Kedudukan Mufti di Negari Johor : Kajian Atas Jabatan Mufti dalam Struktur Ketatanegaraan Negeri Johor

(1)

KEDUDUKAN MUFTI DI NEGERI JOHOR

(KAJIAN ATAS JABATAN MUFTI DALAM STURUKTUR KETATANEGARAAN NEGERI JOHOR)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I.)

OLEH:

SITI HAJAR BINTI ZAINAL NIM: 107045203899

KONSENTRASI SIYASAH SYARI’YYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

!

! " #

$ % # %

% $ !$ %

$ $ $ &

' (

) $ ( * + , - &

+ . ) / "

% %

"

% . %

$ & % %

"

% 0

$ 1

2" - & + . ) / %

% "

3" + $ % 4


(3)

5" $." " $ ) $ -+ . ) / "

6" $." " )" ) " ' (

) "

7" # " / / ( "

8" " )" " . " ) " " $ % %

% "

9" $ ! $ ' ( ) "

:" ; % +% %

% % "

<" - % ) .. "

2=" > + % % $

) ) % $ - " $$ - $

-; % ) ? # % ' 4

- - 4 > +

% "

22" % $ $ $ &

! * ; @ 4 $

) # $ $ , * @ , $

A ! * A B B

C B B + A$ $ B A $

+ @ $ +4 ," "

23" - % @ - 4 ) % % # "

25" / % . /$ $ ? ' #

-% / -% . % % "


(4)

27" ! % ! # > +

# ! # + $ %

% %

% + $ % "

% $ % % %

% %

"

% % . % % 0

" $ %

% ! "

/ 1 2= 3==<


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI………ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Kerangka Teori dan Konseptual ... 10

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II KEDUDUKAN MUFTI DALAM KETATANEGARAAN ISLAM A. Kedudukan Mufti, Qadhi, dan Mujtahid ... 17

1. Mufti………. 17

2. Qadhi……….... 19

3. Mujtahid dan Ijtihad………. 22

B. Kedudukan Mufti Dalam Ketatanegaraan Islam………. 23

C. Syarat-syarat Keahlian Mufti Dalam Ketatanegaraan Islam…… 29

D. Pelaksanaan Fatwa Dalam Ketatanegaraan Islam……….... 32

BAB III KEDUDUKAN FATWA SEBAGAI SUMBER HUKUM


(6)

1. Fatwa yang diwartakan adalah mengikat……… 38

2. Pindaan (Pengubahan) atau Pembatalan Fatwa………. 43

3. Qaul Muktamad Harus Dipatuhi………. 44

B. Fatwa Sebagai Hukum yang Tidak Mengikat……….. 45

1. Keputusan Muzakarah yang tidak mengikat………... 47

2. Fatwa yang Tidak Mengikat Mahkamah………. 48

3. Fatwa Selain Daripada Mufti adalah Tidak Mengikat……… 50

4. Akibat Fatwa yang Dikeluarkan Oleh Orang Yang Tidak Berwenang………. 51

C. Proses Penerimaan Fatwa Sebagai Sumber Hukum Negara. 1. Pihak Yang Mengeluarkan Fatwa……… 52

2. Kaidah Pengeluaran Fatwa Di Malaysia………. 53

3. Proses Penyediaan Fatwa Yang Diwartakan……….... 54

4. Sumber Rujukan Bagi MengeLuarkan Fatwa………. 56

5. Kedudukan Fatwa Sebagai Otoritas Undang-Undang……….. 56

6. Analisis Permasalahan Dalam Fatwa………... 59

BAB IV POSISI MUFTI DI NEGERI JOHOR A. Pembentukan,fungsi dan wewenang Jabatan Mufti………. 63

1. Perlantikan Mufti dan Timbalan Mufti..………. 64

2. Fungsi Mufti……….... 65

3. Jawatankuasa Fatwa……… 66

4. Wewenang Jawatankuasa Mufti untuk Menyediakan fatwa... 67

5. Tatacara Pelayanan Kepada Rakyat ………... 67

6. Mufti-mufti Johor ……… 68


(7)

C. Hubungan Jabatan Mufti dengan Majelis Fatwa Kebangsaan … 70 D. Hubungan Jabatan Mufti dengan Mahkamah Syari’ah………… 78 E. Posisi Mufti dalam Struktur Ketatanegaraan Negeri Johor ……. 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….. 84

B. Saran………. 85


(8)

LAMPIRAN

1. Carta Organisasi Jabatan Mufti Johor dan Carta Organisasi Bahagian Fatwa 2004.

2. Surat pengesahan wawancara Penulis dengan Pegawai Ketua Bahagian Fatwa Negeri Johor, Ustaz Suhaimi Rebu.

3. Surat permohonan bahan rujukan untuk skripsi dengan Jabatan Mufti Negeri Terengganu. 4. Warta Kerajaan Negeri Johor 31 Januari 2008.

5. Hasil asli jadual imsak dan berbuka puasa bulan Ramadhan September 2008 oleh Jabatan Mufti Johor.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kaum muslimin, secara umum memang tidak pernah bisa lepas dari fatwa. Banyak di antara mereka yang selalu membutuhkan fatwa dalam menetapkan hukum suatu masalah tertentu, tata cara beribadat menurut syari’at dan berbagai persoalan dalam kesehariannya. Bahkan bagi sebagian kelompok masyarakat, tidak sedikit yang dalam beribadah atau pun cara hidupnya hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh ulama yang dipercaya. Lebih dari itu, seseorang yang telah mendengar suatu fatwa namun ia kurang yakin dengan kebenaran fatwa tersebut, dia bisa saja bertanya kepada ulama lain yang dianggap lebih mampu untuk menjawab dan memberikan fatwa yang lebih bijaksana dan menenangkan hati. Karena bagaimanapun juga, suatu kebenaran adalah apa yang membuat hati menjadi tenang. Rasulullah SAW bersabda:

!

"#

$$ %

&

'#

&

()*+

&

,

- (

) !.

/0

1+ﺏ

/ﺏ

) 3

4

1

Artinya: “Kebaikan (kebenaran) adalah apa yang membuat hatimu tenang dan menjadikan jiwamu damai. Sedangkan dosa adalah apa yang menyesakkan hati dan memunculkan keraguan di dada.” (HR. Ahmad)

Fatwa bukanlah sesuatu yang saklek, kaku dan statis. Ia dapat berubah sesuai perubahan zaman, tempat, kondisi dan tradisi. Seperti larangan Nabi kepada para sahabat agar jangan menulis hadits dari dirinya. Sebab beliau khawatir jika hadits tersebut bercampur dengan al-Qur’an. Namun manakala beliau merasa yakin bahwa para sahabat

1

Ahmad bin Hanbal Ab5 Abdullâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Muasasah Qurtubah, t.th), juz IV, h. 228, hadits nomor 1803


(10)

tidak akan mencampurkan al-Qur’an dengan apa yang beliau sabdakan, maka mereka pun diizinkan menulis hadits.2

Perbedaan pendapat yang terjadi antara Imam Abu Hanifah dengan kedua muridnya; Abu Yusuf dan Muhammad Hasan, juga merupakan perbedaan waktu dan zaman. Bukan perbedaan hujjah dan argumentasi. Sebab, jika Imam Abu Hanifah menyaksikan realita sebagaimana yang disaksikan kedua orang muridnya, niscaya beliau akan mengatakan apa yang dikatakan oleh mereka, meskipun rentang waktu mereka masih berdekatan.3

Demikian pula dengan Imam al-Syafi’i yang memiliki dua madzhab. Madzhab lama (qaul qadîm) dan madzhab baru (qaul jadîd). Qaul qadîm adalah pendapat-pendapat beliau sebelum ke Mesir dan qaul jadîd adalah pendapat-pendapat beliau setelah mukim di Mesir. Di Mesir, Imam Syafi’i menyaksikan dan mendengar hal-hal baru yang belum pernah beliau dapatkan sebelumnya. Dikarenakan usia, ilmu, dan pengalaman yang semakin matang, beliau pun mengubah ijtihadnya dalam banyak hal.4

Selain itu, fatwa juga bisa berubah dikarenakan karena objeknya. Misalnya, adalah izin yang diberikan Nabi kepada sebagian sahabat, tetapi tidak mengizinkannya kepada sebagian sahabat yang lain. Seperti kasus seorang Badui yang buang air kecil di masjid, di mana beliau mengizinkannya namun tidak mengizinkan bagi sahabatnya yang tinggal di Madinah.

Dari contoh dan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa pada dasarnya yang paling penting dari sebuah fatwa adalah memperhatikan esensi tujuan syariat. Dengan demikian,

2

Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu’ashirah, diterjemahkan oleh Samson Rahman dkk., Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), cet. I, h. vii

3 Ibid.

4 Ibid.


(11)

seorang mufti atau siapa pun yang dimintai fatwa, tidak terjebak pada tekstualitas nash semata, sehingga dia tidak akan mudah dalam mengharamkan atau menghalalkan.

Fatwa adalah hukum syara’ yang disampaikan oleh seorang mufti kepada mustafti yang diperoleh melalui ijtihad. Dalam sejarah perundang-undangan Islam, bahwa sang mufti (pemberi fatwa) pada dasarnya sama kedudukannya dengan seorang hakim (qadhi) yaitu menyampaikan hukum kepada umat. Perbedaannya adalah fatwa disampaikan mufti dengan ucapannya setelah menerima pertanyaan dari umat, sedangkan qadhi menyampaikan hukum melalui putusan hakim atau dalam proses persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh umat.5 Dengan demikian keduanya sama-sama hasil ijtihad dan dapat dikatakan bahwa fatwa yang disampaikan oleh seorang mufti adalah hasil ijtihadnya sendiri atau hasil ijtihad imam mujtahid yang diikutinya.

Dengan adanya perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan timbulnya persoalan baru yang mana persoalan-persoalan tersebut belum ada hukumnya. Oleh karena itu, hukum Islam yang bersifat

shâlihun likulli zamân wa makân harus mampu menjawab berbagai persoalan baru

tersebut. Berkaitan dengan hal ini, maka ijtihad perlu dilakukan untuk mencari atau menggali hukum dalam rangka memberikan solusi atas persoalan-persoalan baru tersebut. Salah satu cara dalam rangka memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut adalah dengan memberikan atau mengeluarkan fatwa.

Setelah runtuhnya kekhalifahan Islam dan masuknya penjajah dari Eropa yang menyebabkan umat Islam terpecah menjadi berbagai negara, hukum Eropa pun sedikit demi sedikit diterapkan oleh kolonial dan akhirnya hingga saat ini walaupun negara-negara muslim telah merdeka, akan tetapi masih banyak yang menggunakan hukum-hukum peninggalan penjajah tersebut. Namun pada perkembangan selanjutnya, umat

5


(12)

Islam di berbagai negara sadar bahwa hukum Islam merupakan hukum yang sesuai dan dapat menjawab berbagai persoalan. Ini menyebabkan banyak gerakan-gerakan yang menyeru dan mengupayakan adanya formalisasi hukum Islam.

Di samping itu, yang tidak kalah penting adalah bahwa di seluruh negara-negara muslim terdapat suatu lembaga keagamaan yang menjadi wadah tempat berkumpulnya para ulama dalam suatu negara dalam rangka memberikan jawaban atau solusi atas permasalahan yang ada yang berkenaan dengan umat Islam. Lembaga ini biasanya dikenal dengan Majelis Ulama yang memberikan fatwa-fatwa berkenaan dengan persoalan umat Islam. Di Indonesia misalnya ada Majelis Ulama Indonesia dan di Malaysia Jabatan Mufti. Jabatan Mufti berkedudukan di setiap negara bagian yang kemudian membentuk menjadi Majelis Fatwa Kebangsaan.

