Fatwa Dalam Ketatanegaraan Islam

sehariannya. Akhirnya, mufi harus tahu sifat, keadaan jiwa dan peribadi orang yang meminta fatwa. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menjelaskan bahwa mufti itu memberi fatwa dengan memberi bimbingan kepada jalan yang benar dan fatwanya bersifat islah atau perbaikan di kalangan orang banyak, tidak mengikut jalan keras malah bersedarhana sesuai kemampuan. 56 Kesimpulan daripada syarat-syarat dan kelayakan mufti di atas dapat difahami bahwa institusi mengeluarkan fatwa merupakan satu daripada institusi yang paling pokok dalam peradaban umat ini. Bahkan menurut Imam Nawawi r.a. institusi fatwa adalah institusi pewaris kenabian karena ia memberi panduan kepada umat. Beliau menyatakan ‘al-mufti warits al-anbiya’. 57

D. Fatwa Dalam Ketatanegaraan Islam

Di zaman Rasulullah SAW terdapat tiga sumber perundangan Islam yaitu al-Quran, al-Hadis dan ijtihad. Apabila seorang qadhi mengeluarkan fatwa atas suatu kasus atau masalah, ia terlebih dahulu mencari hukumnya di dalam al-Quran dan menghukum sesuai dengannya. Sekiranya tidak ditemukan hukumnya di dalam al-Quran ditinjau dari hadis dan menghukum. Setelah Rasulullah SAW wafat terdapat satu sumber perundangan Islam yang penting yaitu ijma’ para sahabat. Apabila seseorang qadhi diajukan kepadanya sesuatu masalah, ia akan mencarikan hukumnya di dalam al-Quran. Jika tiada, ia akan mencarinya di dalam hadis, jika tiada juga, ia akan mencarinya di dalam ijma’. Jika di dalam ijma’ juga tidak terdapat hukumnya maka ia akan berijtihad dan menghukum mengikut hasil ijtihadnya itu. 58 1. Periode Rasulullah s.a.w 610 M-632 M 56 Ibid 57 Ibid., h. 13 58 Ahmad Syalabi, Sejarah Perundangan Islam, h. 5 Pada periode ini terdapat 2 pasca perundangan, yaitu Mekah dan Madinah. 59 Pasca di Mekah berlaku selama 13 tahun. Pada periode ini per-undangan tertumpu pada hal-hal keimanan, aqidah, kepercayaan dan akhlaq. Pasca di Madinah berlaku setelah penghijrahan Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya ke Madinah selama 10 tahun yang mana proses perundangannya mencakup keseluruhan konsep aqidah, akhlaq serta konsep politik dan bernegara. Sumber perundangan pada zaman ini adalah wahyu al-Quran dan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi SAW yang disebut as- sunnah. 60 Kaidah perundangan pada zaman Nabi Muhammad SAW adalah berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW Apabila satu masalah timbul beliau akan menunggu wahyu. Antara contoh ayat yang diturunkan sebagai menjawab persoalan yang dikemukakan ketika mana kasus berlakunya peperangan pada bulan yang diharamkan. Surah al-Baqarah ayat 217 yang bermaksud; A5 Ng D 9hi j k7 2 l m 9KA 7 2 l = oFJ m Mpq D rK os Gt- u v w j x , ] A ?_ 4 Artinya: “Mereka bertanya kepadamu wahai Muhammad, mengenai hukum berperang dalam bulan yang dihormati; katakanlah, peperangan dalam bulan itu adalah berdosa besar, tetapi perbuatan menghalangi orang-orang Islam dari jalan Allah dan perbuatan kufur kepadanya dan juga perbuatan menyekat orang-orang Islam ke Masjidil Haram…” QS: al-Baqarah2: 217 Apabila tidak ada wahyu diturunkan terhadap persoalan yang diajukan kepadanya, maka beliau akan berijtihad berdasarkan keterangan dan bukti-bukti yang zahir. Sebagai contoh dalam kasus berwudhu’ dengan air asin. Dalam satu peristiwa, Nabi Muhammad SAW ditanya “Wahai Rasulullah Kami belayar di lautan dan 59 Ruzian Markom, Apa itu Undang-Undang Islam, Pahang: PTS Publication Distributors SDN.BHD, 2003, h. 79 60 Ibid., h. 80 sekiranya kami mengambil wudhu’ dengan air tawar, kehausanlah kami. Bolehkah kami mengambil wudhu’ dengan air asin?”. Beliau menjawab, “Ia adalah air suci dan kejadian Allah, oleh karena itu ia halal.” Lanjutan dengan kasus berhutang puasa. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas seorang perempuan berjumpa Nabi Muhammad SAW dan mengadu yang ibunya meninggal dunia tetapi masih menanggung kewajiban berpuasa ganti selama sebulan. Perempuan itu bertanya kalau boleh dia berpuasa bagi pihak ibunya. Nabi Muhammad membandingkan puasa itu dengan hutang dan bertanya sama ada perempuan itu boleh menjelaskan hutang itu atau pun tidak. Apabila perempuan itu menjawab secara positif, Nabi Muhammad SAW lantas berkata, “Hutang kepada Allah adalah lebih utama dijelaskan.” 