Kawin Siri Dalam Pandangan Hukum Islam Kawin Siri Dalam Pandangan Hukum Negara

2.9 Kawin Siri Dalam Pandangan Hukum Islam

Merujuk pada sejarah dan perkembangannya, kawin siri pada awalnya merupakan perkawinan yang dilarang dalam Islam karena tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang berupa saksi. Ulama besar seperti Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I sepakat kalau perkawinan tersebut harus di fasakh. Namun dalam perkembangannya di masyarakat Islam, kawin siri merupakan perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan sehingga masyarakat memandang sah menurut agama Islam. Kemudian kawin siri berkembang kembali ketika diakitkan dengan aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah sehingga kawin siri bermakna perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA. Ramulyo, 2002 : 239 Meskipun kawin siri sah menurut Islam, tapi hal tersebut kurang sesuai dengan ajaran Islam karena Nabi Muhammad SAW bersabda : “Umumkanlah perkawinan itu” dan firman Allah yang artinya : “Hai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul dan kepada pemerintah yang sah ulil amri minkum. Berdasrkan firman tersebut, maka orang yang melakukan nikah siri berarti tidak taat pada pemerintah yang telah menetapkan untuk mencatatkan perkawinan pada KUA.

2.10 Kawin Siri Dalam Pandangan Hukum Negara

Kawin siri kalau dihubungkan dengan hukum Negara sebenarnya berkaitan dengan pencatatan perkawinan pada instansi pemerintah yang berwenang yaitu KUA, sebagaimana diatur dalam UU No. 1 tahun 1974, sebenarnya bukanlah UU pertama yang mengatur tentang pencatatan pernikahan bagi muslim Indonesia. Sebelumnya sudah ada UU no. 22 tahun 1946, yang mengatur tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk. Tentang pencatatan perkawinan dalam UU no.22 tahun 1946 disebutkan : 1. Perkawinan diawasi oleh PPN 2. Bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pegawasan dari PPN, dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran Lebih tegas tentang pencatatan dan tujuan pencatatan perkawinan ditemukan pada penjelasannya, bahwa dicatatkanya perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Ketika menjelaskan hukuman bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan disebutkan, maksud hukuman bagi pasangan yang melanggar adalah agar aturan administrasi ini diperhatikan, tetapi tidak mengakibatkan batalnya perkawinan. Dari penjelasan ini sangat tegas terlihat bahwa fungsi pencatatan tersebut hanyalah bersifat administratif, bukan syarat sah atau tidakya perkawinan. Kemudian dalam UU no. 1 tahun 1974 yang pelaksanaanya berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975, tentang pencatatan perkawinan disebutkan, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sementara pada pasal lain disebutkan “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan dalam penjelasan terhadap UU no. 1 tahun 1974 tentang pencatatan dan sahnya pekawinan disebutkan : 1. Tidak ada perkawinan diluar agama 2. Maksud hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dalam PP no. 9 tahun 1975, yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan UU no.1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan menurut penganut Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat, dengan tata cara proses pencatatan yang dimulai dengan: 1. Pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan 2. Pelaksanaan akad nikah dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi 3. Penandataganan akta perkawinan oleh kedua saksi, pegawai pencatat dan wali. Dengan penandatangan tersebut berarti proses pencatatan perkawinan telah selesai. Bagi orang yang tidak memberi tahu kepada pegawai pencatat tentang kehendak melaksanakan perkawinan atau melaksanakan perkawinan tidak di hadapan pegawai pencatat, termasuk perbuatan melanggar yang dapat dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500 tujuh ribu lima ratus rupiah. Dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia yang berbicara tentang pencatatan perkawinan tampak bahwa fungsi pencatatan hanya sekedar urusan administrasi, bukan sebagai syarat sah atau tidaknya suatu pernikahan akad nikah Nasution, 2002 : 146-149. Namun kalau teks-teks tersebut dihubungkan dengan pasal-pasal yang ada dalam batang tubuh Undang-Undang, khususnya UU no. 1 tahun 1974 secara keseluruhan, dan dihubungkan dengan perundang-undangan lain yang pernah berlaku di Indonesia, ternyata memunculkan pro dan kontra tentang fungsi pencatatan. Sebagian pemikir berpandangan, pencatatan menjadi syarat sah, sementara yang lain memandangnya sebagai syarat administrasi. Kelompok yang berpendapat penctatan sebagai sah perkawinan secara umum adalah kelompok sarjana dan ahli hukum yang selama ini tunduk dan melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum perdata dan ordonansi Perkwinan Kristen Indonesia, yang hanya dengan adanya akta perkawinan dapat dibuktikan sahnya perkawinan berdasarkan pasal 100 B.W. Mereka berpendapat bahwa saat mulai sahnya perkawinan adalah setelah pendaftaranpencatatan perkawinan. Adapun kelompok yang berpendapat bahwa pencatatan hanya sebagai urusan administrasi, umumnya dipegang kaum muslim dan juga banyak ahi-ahli hukum, bahwa saat mulai sahnya perkawinan bukan pada saat pendaftaranpencatatan. Pendaftaran tersebut hanyalah berfungsi sebagai administrasi belaka. Sedang saat mulai sah perkawinan adalah setelah ijab Kabul. syahar dalam Nasution, 2002 : 158- 160

2.11 Kerangka Berpikir

Dokumen yang terkait

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG KASUS KORUPSI SPORT CENTER DI HAMBALANG PADA SURAT KABAR JAWA POS DAN KOMPAS.

0 3 47

PEMBINGKAIAN BERITA BAILOUT CENTURY (Studi Analisis Framing Tentang Bailout Century Pada Sidang Paripurna SPR di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).

1 2 100

Pembingkaian Berita Sel Mewah Artalyta di Rutan Pondok Bambu Jakarta (analisis framing dalam surat kabar Jawa Pos dan Kompas).

0 4 102

Pembingkaian Berita Isu Reshuffle Kabinet (Studi Analisis Framing Berita Isu Reshuffle Kabinet di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).

0 0 102

PEMBINGKAIAN BERITA KISRUH PILKADA DI MOJOKERTO PADA SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS EDISI, 22 -23 MEI 2010. ( STUDI ANALISIS FRAMING KISRUH PILKADA DI MOJOKERTO PADA SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS EDISI 22-23 MEI 2010).

0 1 79

PEMBINGKAIAN BERITA PEMBATALAN KUNJUNGAN KEPALA NEGARA KE BELANDA DI SURAT KABAR (Studi Analisis Framing Berita Pembatalan Kunjungan Kepala Negara ke Belanda di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).

3 13 142

PEMBINGKAIAN BERITA PEMBATALAN KUNJUNGAN KEPALA NEGARA KE BELANDA DI SURAT KABAR (Studi Analisis Framing Berita Pembatalan Kunjungan Kepala Negara ke Belanda di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas)

0 0 17

KATA PENGANTAR - PEMBINGKAIAN BERITA RUU NIKAH SIRI DI SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS (Studi Analisis Framing RUU Nikah Siri di Surat Kabar Kompas dan Jawa Pos)

0 0 17

PEMBINGKAIAN BERITA KISRUH PILKADA DI MOJOKERTO PADA SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS EDISI, 22 -23 MEI 2010. ( STUDI ANALISIS FRAMING KISRUH PILKADA DI MOJOKERTO PADA SURAT KABAR KOMPAS DAN JAWA POS EDISI 22-23 MEI 2010).

0 0 22

Pembingkaian Berita Isu Reshuffle Kabinet (Studi Analisis Framing Berita Isu Reshuffle Kabinet di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas)

0 0 17