Karena lembaga ini bukan merupakan lembaga dalam struktur pemerintahan, maka kekuatan fatwa yang dikeluarkannya pun tidak mempunyai daya ikat seperti undang-undang atau putusan pengadilan. Di samping itu lembaga ini juga tidak mempunyai organ yang bertugas untuk mengeksekusi bagi pelanggaran terhadap fatwa. Akan tetapi, fatwa-fatwa yang dikeluarkan lembaga ini juga sangat berarti karena sangat diperlukan oleh ummat. Bahkan fatwa dapat dijadikan juga sebagai rujukan oleh lembaga negara seperti Kejaksaan di Indonesia misalnya dalam menetapkan aliran-aliran sesat. Di Malaysia fatwa juga dapat dijadikan rujukan oleh hakim Mahkamah Syari’ah dalam memutuskan perkara, fatwa juga dapat dijadikan rujukan atau dasar oleh raja dalam menetapkan suatu persoalan misalnya dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, fatwa juga dapat dijadikan rujukan bahkan ditetapkan sebagai Undang-undang Negara oleh Dewan Undangan Negeri.

Malaysia adalah negara yang terdiri dari berbagai golongan, budaya dan agama, maka mufti mengetuai forum dialog antara agama serta menjadi rujukan utama dalam perkara ini. Juga menasihati Badan Berkanun, Pertubuhan Bukan Kerajaan (NGO) dan


(13)

masyarakat keseluruhannya berkaitan dengan semua perkara hal ehwal agama dan hukum syara’.

Setiap Jabatan Mufti negara bagian dapat mengeluarkan fatwa untuk negara bagiannya sendiri, adakalanya juga Jabatan Mufti di negara bagian berkumpul di Majelis Fatwa Kebangsaan dan mengeluarkan fatwa yang dapat berlaku untuk semua negara bagian (Persekutuan), akan tetapi fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Fatwa Kebangsaan tersebut dalam pelaksanaannya tergantung pada setiap negara bagian, sehingga hal ini dapat menyebabkan adanya perbedaan berkenaan dengan fatwa kebangsaan tersebut. Misalnya Majelis Fatwa Kebangsaan mengeluarkan fatwa bahwa rokok hukumnya haram, akan tetapi ketika mufti anggota Majelis Fatwa Kebangsaan kembali ke negara bagian masing-masing, ada yang memfatwakan bahwa rokok hukumnya tidak haram. Artinya Majelis Fatwa Kebangsaan hanya sebatas mengeluarkan fatwa saja, sedangkan proses pelaksanaan atau wewenangnya adalah berada pada Jabatan Mufti Negara Bagian masing-masing.6

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa adakalanya fatwa hanya sebatas nasehat yang dijadikan petunjuk oleh mustafti, namun adakalanya juga fatwa dapat dijadikan rujukan atau sumber hukum oleh negara. Bagaimanakah proses fatwa menjadi sumber hukum negara dan bagaimanakah kekuatan hukumnya serta bagaimana hubungan Jabatan Mufti dengan Majelis Fatwa Kebangsan?, ini merupakan persoalan-persoalan yang memerlukan jawaban yang mendalam dan rinci. Oleh karenanya hal ini sangat menarik untuk diteliti, sehingga penulis jadikan penelitian skripsi dengan judul: “KEDUDUKAN MUFTI DI NEGERI JOHOR (KAJIAN ATAS JABATAN MUFTI DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN NEGERI JOHOR)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

6

Ahmad Lutfi Othman, Mufti Lawan Mahathir?, (Kuala Lumpur: Penerbitan Pemuda, 1997), cet. IV, h. 82


(14)

Sejauh mengenai isu kedudukan mufti dalam pelaksaan fatwa sebagai sumber hukum di Negeri Johor dapat diidentifikasikan sejumlah masalah yang harus dijawab/diteliti, antara lain, yaitu:

1. Bagaimanakah kedudukan mufti menurut ketatanegaraan Islam?;

2. Bagaimanakah kedudukan mufti dalam hubungan dengan Majelis Fatwa Kebangsaan?; 3. Bagaimanakah kedudukan mufti di Negeri Johor dan bagaimanakah aplikasi pelaksaan

fatwa sebagai sumber hukum di negeri Johor?

Dengan mengacu kepada identifikasi masalah di atas, penelitian ini menjadikan masalah yang terakhir sebagai fokus masalahnya, yakni bagaimana-kah substansi kedudukan mufti di Negeri Johor dan bagaimanakah aplikasi pelaksanaan fatwa sebagai sumber hukum di Negeri Johor?. Kemudian pokok masalah tersebut dapat diuraikan menjadi tiga sub-masalah, yaitu:

1. Bagaimanakah teoritis tentang mufti dalam dinamika pemikiran ulama?; 2. Bagaimanakah elemen-elemen pokok mufti dari sistem ketatanegaraan Islam?; 3. Bagaimanakah kedudukan mufti di Negeri Johor?

C. Tujuan dan manfaat penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai di antaranya adalah: 1. Merumuskan dan menjelaskan secara utuh teori mufti dalam dinamika pemikiran

ulama;

2. Merumuskan dan menjelaskan secara utuh kedudukan mufti dalam ketatanegaraan Islam;

3. Merumuskan dan menjelaskan secara utuh kedudukan mufti di Negeri Johor. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:


(15)

1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya transformasi hukum ketatanegaraan Islam ke dalam politik hukum per undang-undangan nasional;

2. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya pembaruan pemikiran hukum ketatanegaraan Islam dalam konteks Negeri Johor dan kemoderan;

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan kontribusi pemikiran bagi upaya mencari formula yang tepat bagi transformasi hukum ketatanegaraan Islam ke dalam hukum Negeri Johor.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam kajian pustaka ini, penulis berusaha mendata dan membaca beberapa penelitian dengan bahasan pokok yang berkaitan dengan fatwa dan lembaga fatwa, setidaknya ada beberapa penelitian tentang fatwa yang penulis temukan dalam bentuk skripsi, yaitu antara lain:

Skripsi yang ditulis oleh Minwalun Nu’ma, “Peranan MUI Dalam Menjawab Masalah Kontemporer dengan Konsep Sadd-al-Dzariah (Studi Analisa Fatwa MUI

Tentang Pengiriman Tenaga Kerja Wanita Ke Luar Negeri).” Skripsi ini menceritakan

sejarah fatwa dalam Islam, MUI sebagai institusi fatwa di Indonesia. MUI dalam upaya melahirkan fatwa-fatwa kontekstual yang dapat dipedomani oleh masyarakat di tengah transformasi masyarakat moderen.

Skripsi “Fatwa Sahabat Dalam Fiqih Islam (Studi Atas Fatwa Zaid bin Tsabit pada Fiqih Mawaris”, karya Atmu Frawira. Membahas tentang bagaimana para sahabat

mengeluarkan fatwa ketika tidak ada nash yang qat’i. Dalam skripsi ini juga kita dapat melihat bagaimana para sahabat seperti Zaid bin Tsabit mengeluarkan fatwa khususnya dalam ilmu mawaris.


(16)

Yanto, dengan judul “Metode Ijtihad Majelis Ulama Indonesia Dalam Menetapkan Fatwa. (Studi Kasus Terhadap Fatwa MUI Tentang Aliran Ahmadiyah”,

Skripsi ini menceritakan tentang sejarah pembentukan MUI, Struktur Organisasi MUI dan peranan MUI di masyarakat serta metode ijtihad MUI dalam menetapkan fatwa.

Dari beberapa skripsi yang membahas tentang fatwa maupun lembaga fatwa yang penulis temukan semuanya tentang MUI di Indonesia, sedangkan kajian tentang Jabatan Mufti di Malaysia belum ada yang membahasnya. Ada beberapa referensi yang sangat relevan untuk penulisan skripsi ini di antaranya:

Buku pertama, “Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Johor) 2003 [EN. 16/2003]” yang ditulis oleh Haji Salleh Bin Haji Ahmad, Enakmen yang telah diluluskan

dalam sidang dewan Negeri Johor pada 14 November 2007. Buku ini secara spesifik menyusun tentang perlantikan Mufti, fungsi, wewenang Jabatan Mufti Negeri Johor.

Buku kedua, “Apa Itu Undang-Undang Islam” karya Ruzian Markom, seorang dosen Fakultas Undang-Undang Universiti Kebangsaan Malaysia. Antara apa yang dibahaskan ialah tentang kepentingan syariah kepada manusia, sumber-sumber hukum yang disepakati dan tidak disepakati, sejarah pelaksanaan undang-undang Islam di Malaysia, dan Mahkamah Syariah di Malaysia.

Buku ketiga, “Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia” karya Mahamad Arifin et al. Buku ini membahaskan perkembangan undang-undang Islam di Malaysia, federalism dan pembahagian kuasa pengubalan undang-undang Islam antara Kerajaan Pusat dan Kerajaan Negeri.

Buku keempat, “Ushul Fiqh” karya Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin yang membahaskan tentang pengertian dan ketentuan ifta’, mufti, mustafti, fatwa dan berfatwa.


(17)

Buku kelima, “Mufti Lawan Mahathir” karya oleh Ahmad Lutfi Othman yang membicarakan tentang kasus-kasus fatwa yang dikeluarkan oleh mufti. Buku ini juga menjawab fungsi sebenar seorang mufti.

E. Kerangka Teori dan Konseptual

Bergulirnya semangat pembaharuan terhadap arus pemikiran Islam, khususnya dalam hukum Islam cukup mempunyai pengaruh bagi sikap dan tingkah laku keberagamaan, baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Pada hakikatnya, pemikiran Islam merupakan hasil olah pikir kaum muslimin yang dilakukan untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Pemikiran kaum muslimin itu sudah tentu menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberikan pengarahan, ke arah mana pemikiran harus dikembangkan.7

Ada beberapa macam teori-teori tentang fatwa, diantaranya:

1. Menurut Hidayat Ahmad Buang berteori bahwa; Fatwa merupakan otoritas atau rujukan di dalam soal-soal agama yang dipatuhi baik secara kesadaran terhadap agama itu atau kadang-kadang secara perundang-undangan peme-rintah yang mewajibkan fatwa itu diikuti.

2. Menurut Muhammad Khalid Masud menyatakan bahawa fatwa adalah aspek praktikal undang-undang syari’ah, yaitu fatwa yang dikeluarkan oleh mufti sebagai respon kepada persoalan penghidupan yang berlaku. Justeru, fatwa merupakan satu usaha intelek merumuskan prinsip-prinsip syari’ah dari pelbagai sumbernya.

7

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), h. vii


(18)

3. Menurut Profesor Hooker menyebut bahwa fatwa bersifat creative scholas-ticism iaitu perkembangan ilmu Islam tempatan yang kreatif.8

Untuk memudahkan kerangka konsep dalam pembahasan penyerapan fatwa dibawah ini skema konsep hukum Islam yang menjadi landasan dasar dalam melihat penyerapan fatwa Jabatan Mufti Negeri Johor.

