Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat)

(1)

(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)

Oleh: MILA YULISA

A 14105572

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

MILA YULISA. Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA.

Indonesia merupakan negara agraris, hal ini dapat ditunjukkan dengan besarnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar Seluruh luas lahan yang ada di Indonesia, digunakan untuk usaha pertanian, Salah satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi. Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang penting untuk penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan makanan pokok, dan mempunyai peranan penting dalam sistem perekonomian pangan di Indonesia

Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha mening- katkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi kenyataan kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilakukan untuk mengan- tisipasi kekurangan selama ini maka dilakukan kegiatan seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan hasil.

Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk menolong petani.

Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007 belum diketahui apakah banyak memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak, upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP tersebut yaitu dengan melihat tingkat pendapatan petani untuk setiap daerah. Kabupaten Subang merupakan kawasan yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Hal ini disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra padi yang ada di Jawa Barat. Subang merupakan penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan usaha petani padi, mengidentifikasi sejauh mana peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi. Selain itu juga mengidentifikasi sejauh mana peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani.

Pemilihan sampel dilaksanakan dengan menggunakan metode penarikan contoh (purposive sampling) yaitu pengambilan contoh dilaksanakan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti. Hal ini dilakukan karena tidak ada data yang jelas mengenai jumlah petani padi yang terdapat di Kabupaten Subang. Mayoritas lahan sawah di Kabupaten Subang menggunakan pengairan irigasi teknis.

Pengairan irigasi teknis diklasifikasi menjadi empat golongan berdasarkan perolehan air untuk tanam padi. Setiap golongan memiliki perbedaan waktu tanam selama 15 - 30 hari. Mulai dari Golongan I yang paling awal memperoleh


(3)

air untuk tanam lalu ke Golongan II, Golongan III, dan yang terakhir adalah petani padi di Golongan IV. Golongan air menjadi dasar pengambilan sampelpenelitian karena Golongan I memiliki waktu tanam lebih awal dibanding Golongan IV. Hal ini akan berakibat pada saat panen, dimana Golongan I kemungkinan memiliki harga jual yang tinggi pada saat panen dibandingkan Golongan IV yang sudah memasuki panen raya.

Berdasarkan penelitian, hasil analisa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani padi Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dapat memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan karena nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih dari satu, hal ini dapat diartikan usahatani yang dilakukan layak untuk dikembangkan oleh petani baik di Kecamatan Binong maupun petani Kecamatan Pusakanagara.

Peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini ditunjukan dengan adanya hasil panen petani yang dibeli dengan harga rata-rata diatas HPP, bahkan petani responden tidak ada yang menjual hasil panen dibawah HPP. Pernyataan ini didukung dengan nilai rasio R/C diatas satu, dengan nilai Kecamatan Binong 1,99 dan Kecamatan Pusakanagara 1,93.

DPM LUEP sudah ada di Kabupaten Subang sejak tahun 2003. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Subang, Jumlah pinjaman setiap tahun nilainya meningkat. Hal ini disebabkan karena DPM LUEP di Kabupaten Subang dikembalikan tepat pada waktunya. Peranan DPM LUEP terhadap pendapatan petani dapat diketahui dari stabilnya harga padi di dua lokasi penelitian tersebut. Pendapatan yang diterima petani responden antara golongan satu dan golongan empat tidak jauh berbeda. Petani responden Kecamatan Binong mendapatkan Rp 12.280.252 dan petani responden Kecamatan Pusakanagara mendapatkan Rp 11.977.375. Berdasarkan pernyataan tersebut maka kebijakan DPM LUEP di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini tercermin dari stabilnya harga padi dilokasi penelitian. .

Berdasarkan kesimpulan mengenai efektivitas penetapan HPP gabah yang diukur menggunakan ilmu usahatani diperoleh hasil keuntungan petani yang bernilai positif. Peran pemerintah dan instansi-instansi terkait, yang aktif dalam memberikan pengetahuan dan teknologi terbaru kepada petani tetap harus dipertahankan, sehingga keberadaan petani semakin baik dan tetap melakukan produksi usahatani padi.

DPM LUEP sebaiknya jangan dihapuskan, karena berperan dalam menstabilkan harga gabah petani. Adanya kontrak harga beli gabah antara peme- rintah dengan perusahaan penyosohan beras menjadi patokan harga jual gabah, sehingga petani merasa harga gabah dibeli dengan harga tinggi (harga psikologis). Penelitian ini hanya terbatas pada efektivitas penetapan HPP dan DPM LUEP di Kabupaten Subang, yang diteliti berdasarkan golongan air irigasi. Oleh karena itu dianjurkan adanya penelitian lanjutan yang khusus meneliti efektivitas penetapan DPM LUEP tidak hanya berdasarkan golongan air, sehingga dapat membandingkan antara petani yang menjual ke DPM LUEP dan tidak menjual ke DPM LUEP.


(4)

EFEKTIVITAS PENETAPAN

HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI

(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)

Oleh: MILA YULISA

A 14105572

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Judul : Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat)

Nama : Mila Yulisa

NRP : A 14105572

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec NIP. 131 846 873

Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019


(6)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI (KASUS KECAMATAN BINONG, DAN KECAMATAN PUSAKANAGARA, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT) BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, 22 Januari 2008

Mila Yulisa A 14105572


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Subang Jawa Barat, pada Tanggal 10 Juli 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara keluarga bapak H. Dedi Sobandi S.pd dan ibu Hj. Imas Sulastri.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada TK Anggrek Merpati Blendung, Purwadadi tahun 1989 dan lulus pada Tahun 1990. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan pada SDN Blendung II Purwadadi lulus pada Tahun 1996. Melanjutkan pendidikan pada MTs Al-Muhajirin Purwakarta lulus Tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan pada SMUN 1 Purwadadi, Subang lulus pada Tahun 2002.

Penulis diterima menjadi mahasiswa Diploma Institut Pertanian Bogor di Program Studi Teknologi Perlindungan Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan pada Tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis lulus Program Diploma pada Tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke-Khadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat).

Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan beras, tetapi kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah dengan menetapkan HPP nasional terhadap gabah yang dulu dikenal dengan harga dasar gabah (HDG). Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani.

Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis pendapatan usaha petani padi, mengidentifikasi peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi serta mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Bogor, 22 Januari 2008

Mila Yulisa


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga memberikan kekuatan dan kemudahan dan kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan dan kerjasamanya baik berupa moril maupun materil, yaitu kepada :

1. Kedua orang tua tercinta dan adik penulis Isti Siti Hindun yang tak henti-hentinya memberikan dukungan do’a, materi, kasih sayang, perhatian, dan semangat yang terus mengalir untuk keberhasilan penulis.

2. Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan kesabarannya membimbing penulis sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Ir. Netty Tinaprila, MM selaku dosen evaluator pada kolokium proposal penelitian, terima kasih untuk semua masukannya.

4. Dr. Ir. Anna Farianti, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penulisan yang lebih baik.

6. Bapak Asep Ramli, SP dan semua staf Dinas Pertanian Kabupaten Subang yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data serta informasi yang diperlukan.

7. Bapak Sirodyudin SP, Ibu Ulfah dan Ibu Wati yang telah banyak memberikan Informasi di Kecamatan Binong serta Ibu Surni, SP dan keluarga yang telah membantu penulis selama penelitian di Kecamatan Pusakanagara.

8. Sahabatku Hartini Tresnadijaya Amd, Endah Sutiah, Mbak Mini, Imroatul Mufida, Dara, Yessy Yolanda, Tina Susanti dan Iil Kholilah yang telah banyak memberikan bantuannya kepada penulis.

9. Teman-teman satu pembimbing Jeffri Kurniawan dan Inggit Rahmiyanti atas kerjasamanya.


(10)

10.Kepada seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis.

11.Teman-teman mahasiswa Ekstensi MAB serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.


(11)

(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)

Oleh: MILA YULISA

A 14105572

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

RINGKASAN

MILA YULISA. Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA.

Indonesia merupakan negara agraris, hal ini dapat ditunjukkan dengan besarnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar Seluruh luas lahan yang ada di Indonesia, digunakan untuk usaha pertanian, Salah satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi. Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang penting untuk penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan makanan pokok, dan mempunyai peranan penting dalam sistem perekonomian pangan di Indonesia

Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha mening- katkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi kenyataan kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilakukan untuk mengan- tisipasi kekurangan selama ini maka dilakukan kegiatan seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan hasil.

Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk menolong petani.

Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007 belum diketahui apakah banyak memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak, upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP tersebut yaitu dengan melihat tingkat pendapatan petani untuk setiap daerah. Kabupaten Subang merupakan kawasan yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Hal ini disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra padi yang ada di Jawa Barat. Subang merupakan penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan usaha petani padi, mengidentifikasi sejauh mana peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi. Selain itu juga mengidentifikasi sejauh mana peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani.

Pemilihan sampel dilaksanakan dengan menggunakan metode penarikan contoh (purposive sampling) yaitu pengambilan contoh dilaksanakan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti. Hal ini dilakukan karena tidak ada data yang jelas mengenai jumlah petani padi yang terdapat di Kabupaten Subang. Mayoritas lahan sawah di Kabupaten Subang menggunakan pengairan irigasi teknis.

Pengairan irigasi teknis diklasifikasi menjadi empat golongan berdasarkan perolehan air untuk tanam padi. Setiap golongan memiliki perbedaan waktu tanam selama 15 - 30 hari. Mulai dari Golongan I yang paling awal memperoleh


(13)

air untuk tanam lalu ke Golongan II, Golongan III, dan yang terakhir adalah petani padi di Golongan IV. Golongan air menjadi dasar pengambilan sampelpenelitian karena Golongan I memiliki waktu tanam lebih awal dibanding Golongan IV. Hal ini akan berakibat pada saat panen, dimana Golongan I kemungkinan memiliki harga jual yang tinggi pada saat panen dibandingkan Golongan IV yang sudah memasuki panen raya.

