miskin untuk membiayai sekolah anaknya di negara berkembang sering tidak sejalan dengan ekspetasi manfaat yang diterima di kemudian hari. Biaya yang
dikeluarkan sering menjadi penghalang atau tidak sebesar manfaat relatif yang akan diterima di masa depan Tambunan, 2006.
Bila penduduk miskin tidak memperoleh akses yang lebih luas untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi terutama di negara ketiga, justru akan
mempertahankan atau bahkan semakin memperlebar jurang kesenjangan pendapatan, yang pada akhirnya akan menghambat upaya pengurangan
kemiskinan. Hal ini dikarenakan tingkat penghasilan yang diterima sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendapatan penduduk yang telah
menyelesaikan sekolah atau universitas 300 persen atau 800 persen lebih besar dari penduduk yang hanya berpendidikan sekolah dasar atau kurang dari itu
Todaro and Smith, 2006. Menurut penelitian Wiraswara 2005, salah satu variabel yang
mempengaruhi kemiskinan adalah angka melek huruf. Angka melek huruf memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat kemiskinan, dimana setiap
kenaikan pesentase pada angka melek huruf maka akan mengakibatkan penurunan persentase tingkat kemiskinan.
2.2.2. Kependudukan dan Ketergantungan
Berdasarkan penelitian Nasir, et all 2006, faktor jumah anggota rumah tangga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemiskinan. Jumlah
anggota keluarga yang lebih besar akan menjadi beban suatu rumah tangga dan sangat mempengaruhi produktivitas kepala keluarga. Beban kepala rumah tangga
juga akan berat jika semakin banyak anggota keluarga yang usianya belumtidak produktif. Dengan beban yang lebih banyak, maka kemungkinan menjadi miskin
akan lebih besar. Beberapa penelitian di negara-negara yang sedang berkembang
menunjukan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara besaran rumah tangga dengan konsumsi pendapatan per orang. Sering disimpulkan bahwa
penduduk yang hidup dengan keluarga besar lebih miskin daripada penduduk yang hidup dengan keluarga yang kecil Ravallion dan Lanjouw, 1994.
Di negara-negara dunia ketiga seringkali anak dijadikan sebagi investasi karena tidak adanya sistem jaminan sosial dari negara. Bagi rumah tangga miskin,
keberadaan anak yang banyak diharapkan akan dapat menyokong ekonomi keluarga terutama ketika para orang tua semakin lanjut usianya. Pola pikir masa
lalu yang sering diterapkan yaitu “banyak anak banyak rezeki”. Rasio ketergantungan dihitung sebagai rasio jumlah anggota rumah tangga
yang tidak berada dalam angkatan kerja baik tua maupun muda terhadap mereka yang berada pada angkatan kerja dalam rumah tangga tersebut. Hal ini
menunjukan bahwa, suatu rasio ketergantungan yang tinggi akan berkorelasi positif terhadap tingkat kemiskinan rumah tangga. Semakin besar angka rasio
ketergantungan maka semakin besar pula kemungkinan untuk meningkatkan kemiskinan BPS, 2002a.
2.2.3. Perekonomian
Kondisi kemiskinan yang terjadi di Indonesia terutama di daerah-daerah tertinggal adalah karena pengaruh dari kondisi perekonomian yang buruk. Kondisi
perekonomian yang buruk tidak mempunyai kendali untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut, apalagi untuk daerah sekitarnya. Hal ini akan
menyebabkan masyarakat sekitarnya hidup dalam perekonomian yang buruk dan berpotensi besar untuk menjadi penduduk miskin.
Dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan ketidakmerataan pendapatan senantiasa menyertai pertumbuhan ekonomi. Perubahan
ketidakmerataan pendapatan dapat digambarkan dengan perubahan angka Gini ratio. Ketidakmerataan dapat dikelompokan menjadi tiga berdasarkan angka rasio
Gini, yaitu: 1.
Ketidakmerataan rendah apabila angka rasio Gini lebih kecil dari 0,3 2.
Ketidakmerataan sedang apabila angka rasio Gini terletak antara 0,3-0,4 3.
Ketidakmerataan tinggi apabila angka rasio Gini lebih besar dari 0,4 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suparno 2010, angka rasio Gini
selama periode 2002-2008 menunjukan tingkat ketidakmeratan di Indonesia tergolong sedang karena masih berada pada kisaran 0,3-0,4 walaupun dengan
angka yang berfluktuasi. Pada tahun 2002, angka rasio gini tercatat sebesar 0,34 kemudian meningkat menjadi 0,40 pada 2005 dan sedikit menurun pada tahun
2008 menjadi sebesar 0,37. Angka rasio Gini tersebut sedikit berbeda dengan angka yang dipublikasikan BPS, karena data yang dianalisis pada penelitiannya
tidak mencangkup provinsi NAD, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Pengukuran ketidakmerataan pendapatan dengan menggunakan data
pengeluaran perkapita sebagai proxy data pendapatan perkapita memberikan hasil yang bias. Ketidakmerataan yang diperoleh akan lebih rendah dari yang
seharusnya. Hal ini dikarenakan pendapatan pengeluaran perkapita hanya relevan untuk menggambarkan pendapatan kelompok penduduk dengan yang
berpenghasilan rendah. Dalam jangka panjang pengeluaran perkapita penduduk berpenghasilan rendah akan mendekati pendapatan perkapitanya. Sedangkan
pendapatan perkapita kelompok penduduk berpenghasilan menengah ke atas pada umumnya lebih tinggi daripada pengeluaran perkapitanya. Dengan demikian,
ketidakmerataan pendapatan yang terjadi di Indonesia akan lebih tinggi bila dihitung berdasarkan pendapatan perkapitanya.
2.2.4. PDRB Sektoral