Gambar 1. Kerangka Konseptual

Fatwa merupakan suatu perbuatan yang dikeluarkan oleh seorang alim mengenai hukum-hukum yang bersangkutan dengan syari’ah. Jabatan Mufti Johor mentakrifkan sebagai suatu penentuan syar’ie yang tidak didapati nashnya (nash yang tidak jelas yang memerlukan fatwa ataupun tidak ada nash berhubung sesuatu hukum yang diputuskan dengan berdasarkan istinbat iaitu mengambil sesuatu penentuan atau mengeluarkan hukum

dan istidlal yaitu sesuatu keputusan yang diambil dengan cara penghujahan atau

pendalilan9

8

Ahmad Hidayat Buang, Fatwa di Malaysia, (Kuala Lumpur: Jabatan Syariah dan Undang-undang, 2004), cet I, h. 1

9

Ruzian Markom, Apa Itu Undang-Undang Islam, (Pahang: PTS Publications & Distributors Sdn Bhd., 2003), cet. I, h. 145

AL-Quran, as-Sunnah,al-Ijma’ dan al-Qiyas

Ijtihad

Al-Fiqh al-Muawwal

Qanun Mujtahid (Mufti)

Imam Madzhab

Al-Fiqh al-Munazzal


(19)

Fatwa atau ijtihad yang dikeluarkan oleh mujtahid (mufti) dapat disebut dengan hukum fikih. Fikih berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili.10 Fatwa bisa saja berbeda antara seorang ulama dengan ulama yang lainnya, sehingga hal ini mengakibatkan adanya perbedaan-perbedaan pendapat yang pada akhirnya hukum fikih tersebut terbagi kepada madzhab-madzhab fikih.

Pada tahap selanjutnya, penyerapan fatwa dilaksanakan oleh negara atau pemerintah yang digarap melalui undang-undang. Dalam pembuatan undang-undang tersebut, pemerintah mengadopsi fatwa yang disebut Qanun.

F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis Penelitian

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Reserch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan

menelusuri berbagai literatur,11 karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif di sini dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif.12

2. Objek Penelitian

Adapun yang menjadi objek penelitian ini adalah Jabatan Mufti Johor. Ini sangat menarik karena dalam permasalahan fatwa yang dikeluarkan oleh Jabatan Mufti

10

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid II, h. 3

11

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), cet. VII, h. 4

12

Banbang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), cet. VI, h. 72


(20)

Johor ada beberapa hal yang perlu dikaji untuk dilihat bagaimanakah kekuatan fatwa yang mengikat sebagai hukum atau hanya sekedar nasehat.

3. Pengumpulan dan Jenis Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumenter dari bahan-bahan tertulis yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan objek penelitian. Data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi data primer, sekunder dan tertier.

Yang termasuk ke dalam sumber data primer adalah Enakmen Pentadbiran Undang-undang Agama Islam (Negeri Johor EN. 16/2003), Buku Fatwa Mufti Kerajaan Johor dan Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia. Sedangkan sumber data sekunder seperti buku-buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian. Kemudian data tertier berupa kamus, jurnal dan artikel. Kemudian untuk menguatkan data-data, penulis dapat melakukan wawancara dengan Jabatan Mufti Johor.

4. Teknik Analisis Data

Dalam melakukan analisis terhadap data-data yang sudah terhimpun, digunakan teknik analisis data kualitatif dengan pendekatan komparatif. Yaitu analisis perbandingan antara fatwa yang dikeluarkan oleh Jabatan Mufti Johor dengan fatwa yang pernah dipraktekkan dalam ketatanegaraan Islam.

5. Teknik Penulisan

Dalam teknik penulisan ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(21)

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudahkan dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, penelitian skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I Berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, teori dan kerangka konsepsional, review studi, metode penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.

Bab II Membahas tentang konsep Mufti dalam Islam yang meliputikedudukan antara Mufti, Qadhi, dan Mujtahid, kedudukan Mufti dalam ketatanegaraan Islam, syarat-syarat keahlian mufti dalam ketatanegaraan Islam dan pelaksanaan fatwa dalam ketatanegaraan Islam. Dan seterusnya akan dihurai pada bab III. Bab III Merupakan bab inti yaitu analisis kedudukan fatwa sebagai sumber hukum di

Johor, fatwa sebagai kekuatan yang mengikat, fatwa sebagai hukum yang tidak mengikat, dan proses penerimaan fatwa sebagai sumber hukum negara.

Bab IV Menjelaskan tentang pelaksanaan fatwa oleh Jabatan Mufti Negeri Johor, pembentukan,fungsi dan wewenang Jabatan Mufti Johor, tatacara mengeluarkan fatwa oleh Jabatan Mufti, hubungan Jabatan Mufti dengan Majelis Fatwa Kebangsaan serta hubungan Jabatan Mufti dengan Mahkamah Syari’ah dan Posisi Mufti dalam struktur Ketatanegaraan


(22)

BAB II

KEDUDUKAN MUFTI DALAM KETATANEGARAAN ISLAM

A. Kedudukan Mufti, Qadhi dan Mujtahid

Kedudukan orang yang mengeluarkan fatwa adalah dilakukan oleh seorang mufti bisa juga oleh beberapa orang mufti. Karena mufti mengeluarkan fatwa melalui ijtihadnya maka mufti adalah mujtahid, apakah ia mujtahid mutlak (mujtahid mustaqil) atau mujtahid madzhab (mujtahid fî al-madzhab). Mufti sebagai mujtahid mutlak dalam mengeluarkan

fatwanya tidak terikat kepada madzhab-madzhab yang ada, sedangkan mufti sebagai mujtahid madzhab tetap berdasarkan fatwa kepada pendapat madzhab yang dianutnya seperti Madzhab Maliki, Hanafi, Syafie, dan Hanbali.13

Adapun qadhi adalah pejabat yang diserahi wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memberikan putusan hukum yang berdasarkan syariat Islam yang bersumberkan al-Quran dan al-Hadis terhadap perkara yang diajukan kepadanya di peradilan. Qadhi juga disebut sebagai hakim dalam melaksanakan undang-undang.14 1. Mufti

Kata mufti ("6 ) berasal dari bahasa Arab (orang yang memberi fatwa) berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh umat.15 Menurut Muhamad Iqbal, Mufti ialah seorang yang berwenang untuk memberi suatu fatwa atau pertimbangan berdasarkan religius tentang problem atau persoalan di dalam kehidupan masyarakat Islam sehari-hari.16 Menurut Alex, mufti ialah orang yang dipercayakan untuk memberi fatwa dan juga penasehat

13

Jabatan Mufti Terengganu, Perbedaan Mufti dengan Qadhi, ( Terengganu: Pengarah Bagian Keurusetian dan Perhubungan Antarabangsa Jabatan Mufti Terengganu, 2006), h. 1

14

Ibid., h. 2

15

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, cet. IV, (Jakarta: Kencana, 2008), jilid II, h. 433.

16

Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 110.


(23)

hukum.17 Mufti adalah orang yang melaksanakan fatwa dan perlu dibahas definisi fatwa tersebut yang mempunyai hubungan dengan mufti.

Fatwa dari bahasa Arab yaitu Fata – Yaftu - Fatwa atau Futuya ('6# – 76 ی – 976# ) yang bermaksud menjawab perkara-perkara yang menjadi kemusykilan seperti seorang berkata “meminta fatwa daripadanya maka ia pun memberi fatwa”18 Yang secara sederhana dimengerti sebagai “pemberi keputusan”.19 Fatwa adalah suatu jawaban resmi terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum, yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.20

Menurut istilah fatwa yaitu pemberitahuan tentang suatu hukum syara’ berdasarkan istinbat yang dilakukan oleh seorang Mufti yang mempunyai kewibawaan di dalam ilmu pengetahuan Islam (hukum Islam) untuk memberikan jawaban atas sesuatu permasalahan, walau pun jawabannya itu tidak mengikat.21

2. Qadhi

Kata Qadhi berasal dari bahasa Arab yaitu Qadha 4':;) yang berarti hukuman yang dijatuhkan dan Qadhi ialah orang yang menjatuhkan hukuman atau seseorang yang membuat putusan dalam sesuatu perkara.22 Sedangkan dalam bahasa Indonesia Qadhi dan Hakim mempunyai pengertian yang sama. Menurut istilah syara’, Qadhi ialah orang yang bertindak menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara dua pihak

17

Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, (Surabaya: Karya Harapan, 2005), h. 418.

18

Ibrahim Najaib Muhammad Iwad, al-Qadhâ fî al-Islâm, (Kairo: Majma’ Buhuts al-Islâmiyyah, 1975), h. 10.

19

Pengantar M. Quraish Shihab dalam buku M. B Hooker, Islam Madzhab Indonesia, Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Teraju, 2003), cet II, h. 16

20

Ibid., h. 21

21

Jabatan Mufti Terengganu, Perbedaan Mufti dengan Qadhi, h. 2.

22

Abdul Salam Muhammad Na’im, Nazariyah al-Dawa, (T.tp.:Mathba’ah Muqaddimah al-Islâmiyah, t.th.), h. 41


(24)

atau lebih di dalam masyarakat.23 Hukuman atau penyelesaian yang diberikan oleh Qadhi hendaklah berdasar-kan hukuman syara’ dan wajib diterima dan dilaksanakan dengan patuh.24

Tugas Qadhi ialah melaksanakan keadilan, oleh karena itu seseorang Qadhi hendaklah menjaga tindak-tanduk dan sikapnya dari segala perkara yang bisa menimbulkan keraguan tentang keadilan hukumannya dan kebersihan peribadinya. Qadhi tidak boleh terpengaruh atau dipengaruhi oleh keadaan sekeliling atau oleh tekanan dari pihak manapun dalam bentuk apapun.25 Di bawah ini penulis sertakan adab-adab Qadhi:

a) Tidak boleh menerima undangan khusus

Undangan terbagi kepada dua bagian yaitu undangan khusus dan undangan umum. Yang dimaksud dengan undangan khusus menurut pendapat sebagian ulama’ ialah undangan yang jumlah orangnya di antara lima hingga sepuluh orang, jika lebih dari itu disebut undangan umum.26

b) Tidak boleh menerima hadiah

Hadiah ialah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa meminta syarat pertolongan atau menyampaikan sesuatu maksud atau melaksanakan kehendaknya. Namun demikian, al-Imam al-Mawardi berpendapat bahawa Qadhi tidak boleh menerima hadiah dari siapa pun, baik dari orang yang mempunyai kesalahan maupun sebaliknya.27

23

Mahmud Saedon A. Othman, Peranan Prinsip “Adabul Qadi” dalam kehidupan Qadi dan semasa bertugas di Mahkamah, Jurnal Hukum Jilid II Bagian II, (Mei 1982), h. 173.

24Ibid.

25 Ab5 Hasan Ali ibnu Muhammad al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyah, (Beirut: Dâr al-Fikr,

1960), h. 75

26

Muhammad Amin Ibn ’Abidin, Hasyiyyah Rad al-Mukhtar, (T.tp.: Matba’ah Mustafa halabi, 1966), jilid V, h. 374


(25)

c) Tidak boleh menerima rasuah (suap)

Rasuah ialah pemberian seorang yang bersalah kepada Qadhi agar tidak menjatuhkan hukuman kepadanya atau diringankan hukumannya. Rasuah atau memberikan suap kepada Qadhi terbagi dua macam, yaitu: pertama haram suap-menyuap ketika hendak menjadi qadhi dan kedua rasuah diberikan kepada Qadhi supaya hukuman diringankan atau dibebaskan.28

d) Tidak wajar mengeluarkan fatwa

Menurut jumhur Ulama’ tidak harus bagi Qadhi mengeluarkan fatwa dalam suatu perkara yang kemungkinan akan menjadi kasus yang akan diselesaikannya di Mahkamah nanti. Karena fatwanya itu bisa menurunkan kewibawaannya. Proses penetapan hukum melalui fatwa adalah berbeda dengan proses penetapan hukum melalui Mahkamah. Hukum yang lahir melalui fatwa adalah bersifat umum sedangkan hukum yang lahir melalui peradilan Mahkamah bersifat khusus.