Berdasarkan penelitian, hasil analisa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani padi Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dapat memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan karena nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih dari satu, hal ini dapat diartikan usahatani yang dilakukan layak untuk dikembangkan oleh petani baik di Kecamatan Binong maupun petani Kecamatan Pusakanagara.

Peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini ditunjukan dengan adanya hasil panen petani yang dibeli dengan harga rata-rata diatas HPP, bahkan petani responden tidak ada yang menjual hasil panen dibawah HPP. Pernyataan ini didukung dengan nilai rasio R/C diatas satu, dengan nilai Kecamatan Binong 1,99 dan Kecamatan Pusakanagara 1,93.

DPM LUEP sudah ada di Kabupaten Subang sejak tahun 2003. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Subang, Jumlah pinjaman setiap tahun nilainya meningkat. Hal ini disebabkan karena DPM LUEP di Kabupaten Subang dikembalikan tepat pada waktunya. Peranan DPM LUEP terhadap pendapatan petani dapat diketahui dari stabilnya harga padi di dua lokasi penelitian tersebut. Pendapatan yang diterima petani responden antara golongan satu dan golongan empat tidak jauh berbeda. Petani responden Kecamatan Binong mendapatkan Rp 12.280.252 dan petani responden Kecamatan Pusakanagara mendapatkan Rp 11.977.375. Berdasarkan pernyataan tersebut maka kebijakan DPM LUEP di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini tercermin dari stabilnya harga padi dilokasi penelitian. .

Berdasarkan kesimpulan mengenai efektivitas penetapan HPP gabah yang diukur menggunakan ilmu usahatani diperoleh hasil keuntungan petani yang bernilai positif. Peran pemerintah dan instansi-instansi terkait, yang aktif dalam memberikan pengetahuan dan teknologi terbaru kepada petani tetap harus dipertahankan, sehingga keberadaan petani semakin baik dan tetap melakukan produksi usahatani padi.

DPM LUEP sebaiknya jangan dihapuskan, karena berperan dalam menstabilkan harga gabah petani. Adanya kontrak harga beli gabah antara peme- rintah dengan perusahaan penyosohan beras menjadi patokan harga jual gabah, sehingga petani merasa harga gabah dibeli dengan harga tinggi (harga psikologis). Penelitian ini hanya terbatas pada efektivitas penetapan HPP dan DPM LUEP di Kabupaten Subang, yang diteliti berdasarkan golongan air irigasi. Oleh karena itu dianjurkan adanya penelitian lanjutan yang khusus meneliti efektivitas penetapan DPM LUEP tidak hanya berdasarkan golongan air, sehingga dapat membandingkan antara petani yang menjual ke DPM LUEP dan tidak menjual ke DPM LUEP.


(14)

EFEKTIVITAS PENETAPAN

HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI

(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)

Oleh: MILA YULISA

A 14105572

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(15)

Judul : Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat)

Nama : Mila Yulisa

NRP : A 14105572

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec NIP. 131 846 873

Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019


(16)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI (KASUS KECAMATAN BINONG, DAN KECAMATAN PUSAKANAGARA, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT) BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, 22 Januari 2008

Mila Yulisa A 14105572


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Subang Jawa Barat, pada Tanggal 10 Juli 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara keluarga bapak H. Dedi Sobandi S.pd dan ibu Hj. Imas Sulastri.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada TK Anggrek Merpati Blendung, Purwadadi tahun 1989 dan lulus pada Tahun 1990. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan pada SDN Blendung II Purwadadi lulus pada Tahun 1996. Melanjutkan pendidikan pada MTs Al-Muhajirin Purwakarta lulus Tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan pada SMUN 1 Purwadadi, Subang lulus pada Tahun 2002.

Penulis diterima menjadi mahasiswa Diploma Institut Pertanian Bogor di Program Studi Teknologi Perlindungan Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan pada Tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis lulus Program Diploma pada Tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


(18)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke-Khadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat).

Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan beras, tetapi kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah dengan menetapkan HPP nasional terhadap gabah yang dulu dikenal dengan harga dasar gabah (HDG). Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani.

Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis pendapatan usaha petani padi, mengidentifikasi peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi serta mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Bogor, 22 Januari 2008

Mila Yulisa


(19)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga memberikan kekuatan dan kemudahan dan kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan dan kerjasamanya baik berupa moril maupun materil, yaitu kepada :

1. Kedua orang tua tercinta dan adik penulis Isti Siti Hindun yang tak henti-hentinya memberikan dukungan do’a, materi, kasih sayang, perhatian, dan semangat yang terus mengalir untuk keberhasilan penulis.

2. Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan kesabarannya membimbing penulis sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Ir. Netty Tinaprila, MM selaku dosen evaluator pada kolokium proposal penelitian, terima kasih untuk semua masukannya.

4. Dr. Ir. Anna Farianti, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penulisan yang lebih baik.

6. Bapak Asep Ramli, SP dan semua staf Dinas Pertanian Kabupaten Subang yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data serta informasi yang diperlukan.

7. Bapak Sirodyudin SP, Ibu Ulfah dan Ibu Wati yang telah banyak memberikan Informasi di Kecamatan Binong serta Ibu Surni, SP dan keluarga yang telah membantu penulis selama penelitian di Kecamatan Pusakanagara.

8. Sahabatku Hartini Tresnadijaya Amd, Endah Sutiah, Mbak Mini, Imroatul Mufida, Dara, Yessy Yolanda, Tina Susanti dan Iil Kholilah yang telah banyak memberikan bantuannya kepada penulis.

9. Teman-teman satu pembimbing Jeffri Kurniawan dan Inggit Rahmiyanti atas kerjasamanya.


(20)

10.Kepada seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis.

11.Teman-teman mahasiswa Ekstensi MAB serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.


(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

1.4 Ruang Lingkup Penelitian... 9

II TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1 Gambaran Umum Komoditas Padi ... 10

2.2 Kebijakan Insentif Pertanian ... 11

2.3 Kebijakan Harga Dasar Gabah... 12

2.4 Kebijakan Harga Sarana Produksi ... 18

2.5 Pengertian DPM-LUEP... 20

2.6 Tataniaga ... 22

2.7 Tinjauan Studi Terdahulu... 23

III KERANGKA PEMIKIRAN... 28

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 28

3.1.1 Konsep Usahatani ... 28

3.1.1.1 Lahan... 29

3.1.1.2 Tenaga Kerja ... 29

3.1.1.3 Modal ... 29

3.1.1.4 Pengelolaan... 30

3.1.2 Analisa Pendapatan Usahatani ... 30

3.1.3 Ukuran Pendapatan Usahatani ... 32

3.1.4 Analisis Tataniaga... 35

3.1.5 Efektivitas Penetapan HPP dan DPM LUEP ... 38

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 39

IV METODE PENELITIAN... 42

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 42

4.3 Metode Penarikan Contoh... 43

4.4 Metode Analisis Data ... 44

4.4.1 Analisis Usahatani... 45

4.4.2 Analisis Tataniaga... 46

4.4.3 Metode Analisis Efektivitas Penetapan HPP gabah... 46


(22)

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL

USAHATANI RESPONDEN... 48 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... . 48

5.2 Penduduk dan Mata Pencaharian ... 49 5.3 Karakteristik Responden... 51 5.3.1 Umur Petani ... 51 5.3.2 Tingkat Pendidikan ... 52 5.3.3 Pengalaman Usahatani ... 53 5.3.4 Status Kepemilikan Lahan ... 54 5.3.5 Luas Lahan Garapan ... 55 5.3.6 Status Usahatani ... 56

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI... 57 6.1Penggunaan Input... 57

6.1.1 Benih ... 57 6.1.2 Pupuk ... 57 6.1.3 Pestisida ... 59 6.2 Penggunaan Tenaga Kerja... 59 6.2.1 Pengolahan Lahan ... 59 6.2.2 Penanaman ... 60 6.2.3 Penyiangan ... 60 6.2.4 Pemupukan ... 61 6.2.5 Pengendalian Hama dan Penyakit... 61 6.2.6 Panen ... 61 6.3 Analisis Cabang Pendapatan Usahatani Padi... 62 6.3.1 Analisis Penerimaan Cabang Usahatani Padi ... 63 6.3.2 Analisis Biaya Cabang Usahatani Padi ... 64 6.3.3 Analisis Pendapatan Cabang Usahatani Padi... 68 6.4 Analisis Tataniaga... 70

6.4.1 Analisis Saluran Tataniaga... 71 6.4.2 Analisis Alur Tataniaga... 73

VII EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN

PEMERINTAH (HPP) DAN DPM LUEP... 75 7.1Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) ... 75 7.2 Efektivitas Dana Penguat Modal Lembaga Umum

Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP)... 76

VIII KESIMPULAN DAN SARAN... 82 8.1 Kesimpulan ... 82 8.2 Saran... 83

DAFTAR ISTILAH... 85

DAFTAR PUSTAKA... 86


(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Padi Tahun 2001 – 2005 ... 1 2 Konsumsi Padi-padian dan Umbi-umbian Per Kapita Tahun

1996 – 2005 (Kilogram)... 2 3 Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Nasional Tahun

2002 - 2006 (Rupiah) ... 7 4 Perbedaan Antara HPP dan HDG ... 16 5 Persamaan dan Perbedaan Penelitian Ini dengan Penelitian

