dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujud lin disebabkan wujud-Nya. Ia adalah Maha Esa yang tidak dapat
dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.
2. Al-Farabi a. Biografi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan
Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab sekarang kota Atrar, Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah
al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih
hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang
keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn
Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
b. Pemikirannya 1 Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan
filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak
dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea,
karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang
berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan
pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui
adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
a. Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar b. Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa
antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
c. Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal
definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu,
kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat
perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani
tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al- farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran
Islam mutlak kebenarannya.
2 Jiwa
Adapun jiwa, Al-Farabi juga
dipengaruhi
oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan
tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai
substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad
berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik,
serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
3 Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah Pemerintahan Politik
dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah Pendapat-pendapat tentang Negara Utama banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh
manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah
kepala, karena kepalalah otak segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga
dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana
halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun
moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang
baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati,
kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi
kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut,
pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak
pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman
dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah
diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.
4 Filsafat ketuhanan
Dengan membuktikan adanya Allah AL-Farabi mengemukakan dalil Wajib al- Wujud dan mumkin al-wujud. Menurutnya segala yang ada ini hanya dua
kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Adapun yang dimaksud dengan Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh
tidak mesti ada, ada dengan sendirinya, karena natur-nya sendiri yang menghendaki wujudnya. Sedangkan yang dimaksud dengan mumkin al-wujud
adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya.
3. Ibnu Sina a. Biografi