Jika Qadhi telah menyatakan pendapatnya atau fatwanya dalam suatu kasus seperti itu ada kemungkinan hukum kasus tersebut melalui pembuktian di Mahkamah akan berbeda dengan fatwanya. Kalau hal ini terjadi, kepercayaan terhadap Qadhi akan menurun dan akan menjatuhkan kedudukan Qadhi karena hukumannya telah bertentangan dengan fatwanya. Sebaliknya jika berlaku hukumannya melalui pembuktian mahkamah tidak bertentangan dengan fatwanya ini juga dapat menimbulkan prasangka (image) yang tidak baik yaitu mungkin Qadhi telah terikat dengan fatwanya yang terdahulu.29

3. Mujtahid dan Ijtihad

27 Ibid. 28

Mahmud Saedon A. Othman, Peranan Prinsip “Adabul Qadi” dalam kehidupan Qadi dan semasa bertugas di Mahkamah, h. 180

29

Muhammad Salam Madkur, Al-Qada fî al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Nahdiyah al-Arbiyyah,1966), h. 60


(26)

Ijtihad menurut bahasa adalah usaha yang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu atau mencurahkan seluruh kemampuan dalam segala perbuatan.30 Dari sudut istilah, ulama-ulama mengemukakan beberapa pengertian antara lain ialah as-Syeikh Tajuddin al-Subkiy, seorang ahli ushul fiqh menyatakan, “Ijtihad adalah mencurahkan usaha yang maksimal untuk memperoleh pengetahuan peringkat zanni tentang sesuatu hukum syara’.31

Adapun pengertian Mujtahid ialah orang yang mampu membuat kesimpulan hukum-hukum syara’ yang berbentuk amali dari dalil-dalilnya secara detail (rinci).32 Ijtihad disyariatkan dalam hukum Islam karena masalah yang hendak diselesaikan begitu banyak, sedangkan nash-nash terbatas maka hendaklah diselesaikan masalah-masalah tersebut melalui ijtihad. Syarat-syarat berijtihad ialah Islam, adalah (adil), menguasai nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang berkaitan dengan hukum, mengetahui bentuk-bentuk nash al-Quran dan as-Sunnah, baik yang umum, khusus, mufassal, mujmal, muqayyad, mutlak, nasikh dan mansukh, menguasai bahasa Arab dengan baik serta susunan dan pengertiannya serta mengetahui masalah-masalah yang disepakati oleh mereka mengenainya.33

B. Kedudukan Mufti dalam Ketatanegaraan Islam

Pada awalnya kata ‘fiqh’ digunakan dalam setiap perkara yang difahami dari nash-nash al-Quran dan as-Sunnah mengenai akidah, akhlak atau masalah yang bersifat praktis. Tasyri’ pada zaman Rasulullah SAW semuanya dengan cara wahyu. Di samping itu

30

Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihâd fî Syarî’ah Islâmiyyah wa Nazarat Tahliliyyah fî al-Ijtihâd al-Mu’âsir, (Kuwait: Dâr al-Arqâm, 1979), cet. II, h. 11

31

Al-Shahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, (Kairo: Mustapa al-Halabi, t.th), h. 199

32 Ibid

33


(27)

terkandung di dalamnya kaidah ‘ammah’ dan ‘hukum-hukum yang mujmal’.34 Adalah menjadi tugas Nabi untuk memberi uraian dan penjelasan seperti firman Allah SWT dalam surah al-Nahl/16 ayat 44:

&

!

"#

$

&

%

&

#&$' $

&

(

)*

+

&

,- ./

&

0

1

!2

&

4

4 5

&

6

&

7 8#!&

&

9:<9=*

+

&

9:>?@5(A*

$

&

BC$D E%FG H I

,

<=

&>

?@

&A

BB

4

Artinya: (Kami utuskan Rasul-rasul itu) membawa keterangan-keterangan yang jelas nyata (yang membuktikan kebenaran mereka) dan kitab-kitab suci (yang menjadi panduan); dan Kami pula turunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Al-Quran yang memberi peringatan, supaya Engkau menerangkan kepada umat manusia akan apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkannya. (QS: Al-Nahl ayat: 44).

Penjelasan yang diberikan oleh baginda dinamakan sebagai as-Sunnah. Jika demikian apakah baginda melakukan ‘ijtihad’ dan mengeluarkan ‘fatwa-fatwa’ bagi menjelaskan sesuatu perkataan seperti di atas. Terdapat beberapa contoh baginda berijtihad. Misalnya dalam peperangan Badar35 yang berakhirnya dengan kemenangan telah timbul masalah tawanan perang dan tiada wahyu mengenainya. Baginda telah meminta pendapat sahabat-sahabat. Abu Bakar menyatakan mereka itu adalah kaum keluarga dan bagi mereka yang bertaubat dapat diambil fidyah daripada mereka. Umar pula berkata bahawa, “Mereka telah membenci dan menghalau kamu, maka dan hendaklah leher mereka dipancung. Baginda Rasulullah SAW menerima pendapat Abu Bakar.36 Wahyu turun membetulkannya dengan ayat dalam Surah al-Anfal ayat 67:

6 BC/FJ

KCL MNO

P$' P Q% I

GRD'*

%# = S$'

TLUV(

BW X YDI

Z 0

[9\2] T

BC$>^I A

[ D

) &\^

` $

>^I DI

aN bc2( % ` $ d#Ie D f b%(

,

C D

>

&A

4

Artinya:&“Tidaklah patut bagi seorang Nabi mempunyai orang-orang tawanan sebelum ia dapat membunuh sebanyaknya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda

34

Muhammad Salam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqh al-Islami, (Kaherah: Dâr Nahdah al-Arabiyyah,1963) h.61

35

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (T.tp: Dâr al-Fath, 2004), Jilid I, h.126.

36 Ibid.


(28)

dunia (yang tidak kekal) sedang Allah menghendaki (untuk kamu pahala) akhirat. Dan (ingatlah) Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”(QS. Al-Anfal/8: 67)

Ini memperlihatkan bahawa baginda Rasulullah SAW melakukan ijtihad dalam perkara yang wahyu tidak diturunkan. Menurut pendapat yang rajih dikalangan fuqaha’, baginda juga dapat berijtihad dalam perkara yang ada wahyu dalam hukum-hukum syarak. Contoh di atas menjelaskan bahwa sebahagian sahabat melakukan ijtihad pada zaman Rasulullah SAW mereka menjatuhi hukum dalam pertikaian dan perselisihan. Mereka ini melakukannya semata-mata untuk melaksanakan hukum-hakam dalam penghakiman dan ifta’.

1. Hubungan Antara Ijtihad dan Fatwa

Hadis yang selalu dijadikan hujah sebagai dalil membenarkan ijtihad adalah hadis Mu’az bin Jabal.37 Lalu baginda membenarkan Mu’az berijtihad apabila telah berusaha mencari jawaban dari nash al-Quran dan as-Sunnah tidak berhasil, maka diizinkan ijtihad. Dalam hadits tersebut dikisahkan:

.

&

C7E(

&

F

&

' ﺹ

&

F

&

0

&

E

&

&

$ (.

&.

&

H3 ی

&

I 3

&

'

&

/

&

C ;

J&

K L

&

": %

&

I

&

M 0

&

N

&

O :;

&

P

&J&

C ;

&

":;.

&

Q 6Rﺏ

&

F

&

C ;

&J&

S#

&

&

)T%

&

"#

&

Q 6L

&

F

&

P

J&

C ;

&

1 U #

&

C7E(

&

F

&

' ﺹ

&

F

&

0

&

E

&

C ;

&J&

S#

&

&

)T%

&

"#

&

1 E

&

C7E(

&

F

&

' ﺹ

&

F

&

0

&

E

&

D

&

"#

&

Q 6L

&

F

&

P

&J&

C ;

&

)V6ﺝ.

&

"ی.(

&

D

&

7 X

&,&

D

&

+;.

&

"#

&

$ V6ﺝ

&4&

Q :#

&

C7E(

&

F

&

' ﺹ

&

F

&

0

&

E

&

-()ﺹ

&

C ;

J&

) =

&

F

&

YZ

&

[#

&

C7E(

&

C7E(

&

F

&

&

"ﺽ ی

&

C7E(

&

F

38

D

Artiny: “Bahwasanya Rasulullah SAW ketika hendak mengutus Mu’az ke Yaman bersabda: Bagaimana engkau menghukum jika dihadapkan kepadamu sesuatu masalah? Mu’az menjawab: Saya akan menghukum berdasarkan Kitabullah. Baginda bertanya lagi: jika engkau tidak menemukannya di dalam Kitabullah? Jawab Mu’az: saya akan menghukum dengan Sunnah Rasulullah. Baginda bertanya lagi: Jika engkau tidak menemukannya di

37

Ahmad Syalabi,& Sejarah Perundangan Islam, (Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd., 1986), cet. I, h. 179

38

Sulaiman bin al-‘Asy’ats Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, (T.Tp: Dar al-Fikr, t.th.), juz II, h. 327 hadits nomor 3592


(29)

dalam sunnah Rasulullah?. Jawab Mu’az: Saya akan berijtihad. Rasulullah SAW menepuk dadanya sambil bersabda: Syukur kepada Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah kearah yang diridhai oleh Rasulullah”. (HR. Abu Daud).

Ijtihad Nabi dalam hukum-hakam adalah jawaban dari perselisihan atau pertanyaan tentang sesuatu permasalaan dan mendapatkan fatwa. Ada pendapat mengatakan baginda menjadikan ijtihad sebagai sumber ketiga hukum.39 Tujuan Nabi membenarkan ijtihad adalah sebagai petunjuk dan penjelasan kepada sahabat dan fuqaha’ cara istinbat hukum.

Ulama usul fiqh menerima fatwa sahabat sebagai salah satu sumber perundangan Islam, bagaimanapun mereka berbeda pendapat tentang status otoritas fatwa tersebut. berdasarkan pendapat jumhur fuqaha’ sunni, fatwa sahabat merupakan hujah setelah nash al-Quran dan as-Sunnah. Ini disebabkan beberapa perkara, diantaranya fatwa sahabat dikeluarkan setelah mereka mendengar dari Rasulullah SAW, mereka lebih memahami Al-Quran dan juga mereka lebih memahami bahasa dan maksud yang jelas berkenaan dengan keadaan dan persekitaran pada zaman Rasulullah SAW.40

Ada pendapat mengatakan terdapat lebih daripada 130 orang sahabat Rasulullah SAW lelaki dan perempuan yang pernah mengeluarkan fatwa.41 Khulafa’ al-Rasyidun adalah mereka yang terdiri daripada kalangan sahabat-sahabat, ketika memimpin negara dan apabila tidak terdapat hukum mengenai sesuatu masalah dalam al-Quran dan al-Hadis, mereka berijtihad dan mengeluarkan fatwa dan fatwa itu menjadi hukum yang diikuti. Umar ibn al-Khattab adalah khalifah yang banyak

39

Abdul Munir Yaacob, Kepelbagaian Fatwa: Kekuatan Atau Kelemahan?, (Kuala Lumpur, t.p, 2006), h.193.