Terdahulu ... 27 6 Luas Sawah Potensi untuk Usahatani Berdasarkan Jenis Irigasinya ... 43 7 Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Padi... 45 8 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Binong Tahun 2006 ... 49 9 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Pusakanagara

Tahun 2006 ... 49 10 Jumlah Penduduk Kecamatan Binong dan

Kecamatan Pusakanagara Menurut Pekerjaan Tahun 2006 ... 50 11 Jumlah dan Persentase petani Responden menurut Golongan Umur

di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007... 51 12 Sebaran Jumlah Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan

Tahun 2007 ... 52 13 Jumlah Responden Menurut Pengalaman Usahatani Tahun 2007... 53 14 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status

Kepemilikan Lahan di Kecamatan Binong dan Kecamatan

Pusakanagara Tahun 2007 ... 54 15 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan

di Kecamatan Binong Tahun 2007... 55 16 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan

di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 ... 55 17 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani

di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007... 56 18 Rata-rata Penggunaan Pupuk yang Digunakan Oleh Petani

Kecamatan Binong (Golongan I) dan Petani Kecamatan

Pusakanagara (Golongan IV) Tahun 2007 (Kilogram)... 58 19 Rata-rata Hasil Panen Per Hektar Serta Harga Jual Padi di

Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara


(24)

20 Rata-rata Biaya Usahatani Padi Golongan I dan Kecamatan Binong dan Golongan IV (Luas Lahan Satu Hektar) Kecamatan

Pusakanagara Tahun 2007 ... 65 21 Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usahatani Padi pada Petani

Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara

(Golongan IV) Luasan Satu Hektar Tahun 2007 ... 69 22 Jumlah Pinjaman Dana Penguat Modal dan Jumlah Anggota

LUEP di Kabupaten Subang Tahun 2003-2007... 77 23 Perbandingan Pendapatan Rata-rata Per Hektar Petani Padi

Golongan I dan Golongan IV Dari Hasil Penelitian Pada

Tahun 1978 dan Tahun 2007 ... 81


(25)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Penjelasan Konsep Harga Dasar ... 17 2 Penjelasan Konsep Harga Pembelian Pemerintah... 18 3 Pola Umum Saluran Tataniaga Produk-produk Pertanian

di Indonesia ... 36 4 Kerangka Pemikiran Operasional Efektivitas Penetapan

Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah ... 41 5 Saluran Tataniaga Padi di Kecamatan Binong dan Kecamatan


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Petani Responden dan Tingkat Pendidikan... 89 2 Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Binong Tahun 2007... 90 3 Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 . 91 4 Pendapatan Petani LUEP dan Bukan LUEP Tahun 2007... 92 5 Peta Indikasi Potensi Air Tanah dan Daerah Irigasi Kabupaten Subang

Propinsi Jawa Barat... 93 6 Surat Perjanjian Jual Beli Gabah atau Beras antara LUEP dengan


(27)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris, hal ini ditunjukkan dengan besarnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar seluruh luas lahan yang ada di Indonesia, 71,33 persen digunakan untuk usaha pertanian, salah satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi (Badan Pusat Statistik, 2006). Data luas panen, produksi dan hasil per hektar padi tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Padi Tahun 2001 – 2005 Jenis

Tanaman

Satuan/

unit 2001 2002 2003 2004 2005

Padi

Luas Panen

(000 Ha) 11.500,0 11.521,2 11.488,0 11.923,0 11.818,9 Produksi (000 Ton) 50.460,8 51.489,7 52.137,6 54.088,5 54.056,3

Rata-rata (Kw/Ha) 43,9 44,7 45,4 45,4 45,7

Padi Sawah

Luas Panen

(000 Ha) 10.419,4 10.457,0 10.394,5 10.799,5 10.713,3 Produksi (000 Ton) 47.895,5 48.899,1 49.378,1 51.209,4 51.223,7

Rata-rata (Kw/Ha) 46,0 46,8 47,5 47,4 47,8

Padi Ladang

Luas Panen

(000 Ha) 1.080,6 1.064,2 1.093,5 1.123,5 1.105,6 Produksi (000 Ton) 2.565,3 2.590,6 2.795,5 2.879,0 2.832,6

Rata-rata (Kw/Ha) 23,7 24,3 25,2 25,6 25,6

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006

Tabel 1 menggambarkan bahwa luas panen, produksi dan hasil per hektar padi setiap tahun mengalami peningkatan. Luas panen padi Tahun 2003 mengalami peningkatan dari 11.488,0 ribu hektar menjadi 11.923,0 ribu hektar pada Tahun 2004, produksi juga mengalami peningkatan dari 52.137,6 ribu ton


(28)

menjadi 54.088,5 ribu ton pada Tahun 2004. Peningkatan terjadi pada setiap jenis tanaman seperti padi sawah dan padi ladang, tetapi pada Tahun 2005 luas panen padi berkurang dari 11.923,0 ribu hektar pada Tahun 2004 menjadi 11.818,9 ribu hektar, produksi juga menurun. Hal tersebut diantaranya disebabkan karena terjadinya kekeringan pada Bulan September - Desember 2004 yang mengakibatkan pergeseran tanam, sehingga luas areal panen padi Bulan Januari - April 2005 menurun. Berkurangnya luas panen berdampak pada penurunan produksi padi.

Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang penting untuk penduduk Indonesia. Beras merupakan bahan makanan pokok, serta mempunyai peranan penting dalam sistem ekonomi pangan di Indonesia. Beras untuk masyarakat Indonesia merupakan komoditas utama yang banyak dikonsumsi. Konsumsi padi-padian dan umbi-umbian per kapita 1996 - 2005 (Kilogram) tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Konsumsi Padi-padian dan Umbi-umbian Per Kapita Tahun 1996 – 2005 (Kilogram)

Komoditi Tahun

Pertumbuhan Rata-rata (%)per tahun A. Padi 1996 1999 2002 2004 2005 2005 over 2004

1. Beras 111,49 103,74 100,46 99,42 96,67 -0,92

2. Jagung 3,74 3,74 4,06 3,90 4,00 0,89

3. Lainnya 2,55 0,78 1,25 1,20 1,46 7,25

B.Umbi-umbian

1. Ketela Pohon 7,96 10,50 9,36 9,67 9,10 -1,97

2. Ketela Rambat 2,96 2,81 2,70 5,30 3,80 -9,48

3. Kentang 1,77 0,99 0,36 1,82 1,77 -0,95

4. Lainnya 2,18 1,09 0,83 1,20 1,30 2,90


(29)

Tabel 2 menggambarkan bahwa konsumsi padi-padian dan umbi-umbian didominasi oleh beras dan ketela pohon. Tahun 2005 untuk komoditi padi-padian 96,67 kilogram konsumsi beras, 4,00 kilogram konsumsi jagung dan 1,46 kilogram konsumsi lainnya seperti roti dan mie instan. Umbi-umbian 9,10 kilogram konsumsi ketela pohon, 3,80 kilogram ketela rambat, 1,77 kilogram kentang dan 1,30 kilogram konsumsi lainnya seperti gadung dan talas. Pertumbuhan rata-rata pada Tahun 2005 untuk konsumsi padi-padian mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena adanya perubahan pola konsumsi yang ditandai dengan peningkatan konsumsi terhadap jagung dengan pertumbuhan rata-rata per tahun 0,89 persen, dan lainnya seperti roti dan mie instan mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan 7,25 persen.

Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani padi, berusaha meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kekurangan selama ini adalah dengan diadakannya kegiatan seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan hasil.

Pihak-pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah (Pemda) dan pihak swasta juga berusaha meningkatkan minat masyarakat dalam mengembangkan usaha pangan. Pemda dan pihak swasta melakukan kegiatan seperti penyediaan sarana dan prasarana transportasi, komunikasi, perdagangan, pelayanan administrasi perizinan usaha produksi, industri, distribusi yang


(30)

sederhana dan cepat, pelayanan keuangan atau permodalan yang cepat dan murah (Lubis, 2005).

Petani merupakan salah satu pelaku terkait yang berperan dalam meningkatkan produksi. Petani seharusnya mendapatkan perhatian dari pemerintah. Perkembangan sampai saat ini petani selalu menjadi pihak yang dirugikan. Hal ini ditunjukan dengan biaya produksi yang tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan harga jual hasil panen yang tinggi. Pendapatan petani tidak meningkat, bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain untuk biaya produksi selanjutnya petani juga perlu memikirkan keberlangsungan hidupnya.

Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang ditetapkan pemerintah adalah kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) nasional terhadap gabah yang dulu dikenal dengan Harga Dasar Gabah (HDG). Perubahan HDG menjadi HPP sangat mendasar karena dengan kebijakan HPP, pemerintah tidak lagi berkewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin harga dasar gabah minimum pada tingkat harga tertentu, sebagaimana lazimnya pada konsep kebijakan HDG. Pemerintah dengan kewajiban HPP tidak wajib membeli gabah dari petani. HPP berlaku di gudang Bulog bukan di tingkat petani.1

Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani. DPM LUEP merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Pertanian dalam rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat

1


(31)

panen raya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan kepada LUEP untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah atau beras petani, dengan harga yang mengacu pada HPP.2

Penetapan HPP Nasional yang berlaku untuk semua wilayah Indonesia ditetapkan melalui Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 sebelum diganti Inpres terbaru Nomor: 3 Tahun 2007. HPP Inpres Nomor 2: Tahun 2005 dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga waktu pemberlakuannya pun praktis bersama dengan penetapan kenaikan harga BBM. Kebijakan tersebut kurang memberikan motivasi dalam melakukan kegiatan produksi bagi petani. Hal itu disebabkan karena biaya produksi masih tinggi, sedangkan biaya produksi untuk setiap daerah berbeda-beda. Harga jual gabah pada saat panen dianggap masih rendah dan informasi mengenai HPP tidak sampai kepada petani, sehingga penetapan HPP nasional terkadang kurang memberikan solusi yang berarti.

