BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kaum muslimin, secara umum memang tidak pernah bisa lepas dari fatwa. Banyak di  antara  mereka  yang  selalu  membutuhkan  fatwa  dalam  menetapkan  hukum  suatu
masalah  tertentu,  tata  cara  beribadat  menurut  syari’at  dan  berbagai  persoalan  dalam kesehariannya.  Bahkan  bagi  sebagian  kelompok  masyarakat,  tidak  sedikit  yang  dalam
beribadah atau pun cara hidupnya  hanya mengikuti apa  yang dikatakan oleh ulama  yang dipercaya.  Lebih  dari  itu,  seseorang  yang  telah  mendengar  suatu  fatwa  namun  ia  kurang
yakin  dengan  kebenaran  fatwa  tersebut,  dia  bisa  saja  bertanya  kepada  ulama  lain  yang dianggap lebih mampu untuk menjawab dan memberikan fatwa  yang lebih bijaksana dan
menenangkan  hati.  Karena  bagaimanapun  juga,  suatu  kebenaran  adalah  apa  yang membuat hati menjadi tenang. Rasulullah SAW bersabda:
+ ,
- .
1+ﺏ ﺏ
3 4
1
Artinya:  “Kebaikan  kebenaran  adalah  apa  yang  membuat  hatimu  tenang  dan menjadikan  jiwamu damai. Sedangkan dosa adalah apa yang menyesakkan hati
dan memunculkan keraguan di dada.” HR. Ahmad
Fatwa  bukanlah  sesuatu  yang  saklek,  kaku  dan  statis.  Ia  dapat  berubah  sesuai perubahan zaman, tempat, kondisi dan tradisi. Seperti larangan Nabi kepada para sahabat
agar  jangan  menulis  hadits  dari  dirinya.  Sebab  beliau  khawatir  jika  hadits  tersebut bercampur dengan  al-Qur’an. Namun manakala beliau merasa  yakin bahwa para sahabat
1
Ahmad  bin  Hanbal  Ab5  Abdullâh  al-Syaibânî,  Musnad  al-Imâm  Ahmad  bin  Hanbal,  Kairo: Muasasah Qurtubah, t.th, juz IV, h. 228, hadits nomor 1803
tidak akan mencampurkan al-Qur’an dengan apa yang beliau sabdakan, maka mereka pun diizinkan menulis hadits.
2
Perbedaan  pendapat  yang  terjadi  antara  Imam  Abu  Hanifah  dengan  kedua muridnya;  Abu  Yusuf  dan  Muhammad  Hasan,  juga  merupakan  perbedaan  waktu  dan
zaman.  Bukan  perbedaan  hujjah  dan  argumentasi.  Sebab,  jika  Imam  Abu  Hanifah menyaksikan realita sebagaimana  yang disaksikan kedua orang muridnya,  niscaya beliau
akan mengatakan apa yang dikatakan oleh mereka, meskipun rentang waktu mereka masih berdekatan.
3
Demikian pula dengan Imam al-Syafi’i yang memiliki dua madzhab. Madzhab lama qaul  qadîm  dan  madzhab  baru  qaul  jadîd.  Qaul  qadîm    adalah  pendapat-pendapat
beliau sebelum ke Mesir dan  qaul jadîd adalah pendapat-pendapat beliau setelah mukim di Mesir. Di Mesir, Imam Syafi’i menyaksikan dan mendengar  hal-hal baru  yang belum
pernah  beliau  dapatkan  sebelumnya.  Dikarenakan  usia,  ilmu,  dan  pengalaman  yang semakin matang, beliau pun mengubah ijtihadnya dalam banyak hal.
4
Selain itu, fatwa juga bisa berubah dikarenakan karena objeknya. Misalnya, adalah izin  yang  diberikan  Nabi  kepada  sebagian  sahabat,  tetapi  tidak  mengizinkannya  kepada
sebagian sahabat yang lain. Seperti kasus seorang Badui yang buang air kecil di masjid, di mana  beliau  mengizinkannya  namun  tidak  mengizinkan  bagi  sahabatnya  yang  tinggal  di
Madinah. Dari contoh dan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa pada dasarnya yang paling
penting dari sebuah fatwa adalah memperhatikan esensi tujuan syariat. Dengan demikian,
2
Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu’ashirah, diterjemahkan oleh Samson Rahman dkk., Fatwa-fatwa Kontemporer,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002, cet. I, h. vii
3
Ibid.
4
Ibid.
seorang  mufti  atau  siapa  pun  yang  dimintai  fatwa,  tidak  terjebak  pada  tekstualitas  nash semata, sehingga dia tidak akan mudah dalam mengharamkan atau menghalalkan.
