Kebijakan Insentif Pertanian Kebijakan Harga Dasar Gabah

Pertumbuhan tanaman padi memerlukan unsur hara, air dan energi. Unsur hara merupakan unsur pelengkap dari komposisi asam nukleit, hormon dan enzim yang berfungsi sebagai katalis yang merombak fotosintat atau respirasi menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tanaman padi memperoleh air dari dalam tanah, sedangkan energi diperoleh padi dari hasil fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari Irianto et. al, 2004. Budaya konsumsi beras cukup sulit untuk dihilangkan dari masyarakat Indonesia. Alasan yang sangat mendasar adalah karena telah menjadi kebiasaan masyarakat. Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Partisipasi konsumsi beras mencapai sekitar 95 persen, artinya 95 persen rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi beras, angka partisipasi ini tentunya bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya Amang dan Sawit, 1999. Beras bukan hanya berfungsi sebagai komoditas pangan dan ekonomis, tetapi juga merupakan komoditas politik dan keamanan. Negara besar seperti Amerika Serikat, pangan termasuk beras didalamnya merangkap komoditas politik dan strategis yakni bila diperlukan, pangan dapat dipakai sebagai senjata ampuh untuk menekan suatu negara yang tidak sejalan dengan garis politiknya Amang dan Sawit, 1999.

2.2 Kebijakan Insentif Pertanian

Pada awal Orde Baru, pemerintah berupaya mendorong peningkatan produksi padi dengan memberikan berbagai insentif, diantaranya berupa dukungan dan jaminan harga jual produk dengan menetapkan harga dasar dan kebijakan harga sarana produksi. Pemberian insentif ini sebagai upaya mendorong petani untuk memacu produksi padi. Malian et. al 2003 menyatakan bahwa kebijakan subsidi input pertanian seperti benih, pupuk, dan bahan kimia pemberantas hama atau penyakit tanaman, ditetapkan pemerintah dengan harapan agar petani menerapkan teknologi sesuai dengan rekomendasi dalam kegiatan usahataninya. Penggunaan pupuk sesuai rekomendasi diharapkan akan meningkatkan produksi padi atau beras.