HPP terbaru yang ditetapkan melalui Inpres Nomor: 3 Tahun 2007 tentang kebijakan perberasan. Pertimbangan yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan petani, peningkatan ketahanan pangan, pengembangan ekonomi pedesaan, dan stabilitas ekonomi nasional dipandang perlu untuk menetapkan kebijakan ini. Selain itu sebagai akibat dari perkembangan perekonomian nasional, dipandang perlu dilakukan penyesuaian terhadap kebijakan perberasan sebelumnya.

Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007 belum diketahui apakah memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak.

2

Departemen Pertanian. 2007. DPM LUEP http://www.deptan.go.id/HomePageBBKP/ pdp/luep/ profil LUEP. 29 Agustus.


(32)

Upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP dapat dilihat dari tingkat pendapatan petani disetiap daerah. Tempat dilaksanakannya penelitian adalah Kabupaten Subang. Kabupaten tersebut merupakan salah satu sentra padi yang ada di Jawa Barat, yang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga setelah Karawang dan Indramayu. Kabupaten Subang sekaligus pula merupakan penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat, dengan luas sawah pada Tahun 2005 seluas 84.167 hektar atau sekitar 41,71 persen dari total wilayah Kabupaten Subang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang, 2006).

1.2 Perumusan Masalah

Petani sebagai pelaku utama kegiatan produksi padi, tidak terlepas dari masalah yang mengganggu kegiatan produksinya. Meningkatnya biaya produksi seperti biaya pengolahan lahan dan tingginya harga pupuk merupakan masalah yang merugikan petani. Peningkatan biaya tersebut biasanya tidak diimbangi dengan peningkatan harga jual hasil pada musim panen, sehingga berdampak pada pendapatan petani yang rendah. Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa sampai saat ini petani menjadi pihak yang dirugikan, padahal seharusnya keberadaan petani padi dan keadaan produksi padi perlu mendapatkan perhatian. Pemerintah dan masyarakat harus memberikan perhatian terhadap keberadaan petani padi karena beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.

Petani pada umumnya menjual hasil panen padi dalam bentuk gabah, dengan alasan seperti: 1) Ingin cepat memperoleh hasil panen (uang), 2) Tidak mengeluarkan biaya tambahan seperti untuk pengolahan, penyimpanan, dan transportasi, 3) Faktor kebiasaan. Harga jual gabah pada saat musim panen


(33)

biasanya sangat rendah, upaya yang dilakukan pemerintah untuk menolong petani yaitu dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah.

Penetapan HPP ditujukan apabila harga gabah jatuh menjadi harga dasar dalam pembelian hasil panen, sehingga tetap menguntungkan petani yang dapat dibeli oleh Dolog dari mitra kerjanya. Apabila harga gabah di pasar bebas tinggi yaitu di atas HPP maka petani tidak akan rugi. HPP untuk gabah mulai dari Tahun 2002 - 2006 tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Nasional Tahun 2002 - 2006 (Rupiah)

Jenis 2002 2003 2004 2005 2006

Gabah Kering Panen 1.240 1.400 1.250 1.517 2.215

Gabah Kering Simpan 1.345 1.500 1.345 1.746 2.374

Gabah Kering Giling 1.467 1.645 1.450 1.710 2.594

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang, 2007

Tabel 3 memberikan informasi mengenai harga gabah yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk semua wilayah Indonesia. Harga gabah ditetapkan sesuai jenisnya, setiap tahun harga gabah berbeda, ada yang mengalami penurunan seperti untuk jenis gabah kering panen Tahun 2003 yang awalnya Rp 1.400 menjadi Rp 1.250 di Tahun 2005, ataupun mengalami kenaikan seperti Tahun 2005 yang awalnya Rp 1.517 menjadi Rp 2.215 pada Tahun 2006.

Gabah yang dijual petani biasanya berada pada kisaran Rp 2.300 hingga Rp 2.400 per kilogram. Penetapan HPP terkadang tidak berlaku. Dilapangan masih dijumpai gabah petani yang ditawar Rp 2.000 per kilogram oleh tengkulak (orang yang biasa membeli hasil panen petani untuk dijual lagi ke pembeli selanjutnya).3 Masalah tersebut terjadi karena kurangnya informasi mengenai

3

Marsis santoso. 2007. Petani Kecewa Harga Gabah. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak. 28 Maret.


(34)

kebijakan HPP yang diperoleh petani. Adapun petani yang mengetahui informasi terebut terkadang masih mengeluh, karena harga beli pemerintah dirasakan kurang sesuai. Hal ini berdampak pada pendapatan petani menjadi kecil.

Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani. DPM LUEP adalah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan dana talangan tanpa bunga kepada LUEP untuk membeli gabah atau beras secara langsung dari petani, terutama pada saat panen raya dengan harga minimal sesuai dengan HPP untuk beras dan harga referensi daerah untuk jagung dan kedelai.4

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Sejauh mana efektivitas penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah terhadap pendapatan petani?

2. Sejauh mana efektivitas peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang dihadapi, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1) Menganalisis pendapatan usaha petani padi.

2) Mengidentifikasi peranan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah terhadap pendapatan petani.

4

Departemen Pertanian. 2007. Pembelian Beras, Jagung dan Kedelai. http://www. deptan.go.id /bkp /berita .30 Agustus.


(35)

3) Mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani.

Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi petani, Dinas Pertanian dan Pemerintah Daerah setempat dalam mengevaluasi kegiatan pertanian.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Analisis penelitian ini dibatasi pada wilayah Kabupaten Subang dan hanya pada petani padi yang termasuk dalam Golongan I (satu) dan Golongan IV (empat) dalam memperoleh air dalam melakukan kegiatan usahatani. Hal ini disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah sentra padi yang menggunakan air irigasi. Ketidakstabilan harga jual gabah biasanya dipengaruhi oleh air yang diterima petani dalam menanam padi. Selain itu lokasi yang berbeda menimbulkan perbedaan biaya produksi dan dampaknya pada harga jual yang berbeda pula. Ukuran efektivitas menggunakan satu indikator yaitu harga jual pada saat panen diatas HPP atau tidak. Ukuran efektivitas yang digunakan pada DPM LUEP adalah sudah terdapat perusahaan penyosohan beras yang mendapatkan DPM LUEP atau belum pada lokasi penelitian.


(36)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Komoditas Padi

Tanaman padi (Oryza sativa, L) tersebar diseluruh pelosok dunia, tetapi kebanyakan tanaman padi ini dibudidayakan di Asia. Diperkirakan pertanaman padi pertama kali diusahakan manusia di Negara India sekitar Tahun 2500 - 3000 sebelum masehi, kemudian tersebar ke Cina dan lebih jauh lagi sampai ke negara sebelah bahkan sampai ke Mesir, Eropa, Afrika, dan bagian bumi sebelah barat. Tanaman ini diperkenalkan ke Indonesia sewaktu ras Suku Deutero Melayu berimigrasi ke beberapa daerah di Kepulauan Nusantara sekitar Tahun 1500 sebelum masehi, terdapat bermacam-macam jenis tanaman berdasarkan distribusi geografis dan bentuk morfologi tanamannya (Masyhudi, 1992).

Padi (Oriza sativa, L) merupakan tanaman pangan yang dihasilkan dalam jumlah terbanyak di dunia dan menempati daerah terbesar di wilayah tropika. Pada umumnya tanaman padi merupakan tanaman semusim yang sangat rentan terhadap kekeringan, tanaman padi memerlukan jumlah curah hujan lebih dari 200 milimeter dalam satu bulan (Irianto et. al, 2004). Tanaman padi memiliki empat fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif cepat, vegetatif lambat, reproduktif dan pemasakan. Secara garis besar, tanaman padi terbagi kedalam dua bagian yaitu bagian vegetatif dan bagian generatif, dimana bagian vegetatif terdiri dari akar, batang, daun dan bagian generatif terdiri dari malai dari bulir-bulir, daun dan bunga.


(37)

Pertumbuhan tanaman padi memerlukan unsur hara, air dan energi. Unsur hara merupakan unsur pelengkap dari komposisi asam nukleit, hormon dan enzim yang berfungsi sebagai katalis yang merombak fotosintat atau respirasi menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tanaman padi memperoleh air dari dalam tanah, sedangkan energi diperoleh padi dari hasil fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari (Irianto et. al, 2004).

Budaya konsumsi beras cukup sulit untuk dihilangkan dari masyarakat Indonesia. Alasan yang sangat mendasar adalah karena telah menjadi kebiasaan masyarakat. Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Partisipasi konsumsi beras mencapai sekitar 95 persen, artinya 95 persen rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi beras, angka partisipasi ini tentunya bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya (Amang dan Sawit, 1999).

Beras bukan hanya berfungsi sebagai komoditas pangan dan ekonomis, tetapi juga merupakan komoditas politik dan keamanan. Negara besar seperti Amerika Serikat, pangan (termasuk beras didalamnya) merangkap komoditas politik dan strategis yakni bila diperlukan, pangan dapat dipakai sebagai senjata ampuh untuk menekan suatu negara yang tidak sejalan dengan garis politiknya (Amang dan Sawit, 1999).