40

Osman Ishak, Fatwa Dalam Sistem Pemerintahan dan Kehakiman dalam Mufti dan Fatwa, (Kula Lumpur: IKIM, 1998), h. 10

41


(30)

mengeluarkan fatwa. Adakalanya fatwa yang dikeluarkan oleh beliau berbeda dengan pendapat sahabat yang lain.42 Sebagai contoh apabila negara Iraq dan Syam telah dibuka oleh tentara Islam dan kemudian timbul persoalan tentang apa yang hendak dilakukan terhadap tanah tersebut ada pendapat yang mengatakan tanah tersebut harus dibagikan seperti hukum ghanimah.43 Bagaimanapun Umar dan beberapa orang sahabat berpendirian agar ditetapkan kepemilikannya kepada pemilik asal dengan mengeluarkan pajak (kharaj).44

Abdullah bin Abbas r.a. memberi fatwa bahwa sah nikah mut’ah ketika darurat, Ali dan Jabir berpendapat ia tetap tidak sah. Sebab perselisihan adalah karena Nabi memberi rukhsah sebelum Khaibar dan melarangnya sebelum fath Makkah. Setelah itu diberi rukhsah dalam peperangan Awtas, selepas itu dilarang seperti semula, mengikut Ibn Abbas diberi rukhsah ketika darurat dan dilarang apabila tidak ada darurat.45

Usman r.a memberi fatwa bahwa perempuan yang dikhuluk tidak ada iddah, dan cukup dengan suci sekali haid. Sahabat yang lain berpendapat khuluk adalah talak. Maka diharuskan beriddah seperti perempuan yang ditalak.46

Hubungannya antara ijtihad dengan fatwa adalah fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat disimpan dalam ingatan dan disampaikan kepada sahabat yang muda dan tabiin. Apabila mereka mengeluarkan fatwa, mereka berfatwa dengannya. Apabila fatwa dikeluarkan oleh sahabat dalam perkara yang boleh diijtihad maka ulama sepakat mengatakan bahawa fatwa itu tidak menjadi hujjah ke atas sahabat-sahabat

42

Ibid., h. 194

43 Sayid sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid IV, h. 51

44

Hj.Abdul Samat Musa dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara Asean,(Negeri Sembilan: INFAD, 2006), h. 4

45

Sayid sabiq, Fiqih Sunnah,Ibid.

46


(31)

yang mujtahid karena ijma’ sahabat membolehkan perbedaan dikalangan mereka. Adapun fatwa dari selain sahabat, menurut Imam Syafi’i dan jumhur ulama ushul, ia bukan hujjah yang wajib beramal dengannya.47

Dalam membicarakan tentang kedudukan mufti ada baiknya penulis menyebut nama-nama mereka yang pernah menjadi mufti dalam sejarah Islam. Mufti dari penduduk Madinah ialah ummul mukminin Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq, Abdullah bin Umar bin al-Khattab al-A’dawi al-Quraisyi, Abu Hurairah Abdur Rahman bin Shakhr al-Dausi, Sa’id al-Musayab al-Makhzumi, Urwah bin Zubair bin Awwam Asadi, Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Harith bin Hisyam al-Makhzumi, Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib al-Hasyimi, Ubaidullah bin Abdillah bin Uthbah bin Mas’ud, Salim bin Abdullah bin Umar, Sulaiman bin Yassar, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Muhammad bin Muslim yang terkenal dengan Ibnu Syihab az-Zuhri, Abu Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain yang terkenal dengan al-Baqir, Abu Zunad Abdullah bin Dzakwan, Yahya bin Sa’id al-Bushiri, Rabi’ah bin Abdur Rahman Faruh. 48

Sedangkan mufti dari penduduk Mekah adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib, Mujahid bin Jabr, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Abu Rabah dan Abu Zubir Muhammad bin Muslim bin Tadarus. Mufti dari penduduk Kufah, Al-Qamah bin Qais an-Nakha’i, Masruq bin Ajda’ al-Hamdani, Ubaidah bin as-Silmani al-Muradi, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’i, Syuraih bin Harith al-Kindi, Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i, Sa’id bin Jubair dan Amir bin Syarahil asy-Sya’bi.49

47

Ibid, h. 195

48

Hudhari Bik, Tarîkh al-Tasyri’ al-Islami, Penerjemah Mohamad Zuhri, Sejarah Pembinaan hukum Islam, (Indonesia:Darul Ihya’,t.th), h. 301

49


(32)

Mufti dari kalangan penduduk Basrah, Anas bin Malik al-Asy’ari, Abu ‘Aliyah Rafi’ bin Mahram ar-Rayani, Hasan bin Hasan Yassar, Abu Sya’tsa bin Zaid, Muhammad bin Sirin dan Qatadah bin Di’amah ad-Dausi. Seterusnya mufti dari penduduk Syam, Abdur Rahman bin Ghunmin al-Asy’ari, Abu Idris al-Khulani ‘Aidzullah bin Abdullah, Qabishah bin Dzuaib, Makhul bin Abi Muslim, Raja’ bin Hayah al-Kindi, Umar bin Abdul Aziz bin Marwan. Mufti dari penduduk Mesir, Abdullah bin Amr bin Ash, Abul Khir Martsad bin Abdullah al-Yazini, Yazid bin Abu Habib maula al-Azdi.50

Dari penduduk Yaman, Thawus bin Kaisan al-Jundi dari Abna’, Wahab bin Munabbih ash-Shan’ani, Yahya bin Abu Kathir maula Thayi’.51

C. Syarat-syarat Keahlian Mufti dalam Ketatanegaraan Islam

Menurut Dr. Uthman El-Muhammady, Felo Amat Utama Akademik, ISTAC, UIAM dalam tulisannya: “Kaedah-kaedah dan Adab-Adab Mengeluar-kan Fatwa”, mengutip dari Imam Nawawi membahas bahwa seorang mufti itu hendaklah zahir kewarakannya, terkenal dengan keagamaannya yang zahir padanya dan penjagaan dirinya yang sangat nyata. Imam Malik dalam amalannya ia tidak melazimkan atas orang ramai dan ia berkata: orang alim itu tidak melazimkan atas orang ramai.52

Menurut Imam Ghazali seorang mufti itu hendaklah seorang yang mempunyai sifat ‘adalah (adil) yaitu menjauhi kemaksiatan. Diisyaratkan bagi membolehkan orang ramai berpegang pada fatwanya, maka siapa yang tidak ‘adalah maka tidak diterima fatwanya.53

50

Ibid., h. 137

51

Ibid., h. 320

52

Hj.Abdul Samat Musa dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara Asean,(Negeri Sembilan: INFAD, 2006), h. 4


(33)

Menurut Imam Nawawi lagi, mufti itu hendaklah seorang mukallaf, muslim, berkepercayaan, aman dari sifat-sifat yang dicurigai, bersih dari faktor-faktor kefasikan, dan perkara-perkara yang merusak maruah diri, jiwa yang faqih, berfahaman sejahtera, berfikiran jernih, sahih urusannya dan cara istinbatnya serta bersikap penuh waspada, sama ada merdeka atau hamba, wanita dan buta, juga yang bisu bila ia menulis dan boleh difahami isyaratnya.54

Dalam hubungan dengan memberi fatwa menurut Jad al-Haqq ‘Ali Jad al-Haqq, dalam madzhab Hanafi bahwa tidak wajib memberi fatwa berkenaan dalam perkara yang tidak berlaku dan haram mengambil sikap bermudah-mudah dalam mengeluarkan fatwa dan jangan mufti mengikut hawa nafsunya sendiri, dan janganlah ia memberi fatwa itu melainkan ahli ilmu yang mengetahui qaul-qaul (pendapat) ulama dam mengetahui dari mana mereka mengeluarkan pandangan itu. Jika ada khilaf dalam perkara yang berkenaan jangan ia memilih sesuatu qaul itu sehingga ia mengetahui hujjahnya. Orang yang berfatwa itu hendaklah Muslim yang baligh, berakal, yang hafiz, riwayat-riwayat teguh dalam ilmunya, menjaga diri dalam ketaatan dan mengelak diri daripada kemaksiatan dan syubhat. 55

Beliau menyebutkan bahwa mufti itu harus ada lima sifat yaitu berfatwa karena Allah semata-mata bukan karena pangkat dan kedudukan atau karena diperintah oleh ulul

amri (pemerintah), keduanya, seorang mufti melakukan yang demikian itu dengan

pengetahuan beserta dengan sifat hilm (lemah-lembut), sifat agung dan tenang. Ketiga, harus teguh mengikut apa yang ada pada ilmunya. Keempat, cukup keperluan dalam hidup

53Ibid., h. 5

54

Ibid., h. 6

55

Uthman El-Muhammady, Kaedah-kaedah dan Adab Mengeluarkan Fatwa, dalam Hj.Abdul Samat Musa dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara Asean, h. 12


(34)

sehariannya. Akhirnya, mufi harus tahu sifat, keadaan jiwa dan peribadi orang yang meminta fatwa.

Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menjelaskan bahwa mufti itu memberi fatwa dengan memberi bimbingan kepada jalan yang benar dan fatwanya bersifat islah atau perbaikan di kalangan orang banyak, tidak mengikut jalan keras malah bersedarhana sesuai kemampuan.56 Kesimpulan daripada syarat-syarat dan kelayakan mufti di atas dapat difahami bahwa institusi mengeluarkan fatwa merupakan satu daripada institusi yang paling pokok dalam peradaban umat ini. Bahkan menurut Imam Nawawi r.a. institusi fatwa adalah institusi pewaris kenabian karena ia memberi panduan kepada umat. Beliau menyatakan ‘al-mufti warits al-anbiya’.57

D. Fatwa Dalam Ketatanegaraan Islam

Di zaman Rasulullah SAW terdapat tiga sumber perundangan Islam yaitu al-Quran, al-Hadis dan ijtihad. Apabila seorang qadhi mengeluarkan fatwa atas suatu kasus atau masalah, ia terlebih dahulu mencari hukumnya di dalam al-Quran dan menghukum sesuai dengannya. Sekiranya tidak ditemukan hukumnya di dalam al-Quran ditinjau dari hadis dan menghukum.Setelah Rasulullah SAW wafat terdapat satu sumber perundangan Islam yang penting yaitu ijma’ para sahabat. Apabila seseorang qadhi diajukan kepadanya sesuatu masalah, ia akan mencarikan hukumnya di dalam al-Quran. Jika tiada, ia akan mencarinya di dalam hadis, jika tiada juga, ia akan mencarinya di dalam ijma’. Jika di dalam ijma’ juga tidak terdapat hukumnya maka ia akan berijtihad dan menghukum mengikut hasil ijtihadnya itu.58

1. Periode Rasulullah s.a.w (610 M-632 M)

56 Ibid 57

Ibid., h. 13

58


(35)

Pada periode ini terdapat 2 pasca perundangan, yaitu Mekah dan Madinah.59 Pasca di Mekah berlaku selama 13 tahun. Pada periode ini per-undangan tertumpu pada hal-hal keimanan, aqidah, kepercayaan dan akhlaq. Pasca di Madinah berlaku setelah penghijrahan Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya ke Madinah selama 10 tahun yang mana proses perundangannya mencakup keseluruhan konsep aqidah, akhlaq serta konsep politik dan bernegara. Sumber perundangan pada zaman ini adalah wahyu al-Quran dan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi SAW yang disebut as-sunnah.60

Kaidah perundangan pada zaman Nabi Muhammad SAW adalah berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW Apabila satu masalah timbul beliau akan menunggu wahyu. Antara contoh ayat yang diturunkan sebagai menjawab persoalan yang dikemukakan ketika mana kasus berlakunya peperangan pada bulan yang diharamkan. Surah al-Baqarah ayat 217 yang bermaksud;

(

& A5

Ng

D

9<hi

j

(*

k7

2

/

l

m

9KA/

7

2

/

l

=

oFJ

m

M^pq $

D

rK) o(s

Gt- $

u

^

v

(w

$

j

(x

&&

,

]