Fatwa adalah  hukum syara’  yang disampaikan oleh seorang mufti  kepada mustafti yang  diperoleh  melalui  ijtihad.  Dalam  sejarah  perundang-undangan  Islam,  bahwa  sang
mufti pemberi fatwa pada dasarnya sama kedudukannya dengan seorang hakim qadhi yaitu menyampaikan hukum kepada umat. Perbedaannya adalah fatwa disampaikan mufti
dengan  ucapannya  setelah  menerima  pertanyaan  dari  umat,  sedangkan  qadhi menyampaikan  hukum  melalui  putusan  hakim  atau  dalam  proses  persidangan  setelah
perkaranya disampaikan oleh umat.
5
Dengan demikian  keduanya sama-sama hasil ijtihad dan  dapat  dikatakan  bahwa  fatwa  yang  disampaikan  oleh  seorang  mufti  adalah  hasil
ijtihadnya sendiri atau hasil ijtihad imam mujtahid yang diikutinya. Dengan  adanya  perkembangan  zaman  dan  kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan
teknologi,  mengakibatkan  timbulnya  persoalan-persoalan  baru  yang  mana  persoalan- persoalan  tersebut  belum  ada  hukumnya.  Oleh  karena  itu,  hukum  Islam  yang  bersifat
shâlihun  likulli  zamân  wa  makân harus  mampu  menjawab  berbagai  persoalan  baru
tersebut.  Berkaitan  dengan  hal  ini,  maka  ijtihad  perlu  dilakukan  untuk  mencari  atau menggali hukum dalam rangka memberikan solusi atas persoalan-persoalan baru tersebut.
Salah satu cara dalam rangka memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut adalah dengan memberikan atau mengeluarkan fatwa.
Setelah  runtuhnya  kekhalifahan  Islam  dan  masuknya  penjajah  dari  Eropa  yang menyebabkan  umat  Islam  terpecah  menjadi  berbagai  negara,  hukum  Eropa  pun  sedikit
demi  sedikit  diterapkan  oleh  kolonial  dan  akhirnya  hingga  saat  ini  walaupun  negara- negara  muslim  telah  merdeka,  akan  tetapi  masih  banyak  yang  menggunakan  hukum-
hukum  peninggalan  penjajah  tersebut.  Namun  pada  perkembangan  selanjutnya,  umat
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008, cet. IV, jilid II, h. 433
Islam  di  berbagai  negara  sadar  bahwa  hukum  Islam  merupakan  hukum  yang  sesuai  dan dapat  menjawab  berbagai  persoalan.  Ini  menyebabkan  banyak  gerakan-gerakan  yang
menyeru dan mengupayakan adanya formalisasi hukum Islam. Di  samping  itu,  yang  tidak  kalah  penting  adalah  bahwa  di  seluruh  negara-negara
muslim  terdapat  suatu  lembaga  keagamaan  yang  menjadi  wadah  tempat  berkumpulnya para  ulama  dalam  suatu  negara  dalam  rangka  memberikan  jawaban  atau  solusi  atas
permasalahan yang ada yang berkenaan dengan umat Islam. Lembaga ini biasanya dikenal dengan  Majelis  Ulama  yang  memberikan  fatwa-fatwa  berkenaan  dengan persoalan  umat
Islam. Di Indonesia misalnya ada Majelis Ulama Indonesia dan di Malaysia Jabatan Mufti. Jabatan Mufti berkedudukan di setiap negara bagian  yang kemudian membentuk menjadi
Majelis Fatwa Kebangsaan. Karena lembaga ini bukan merupakan lembaga dalam struktur pemerintahan, maka
kekuatan  fatwa  yang  dikeluarkannya  pun  tidak  mempunyai  daya  ikat  seperti  undang- undang atau putusan pengadilan. Di samping itu lembaga ini juga tidak mempunyai organ
yang bertugas untuk mengeksekusi bagi pelanggaran terhadap fatwa. Akan tetapi, fatwa- fatwa  yang  dikeluarkan  lembaga  ini  juga  sangat  berarti  karena  sangat  diperlukan  oleh
ummat.  Bahkan  fatwa  dapat dijadikan  juga  sebagai  rujukan  oleh  lembaga  negara  seperti Kejaksaan di Indonesia misalnya dalam menetapkan aliran-aliran sesat. Di Malaysia fatwa
juga dapat dijadikan rujukan oleh hakim Mahkamah Syari’ah dalam memutuskan perkara, fatwa juga dapat dijadikan rujukan atau dasar oleh raja dalam menetapkan suatu persoalan
misalnya  dalam  menetapkan  awal  bulan  Ramadhan,  fatwa  juga  dapat  dijadikan  rujukan bahkan ditetapkan sebagai Undang-undang Negara oleh Dewan Undangan Negeri.