2.2 Kebijakan Insentif Pertanian

Pada awal Orde Baru, pemerintah berupaya mendorong peningkatan produksi padi dengan memberikan berbagai insentif, diantaranya berupa dukungan dan jaminan harga jual produk dengan menetapkan harga dasar dan kebijakan harga sarana produksi. Pemberian insentif ini sebagai upaya mendorong petani untuk memacu produksi padi. Malian et. al (2003) menyatakan


(38)

bahwa kebijakan subsidi input pertanian seperti benih, pupuk, dan bahan kimia pemberantas hama atau penyakit tanaman, ditetapkan pemerintah dengan harapan agar petani menerapkan teknologi sesuai dengan rekomendasi dalam kegiatan usahataninya. Penggunaan pupuk sesuai rekomendasi diharapkan akan meningkatkan produksi padi atau beras.

2.3 Kebijakan Harga Dasar Gabah

Pada era Orde Baru, stabilitas harga gabah atau beras merupakan faktor utama penjamin stabilitas ekonomi dan politik nasional. Amang dan Sawit (1999) menyatakan bahwa ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu (i) ketidakstabilan harga beras antar musim yaitu perbedaan harga antara musim panen dengan musim paceklik, (ii) ketidakstabilan antar tahun karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau banjir, fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya sulit diramalkan. Stabilitas harga melewati batas musim dan tahun, sehingga diperlukan kebijakan untuk menstabilkannya.

Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan panen raya yang berlangsung pada Bulan Februari - Mei yang mencapai 60 - 65 persen dari total produksi nasional, dan produksi musim gadu pertama berlangsung antara Bulan Oktober - Januari. Apabila harga padi atau beras dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga padi atau beras akan turun pada musim panen raya, dan sebaliknya akan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober - Januari). Artinya, ketidakstabilan harga tersebut dapat memukul produsen pada musim panen dan memberatkan konsumen pada musim paceklik, disamping akan berakibat luas pada ekonomi makro tidak terkecuali inflasi.


(39)

Kebijakan harga merupakan instrumen pokok dalam pengadaan bahan pangan. Sasarannya pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi pada musim panen. Kedua, melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim paceklik. Ketiga, mengendalikan inflasi melalui stabilisasi harga. Kebijakan harga dasar pertama kali diterapkan pada Tahun 1970. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan harga dasar pada waktu itu adalah dengan menggunakan Rumus Tani, namun cara penetapan harga dasar terus berkembang, setelah Rumus Tani kemudian diganti dengan pendekatan B/C ratio.

Penetapan harga dasar dievaluasi setiap tahun. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap pendapatan petani, produksi padi, inflasi dan harga penjualan beras (Bulog) serta besarnya beban yang harus dipikul oleh pemerintah. Penetapan harga batas tertinggi selalu mempertimbangkan bagaimana laju inflasi dan pengaruhnya terhadap perdagangan antar tempat dan antar waktu. Harga batas tertinggi ditetapkan berdasarkan harga dasar ditambah dengan biaya-biaya pemasaran seperti biaya pengolahan, penyimpanan, bunga bank dan angkutan serta ditambah dengan keuntungan yang wajar bagi pedagang sesuai dengan jasa yang diberikannya (Amang dan Sawit, 1999).

Penetapan harga dasar diberlakukan sama untuk semua daerah. Sedangkan harga batas tertinggi ditetapkan berbeda antar daerah surplus, daerah swasembada dan daerah defisit. Perbedaan ini dimaksudkan untuk merangsang aktivitas perdagangan beras antar daerah oleh swasta. Disamping itu, untuk kondisi dan daerah tertentu dapat diterapkan kebijakan harga khusus guna mengatasi kemungkinan timbulnya kerawanan pangan penduduk, misalnya karena


(40)

adanya bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor dan ancaman gunung meletus.

Guna meningkatkan produktivitas dan insentif berproduksi bagi petani, pemerintah era reformasi menetapkan Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) sebagai pengganti Harga Dasar Gabah (HDG) yang tertuang dalam Inpres Nomor: 9 Tahun 2002. Kebijakan ini, pemerintah melakukan pembelian (khususnya panen raya) dengan jumlah yang telah ditentukan (sebesar kebutuhan untuk program jaring pengaman sosial) pada tingkat harga pasar.

Suryana dan Mardianto (2001) menyatakan bahwa kebijakan ini dinilai tidak distortif karena sifatnya hanya menambah permintaan. Dari sisi kebutuhan dana, kebijakan HDPP ini juga lebih kecil jika dibandingkan dengan kebijakan HDG, karena volume pembelian sudah tertentu sesuai dengan outlet yang ada. Sementara itu, HDG akan membutuhkan dana yang lebih besar, khususnya jika harga pasar jatuh jauh dibawah harga dasar, harga beras dunia sangat murah dan nilai tukar rupiah menguat.

Argumentasi penghapusan HDG dikemukakan bahwa HDG merupakan instrumen kebijakan perberasan tertua di Indonesia yang kental dengan kandungan politik, sehingga upaya untuk menggantikannya akan menghadapi resistensi yang tinggi dari masyarakat. Tujuan utama kebijakan HDG ialah menjamin harga gabah minimum di tingkat petani, yang berarti menjamin pendapatan minimum, sehingga mencegah penurunan pendapatan petani. Penjaminan harga minimum berarti pula penurunan harga di bawah harga dasar dapat dicegah sehingga stabilitas harga meningkat. Kebijakan HDG memiliki dua fungsi (tujuan): (i)


(41)

meningkatkan harga gabah yang diterima petani (yang berarti meningkatkan pendapatan petani), dan (ii) meningkatkan stabilitas harga gabah di tingkat petani.

Sebagai perwujudan keberpihakan kepada petani, pemerintah mengganti Inpres Nomor: 9 Tahun 2002 dengan Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 yang mengubah konsep Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 ini menyertakan persyaratan kualitas beras dalam pembelian pemerintah. Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 sekarang sudah diganti dengan Inpres Nomor: 3 Tahun 2007 dengan menambahkan tujuan untuk mendorong peningkatan kualitas gabah petani, khususnya yang terkait dengan Kadar Air (KA) dan Kadar Hampa (KH) atau kotoran yang diberikan insentif harga seperti berikut:

a. Gabah petani dengan KA antara 19 - 25 persen dan KH antara 3 - 10 persen harga GKP adalah Rp 2.035 per kilogram.

b. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 4 - 6 persen harga GKP adalah Rp 2.350 per kilogram.

c. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 7 - 10 persen harga GKP adalah Rp 2.310 per kilogram.

HDG dan HPP mempunyai perbedaan dalam jumlah yang dibeli, harga, implementasi, orientasi pasar, kebutuhan dana, serta reaksi positif. Kebijakan HPP diantaranya mempunyai keunggulan dalam reaksi positif yaitu pro-produsen dan konsumen. Maksud pernyataan pro-produsen karena HPP ditetapkan sebagai harga dasar dalam pembelian hasil panen yang berupa gabah, dinyatakan pro-konsumen karena dalam kebijakan HPP pemerintah menjaga kenaikan harga yang


(42)

melebihi batas daya beli konsumen khususnya pada musim paceklik. Perbedaan antara HPP dan HDG tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbedaan Antara HPP dan HDG

No Aspek Kebijakan HPP Kebijakan HDG

1 Jumlah yang dibeli Tertentu, sebesar outlet Tak terbatas, tergantung kepada perbedaan harga pasar dengan HDG

2 Harga Harga pasar Harga Dasar saat ini

3 Implementasi Relatif mudah, volume pengadaan sudah pasti

Relatif sulit, volume pengadaan variabel, sesuai dinamika pasar 4 Orientasi pasar Market Friendly Distortif

5 Kebutuhan Dana Tergantung pada volume yang akan dibeli oleh outlet yang ada

• Harga pasar jauh dibawah harga dasar

• Harga beras dunia murah

• Nilai tukar rupiah menguat

6 Reaksi positif Kelompok pro-konsumen dan produsen

Kelompok pro-produsen Sumber: Suryana A dan Mardianto S, 2001

Selain pertimbangan moral hazard dan keramahan pasar (market friendly), keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah membuat kebijakan HDG sulit diamankan. Memaksakan kebijakan HDG hanya akan menurunkan kredibilitas pemerintah, karena perubahan secara drastis akan membuat gejolak maka diperlukan kebijakan transisi dalam bentuk kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan HPP dilaksanakan dengan memanfaatkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Melalui kebijakan tersebut pemerintah melakukan pembelian (sebaiknya dilakukan pada saat panen raya) dengan jumlah yang telah ditentukan (sebesar kebutuhan JPS) pada tingkat harga pasar (Suryana dan Mardianto, 2001).


(43)

Lipsey et. al (1995), mengemukakan bahwa harga dasar ditetapkan memiliki tujuan bila harga dasar lebih tinggi daripada harga ekuilibrium, maka jumlah yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta. Titik ekuilibrium dalam pasar bebas terletak pada E, dengan harga p2 dan kuantitas qo. Jika pemerintah menetapkan harga dasar yang efektif sampai sebesar p1, jumlah yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta sebanyak q1q2.

Kelebihan penawaran akan berada pada pihak swasta jika pemerintah tidak melakukan apa-apa, mungkin terbuang percuma atau sekedar menggunung digudang-gudang. Jika pemerintah membeli kelebihan penawaran tersebut maka q2 akan terjual, dengan kata lain q1 akan dibeli oleh pembeli biasa dan sejumlah q1q2 akan dibeli oleh pemerintah untuk disimpan atau dibuang maupun untuk keperluan lain Penjelasan ini tersaji pada Gambar 1.