>

^

&A

^?_

4

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu wahai Muhammad, mengenai hukum berperang dalam bulan yang dihormati; katakanlah, peperangan dalam bulan itu adalah berdosa besar, tetapi perbuatan menghalangi (orang-orang Islam) dari jalan Allah dan perbuatan kufur kepadanya dan juga perbuatan menyekat orang-orang Islam ke Masjidil Haram…” (QS: al-Baqarah/2: 217)

Apabila tidak ada wahyu diturunkan terhadap persoalan yang diajukan kepadanya, maka beliau akan berijtihad berdasarkan keterangan dan bukti-bukti yang zahir. Sebagai contoh dalam kasus berwudhu’ dengan air asin. Dalam satu peristiwa, Nabi Muhammad SAW ditanya “Wahai Rasulullah! Kami belayar di lautan dan

59

Ruzian Markom, Apa itu Undang-Undang Islam, (Pahang: PTS Publication & Distributors SDN.BHD, 2003), h. 79

60


(36)

sekiranya kami mengambil wudhu’ dengan air tawar, kehausanlah kami. Bolehkah kami mengambil wudhu’ dengan air asin?”. Beliau menjawab, “Ia adalah air suci dan kejadian Allah, oleh karena itu ia halal.” Lanjutan dengan kasus berhutang puasa. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas seorang perempuan berjumpa Nabi Muhammad SAW dan mengadu yang ibunya meninggal dunia tetapi masih menanggung kewajiban berpuasa ganti selama sebulan. Perempuan itu bertanya kalau boleh dia berpuasa bagi pihak ibunya. Nabi Muhammad membandingkan puasa itu dengan hutang dan bertanya sama ada perempuan itu boleh menjelaskan hutang itu atau pun tidak. Apabila perempuan itu menjawab secara positif, Nabi Muhammad SAW lantas berkata, “Hutang kepada Allah adalah lebih utama dijelaskan.” 61

Kasus anak hitam. Abu Hurairah meriwayatkan, seorang lelaki daripada bani Fazarah datang berjumpa Nabi Muhammad dan mengadu isterinya melahirkan anak yang berwarna hitam kulitnya, sedangkan dia dan isterinya berkulit putih. Nabi Muhammad SAW membandingkan kejadian ini dengan unta yang dimiliki oleh lelaki itu dan bertanya sama ada warna kehitaman ada dikalangan untanya. Apabila lelaki itu mengaku adanya kehitaman pada untanya, Nabi Muhammad s.a.w bertanya lagi berhubung asal usul lelaki itu. Lelaki itu menjawab kemungkinan ada kaitan dengan keturunannya. Lalu Nabi Muhammad SAW menyampuk kemungkinan yang sama berlaku pada anaknya.

Kasus mencium isteri pada bulan Ramadhan. Umar al-Khattab menceritakan kepada Nabi Muhammad SAW beliau mencium isterinya pada siang hari pada bulan Ramadhan dan bertanya apakah perbuatannya itu membatalkan puasa. Beliau bertanya balik, “Adakah merusak puasa kalau berkumur?” Umar Menjawab, “Tidak

61


(37)

mengapa.” Nabi Muhammad SAW berkata kepadanya, “ Demikian juga mencium isteri pada bulan Ramadhan.”62

2. Periode Khulafa’ ar-Rasyidin (11H-40H)

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, tampuk pemerintahan diambil alih oleh khulafa’ ar-rasyidin, mereka adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Pada zaman ini berlakunya perluasan kuasa Islam sehingga Syria, Jordan, Egypt, Iraq dan Parsi. Oleh itu, masyarakat Muslim berhadapan dengan sistem yang baru dan berbeda daripada di Madinah,63

Sumber perundangan pada periode ini adalah al-Quran, as-Sunnah dan ijtihad. Al-Quran diberi tumpuan khusus dalam pengumpulan dan pengqanunan al-Quran. as-Sunnah masih belum berlaku pembukuan walaupun disadari oleh Umar. Manakala ijtihad dalam bentuk ijma’ (persepakatan pendapat) dan ar-ra’yu (pendapat para ulama’).

Contoh kasus orang Mualaf dalam surah at-Taubah ayat 60:

(w@&

+

t

*/(^yz

Q

*+tGl5

r01b% p (w

$

0{

w (A

$

|<9=a5 }

|FGE

F*>w

$

9:<}k A5A/

• 0 $

*/ 8

01

6

$

• 0 $

rK) o(s

r0

$

rK) o

m

|•fI *l

BW

6

%

`

$

5 }

f )bo(

,

1ﺏ76

>

`

&A

@a

4

Artinya: “Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, dan orang-orang miskin, dan amil-amil yang mengurusnya, dan orang-orang muallaf yang dijinakkan hatinya, dan untuk hamba-hamba yang hendak memerdekakan dirinya, dan orang-orang yang berhutang, dan untuk (dibelanjakan pada) jalan Allah, dan orang-orang musafir (yang keputusan) Dalam perjalanan. (Ketetapan hukum yang demikian itu ialah) sebagai satu ketetapan (yang datangnya) dari Allah. dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.”(QS: at-Taubah/9:60)

62

Ibid., h. 82

63


(38)

Ayat di atas menjelaskan delapan golongan yang berhak menerima sedekah termasuk mereka yang diperdekat hati mereka dengan Islam yaitu mualaf. Seperti Uzaimah bin Arqa yang pernah menerima seratus ekor unta yang diperoleh daripada peperangan Hunain64. Amalan ini diteruskan sehingga pemerintahan Abu Bakar, tetapi ketika Umar memerintah, beliau mengubahnya karena umat Islam pada waktu itu sudah banyak dan kuat.65

3. Periode Tabi’in

Periode ini dimulai dari pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan (41H) sampai timbulnya bentuk-bentuk kelemahan pada kerajaan Islam. Para pemberi fatwa pada masa ini mempunyai hadis dalam jumlah yang besar yang diriwayatkan dari mereka. Pada sebagian tabi’in ada yang lebih dari beberapa ribu hadis. Musnad Abu Hurairah misalnya tertulis dalam 313 halaman dari Musnad Ahmad bin Hanbal, musnad Abdullah bin Umar dalam 156 halaman. Dalam pada itu Musnad Abu Bakar tertulis 84 halaman, musnad Umar yang pemuka-pemuka orang-orang yang berfatwa pada periode ini tertulis 41 halaman. Musnad Ali yang mana ia saudara kembarnya Umar dalam berfatwa tertulis dalam 85 halaman. 66

Pada peringkat permulaan Islam, peranan dan tugas mufti tidak diinstitusikan. Mufti lebih dikenali sebagi ulama yang bebas memberi solusinya dalam sebuah negara. Pada zaman pemerintahan Umaiyah (661-750H) mufti melaksanakan tugas sebagai mustasyar hukum kepada qadhi atau hakim. Dalam pemerintahan Uthmaniyyah, jawatan mufti dikenali dengan jabatan ‘syeikh al-Islam’ dan mereka menjadi otoritas dalam perkara utama hukum syarak.67

64

Badri Yatim, Sejarah Perudangan Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006), h. 32

65

Ibid., h. 86

66


(39)

BAB III

KEDUDUKAN FATWA SEBAGAI SUMBER HUKUM DI JOHOR

A. Fatwa Sebagai Kekuatan yang Mengikat

1. Fatwa yang diwartakan (disahkan) adalah mengikat

Apabila suatu fatwa telah diwartakan, maka fatwa itu dapat mengikat semua orang Islam yang berada di Negeri Johor sebagai ajaran agamanya dan hendaklah menjadi kewajibannya terhadap agama Islam untuk mematuhi dan berpegang dengan fatwa itu, melainkan jika ia telah mendapat pengecualian oleh Jawatankuasa Fatwa berdasarkan hukum syarak.68

Suatu fatwa hendaklah diakui oleh semua Mahkamah di Negeri Johor tentang semua perkara yang dinyatakan di dalamnya69 adalah mengikat dan dapat ditindak pidana atas orang yang melanggarnya melalui Mahkamah Negeri Johor. Setiap hukuman tergantung kepada kesalahan yang dilakukan.

Berikut ini terdapat beberapa contoh fatwa-fatwa yang diwartakan oleh Jawatan Fatwa Negeri Johor sebagai hukum yang mengikat:

a. Fatwa tentang pengharaman kepercayaan terhadap angka 786 sebagai angka bertuah

Berdasarkan Enakmen Pentadbiran Agama Islam Johor 2003 Pasal 48 ayat (6) bahwa Jawatankuasa Fatwa Negeri Johor, dengan perintah Duli Yang Maha Mulia baginda Tuanku Sultan, memberi dan meng-umumkan fatwa sebagai berikut:

67

Abdul Monir Yaacob, Kepelbagaian Fatwa: Kekuatan Atau Kelemahan?, h 203.

68

Enakmen Pentadbiran Agama Islam Johor, Pasal 49

69


(40)

1) Kepercayaan terhadap angka 786 bermakna Bismillahirrahmanirrhim yang diyakini angka tersebut membawa tuah dan nasib baik adalah suatu kepercayaan yang salah dan bertentangan dengan akidah Ahli as-Sunnah Wal-Jamaah dan syari’at serta akhlak Islam.

2) Perbuatan ini juga termasuk dalam golongan mereka yang mentafsir-kan Al-Quran berdasarkan hawa nafsu dan tidak berdasarkan kepada ilmu dan kaidah-kaidahnya serta tidak mendapat hidayat Allah SWT

3) Semua pihak yang terlibat hendaklah menghentikan kepercayaan dan penggunaan terhadap perkara ini serta merta.

4) Semua umat Islam dilarang membuat, mencetak, menjual, membeli, menggunakan, menyimpan, memperlihatkan, menjadikan perhiasan, menjadikan logo dan menjadikan azimat semua benda atau barang yang mengandung angka 786 tersebut.70

b. Fatwa tentang pengharaman ajaran sesat Ayah Pin

Berdasarkan Pasal 48 ayat (6) Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Johor) 2003 [Enakmen 16 Tahun 2003], Jawatankuasa Fatwa Negeri Johor, dengan perintah Duli Yang Maha Mulia Baginda Tuanku Sultan, memberi dan mengumumkam fatwa sebagai berikut:

1. Bahwasanya kepercayaan, ajaran, amalan dan pegangan Ariffin bin Mohd @ Ayah Pin adalah karut, palsu, sesat lagi menyesatkan, menyeleweng, bertentangan dengan akidah, syariat, dan akhlak Islam serta boleh membawa ancaman kepada ummah, Negara dan ketenteraman orang awam karena anta kepercayaan, ajaran, amalan, dan pegangannya:

1.1. Menghina Allah SWT, Rasulullah s.a.w. dan umat Islam;

70

Warta Kerajaan Negeri Johor, tertanggal 11 Rajab 1428/12 Julai 2007 [JMJ.351/ 04/01/6/3;PUNJ.BIL.(PU2)15(39)], h. 9.