61 Kasus anak hitam. Abu Hurairah meriwayatkan, seorang lelaki daripada bani Fazarah datang berjumpa Nabi Muhammad dan mengadu isterinya melahirkan anak yang berwarna hitam kulitnya, sedangkan dia dan isterinya berkulit putih. Nabi Muhammad SAW membandingkan kejadian ini dengan unta yang dimiliki oleh lelaki itu dan bertanya sama ada warna kehitaman ada dikalangan untanya. Apabila lelaki itu mengaku adanya kehitaman pada untanya, Nabi Muhammad s.a.w bertanya lagi berhubung asal usul lelaki itu. Lelaki itu menjawab kemungkinan ada kaitan dengan keturunannya. Lalu Nabi Muhammad SAW menyampuk kemungkinan yang sama berlaku pada anaknya. Kasus mencium isteri pada bulan Ramadhan. Umar al-Khattab menceritakan kepada Nabi Muhammad SAW beliau mencium isterinya pada siang hari pada bulan Ramadhan dan bertanya apakah perbuatannya itu membatalkan puasa. Beliau bertanya balik, “Adakah merusak puasa kalau berkumur?” Umar Menjawab, “Tidak 61 Ibid., h. 81 mengapa.” Nabi Muhammad SAW berkata kepadanya, “ Demikian juga mencium isteri pada bulan Ramadhan.” 62 2. Periode Khulafa’ ar-Rasyidin 11H-40H Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, tampuk pemerintahan diambil alih oleh khulafa’ ar-rasyidin, mereka adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Pada zaman ini berlakunya perluasan kuasa Islam sehingga Syria, Jordan, Egypt, Iraq dan Parsi. Oleh itu, masyarakat Muslim berhadapan dengan sistem yang baru dan berbeda daripada di Madinah, 63 Sumber perundangan pada periode ini adalah al-Quran, as-Sunnah dan ijtihad. Al-Quran diberi tumpuan khusus dalam pengumpulan dan pengqanunan al-Quran. as- Sunnah masih belum berlaku pembukuan walaupun disadari oleh Umar. Manakala ijtihad dalam bentuk ijma’ persepakatan pendapat dan ar-ra’yu pendapat para ulama’. Contoh kasus orang Mualaf dalam surah at-Taubah ayat 60: w + t yz Q +tGl5 r01b p w 0{ w A |9=a5 } |FGE Fw 9:}k A5A • 0 € 8 01 6 • 0 rK os r0 rK o m |•fI l BW 6 `  5 } f bo , 1ﺏ76 ` A a 4 Artinya: “Sesungguhnya sedekah-sedekah zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, dan orang-orang miskin, dan amil-amil yang mengurusnya, dan orang-orang muallaf yang dijinakkan hatinya, dan untuk hamba-hamba yang hendak memerdekakan dirinya, dan orang-orang yang berhutang, dan untuk dibelanjakan pada jalan Allah, dan orang-orang musafir yang keputusan Dalam perjalanan. Ketetapan hukum yang demikian itu ialah sebagai satu ketetapan yang datangnya dari Allah. dan ingatlah Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.” QS: at-Taubah9:60 62 Ibid., h. 82 63 Ibid.. h. 85 Ayat di atas menjelaskan delapan golongan yang berhak menerima sedekah termasuk mereka yang diperdekat hati mereka dengan Islam yaitu mualaf. Seperti Uzaimah bin Arqa yang pernah menerima seratus ekor unta yang diperoleh daripada peperangan Hunain 64 . Amalan ini diteruskan sehingga pemerintahan Abu Bakar, tetapi ketika Umar memerintah, beliau mengubahnya karena umat Islam pada waktu itu sudah banyak dan kuat. 65 3. Periode Tabi’in Periode ini dimulai dari pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan 41H sampai timbulnya bentuk-bentuk kelemahan pada kerajaan Islam. Para pemberi fatwa pada masa ini mempunyai hadis dalam jumlah yang besar yang diriwayatkan dari mereka. Pada sebagian tabi’in ada yang lebih dari beberapa ribu hadis. Musnad Abu Hurairah misalnya tertulis dalam 313 halaman dari Musnad Ahmad bin Hanbal, musnad Abdullah bin Umar dalam 156 halaman. Dalam pada itu Musnad Abu Bakar tertulis 84 halaman, musnad Umar yang pemuka-pemuka orang-orang yang berfatwa pada periode ini tertulis 41 halaman. Musnad Ali yang mana ia saudara kembarnya Umar dalam berfatwa tertulis dalam 85 halaman. 66 Pada peringkat permulaan Islam, peranan dan tugas mufti tidak diinstitusikan. Mufti lebih dikenali sebagi ulama yang bebas memberi solusinya dalam sebuah negara. Pada zaman pemerintahan Umaiyah 661-750H mufti melaksanakan tugas sebagai mustasyar hukum kepada qadhi atau hakim. Dalam pemerintahan Uthmaniyyah, jawatan mufti dikenali dengan jabatan ‘syeikh al-Islam’ dan mereka menjadi otoritas dalam perkara utama hukum syarak. 67 64 Badri Yatim, Sejarah Perudangan Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006, h. 32 65 Ibid., h. 86 66 Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, h.280