Price Penawaran S

p1 berlebih Harga dasar p2 E

D

q1 qo q2 Quantity

Gambar 1 Penjelasan Konsep Harga Dasar Sumber: Lipsey et. al, 1995


(44)

Price

So

S1 Po

HPP P1

D1 D2

Qo Q1 Q3 Quantity

Gambar 2 Penjelasan Konsep Harga Pembelian Pemerintah

Konsep HPP berdasarkan Gambar 2, sebelum panen raya tiba Supply (So) berada pada keadaan harga Po dan kuantitas Qo. Pada saat panen raya tiba keseimbangan berubah, kuantitas menjadi Q1 dan harga turun menjadi P1, Supply berubah menjadi (S1) bahkan berada dibawah HPP. Pemerintah dalam kebijakan HPP ini tidak mempunyai kewajiban untuk membeli gabah petani jika terjadi

excess supply, sehingga gabah dibeli oleh banyak pihak bukan oleh pemerintah. Kekhawatiran dari konsumen timbul karena takut tidak memperoleh gabah, sehingga permintaan terhadap gabah akan tinggi lagi dan Demand bergeser menjadi D2 sampai ke HPP dan harga dapat tinggi kembali jika permintaan berubah menjadi D2.

2.4 Kebijakan Harga Sarana Produksi

Kebijakan harga sarana produksi bertujuan untuk merangsang peningkatan produksi padi, melalui subsidi harga sehingga harga sarana produksi antar waktu


(45)

dan antar daerah tidak jauh berbeda. Harga sarana produksi yang mendapat subsidi antara lain benih, pupuk, dan pestisida. Namun subsidi harga pestisida dihentikan sejak Tahun 1986, sejalan dengan diterapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam sistem produksi tanaman pangan.

Salah satu subsidi harga sarana produksi yang terpenting adalah subsidi harga pupuk. Pola perhitungan subsidi harga pupuk selalu dikaitkan dengan harga dasar gabah. Perkembangannya, pemerintah menggunakan indikator B/C ratio sebesar 2,0. Penetapan angka ini didasarkan atas pemikiran bahwa petani akan bersedia melakukan intensifikasi apabila pertambahan hasil yang diperoleh meningkat dua kali lipat dibanding dengan pertambahan biaya yang harus dikeluarkan.

Selama kurun waktu 20 tahun, yaitu periode 1969 sampai 1989, harga pupuk telah delapan kali dinaikkan, dengan perincian empat kali pada Pelita I hingga Pelita III, tiga kali pada Pelita IV dan satu kali pada Pelita V. Kenaikan-kenaikan tersebut tetap dapat diusahakan agar rasio harga dasar gabah terhadap urea cukup besar sehingga mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi. Sampai akhir Pelita II, rasio kedua harga tersebut tidak lebih besar dari 1,14, namun setelah itu, Pelita III dan IV serta pada awal Pelita V rasio harga dasar gabah terhadap harga pupuk diatas 1,50 kecuali untuk Tahun 1979 hanya sebesar 1,93. Rasio harga yang tertinggi yang pernah dicapai adalah sebesar 1,93 pada Tahun 1982 dan 1,83 yang terjadi pada Tahun 1984 (Amang dan Sawit, 1999).

Upaya mempertahankan rasio harga dasar gabah terhadap urea yang cukup besar tidak terlepas dari peran subsidi pupuk. Meski demikian, subsidi pupuk mengalami hambatan berupa besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah.


(46)

Amang dan Sawit (1999) menyatakan bahwa subsidi harga pupuk telah mendorong peningkatan penggunaan pupuk dan berpengaruh terhadap peningkatan produksi beras, sukses ini juga membawa konsekuensi membengkaknya dana subsidi. Berdasarkan hal tersebut, pada Tahun 1999 subsidi harga pupuk sempat dihapuskan. Meski demikian, sejak Tahun 2002 pemerintah kembali memberi subsidi harga pupuk terutama pupuk N, P, K. Subsidi ini diharapkan dapat meringankan beban biaya produksi usahatani padi yang terus meningkat.

2.5 Pengertian DMP LUEP

Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) Merupakan kegiatan yang dilakukan Departemen Pertanian (Deptan) dalam rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat panen raya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan kepada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah atau beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada HPP.

Dana talangan ini merupakan pinjaman tanpa bunga (bukan sistim kredit) sehingga harus dimanfaatkan sesuai dengan pedoman umum yang telah ditentukan, yaitu untuk pembelian gabah langsung dari petani dengan harga yang mengacu pada HPP. Kegiatan DPM LUEP ini diharapkan dapat membantu dan menolong petani dari himpitan rendahnya harga yang diperoleh oleh petani selama ini.

Stabilisasi harga gabah hasil panen petani pada saat panen raya merupakan aspek yang sangat penting dan menentukan pendapatan dan ketahanan pangan petani padi. Peningkatan harga pembelian gabah yang dilakukan LUEP di


(47)

wilayah tertentu, maka dapat menggerakkan agribisnis perberasan secara keseluruhan. Kepala Badan, Dinas, Instansi yang menangani ketahanan pangan, berdasarkan hasil verifikasi tim teknis Propinsi menetapkan LUEP sebagai pelaksana kegiatan, dan menetapkan jumlah dana penguatan modal bagi LUEP untuk pembelian gabah atau beras. Manfaat dari diterimanya DPM LUEP tidak boleh berhenti sampai pada penguatan modal, tetapi harus diteruskan kepada petani berupa pembelian gabah pada waktu yang tepat dan harga yang lebih baik.

LUEP yang memperoleh DPM, dapat berbentuk koperasi, Koperasi Tani (Koptan), Koperasi Unit Desa (KUD), lumbung pangan, dan pengusaha penggilingan padi yang bergerak dalam pengolahan, penyimpanan, maupun pemasaran gabah. Sebagai penerima DPM LUEP mempunyai kewajiban dalam kaitannya dengan DPM yang telah diterima, yaitu:

1) Membeli gabah petani sesuai dengan harga yang telah disepakati dalam kontrak.

2) Membuat pembukuan tersendiri terhadap transaksi yang telah dilakukan dengan baik dan benar.

3) Melaporkan hasil transaksi yang telah dilakukan secara periodik kepada Kabupaten atau Kota, Propinsi, dan pusat yang telah disepakati sebelumnya.

4) Mengembalikan dana talangan tepat pada waktunya yaitu tanggal 15 Desember.

Kegiatan pelaksanaan DPM LUEP ini bertujuan:

a. Mengupayakan stabilisasi harga gabah di tingkat petani.


(48)

c. Menumbuhkembangkan kelembagaan usaha ekonomi di pedesaan yang dapat mendorong pertumbuhan dan menggerakkan perekonomian di pedesaan.

d. Memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah yang berakumulasi pada ketahanan pangan nasional.5

2.6 Tataniaga

Kohls dan Uhls dalam Sakinah (2006), menyatakan bahwa tataniaga merupakan suatu peragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa mulai dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Terdapat dua kelompok yang berbeda kepentingan dalam mememandang tataniaga, konsumen yang ingin mendapatkan harga yang rendah dan produsen yang ingin memperoleh penerimaan besar atas penjualan produk.

Limbong dan Sitorus (1987), menyebutkan bahwa tataniaga adalah serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen. Proses distribusi dapat terjadi kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari produk untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk mempermudah penyalurannya, meningkatkan nilai dan meningkatkan kepuasan konsumen.

5

Departemen Pertanian. 2007. DPM LUEP http://www.deptan.go.id/HomePageBBKP/ pdp/luep/ profil LUEP. 29 Agustus.


(49)

2.7 Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian mengenai Efektivitas Penetapan HPP Gabah Terhadap Pendapatan Petani belum pernah dilakukan. Beberapa hasil penelitian mengenai padi atau gabah dikemukakan berikut ini. Penelitian yang dilakukan Lubis (2005) dengan judul Efektivitas Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan dan Analisa Pendapatan Petani Pengguna Kredit (Studi Kasus: Petani Tebu Anggota Koperasi Madusari, Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar, Solo). Penelitian dilakukan dengan penggalian data dan informasi secara insentif diwilayah kerja Bank yang bersangkutan dengan pabrik gula sebagai fasilitator serta anggota KUD tersebut sebagai nasabah. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode analisis efektivitas yang meliputi analisis secara kualitatif yang diuraikan secara deskriptif dan analisis yang menentukan skor menggunakan skala likert.

Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil analisa efektivitas dari sisi bank memperlihatkan hasil yang efektif, terlihat dari hasil wawancara dan data-data sekunder yang telah diperoleh. Hasil yang cukup efektif ini disebabkan beberapa hal. Salah satunya adalah masalah pelayanan dan pembinaan petugas bank dimana jarak merupakan salah satu penyebabnya sehingga banyak petani yang tidak mengenal bank yang bersangkutan. Uji korelasi yang dilakukan pada variabel efektivitas dengan tingkat pendidikan, luas lahan dan tingkat pendapatan menunjukan bahwa tidak ada korelasi yang kuat antar variabel kredit ketahanan pangan yang diperoleh petani.

Penelitian yang berkaitan dengan dampak kebijakan harga gabah terhadap produksi padi di Pulau Jawa dilakukan oleh Femina (2006), digunakan model persamaan simultan untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi produksi


(50)

padi di Pulau Jawa. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa harga dasar gabah, harga pupuk urea dan luas areal panen padi sebelumnya berpengaruh nyata terhadap luas areal panen padi. Respon luas areal panen padi di Pulau Jawa dalam jangka pendek inelastis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan dalam jangka panjang, luas areal panen padi terhadap perubahan harga dasar gabah, harga pupuk urea dan luas areal panen padi tahun sebelumnya.

