Syarat-syarat Keahlian Mufti dalam Ketatanegaraan Islam

Mufti dari kalangan penduduk Basrah, Anas bin Malik al-Asy’ari, Abu ‘Aliyah Rafi’ bin Mahram ar-Rayani, Hasan bin Hasan Yassar, Abu Sya’tsa bin Zaid, Muhammad bin Sirin dan Qatadah bin Di’amah ad-Dausi. Seterusnya mufti dari penduduk Syam, Abdur Rahman bin Ghunmin al-Asy’ari, Abu Idris al-Khulani ‘Aidzullah bin Abdullah, Qabishah bin Dzuaib, Makhul bin Abi Muslim, Raja’ bin Hayah al-Kindi, Umar bin Abdul Aziz bin Marwan. Mufti dari penduduk Mesir, Abdullah bin Amr bin Ash, Abul Khir Martsad bin Abdullah al-Yazini, Yazid bin Abu Habib maula al-Azdi. 50 Dari penduduk Yaman, Thawus bin Kaisan al-Jundi dari Abna’, Wahab bin Munabbih ash-Shan’ani, Yahya bin Abu Kathir maula Thayi’. 51

C. Syarat-syarat Keahlian Mufti dalam Ketatanegaraan Islam

Menurut Dr. Uthman El-Muhammady, Felo Amat Utama Akademik, ISTAC, UIAM dalam tulisannya: “Kaedah-kaedah dan Adab-Adab Mengeluar-kan Fatwa”, mengutip dari Imam Nawawi membahas bahwa seorang mufti itu hendaklah zahir kewarakannya, terkenal dengan keagamaannya yang zahir padanya dan penjagaan dirinya yang sangat nyata. Imam Malik dalam amalannya ia tidak melazimkan atas orang ramai dan ia berkata: orang alim itu tidak melazimkan atas orang ramai. 52 Menurut Imam Ghazali seorang mufti itu hendaklah seorang yang mempunyai sifat ‘adalah adil yaitu menjauhi kemaksiatan. Diisyaratkan bagi membolehkan orang ramai berpegang pada fatwanya, maka siapa yang tidak ‘adalah maka tidak diterima fatwanya. 53 50 Ibid., h. 137 51 Ibid., h. 320 52 Hj.Abdul Samat Musa dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara Asean,Negeri Sembilan: INFAD, 2006, h. 4 Menurut Imam Nawawi lagi, mufti itu hendaklah seorang mukallaf, muslim, berkepercayaan, aman dari sifat-sifat yang dicurigai, bersih dari faktor-faktor kefasikan, dan perkara-perkara yang merusak maruah diri, jiwa yang faqih, berfahaman sejahtera, berfikiran jernih, sahih urusannya dan cara istinbatnya serta bersikap penuh waspada, sama ada merdeka atau hamba, wanita dan buta, juga yang bisu bila ia menulis dan boleh difahami isyaratnya. 54 Dalam hubungan dengan memberi fatwa menurut Jad al-Haqq ‘Ali Jad al-Haqq, dalam madzhab Hanafi bahwa tidak wajib memberi fatwa berkenaan dalam perkara yang tidak berlaku dan haram mengambil sikap bermudah-mudah dalam mengeluarkan fatwa dan jangan mufti mengikut hawa nafsunya sendiri, dan janganlah ia memberi fatwa itu melainkan ahli ilmu yang mengetahui qaul-qaul pendapat ulama dam mengetahui dari mana mereka mengeluarkan pandangan itu. Jika ada khilaf dalam perkara yang berkenaan jangan ia memilih sesuatu qaul itu sehingga ia mengetahui hujjahnya. Orang yang berfatwa itu hendaklah Muslim yang baligh, berakal, yang hafiz, riwayat-riwayat teguh dalam ilmunya, menjaga diri dalam ketaatan dan mengelak diri daripada kemaksiatan dan syubhat. 55 Beliau menyebutkan bahwa mufti itu harus ada lima sifat yaitu berfatwa karena Allah semata-mata bukan karena pangkat dan kedudukan atau karena diperintah oleh ulul amri pemerintah, keduanya, seorang mufti melakukan yang demikian itu dengan pengetahuan beserta dengan sifat hilm lemah-lembut, sifat agung dan tenang. Ketiga, harus teguh mengikut apa yang ada pada ilmunya. Keempat, cukup keperluan dalam hidup 53 Ibid., h. 5 54 Ibid., h. 6 55 Uthman El-Muhammady, Kaedah-kaedah dan Adab Mengeluarkan Fatwa, dalam Hj.Abdul Samat Musa dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara Asean, h. 12 sehariannya. Akhirnya, mufi harus tahu sifat, keadaan jiwa dan peribadi orang yang meminta fatwa. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menjelaskan bahwa mufti itu memberi fatwa dengan memberi bimbingan kepada jalan yang benar dan fatwanya bersifat islah atau perbaikan di kalangan orang banyak, tidak mengikut jalan keras malah bersedarhana sesuai kemampuan. 56 Kesimpulan daripada syarat-syarat dan kelayakan mufti di atas dapat difahami bahwa institusi mengeluarkan fatwa merupakan satu daripada institusi yang paling pokok dalam peradaban umat ini. Bahkan menurut Imam Nawawi r.a. institusi fatwa adalah institusi pewaris kenabian karena ia memberi panduan kepada umat. Beliau menyatakan ‘al-mufti warits al-anbiya’. 57

D. Fatwa Dalam Ketatanegaraan Islam