2.3 Kebijakan Harga Dasar Gabah

Pada era Orde Baru, stabilitas harga gabah atau beras merupakan faktor utama penjamin stabilitas ekonomi dan politik nasional. Amang dan Sawit 1999 menyatakan bahwa ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu i ketidakstabilan harga beras antar musim yaitu perbedaan harga antara musim panen dengan musim paceklik, ii ketidakstabilan antar tahun karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau banjir, fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya sulit diramalkan. Stabilitas harga melewati batas musim dan tahun, sehingga diperlukan kebijakan untuk menstabilkannya. Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan panen raya yang berlangsung pada Bulan Februari - Mei yang mencapai 60 - 65 persen dari total produksi nasional, dan produksi musim gadu pertama berlangsung antara Bulan Oktober - Januari. Apabila harga padi atau beras dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga padi atau beras akan turun pada musim panen raya, dan sebaliknya akan meningkat pesat pada musim paceklik Oktober - Januari. Artinya, ketidakstabilan harga tersebut dapat memukul produsen pada musim panen dan memberatkan konsumen pada musim paceklik, disamping akan berakibat luas pada ekonomi makro tidak terkecuali inflasi. Kebijakan harga merupakan instrumen pokok dalam pengadaan bahan pangan. Sasarannya pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi pada musim panen. Kedua, melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim paceklik. Ketiga, mengendalikan inflasi melalui stabilisasi harga. Kebijakan harga dasar pertama kali diterapkan pada Tahun 1970. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan harga dasar pada waktu itu adalah dengan menggunakan Rumus Tani, namun cara penetapan harga dasar terus berkembang, setelah Rumus Tani kemudian diganti dengan pendekatan BC ratio. Penetapan harga dasar dievaluasi setiap tahun. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap pendapatan petani, produksi padi, inflasi dan harga penjualan beras Bulog serta besarnya beban yang harus dipikul oleh pemerintah. Penetapan harga batas tertinggi selalu mempertimbangkan bagaimana laju inflasi dan pengaruhnya terhadap perdagangan antar tempat dan antar waktu. Harga batas tertinggi ditetapkan berdasarkan harga dasar ditambah dengan biaya-biaya pemasaran seperti biaya pengolahan, penyimpanan, bunga bank dan angkutan serta ditambah dengan keuntungan yang wajar bagi pedagang sesuai dengan jasa yang diberikannya Amang dan Sawit, 1999. Penetapan harga dasar diberlakukan sama untuk semua daerah. Sedangkan harga batas tertinggi ditetapkan berbeda antar daerah surplus, daerah swasembada dan daerah defisit. Perbedaan ini dimaksudkan untuk merangsang aktivitas perdagangan beras antar daerah oleh swasta. Disamping itu, untuk kondisi dan daerah tertentu dapat diterapkan kebijakan harga khusus guna mengatasi kemungkinan timbulnya kerawanan pangan penduduk, misalnya karena adanya bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor dan ancaman gunung meletus. Guna meningkatkan produktivitas dan insentif berproduksi bagi petani, pemerintah era reformasi menetapkan Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah HDPP sebagai pengganti Harga Dasar Gabah HDG yang tertuang dalam Inpres Nomor: 9 Tahun 2002. Kebijakan ini, pemerintah melakukan pembelian khususnya panen raya dengan jumlah yang telah ditentukan sebesar kebutuhan untuk program jaring pengaman sosial pada tingkat harga pasar. Suryana dan Mardianto 2001 menyatakan bahwa kebijakan ini dinilai tidak distortif karena sifatnya hanya menambah permintaan. Dari sisi kebutuhan dana, kebijakan HDPP ini juga lebih kecil jika dibandingkan dengan kebijakan HDG, karena volume pembelian sudah tertentu sesuai dengan outlet yang ada. Sementara itu, HDG akan membutuhkan dana yang lebih besar, khususnya jika harga pasar jatuh jauh dibawah harga dasar, harga beras dunia sangat murah dan nilai tukar rupiah menguat. Argumentasi penghapusan HDG dikemukakan bahwa HDG merupakan instrumen kebijakan perberasan tertua di Indonesia yang kental dengan kandungan politik, sehingga upaya untuk menggantikannya akan menghadapi resistensi yang tinggi dari masyarakat. Tujuan utama kebijakan HDG ialah menjamin harga gabah minimum di tingkat petani, yang berarti menjamin pendapatan minimum, sehingga mencegah penurunan pendapatan petani. Penjaminan harga minimum berarti pula penurunan harga di bawah harga dasar dapat dicegah sehingga stabilitas harga meningkat. Kebijakan HDG memiliki dua fungsi tujuan: i meningkatkan harga gabah yang diterima petani yang berarti meningkatkan pendapatan petani, dan ii meningkatkan stabilitas harga gabah di tingkat petani. Sebagai perwujudan keberpihakan kepada petani, pemerintah mengganti Inpres Nomor: 9 Tahun 2002 dengan Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 yang mengubah konsep Harga Dasar Pembelian Pemerintah HDPP dengan Harga Pembelian Pemerintah HPP. Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 ini menyertakan persyaratan kualitas beras dalam pembelian pemerintah. Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 sekarang sudah diganti dengan Inpres Nomor: 3 Tahun 2007 dengan menambahkan tujuan untuk mendorong peningkatan kualitas gabah petani, khususnya yang terkait dengan Kadar Air KA dan Kadar Hampa KH atau kotoran yang diberikan insentif harga seperti berikut: a. Gabah petani dengan KA antara 19 - 25 persen dan KH antara 3 - 10 persen harga GKP adalah Rp 2.035 per kilogram. b. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 4 - 6 persen harga GKP adalah Rp 2.350 per kilogram. c. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 7 - 10 persen harga GKP adalah Rp 2.310 per kilogram. HDG dan HPP mempunyai perbedaan dalam jumlah yang dibeli, harga, implementasi, orientasi pasar, kebutuhan dana, serta reaksi positif. Kebijakan HPP diantaranya mempunyai keunggulan dalam reaksi positif yaitu pro-produsen dan konsumen. Maksud pernyataan pro-produsen karena HPP ditetapkan sebagai harga dasar dalam pembelian hasil panen yang berupa gabah, dinyatakan pro- konsumen karena dalam kebijakan HPP pemerintah menjaga kenaikan harga yang melebihi batas daya beli konsumen khususnya pada musim paceklik. Perbedaan antara HPP dan HDG tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Perbedaan Antara HPP dan HDG No Aspek Kebijakan HPP Kebijakan HDG 1 Jumlah yang dibeli Tertentu, sebesar outlet Tak terbatas, tergantung kepada perbedaan harga pasar dengan HDG 2 Harga Harga pasar Harga Dasar saat ini 3 Implementasi Relatif mudah, volume pengadaan sudah pasti Relatif sulit, volume pengadaan variabel, sesuai dinamika pasar 4 Orientasi pasar Market Friendly Distortif 5 Kebutuhan Dana Tergantung pada volume yang akan dibeli oleh outlet yang ada • Harga pasar jauh dibawah harga dasar • Harga beras dunia murah • Nilai tukar rupiah menguat 6 Reaksi positif Kelompok pro-konsumen dan produsen Kelompok pro- produsen Sumber: Suryana A dan Mardianto S, 2001 Selain pertimbangan moral hazard dan keramahan pasar market friendly, keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah membuat kebijakan HDG sulit diamankan. Memaksakan kebijakan HDG hanya akan menurunkan kredibilitas pemerintah, karena perubahan secara drastis akan membuat gejolak maka diperlukan kebijakan transisi dalam bentuk kebijakan Harga Pembelian Pemerintah HPP. Kebijakan HPP dilaksanakan dengan memanfaatkan program Jaring Pengaman Sosial JPS. Melalui kebijakan tersebut pemerintah melakukan pembelian sebaiknya dilakukan pada saat panen raya dengan jumlah yang telah ditentukan sebesar kebutuhan JPS pada tingkat harga pasar Suryana dan Mardianto, 2001. Lipsey et. al 1995, mengemukakan bahwa harga dasar ditetapkan memiliki tujuan bila harga dasar lebih tinggi daripada harga ekuilibrium, maka jumlah yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta. Titik ekuilibrium dalam pasar bebas terletak pada E, dengan harga p 2 dan kuantitas q o . Jika pemerintah menetapkan harga dasar yang efektif sampai sebesar p 1 , jumlah yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta sebanyak q 1 q 2 . Kelebihan penawaran akan berada pada pihak swasta jika pemerintah tidak melakukan apa-apa, mungkin terbuang percuma atau sekedar menggunung digudang-gudang. Jika pemerintah membeli kelebihan penawaran tersebut maka q 2 akan terjual, dengan kata lain q 1 akan dibeli oleh pembeli biasa dan sejumlah q 1 q 2 akan dibeli oleh pemerintah untuk disimpan atau dibuang maupun untuk keperluan lain Penjelasan ini tersaji pada Gambar 1. Price Penawaran S p 1 berlebih Harga dasar p 2 E D q 1 q o q 2 Quantity Gambar 1 Penjelasan Konsep Harga Dasar Sumber: Lipsey et. al, 1995 Price So S 1 Po HPP P 1 D 1 D 2 Qo Q 1 Q 3 Quantity Gambar 2 Penjelasan Konsep Harga Pembelian Pemerintah Konsep HPP berdasarkan Gambar 2, sebelum panen raya tiba Supply So berada pada keadaan harga Po dan kuantitas Qo. Pada saat panen raya tiba keseimbangan berubah, kuantitas menjadi Q 1 dan harga turun menjadi P 1 , Supply berubah menjadi S 1 bahkan berada dibawah HPP. Pemerintah dalam kebijakan HPP ini tidak mempunyai kewajiban untuk membeli gabah petani jika terjadi excess supply, sehingga gabah dibeli oleh banyak pihak bukan oleh pemerintah. Kekhawatiran dari konsumen timbul karena takut tidak memperoleh gabah, sehingga permintaan terhadap gabah akan tinggi lagi dan Demand bergeser menjadi D 2 sampai ke HPP dan harga dapat tinggi kembali jika permintaan berubah menjadi D 2.

2.4 Kebijakan Harga Sarana Produksi