BAB III KEDUDUKAN FATWA SEBAGAI SUMBER HUKUM DI JOHOR

A. Fatwa Sebagai Kekuatan yang Mengikat

1. Fatwa yang diwartakan disahkan adalah mengikat

Apabila suatu fatwa telah diwartakan, maka fatwa itu dapat mengikat semua orang Islam yang berada di Negeri Johor sebagai ajaran agamanya dan hendaklah menjadi kewajibannya terhadap agama Islam untuk mematuhi dan berpegang dengan fatwa itu, melainkan jika ia telah mendapat pengecualian oleh Jawatankuasa Fatwa berdasarkan hukum syarak. 68 Suatu fatwa hendaklah diakui oleh semua Mahkamah di Negeri Johor tentang semua perkara yang dinyatakan di dalamnya 69 adalah mengikat dan dapat ditindak pidana atas orang yang melanggarnya melalui Mahkamah Negeri Johor. Setiap hukuman tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Berikut ini terdapat beberapa contoh fatwa-fatwa yang diwartakan oleh Jawatan Fatwa Negeri Johor sebagai hukum yang mengikat: a. Fatwa tentang pengharaman kepercayaan terhadap angka 786 sebagai angka bertuah Berdasarkan Enakmen Pentadbiran Agama Islam Johor 2003 Pasal 48 ayat 6 bahwa Jawatankuasa Fatwa Negeri Johor, dengan perintah Duli Yang Maha Mulia baginda Tuanku Sultan, memberi dan meng-umumkan fatwa sebagai berikut: 67 Abdul Monir Yaacob, Kepelbagaian Fatwa: Kekuatan Atau Kelemahan?, h 203. 68 Enakmen Pentadbiran Agama Islam Johor, Pasal 49 69 Ibid, Pasal 49 ayat 2