(41)

1.2. Menghina dan mempersenda Rukun Iman dan Rukun Islam;

1.3. Kepercayaan, ajaran, amalan dan pegangannya mengandungi unsur kesatuan agama sekaligus boleh diertikan mengiktiraf kebenaran agama selain Islam;

1.4. Mendakwa mengetahui perkara-perkara ghaib yaitu perkara-perkara yang hanya diketahui hakikatnya oleh Allah SWT seperti syurga dan neraka; 1.5. Mendakwa kiamat tidak akan berlaku;

1.6. Mendakwa bahawa al-Quran adalah usaha (ciptaan) daripada Nabi Muhammad SAW yang dicantumkan daripada kitab Zabur, Taurat, dan Injil;

1.7. Memuji-muji Ayah Pin dengan bersyair atau bernazam lebih afdhal daripada berzikir dan sholat;

1.8. Sholat lima waku tidak wajib dan mengerjakan amalan haji adalah sesuatu yang sia-sia.

2. Orang Islam negeri ini, dilarang melibatkan diri dengan kepercayaan, ajaran, amalan dan pegangan Arifin bin Mohd @ Ayah Pin samada dengan cara: 2.1.1. Mempercayai atau mengamalkannya atau mengajarkannya kepada

orang lain, atau

2.1.2. Menyimpan atau mencetak atau menyalin atau mempamer atau menjual atau membeli atau memgambil gambar atau menerima dan memberi hadiah atau menyebarkan apa-apa maklumat berkaitan dengan kepercayaan, ajaran, amalan, pegangan dan kegiatannya sama ada melalui media cetak atau media elektronik atau;

2.1.3. Menjalankan upacara, membuat lawatan atau kunjungan, mengundang atau menerima kehadirannya atau pengikut-pengikutnya, memberikan


(42)

sokongan moral atau material atau apa sahaja kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keperca-yaan, ajaran, amalan dan pegangannya.71 c. Fatwa tentang pengharaman terhadap kelompok Black Metal

Berdasarkan Pasal 48 ayat (6) Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Johor) 2003 [Enakmen 16 Tahun 2003], Jawatankuasa Fatwa bagi Negeri Johor, dengan perintah Duli Yang Maha Mulia Baginda Tuanku Sultan, memberi dan mengumumkan fatwa sebagai berikut:

1. Bahwasanya kumpulan ‘Black Metal” dengan segala kepercayaan, ajaran, aktivitas, perlakuan dan amalannya adalah sesat lagi menyesat-kan, bercanggah dengan ajaran Islam, (aqidah, syariat dan akhlak), bertentangan dengan naluri kemanusiaan sejagat dan adat resam orang Melayu Islam, malahan menghina kesucian agama Islam.

2. Semua umat Islam dilarang melibatkan diri dengan kumpulan “Black Metal” ini secara langsung atau secara tidak langsung atau secara tidak langsung sama ada mengamal, menjadi ahli, mencetak, menulis, menyiar, menerbit, menyebar, merekam, menggunakan lambang-lambang, menjalankan upacara, membuat lawatan atau kunjungan, mengundang atau menerima kunjungan ahli-ahlinya; memberikan sokongan moral atau material atau kedua-duanya sekali kepada sesiapa yang terlibat dengan kumpulan ini, atau apa-apa cara yang dikaitkan dengan kumpulan atau ajaran ini.72

d. Fatwa tentang pengharaman pemakaian Jubin (keramik) yang bertuliskan kalimat Allah

71

Warta Kerajaan Negeri Johor, Jilid 52 No. 3tertanggal 11 Rajab 1428 /26 Julai 2007 [JMJ.35/04/01/6/8;PUNJ.BIL.(PU2)15]

72

Warta Kerajaan Negeri Johor ,Jilid 52 No. 3 tanggal 11 Rajab 1428/26 Julai 2007 [JMJ.35/04/01/6/4;PUNJ.BIL.(PU2)15], h. 15


(43)

Berdasarkan Pasal 48 ayat (6) Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Johor) 2003 [Enakmen 16 Tahun 2003], Jawatankuasa Fatwa bagi Negeri Johor, atas perintah Duli Yang Maha Mulia Baginda Tuanku Sultan, memberi dan mengumumkan fatwa sebagai berikut:

1. Jubin yang bertulis kalimah Allah adalah diharamkan penggunaannya pada tempat seperti pada lantai-lantai premis/hotel/kediaman dan pejabat, bilik air, tempat letak kereta, tempat laluan pejalan kaki dan sebagainya, juga dimana-mana tempat yang boleh mencemarkan kesucian kalimah tersebut. Justeru, semua pihak yang terlibat (peniaga, pembeli, pengedar, pengguna, pengilang dan pengimport) hendaklah mengambil tindakan menghentikannya dengan segera dan serta-merta.

2. Cara untuk menghilangkan imej sama ada dengan menukarkan dengan jubin yang lain ataupun dengan cara menghilangkan tulisannya.73

Contoh-contoh fatwa di atas telah disetujui oleh Duli Yang Maha Mulia Sultan dan telah disampaikan kepada pemerintah Negeri Johor untuk disebarkan dan diwartakan sebagai fatwa yang mengikat.74

2. Pindaan (pengubahan) atau Pembatalan Fatwa

Jawatankuasa Fatwa dapat mengubah atau membatalkan suatu fatwa yang telah disahkan dalam warta atau dalam Enakmen. Di antara sebab-sebab dilakukannya perubahan atau pembatalan fatwa antara lain ialah:

1. Fatwa yang dikeluarkan tidak kuat, berubah-ubah dan mempunyai kepentingan tertentu;

73

Warta Kerajaan Negeri Johor ,Jilid 52 No. 3 tanggal 11 Rajab 1428/26 Julai 2007 [JMJ.35/04/01/6/4;PUNJ.BIL.(PU2)15], h. 19

74


(44)

2. Fatwa yang tidak bersifat ilmiah karena tidak mempunyai dasar sandaran hukum yang kuat; dan

3. Isi kandungan fatwa terbatas hanya bisa menjawab persoalan tertentu saja dan tidak membawa perubahan yang besar kepada stuktur dan sistem negara.75

Secara keseluruhan, masyarakat tidak mempermasalahkan fatwa-fatwa tersebut bahwa fatwa yang dikeluarkan adalah sesuai dengan suasana di Johor khususnya dan di Malaysia umumnya. Bagaimanapun terdapat beberapa permasalahan yang tidak dapat dihindari seperti yang penulis paparkan di atas.

3. Qaul muktamad harus dipatuhi

Dalam mengeluarkan sebuah fatwa Jawatankuasa Fatwa hendaklah berdasarkan qaul muktamad yaitu pendapat-pendapat yang diterima Madzhab Syafi’i.

76

Jika Jawatankuasa Fatwa berpendapat bahawa dengan berdasarkan qaul muktamad Madzhab Syafi’i suatu keadaan yang bertentangan dengan kepentingan umum akan terjadi, Jawatankuasa Fatwa dapat mengambil berdasarkan qaul muktamad Madzhab Hanafi, Maliki atau Hanbali.77

Jika Jawatankuasa Fatwa berpendapat bahawa tidak satu pun qaul muktamad dari empat madzhab tersebut dapat diikuti tanpa membawa kepada keadaan yang bertentangan dengan kepentingan umum, Jawatankuasa Fatwa dapat membuat fatwa tersebut berdasarkan ijtihad tanpa terikat dengan qaul muktamad dari madzhab yang empat itu.78 Ijtihad tersebut dapat dilakukan dengan mengambil rujukan kitab-kitab di antaranya sebagai berikut:

75 Ahmad Hidayat Buang, Fatwa di Malaysia, (Kuala Lumpur: Jabatan Syari’ah dan

undang-undang Akademi Pengajian Islam Universitas Malaya, 2004), cet. I, h. 114" 76

Pasal 54 ayat (1) Enakmen Pentadbiran Agama Islam Johor

77

Ibid., ayat (2)

78


(45)

a. Kitab Al-Umm, Minhaj al-Talibin, al-Minhaj, Thfat al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj. b. Kitab Bajiru Marra A’la al-Khatib, Kifayatul Akhyar.79

B. Fatwa Sebagai Hukum yang Tidak Mengikat

Selain dari fatwa yang mengikat ada juga fatwa yang tidak mengikat seperti fatwa memberi petunjuk, nasihat dan juga dalam hal tanya jawab masalah agama. Maka, Jabatan Mufti berfungsi sebagai badan yang memberi penjelasan kepada rakyat, terutama dalam fatwa-fatwa kontemporer. Pertanyaan-pertanyaan dan permasalahan agama yang difatwakan adalah sekitar urusan-urusan dunia dan kehidupan yang berkait dengan hukum Islam. Disertakan jawaban dan uraian yang sesuai dengan hukum Islam (syari’ah) melalui tulisan, ceramah dan seminar yang diadakan oleh Badan Mufti. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Jabatan Mufti adalah berdasarkan al-Quran al-Karim, Hadis-hadis yang sohih, pandangan sahabat dan tabiin, pendapat masyhur dikalangan madzhab Imam yang empat.

Fatwa yang tidak mengikat adalah fatwa yang memberi petunjuk atau pedoman kepada masyarakat tentang permasalahan dunia dan akhirat. Selama fatwa itu tidak diwartakan, maka ia tidak mengikat kepada rakyat dan tidak dikategorikan pelanggaran tindak pidana. Namun demikian, fatwa tersebut mempunyai kepentingan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan tersebut bisa dalam bentuk fatwa-fatwa biasa atau pun yang bersifat kritikal sangat penting dan diperlukan dalam masyarakat Islam terutama apabila terdapat hal-hal atau masalah baru yang yang harus diberikan jawaban dan penjelasan hukumnya. Hal ini perlu diketahui oleh masyarakat dalam menilai fatwa-fatwa serta respon mereka terhadap institusi atau Badan

79

Ruzian Markom, Apa itu Undang-undang Islam, (Pahang: PTS Publication and Distributor SDN. BHD, 2003), cet. I, h. 146


(46)

Mufti dalam menjadikan fatwa sebagai suatu yang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Islam.80

Untuk menjadikan fatwa itu mengikat, fatwa tersebut perlu dibawa ke Jawatankuasa Fatwa negara bagian untuk disiarkan dan diwartakan dan dijadikan undang-undang yang mengikat.81 Sebaliknya, fatwa yang tidak diwartakan adalah tidak mengikat dan terserah kepada individu tersebut untuk mengambil atau mengikuti dan mempraktekkannya dalam kehidupan masing-masing. Sebagai contoh dalam fatwa tentang “Membendung Pengaruh Syiah Di Malaysia”, yang menyatakan: “Mengakui bahawa ajaran Islam yang lain dari pegangan Ahli Sunnah Wal-Jamaah adalah bertentangan dengan hukum syara’ atau hukum Islam dan dengan demikian penyebaran ajaran yang lain daripada pegangan Ahli Sunnah Wal-Jamah adalah dilarang”.82 Walaupun kasus ini telah difatwakan namun belum diwartakan. Dengan demikian jelas bahwa fatwa ini tidak mengikat sehingga apabila perlu harus diwartakan.

1. Keputusan Muzakarah yang tidak mengikat

Keputusan “muzakarah” tidak mengikat negeri bagian yang menjadi anggota untuk menerimanya. Dengan kata lain, keputusan itu tidak semesti-nya diterima atau dilaksanakan di seluruh Malaysia. Demikian juga dengan keputusan “Persidangan” semuanya bergantung kepada tindakan pihak negeri bagian apakah menerima fatwa itu dan mewartakannya atau sebaliknya.83

80

Raihanah Abdullah, Fatwa Dan Masyarakat,:Jabatan Syariah dan Undang-Undang :Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya:Kuala Lumpur,2004, h,142

81

Kertas kerja

82

Fatwa Mufti Wilayah Persekutuan 1987-2007.: Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan, Malaysia, Bil. 26, h. 7

83

Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan (JAKIM): Kedudukan Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia dan Peranannya, (Kuala Lumpur: JAKIM, 2008, h. 4.