Beberapa rumusan alternatif kebijakan harga gabah guna peningkatan produksi padi di Pulau Jawa, antara lain: (1) mengingat harga dasar gabah berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi di Pulau Jawa yang dicerminkan oleh pengaruh nyata harga gabah terhadap luas areal panen dan produktivitas padi, maka sebaiknya kebijakan harga dasar gabah tetap dipertahankan. (2) Guna mengefektifkan harga dasar gabah untuk menjamin harga gabah ditingkat petani dan meningkatkan produksi padi, maka penetapan harga dasar gabah sebaiknya diperhatikan tingkat perkembangan harga pupuk urea dan harga beras impor. (3) Keefektifan kebijakan harga dan perdagangan (impor) tidak terlepas dari keefektifan peran dan fungsi lembaga pemerintah yang berwenang, yaitu Bulog berdasarkan pendugaan parameter dummy kebijakan monopoli impor beras, ternyata dapat meningkatkan harga gabah ditingkat petani.

Hutauruk (1996) melakukan studi mengenai dampak kebijakan harga dasar padi dan subsidi pupuk terhadap permintaan dan penawaran beras di Indonesia. Dalam menganalisis data, dilakukan disegrasi wilayah Indonesia menjadi dua bagian yaitu Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Masing-masing komponen


(51)

dianalisis dengan pendekatan ekonometrika dalam suatu model persamaan simultan dan diduga dengan metode 3 SLS.

Berdasarkan hasil analisis, luas areal panen di Jawa tidak responsif terhadap perubahan harga padi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Selain itu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, produktivitas padi di Jawa dan luar Jawa tidak responsif terhadap perubahan harga gabah, trend teknologi, jumlah pemakaian pupuk, curah hujan, luas areal sawah irigasi dan kredit usahatani. Berdasarkan hasil simulasi, peningkatan harga dasar gabah, baik secara individu maupun serentak dengan harga pupuk akan berdampak pada peningkatan produksi beras total, penurunan permintaan beras domestik, penurunan impor, dan peningkatan stok yang dilepas. Sedangkan kebijakan peningkatan harga pupuk akan mengurangi produksi tanpa mempengaruhi permintaan beras domestik

Riyanto (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pendapatan Cabang Usahatani dan Pemasaran Padi (Kasus: Tujuh Desa, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah). Berdasarkan hasil dan pembahasan bahwa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani di Tujuh Desa, pada Kecamatan Salem memberikan keuntungan karena nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih besar dari satu.

Terdapat dua pola saluran pemasaran untuk padi di Kecamatan Salem, tetapi dari kedua saluran pemasaran tersebut yang paling banyak dipakai oleh petani adalah pola pemasaran II, yaitu sebesar 63,33 persen dari total petani. Apabila dilihat dari marjin dan efisiensi pemasarannya pola pemasaran I memiliki


(52)

nilai yang lebih besar dari pola pemasaran II. Hal ini berarti bahwa pola pemasaran I paling efisien bila dibandingkan dengan pola pemasaran II.

Penelitian mengenai padi dilaksanakan di Kabupaten Subang salah satunya dilaksanakan oleh Disti (2006), dengan judul Analisa Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif dan analisa kuantitatif berdasarkan evaluasi program PTT, teknologi yang masih digunakan oleh petani adalah penggunaan organik padat dan efisiensi penggunaan Urea, SP36 dan Phonska berdasarkan pupuk berimbang. Berdasarkan perbandingan tingkat pendapatan terlihat bahwa penggunaan faktor produksi usahatani masih bisa ditingkatkan, hal ini ditunjukan dengan R/C rasio pada biaya tunai lebih besar dibandingkan dengan biaya aktual. Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah untuk meninjau kembali teknologi-teknologi dari program PTT. Hal ini disebabkan oleh perbedaan R/C rasio atas biaya tunai antar daerah PTT yang masih aktif dengan daerah PTT yang kurang aktif dalam menjalankan program, pemberian penyuluhan dari Detasier ataupun PPL dilakukan secara kontinu tidak hanya pada awal program saja.

Penelitian berjudul Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani dengan penelitian terdahulu memiliki persamaan dan perbedaan. Hal tersebut tersaji pada Tabel 5.


(53)

Tabel 5 Persamaan dan Perbedaan Penelitian Ini dengan Penelitian Terdahulu

No Peneliti Persamaan Perbedaan

1 Lubis (2005) Melihat keefektifan suatu program

Program yang di teliti berbeda

2 Femina (2006) Melakukan studi terhadap Harga Dasar Gabah di pulau Jawa

Melakukan Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah di Kabupaten Subang

3 Hutauruk (1996) Melakukan studi terhadap Harga Dasar Gabah

Melakukan Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah 4 Riyanto (2005) Menganalisis

pendapatan usahatani dan pemasaran padi kasus tujuh Desa di Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah

Menganalisis pendapatan usahatani dan tataniaga padi kasus dua Kecamatan di Kabupaten Subang, Jawa Barat

5 Disti (2006) Melakukan penelitian di Kabupaten Subang


(54)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Usahatani

Soekartawi (1986), menyatakan bahwa usahatani adalah organisasi yang pelaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial baik yang terikat biologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Soeharjo dan Patong (1973), mengemukakan bahwa usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan ataupun sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping motif mencari keuntungan.

Usahatani kecil dibedakan dari usahatani komersil oleh eratnya dan pentingnya kaitan usahatani dan rumah tangga. Petani kecil lebih mengutamakan hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, sedangkan petani komersil menggambarkan bahwa usahataninya seperti perusahaan dan mengukur penampilannya seperti patokan atau norma perusahaan. Petani komersil lebih mudah dalam mengadopsi inovasi, mobilitas pencarian informasi yang cepat, berani menanggung resiko dalam berusaha, dan memiliki sumberdaya yang cukup (Soekartawi, 1986). Terdapat empat unsur pokok yang selalu ada dalam usahatani. Keempat unsur tersebut menurut Hernanto (1991), yaitu:


(55)

3.1.1.1 Lahan

Lahan usahatani dapat berupa sawah ataupun lahan pekarangan. Lahan bisa diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Lahan mewakili unsur alam dan merupakan modal yang sangat penting dalam melakukan usahatani.

3.1.1.2 Tenaga Kerja

Tenaga kerja usahatani merupakan faktor yang penting selain tanah, modal dan pengelolaannya. Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang dikenal dalam usahatani yaitu manusia, ternak dan mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja ternak digunakan untuk mengolah tanah dan pengangkutan. Tenaga kerja mekanik bersifat subtitusi pengganti tenaga ternak. Kekurangan tenaga kerja dapat diantisipasi oleh petani dengan mempekerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa berupa upah.

Tenaga kerja yang digunakan untuk mengelola usahatani perlu diukur efisiennya dalam satuan kerja, yaitu jumlah pekerjaan produktif yang berhasil diselesaikan oleh seorang pekerja, efisiensi itu sendiri adalah suatu upaya untuk mencapai tujuan dengan menggunakan sumberdaya serendah mungkin.

3.1.1.3 Modal

Modal adalah barang atau uang yang digunakan bersama faktor produksi yang lainnya untuk menghasilkan barang-barang baru yaitu produk pertanian. Diantara keempat faktor produksi yang terdapat dalam usahatani, modal mempunyai pengaruh yang besar terhadap usahatani, terutama modal operasional.


(56)

Modal operasional terkait langsung dengan pelaksanaan kegiatan usahatani dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi, tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan.

Menurut sifatnya modal dibedakan menjadi dua:

1. Modal tetap meliputi: tanah, dan bangunan, modal tetap dicirikan dengan modal tidak habis pada satu kali produksi.

2. Modal bergerak meliputi: alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman, dan ternak.

3.1.1.4 Pengelolaan

Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor produksi sebaik mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan. Ukuran keberhasilan pengelolaan adalah peningkatan produktivitas setiap faktor maupun dari setiap usahanya. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah dikendalikan oleh petani, meliputi petani pengelola, tenaga usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga dan jumlah keluarga. Faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar usahatani yang berpengaruh terhadap keberhasilan usahatani, meliputi: sarana transportasi dan komunikasi, pemasaran dan fasilitas kredit.

3.1.2 Analisa Pendapatan Usahatani

Analisa pendapatan usahatani mempunyai tujuan untuk menggambarkan keadaan yang akan datang dari suatu perencaanaan dan tindakan. Analisa pendapatan usahatani juga dapat digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan


(57)

usahatani terhadap pendapatan total rumah tangga. Bagi petani, analisa pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur tingkat keberhasilan usahataninya (Soeharjo dan Patong, 1973).

Pendapatan usahatani dapat digambarkan sebagai balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan atau manajemen. Besarnya pendapatan usahatani tergantung pada besarnya penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Penerimaan usahatani adalah perkalian dari jumlah total produksi dan harga satuan. Sedangkan pengeluaran atau biaya usahatani adalah nilai penggunaan sarana produksi, upah tenaga kerja, dan biaya lain yang dikeluarkan dalam proses produksi dalam jangka waktu tertentu.

Hernanto (1991), membedakan biaya produksi dalam usahatani berdasarkan:

A. Jumlah output yang dihasilkan terdiri dari:

1. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada jumlah produksi, misalnya: pajak tanah, sewa lahan, penyusutan peralatan, dan bunga pinjaman.

2. Biaya variabel adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalnya: pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan, dan upah tenaga kerja.

B. Langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri dari:

1. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap misalnya: pajak tanah dan bunga pinjaman. Biaya variabel misalnya: pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan, dan upah tenaga


(58)

kerja luar keluarga. Biaya tunai ini untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani.

2. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat, sewa lahan milik sendiri, bunga pinjaman (biaya tetap), dan tenaga kerja dalam keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini untuk melihat bagaimana manajemen suatu usahatani.

