3. Ibnu Sina a. Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai
kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika
karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur,
filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.
b. Pemikirannya 1 Filsafah Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam empat kelompok: mereka yang kecakapan teoretisnya telah
mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah
mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan
tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif.
Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian
kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa
kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-
imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong
untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan dan
pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan
oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.
2 Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi
sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al.
Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada
ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al. Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati
diri manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia
berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari
perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.
3 Filsafat Ketuhanan.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan mengesankan duplikat Al- Farabi. Seperti tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetapi dalam filsafat
wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut:
a. Wajib al-wujud, esensinya yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. b. Mumkin al-wujud, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula
tidak berwujud. c. Mumtani al-wujud, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti
adanya sekarang ini juga kosmos lain disamping kosmos yang ada.
4. Ibnu Rusyd a. Sejarah kelahirannya