Pengentasan kemiskinan dalam bidang pendidikan pernah dilakukan pemerintah DKI Jakarta dengan memberikan program Bantuan Operasional
Sekolah. Tetapi pada kenyataannya, program BOS yang telah dijalankan tidak efektif untuk mengurangi angka kemiskinan, karena program BOS sangat berlaku
secara umum. Dana bantuan yang diberikan adalah untuk siswa yang telah ada di bangku sekolah untuk dapat melanjutkan sekolahnya dan mengurangi angka putus
sekolah guna keberhasilan program yang lainnya, yaitu program wajib belajar 9 tahun. Namun pada kenyataannya, dana bos yang diberikan, salah satunya dalam
bentuk beasiswa, kebanyakan bukan untuk orang miskin dan sering terjadi penyelewengan dalam penggunaan dana BOS.
5.2.2. Perekonomian
Faktor lainnya yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta adalah dilihat dari sisi perekonomian yang tercerminkan pada laju
pertumbuhan ekonomi. Diharapkan sekali bahwa di Provinsi DKI Jakarta terjadi laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan ekonomi yang besar yang sejalan
dengan distribusi pendapatan pada setiap warganya yang merata. Dari hasil analisis pengolahan data panel, terlihat bahwa koefisien laju
pertumbuhan ekonomi adalah -0,36. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenaikan laju pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen, maka akan menurunkan tingkat
kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 0,36 persen, dengan asumsi cateris paribus. Hasil yang cukup untuk menjelaskan betapa pentingnya peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi dalam upaya pengurangan kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta.
Hal ini berarti bahwa peningkatan laju pertumbuhan ekonomi adalah penting untuk membantu usaha pemerintah dalam mengurangi jumlah penduduk
miskin. Peningkatan laju pertumbuhan ini diharapkan sejalan dengan pemerataan distribusi pendapatan sehingga penduduk dapat memperoleh pelayanan publik
yang meliputi pelayanan akan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pangan menjadi lebih mudah karena memiliki akses, dalam hal ini
pendapatan, untuk menjangkaunya. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang sejalan dengan peningkatan distribusi pendapatan akan mendorong pemerintah
untuk dapat menyediakan pelayanan kebutuhan dasar yang lebih baik kepada masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas masyarakat,
yang pada akhirnya akan tercapai peningkatan investasi sumberdaya manusia yang lebih baik lagi.
Pada kenyataan beberapa tahun terakhir, fokus pemerintah DKI Jakarta hanyalah pada peningkatan pertumbuhan ekonomi tanpa melihat adanya
peningkatan kesejahteraan sosial. Pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai tujuan bukan dipandang sebagai alat, sehingga yang terjadi adalah program-
program yang dijalankan pemerintah hanya memengaruhi perbaikan kondisi makroekonomi tanpa memperhatikan keadaan mikro dan keadaan riil yang terjadi
di masyarakat. Contohnya adalah program Bantuan Langsung Tunai BLT. Salah satu manfaat positif yang diberikan dari adanya bantuan ini adalah peningkatan
pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena BLT yang diberikan adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang secara agregat akan meningkatkan
output dan pendapatan nasional dalah jangka pendek tetapi tidak dapat mempertahankan kestabilan pertumbuhan dalam jangka panjang.
Kebijakan Bantuan Langsung Tunai BLT yang dilakukan pemerintah kurang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Penyaluran bantuan tidak tepat
sasaran baik karena data yang tidak valid maupun kurangnya penerapan prinsip good governance di lembaga penyaluran bantuan. Data BPS 2002-2009
menunjukan bahwa penyaluran BLT ternyata masih diterima oleh penduduk yang memiliki pendapatan di atas pendapatan rata-rata walaupun angkanya masih
dibawah 10 persen. Selain itu, dari sisi psikologi, pemberian bantuan langsung ini cenderung menjadikan masyarakat miskin menjadi semakin malas untuk bekerja
karena sudah terbiasa menerima bantuan. Lalu, bantuan yang diberikan seringkali tidak digunakan untuk hal investasi dalam melanjutkan kehidupan, tetapi
digunakan untuk kebutuhan konsumsi yang akan habis dalam sekali penggunaannya tanpa memberikan hasil apapun dikemudian hari.
Pemerintah juga menyadari bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengurangi
kemiskinan, jika masih terjadi banyak ketimpangan terutapa pada pendistribusian pendapatan. Sering kali yang terjadi adalah 90 persen dari pendapatan dinikmati
oleh 20 persen dari total penduduk, sedangkan sisanya yang 10 persen, dinikmati oleh 80 persen dari total penduduk satu daerah. Oleh karena itu, pemerintah
mengeluarkan kebijakan berupa penerapan pajak progresif untuk mengatasinya. Tetapi pada kenyataannya, penerapan pajak progresif juga belum efektif
untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Penetapan pajak progresif yang
dilakukan baru menyentuh pada pajak progresif kendaraan, rumah, dan barang mewah lainnya. Penetapan pajak progresif belum dilakukan pada pendapatan.
Lalu, penerapan pajak progresif juga menyebabkan trade-off kebijakan yang merugikan bagi pengusaha. Hal ini disebabkan, apabila pajak progresif diterapkan
pada pendapatan, maka akan menimbulkan pembengkakkan biaya produksi, karena akan lebih banyak lagi biaya yang dikeluarkan untuk membayar pegawai.
Pembengkakan biaya produksi akan membuat pengusaha untuk lebih melakukan penekanan pada inputnya, salah satunya adalah dengan mengurangi tenaga kerja.
5.2.3. PDRB Sektoral