Malaysia  adalah  negara  yang  terdiri  dari  berbagai  golongan,  budaya  dan  agama, maka  mufti  mengetuai  forum  dialog  antara  agama  serta  menjadi  rujukan  utama  dalam
perkara  ini.  Juga  menasihati  Badan  Berkanun,  Pertubuhan  Bukan  Kerajaan  NGO  dan
masyarakat keseluruhannya berkaitan dengan semua perkara hal ehwal agama dan hukum syara’.
Setiap  Jabatan  Mufti  negara  bagian  dapat  mengeluarkan  fatwa  untuk  negara bagiannya sendiri, adakalanya juga Jabatan Mufti di negara bagian berkumpul di Majelis
Fatwa  Kebangsaan  dan  mengeluarkan  fatwa  yang  dapat  berlaku  untuk  semua  negara bagian Persekutuan, akan tetapi fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Fatwa Kebangsaan
tersebut  dalam  pelaksanaannya  tergantung  pada  setiap  negara  bagian,  sehingga  hal  ini dapat  menyebabkan  adanya  perbedaan  berkenaan  dengan  fatwa  kebangsaan  tersebut.
Misalnya Majelis Fatwa Kebangsaan mengeluarkan fatwa bahwa rokok hukumnya haram, akan  tetapi  ketika  mufti  anggota  Majelis  Fatwa  Kebangsaan  kembali  ke  negara  bagian
masing-masing,  ada  yang  memfatwakan  bahwa  rokok  hukumnya  tidak  haram.  Artinya Majelis  Fatwa  Kebangsaan  hanya  sebatas  mengeluarkan  fatwa  saja,  sedangkan    proses
pelaksanaan atau wewenangnya adalah berada pada Jabatan Mufti Negara Bagian masing- masing.
6
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa adakalanya fatwa hanya sebatas nasehat yang dijadikan  petunjuk  oleh  mustafti,  namun  adakalanya  juga  fatwa  dapat  dijadikan  rujukan
atau  sumber  hukum  oleh  negara.  Bagaimanakah  proses  fatwa  menjadi  sumber  hukum negara  dan  bagaimanakah  kekuatan  hukumnya serta  bagaimana  hubungan  Jabatan  Mufti
dengan Majelis Fatwa Kebangsan?, ini merupakan persoalan-persoalan yang memerlukan jawaban  yang mendalam dan rinci. Oleh  karenanya  hal  ini  sangat menarik untuk diteliti,
sehingga  penulis  jadikan  penelitian  skripsi  dengan  judul:  “KEDUDUKAN  MUFTI  DI NEGERI  JOHOR  KAJIAN  ATAS  JABATAN  MUFTI  DALAM  STRUKTUR
KETATANEGARAAN NEGERI JOHOR” B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
6
Ahmad  Lutfi Othman, Mufti Lawan Mahathir?, Kuala  Lumpur: Penerbitan Pemuda, 1997, cet. IV, h. 82
Sejauh  mengenai  isu  kedudukan  mufti  dalam  pelaksaan  fatwa  sebagai  sumber hukum  di  Negeri  Johor  dapat  diidentifikasikan  sejumlah  masalah  yang  harus
dijawabditeliti, antara lain, yaitu: 1.
Bagaimanakah kedudukan mufti menurut ketatanegaraan Islam?; 2.
Bagaimanakah kedudukan mufti dalam hubungan dengan Majelis Fatwa Kebangsaan?; 3.
Bagaimanakah kedudukan mufti di Negeri Johor dan bagaimanakah aplikasi pelaksaan fatwa sebagai sumber hukum di negeri Johor?
Dengan  mengacu  kepada  identifikasi  masalah  di  atas,  penelitian  ini  menjadikan masalah  yang  terakhir  sebagai  fokus  masalahnya,  yakni  bagaimana-kah  substansi
kedudukan  mufti  di  Negeri  Johor dan  bagaimanakah  aplikasi  pelaksanaan  fatwa  sebagai sumber  hukum  di    Negeri  Johor?.  Kemudian  pokok  masalah  tersebut  dapat  diuraikan
menjadi tiga sub-masalah, yaitu: 1.
Bagaimanakah teoritis tentang  mufti  dalam dinamika pemikiran ulama?; 2.
Bagaimanakah elemen-elemen pokok mufti dari sistem ketatanegaraan Islam?; 3.
Bagaimanakah kedudukan mufti di Negeri Johor?
C. Tujuan dan manfaat penelitian