantul dengan Panembahan Senapati di Mataram, akan diceritakan secara berbeda antara penulis dari Mataram dengan penulis dari Mangiran. Babad Dipanegara yang ditulis atas penguasa yang pro Belanda, akan berbeda dengan yang ditulis atas penguasa yang pro Pangeran Dipanegara. Oleh karena itu dalam rangka pandangan babad sebagai karya historis, dalam studi komparatif harus dicermati lebih hati-hati, agar motif-motif dan kejadian-kejadian tertentu dapat dipertanggungjawabkan obyektifitasnya.

2. Niti atau Wulang atau Pitutur.