Qadhi Kedudukan Mufti, Qadhi dan Mujtahid

hukum. 17 Mufti adalah orang yang melaksanakan fatwa dan perlu dibahas definisi fatwa tersebut yang mempunyai hubungan dengan mufti. Fatwa dari bahasa Arab yaitu Fata – Yaftu - Fatwa atau Futuya 6 – 76 ی – 976 yang bermaksud menjawab perkara-perkara yang menjadi kemusykilan seperti seorang berkata “meminta fatwa daripadanya maka ia pun memberi fatwa” 18 Yang secara sederhana dimengerti sebagai “pemberi keputusan”. 19 Fatwa adalah suatu jawaban resmi terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum, yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya. 20 Menurut istilah fatwa yaitu pemberitahuan tentang suatu hukum syara’ berdasarkan istinbat yang dilakukan oleh seorang Mufti yang mempunyai kewibawaan di dalam ilmu pengetahuan Islam hukum Islam untuk memberikan jawaban atas sesuatu permasalahan, walau pun jawabannya itu tidak mengikat. 21

2. Qadhi

Kata Qadhi berasal dari bahasa Arab yaitu Qadha :; 4 yang berarti hukuman yang dijatuhkan dan Qadhi ialah orang yang menjatuhkan hukuman atau seseorang yang membuat putusan dalam sesuatu perkara. 22 Sedangkan dalam bahasa Indonesia Qadhi dan Hakim mempunyai pengertian yang sama. Menurut istilah syara’, Qadhi ialah orang yang bertindak menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara dua pihak 17 Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Surabaya: Karya Harapan, 2005, h. 418. 18 Ibrahim Najaib Muhammad Iwad, al-Qadhâ fî al-Islâm, Kairo: Majma’ al-Buhuts al- Islâmiyyah, 1975, h. 10. 19 Pengantar M. Quraish Shihab dalam buku M. B Hooker, Islam Madzhab Indonesia, Fatwa- Fatwa dan Perubahan Sosial, Jakarta: Teraju, 2003, cet II, h. 16 20 Ibid., h. 21 21 Jabatan Mufti Terengganu, Perbedaan Mufti dengan Qadhi, h. 2. 22 Abdul Salam Muhammad Na’im, Nazariyah al-Dawa, T.tp.:Mathba’ah al-Muqaddimah al- Islâmiyah, t.th., h. 41 atau lebih di dalam masyarakat. 23 Hukuman atau penyelesaian yang diberikan oleh Qadhi hendaklah berdasar-kan hukuman syara’ dan wajib diterima dan dilaksanakan dengan patuh. 24 Tugas Qadhi ialah melaksanakan keadilan, oleh karena itu seseorang Qadhi hendaklah menjaga tindak-tanduk dan sikapnya dari segala perkara yang bisa menimbulkan keraguan tentang keadilan hukumannya dan kebersihan peribadinya. Qadhi tidak boleh terpengaruh atau dipengaruhi oleh keadaan sekeliling atau oleh tekanan dari pihak manapun dalam bentuk apapun. 25 Di bawah ini penulis sertakan adab-adab Qadhi: a Tidak boleh menerima undangan khusus Undangan terbagi kepada dua bagian yaitu undangan khusus dan undangan umum. Yang dimaksud dengan undangan khusus menurut pendapat sebagian ulama’ ialah undangan yang jumlah orangnya di antara lima hingga sepuluh orang, jika lebih dari itu disebut undangan umum. 26 b Tidak boleh menerima hadiah Hadiah ialah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa meminta syarat pertolongan atau menyampaikan sesuatu maksud atau melaksanakan kehendaknya. Namun demikian, al-Imam al-Mawardi berpendapat bahawa Qadhi tidak boleh menerima hadiah dari siapa pun, baik dari orang yang mempunyai kesalahan maupun sebaliknya. 27 23 Mahmud Saedon A. Othman, Peranan Prinsip “Adabul Qadi” dalam kehidupan Qadi dan semasa bertugas di Mahkamah, Jurnal Hukum Jilid II Bagian II, Mei 1982, h. 173. 24 Ibid. 25 Ab5 Hasan Ali ibnu Muhammad al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyah, Beirut: Dâr al-Fikr, 1960, h. 75 26 Muhammad Amin Ibn ’Abidin, Hasyiyyah Rad al-Mukhtar, T.tp.: Matba’ah Mustafa halabi, 1966, jilid V, h. 374 c Tidak boleh menerima rasuah suap Rasuah ialah pemberian seorang yang bersalah kepada Qadhi agar tidak menjatuhkan hukuman kepadanya atau diringankan hukumannya. Rasuah atau memberikan suap kepada Qadhi terbagi dua macam, yaitu: pertama haram suap- menyuap ketika hendak menjadi qadhi dan kedua rasuah diberikan kepada Qadhi supaya hukuman diringankan atau dibebaskan. 28 d Tidak wajar mengeluarkan fatwa Menurut jumhur Ulama’ tidak harus bagi Qadhi mengeluarkan fatwa dalam suatu perkara yang kemungkinan akan menjadi kasus yang akan diselesaikannya di Mahkamah nanti. Karena fatwanya itu bisa menurunkan kewibawaannya. Proses penetapan hukum melalui fatwa adalah berbeda dengan proses penetapan hukum melalui Mahkamah. Hukum yang lahir melalui fatwa adalah bersifat umum sedangkan hukum yang lahir melalui peradilan Mahkamah bersifat khusus. Jika Qadhi telah menyatakan pendapatnya atau fatwanya dalam suatu kasus seperti itu ada kemungkinan hukum kasus tersebut melalui pembuktian di Mahkamah akan berbeda dengan fatwanya. Kalau hal ini terjadi, kepercayaan terhadap Qadhi akan menurun dan akan menjatuhkan kedudukan Qadhi karena hukumannya telah bertentangan dengan fatwanya. Sebaliknya jika berlaku hukumannya melalui pembuktian mahkamah tidak bertentangan dengan fatwanya ini juga dapat menimbulkan prasangka image yang tidak baik yaitu mungkin Qadhi telah terikat dengan fatwanya yang terdahulu. 29

3. Mujtahid dan Ijtihad