Pelaksanaan kegiatan usahatani padi, seringkali petani menderita kerugian yang tidak sedikit jumlahnya akibat harga jual gabah yang kadangkala atau setiap kali selalu lebih rendah daripada biaya produksi yang dikeluarkan petani. Biaya produksi petani yang dikeluarkan dalam usahataninya terkadang terus meningkat seiring dengan peningkatan harga-harga sarana produksi seperti pupuk, benih, obat-obatan, dan upah tenaga kerja. Hal ini tidak diimbangi dengan harga jual yang sesuai, walaupun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan harga dasar yang secara teoritis baik namun tidak pernah berjalan pada prakteknya.

3.1.3 Ukuran Pendapatan Usahatani

Hernanto (1991), mengemukakan bahwa bentuk penerimaan tunai dapat menggambarkan tingkat kemajuan ekonomi usahatani dalam spesialisasi dan pembagian kerja. Banyaknya pendapatan tunai atau proporsi penerimaan tunai dari total penerimaan yang masuk, dapat digunakan untuk perbandingan keberhasilan petani satu dengan petani yang lainnya. Pernyataan tersebut pada umumnya benar jika membandingkan perbedaan antar masyarakat ekonomi. Namun tidak demikian apabila mencoba menerapkan perbandingan tersebut pada masyarakat yang tradisional. Pernyataan tersebut menjadi invalid dan tidak sepenuhnya benar, pada masyarakat yang tradisional atau petani subsistem


(59)

penerimaan tunai hanya merupakan sebagian kecil, yang terbesar berupa penerimaan dalam bentuk natura yang dikonsumsi oleh keluarga.

Analisis pendapatan petani memerlukan empat unsur yaitu: rata-rata inventaris, penerimaan usahatani, pengeluaran usahatani, dan penerimaan dari berbagai sumber. Keadaan rata-rata inventaris adalah jumlah nilai inventaris awal ditambah nilai inventaris akhir dibagi dua. Menilai aset benda pada usahatani dapat dilaksanakan dengan melihat harga pembelian, nilai penjualan pada saat pencataan atau perhitungan dan harga pembelian dikurangi dengan dengan penyusutan.

Penerimaan usahatani, yaitu penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi: jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai penggunaan rumah serta barang yang dikonsumsi. Pengeluaran usahatani adalah semua biaya operasi tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelolaan usahatani. Pengeluaran ini meliputi: pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris, dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar.

Banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani. Soekartawi (1986), mencoba untuk menguraikan istilah-istilah yang biasanya digunakan dalam usahatani, diantaranya:

1) Pendapatan kotor usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Istilah lain untuk pendapatan kotor usahatani adalah nilai produksi atau penerimaan kotor usahatani. Nisbah seperti pendapatan kotor per hektar atau per unit kerja dapat dihitung untuk menunjukan intensitas operasi usahatani.


(1)

Lampiran 1 Petani Responden dan Tingkat Pendidikan No

Responden Nama

Tingkat

Pendidikan Umur (Tahun)

1 Harto Nuroso SLTA 50

2 Ade Jaka Suteja PT (Sarjana) 34 3 Maman Abdurohman Tidak Sekolah 52

4 Soleh SD 65

5 Daspi SLTP 62

6 Dani SLTP 40

7 Sanusi SD 45

8 Carli SD 52

9 Abdurohim SD 44

10 Dirya Tidak Sekolah 50 11 Wastim Tidak Sekolah 40

12 Gadzali SLTP 55

13 Kusid Tidak Sekolah 55

14 Agus SLTP 31

15 Ana Suana SD 55

16 Cita SD 47

17 Camad SD 60

18 Bajuri SLTA 72

19 Ali Basah SLTA 37 20 Taram Tidak Sekolah 47

21 Ade Ismail SLTP 30

22 Sobirin SLTP 41

23 Didi Suhendi SLTA 45

24 Jayadi SD 40

25 Ratiman Tidak Sekolah 50

26 Atong SD 60

27 Tardi SLTP 39

28 Karpan SD 50

29 Roni Sahroni SD 41

30 Darba Tidak Sekolah 70

31 Sutisna SD 60

32 Jamali SLTA 42

33 Mumun Carimun SLTA 43 34 Kasnila Tidak Sekolah 50

35 Yusuf Sudini SLTA 56

36 Tontoni SLTA 56

37 Tafsir SD 50

38 Mulyono SLTA 38

39 Kasmin SD 61


(2)

106

Lampiran 2 Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Binong Tahun 2007 No

Responden Hasil Panen 1

Harga

(Rupiah) Jumlah Hasil panen 2

Harga

(Rupiah) Jumlah

Total Penerimaan

1 5.500 2.700 14.850.000 6.100 2.800 17.080.000 31.930.000 2 5.000 2.900 14.500.000 4.900 2.700 13.230.000 27.730.000 3 5.000 2.600 13.000.000 4.300 2.600 11.180.000 24.180.000 4 5.600 2.200 12.320.000 3.500 2.350 8.225.000 20.545.000 5 4.500 2.150 9.675.000 6.500 2.500 16.250.000 25.925.000 6 6.500 2.700 17.550.000 3.500 2.400 8.400.000 25.950.000 7 4.200 2.400 10.080.000 4.900 2.250 11.025.000 21.105.000 8 4.900 2.250 11.025.000 4.620 2.570 11.873.400 22.898.400 9 5.000 2.600 13.000.000 5.200 2.600 13.520.000 26.520.000 10 5.600 2.000 11.200.000 4.200 2.200 9.240.000 20.440.000 11 4.200 2.900 12.180.000 4.000 2.700 10.800.000 22.980.000 12 4.900 2.100 10.290.000 4.200 2.400 10.080.000 20.370.000 13 4.000 2.300 9.200.000 4.200 2.450 10.290.000 19.490.000 14 5.200 2.500 13.000.000 4.900 2.300 11.270.000 24.270.000 15 6.000 2.300 13.800.000 5.000 2.300 11.500.000 25.300.000 16 7.000 2.600 18.200.000 8.500 2.600 22.100.000 40.300.000 17 3.500 2.200 7.700.000 6.300 2.450 15.435.000 23.135.000 18 5.600 2.800 15.680.000 3.500 3.000 10.500.000 26.180.000 19 4.900 2.000 9.800.000 3.500 2.550 8.925.000 18.725.000 20 5.600 2.400 13.440.000 5.040 2.600 13.104.000 26.544.000 Jumlah 102.700 48.600 250.490.000 96.860 50.320 244.027.400 494.517.400

Rata-rata 5.135 2.430 12.524.500 4.843 2.516 12.201.370 24.725.870


(3)

No

Responden Hasil Panen 1

Harga

(Rupiah) Jumlah Hasil panen 2

Harga

(Rupiah) Jumlah

Total Penerimaan

1 6.000 2.200 13.200.000 8.000 2.500 20.000.000 33.200.000 2 5.600 2.100 11.760.000 7.000 2.500 17.500.000 29.260.000 3 4.000 2.300 9.200.000 4.500 2.400 10.800.000 20.000.000 4 5.600 2.300 12.880.000 5.687 2.500 14.217.500 27.097.500 5 5.000 2.600 13.000.000 5.600 2.500 14.000.000 27.000.000 6 5.600 2.300 12.880.000 5.900 2.600 15.340.000 28.220.000

7 - - - 6.000 2.500 15.000.000 15.000.000

8 5.500 2.300 12.650.000 7.000 2.550 17.850.000 30.500.000 9 4.200 2.000 8.400.000 5.320 2.500 13.300.000 21.700.000 10 3.080 2.000 6.160.000 5.600 2.500 14.000.000 20.160.000 11 5.600 2.500 14.000.000 5.800 2.400 13.920.000 27.920.000 12 5.000 2.600 13.000.000 6.000 2.700 16.200.000 29.200.000 13 4.200 3.000 12.600.000 4.900 2.500 12.250.000 24.850.000 14 5.600 2.200 12.320.000 5.000 2.300 11.500.000 23.820.000 15 6.000 2.200 13.200.000 5.600 2.500 14.000.000 27.200.000 16 4.200 2.300 9.660.000 5.600 2.400 13.440.000 23.100.000 17 5.600 2.400 13.440.000 5.600 2.300 12.880.000 26.320.000 18 4.200 3.000 12.600.000 4.500 2.300 10.350.000 22.950.000

19 5.600 2.500 14.000.000 - - - 14.000.000

20 5.600 2.400 13.440.000 4.900 2.500 12.250.000 25.690.000 Jumlah 96.180 45.200 228.390.000 108.507 46.950 268.797.500 497.187.500 Rata-rata 5.062 2.379 12.020.526 5.711 2.471 14.147.237 24.859.375

91


(4)

108

Lampiran 4 Pendapatan Petani LUEP dan Bukan LUEP Tahun 2007 Pendapatan (Rupiah)

Responden

LUEP Bukan LUEP

1 19.143.000 14.424.167

2 12.573.083 10.337.714

3 20.468.143 15.237.400 4 14.371.286 14.696.400 5 8.061.000 11.230.000 6 - 11.949.200 7 - 10.738.600 8 - 8.532.333 9 - 11.768.143 10 - 9.135.000 11 - 8.351.714 12 - 10.889.750 13 - 12.354.714 14 - 21.617.333 15 - 10.898.100 16 - 14.562.000 17 - 9.624.000 18 - 15.434.000 19 - 17.862.000 20 - 9.659.000 21 - 15.594.750 22 - 12.870.000 23 - 15.037.571 24 - 5.680.143 25 - 17.024.000 26 - 13.211.000 27 - 7.676.000 28 - 14.630.429 29 - 16.309.905 30 - 8.967.000 31 - 9.476.500 32 - 12.658.667 33 - 10.592.672 34 - 7.244.000 35 - 13.992.000


(5)

(6)

110

Lampiran 6 Surat Perjanjian Jual Beli Gabah atau Beras antara LUEP dengan Kelompok Tani