(47)

Dari sudut perundangan, sesuatu keputusan yang dikeluarkan di tingkat Persekutuan oleh para mufti yang menjadi anggota Jawatankuasa Fatwa Kebangsaaan bukanlah merupakan satu fatwa. Ia lebih kepada keputu-san majelis diskusi untuk menentukan hukum suatu masalah tertentu yang menyangkut kepentingan Persekutuan. Namun, dari sudut pandangan syarak, keputusan tersebut adalah fatwa, hanya saja dari segi perundangan belum diundangkan selama tidak diwartakan oleh pihak berkuasa negeri bagian.84

Sebagai contoh, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Hal Ehwal Islam Malaysia yang ke-37 telah memutuskan bahwa merokok adalah haram menurut pandangan Islam. Namun hanya sebagian kecil negara bagian yang telah mewartakan sebagai fatwa.85

2. Fatwa Yang Tidak Mengikat Mahkamah

Fatwa-fatwa yang diputuskan atau tidak diwartakan tidak mengikat mahkamah terutama Mahkamah Sivil. Hal ini juga adalah salah satu sebab mengapa fatwa tidak sama sekiranya mahkamah menjatuhkan hukuman yang berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan.86 Ini adalah karena kedudukan Mahkamah Sivil adalah lebih tinggi daripada Mahkamah Syariah dan juga wewenang mahkamah syariah hanya sebatas denda tidak melebihi RM 5000 dan penjara (dikurung) tidak melebihi 3 tahun.87

84

Ibid., h. 5

85

Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa, 23 Maret 1995.

86

Yang Amat Berhormat Datuk Syeikh Ghazali bin Haji Abd Rahman, Pengurusan Fatwa Muamalat dalam Sisitem Kewangan Islam”,(Malaysia: KUIM, 2006), h. 19

87

Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia (MJFK) 2003, lampiran 3 Fatwa yang dikeluarkan tidak dapat mengikat mahkamah sekiranya fatwa tindak pidana itu melebihi hukum Mahkamah Syariah dan selebihnya dilaksanakan oleh Mahkamah Sivil.


(48)

Di bawah ini penulis cantumkan sebuah kasus mengenai Mahkamah menggunakan fatwa yang dikeluarkan Jabatan Mufti Johor yaitu kasus Re Dato’ Bentara Luar [1982] 2MLJ 26

Satu masalah timbul di Mahkamah Sivil, sama ada wakaf yang dibuat oleh Dato’ Bentara Luar bagi dua anaknya adalah sah atau tidak. Mufti Kerajaan Johor memberi fatwa pada 11 Agustus 1970 tanah tersebut menjadi wakaf yang sah menurut hukum syara. Berdasarkan fatwa itu “Tanah tersebut telah diberi hak oleh wakil Encik Salleh bin Perang (al-Marhum Dato’ Bentara Luar) kepada anaknya Othman bin Mohd Salleh dan Kalthom bin Mohd Salleh dan keturunan mereka selama-lamanya”.88

Dalam keputusannya Salleh Abbas, Hakim Persekutuan berkata “Mufti Johor berkata dalam fatwa yang dikeluarkan pada tahun 1970 bahwa wakaf tersebut adalah sah. Sungguh pun kami tidak terpaksa menerima apa yang disebut di dalam fatwa tersebut oleh karena kami berhak menjelaskan apa dia undang-undang Islam mengenai apa-apa perkara, kami juga tidak semestinya menolak apa yang disebutkan dalam itu hanya karena undang-undang Islam adalah undang-undang negara bagian dan tugas menjelaskan undang-undang adalah terpulang kepada kami. Dalam pandangan kami oleh karena pandangan itu diberi otoritas yang tertinggi sekali dalam negara bagian itu, yang menghabiskan masa hidupnya mempelajari dan menafsirkan undang-undang Islam dan tidak terdapat apa-apa rayuan ke atas fatwa itu kepada DYMM Sultan dalam majelis kerajaan di bawah enakmen yang berkenaan, kami tidak ada apa-apa sebab yang boleh menyebabkan kami menolak pendapat tersebut, lebih-lebih lagi oleh karena kami tidak mahir dalam sistem perundangan itu dan bertambah pula pandangan itu tidak berlawanan dengan pendapat-pendapat pengarang buku-buku undang-undang Islam.”

88


(49)

3. Fatwa Selain dari Mufti Adalah Tidak Mengikat

Setinggi apapun tinggi ilmu seorang, jika dia tidak dilantik sebagai Mufti maka ijtihadnya tidak boleh difatwakan dan diwartakan. Dengan kata lain, mereka yang tidak diberi hak kuasa oleh Sultan atau pihak jabatan agama, tidak boleh memfatwakan sesuatu perkara dengan sesuka hatinya. Ini berarti bahwa Sultan atau Jabatan Agama Negeri Bagian menyerahkan kepercayaan kapada para Mufti dalam menyelesaikan masalah-masalah agama yang dihadapi oleh masyarakat Islam. Tetapi apabila sesuatu fatwa hukum diputuskan, terdapat negeri bagian yang melaksanakannya dan ada juga negeri bagian yang tidak berbuat demikian adalah karena, tiap-tiap negeri bagian mempunyai raja yang memerintah di mana masalah agama berada di bawah kuasanya. Oleh itu, setiap keputusan yang ada di dalam persidangan atau muzakarah yang diadakan akan dibawa ke negeri bagian masing-masing. Selanjutnya keputusan tersebut akan dibahas kembali oleh Majelis Fatwa Negeri Bagian masing-masing. Hasilnya akan terdapat negeri bagian yang melaksanakan sesuatu hukum yang diputuskan dan sebaliknya. Di Malaysia terdapat 14 orang Mufti yang mewujudkan berbagai pendapat dan fatwa yang dikeluarkan.89

Kesimpulannya, penulis berpandangan bahwa fatwa mempunyai kekuatan undang-undang yang mengikat. Fatwa di Malaysia bukan semata-mata berupa penjelasan hukum syara’ yang tidak mempunyai nash. Malah ia merupakan keputusan hukum yang berupa perundangan yang bisa dilaksana-kan dan menjadi diambil tindak pidana bagi rakyat Islam yang melanggarnya. Makna fatwa jika dilihat dari sudut perundangan berarti fatwa mufti yang diwartakan, meskipun terdapat usaha untuk menjadikan fatwa yang diwartakan itu mengikat Mahkamah, namun Mahkamah Sivil tidak terikat dengan fatwa yang diwartakan itu. Ini adalah karena kuasa untuk

89

Ahmad Lutfi Othman, Membaca Minda Mufti Selangor, (Kuala Lumpur: Penerbitan Pemuda, 1997), cet. IV, h. 81


(50)

mentafsirkan undang-undang itu masih berada dalam wewenang Mahkamah. Mahkamah Syariah tidak terikat dengan fatwa, dengan hujah bahwa ia berhak untuk berijtihad dalam kasus-kasus yang dihadapkan kepadanya. Oleh itu, ketentuan undang-undang yang mencoba untuk mengikat Mahkamah dengan fatwa-fatwa yang diwartakan perlu diuji di Mahkamah untuk diketahui akibatnya. Perlembagaan dan undang-undang Persekutuan yang mempunyai keutamaan berbanding undang-undang lain apatah lagi undang-undang Pentadbiran Agama Islam dan fatwa yang diwartakan khususnya bertaraf undang-undang negara bagian dan undang-undang kecil.

4. Akibat Fatwa yang dikeluarkan oleh Orang Yang Tidak Berwenang

Sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh orang yang tidak memiliki wewenang atau otoritas untuk mengeluarkannya akan menimbulkan akibat-akibat di antaranya: a. Akan terjadi pengeluaran fatwa yang tidak tepat dan salah;

b. Akan terjadi ketidaksamaan dalam pelaksanaan fatwa;

c. Apabila berlakunya ketidaksamaan, maka akan timbul kekeliruan dan kesamaran di kalangan masyarakat terutamanya dipihak orang banyak;

d. Ada kemungkinannya terjadi salah paham di kalangan umat Islam terhadap perbuatan yang difatwakan;

e. Memungkinkan akan terjadi pertikaian di kalangan masyarakat Islam;

f. Umat Islam juga akan dipandang kurang baik oleh masyarakat bukan Islam dan hilang rasa hormat mereka terhadap umat Islam;

g. Menjadi penghalang kesatuan dan persatuan terhadap ukwwah Islamiyyah yang diperjuangkan oleh Islam; dan

h. Pada akhirnya juga dapat mengganggu keamanan dan keselamatan dalam negara.


(51)

1. Pihak Yang Mengeluarkan Fatwa

Bagi menyelaraskan pengeluaran fatwa di negara ini, maka pihak yang dipertanggungjawabkan mengeluarkan fatwa ialah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia. Fatwa yang akan dikeluarkan adalah menyentuh kepada perkara-perkara berikut:

a. Masalah-masalah keagamaan yang bukan bersifat tempatan tetapi berkaitan dengan umat Islam Malaysia secara keseluruhan.

b. Masalah-masalah keagamaan di suatu negeri bagian yang mungkin berlaku di negeri bagian yang lain.

c. Masalah keagamaan yang bersifat tempatan dan daerah serta memenuhi syarat (I) dan (II) di atas.

Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Islam Malaysia juga boleh menerima permohonan fatwa daripada mana-mana Ahli Jawatankuasa Negara bagian.90

2. Kaidah Pengeluaran Fatwa Di Malaysia (Tingkat Kebangsaan)

Pengeluaran fatwa yang yang dilakukan di Malaysia adalah melalui dua cara: a. Melalui Arahan Rapat Majelis Raja-raja

Proses pengeluaran fatwa ini bermula apabila rapat Majelis Raja-raja menitahkan agar Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Islam Malaysia mengeluarkan fatwa tentang sesuatu isu yang timbul dalam masyarakat. Majelis Muzakarah Fatwa diadakan dan apabila Majelis Muzakarah bersetuju mengeluarkan fatwa maka fatwa berkenaan akan dikemukakan kepada rapat Majelis Raja-Raja melewati Majelis Kebangsaan Hal Ehwal Islam Malaysia. Fatwa yang telah diterima oleh Majelis Raja-raja tersebut akan dibawa kepada

90


(1)

! " # "

$ % % &' (% )" &**' + ,, ** "

+ " -) )

1 ) ? ;

+ 1 2=9=673=5:<<

$ 1 / (

' 1 ( )

- & 1 - & + .. )

( " # %

$ 1

2" ? ' # F !

F

/ # 1

( # # %

? . # % %

+ * /$ $ , 3==5 G "28H3==5I % +++ 5= 57

66 76 5: % " ? . #

% % . % . # !


(2)

# " $ . % . % %

% %

! % ("

3" ? 0 . # F

% . # . %

% $ % % % "

. % / # ' #

% . # % . # %

% # "

. # % # #

? % % / # * %! ,

*? , % . " 0 $ .

# % $ . # # % $


(3)

" . " / ) " 0 1

" &2 3 % ,4&5. " &6 )7 "

&**' + " - " 0 1

1 ) ? ;

+ 1 2=9=673=5:<<

$ 1 / (

' 1 ( )

- & 1 - & + .. )

( " # %

$ 1

2" . +

3" ' # !' #

5" % 4 . E

/ # 1

( # # %

) % . ' # % . #


(4)

. # % % % # H

% "

( $ . % % (

% # % % 0

% " ' # $ / % .

# $ % $

! " $ # 0 %

% " + (

% $ %

" $ . #

% %

% % ( * , !

. # !

! % . $% %

+ "

' #

+ " $ $

% % % $ %

. # " / % . !

% / % + */ + , %

. # " % / % . / +

4 % % 0

% "

4 / # ' # % ? ) #


(5)

%$ % % % 0

" ? % 4 0 # %

# %

% 0 %

"

? . # %

# 4 4 %

. ( / # ' # % / "

' > ! #

# "

H % %

( " / # . #

! % % ( ! 4 % . > (

! "

" + %

• !E !

• ! ! % #

• !+ (

• !E

• + !' >


(6)

% C / # ' #

' # $ 4

/ # ' # % % ) #

+ % % 0 "

' # % #

/ # ' # !

! "

. # %