Aturan Regional tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan

B. Aturan Regional tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan

Narkotika Sidang khusus ke-17 pada bulan Februari 1990,PBB mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Against Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme UNDCP.Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan kejahatan narkotika yang bersifat transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders pada tahun 1990 di Havana, Kuba. Resolusi ke-13 dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan narkotika dilakukan antara lain: a meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya narkotika; b program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara pelaku pemakaipengguna narkotika drug users dan pelaku bukan pengguna drug-dealers melalui pendekatan medis, psikologis, psikiatris, maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan 62 Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia Tenggara disepakati dalam ASEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and . 62 Anjan Pramuka Putra, Op.cit, hal. 18 Universitas Sumatera Utara Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tahun 1972 di Manila, Filipina. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1976. Contoh kerjasama yang telah dilakukan ASEAN adalah dengan Republik Korea melalui pembangunan sistem informasi seaport dan airport interdiction di Indonesia, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Di Indonesia sendiri pusat pengawasan seaport dan airport interdiction telah dibangun di kota Jakarta, Batam, Medan dan Denpasar. Selanjutnya daerah-daerah perbatasan di Indonesia yang memiliki tingkat kerawanan tinggi seperti Entikong juga akan memiliki fasilitas seperti ini. Merujuk pada pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN tahun 1976, telah menghasilkan Rencana Aksi ASEAN terhadap pengendalian penyalahgunaan narkotika dan disepakati untuk memfokuskan Rencana Aksi tersebut ke dalam empat bidang prioritas, yaitu : pendidikan pencegahan, terapi dan rehabilitasi, penegakan hukum, serta penelitian. Isi dari deklarasi regional ASEAN meliputi kegiatan- kegiatan bersama untuk meningkatkan 63 1. Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan narkotika; : 2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika; 3. Membentuk badan koordinasi di tingkat nasional; dan 4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan internasional. 63 Arman Depari, Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Narkotika, Naskah Akhir Strategi Perorangan, dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan kurikulum SESPATI Polri dalam rangka penyelesaian program pendidikan DIKREG-17 T.P. 2009 Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, untuk menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan tersebut, pada tahun 1984 telah dibentuk ASEAN Senior Officials on DrugsMatters ASOD dan satu Forum Kerjasama Kepolisian antar negara-negara ASEAN ASEANAPOL yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN 64 . Selain iu, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Board dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan informasi, serta kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional.Kendati demikian, kenyataan memperlihatkan bahwa kuantitas kejahatan di bidang penyalahgunaan narkotika terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin meningkatnya aktifitas peredaran narkotika secara ilegal melalui jaringan sindikat internasional ke negara- negara sedang berkembang. Adapun pengaturan menyangkut kerjasama dalam penanggulangan peredaran gelap narkotika yang terorganisir sebagai kejahatan transnasionaltercantum dalam ASEAN Declaration on Transnational Crime, Manila, 20 December 1997 dengan uraian sebagai berikut: 65 ”the ASEAN Ministers of InteriorHome Affairs and Representatives of ASEAN Member Countries, participating in the first ASEAN Conference on 64 Indradi Thanos dalam konferensi pers pertemuan ASEAN Senior Officials on Drug Matters ASOD di Hotel Borobudur, Jakarta, 13 Oktober 2010 65 Ibid Universitas Sumatera Utara Transnational Crime held in Manila on 18-20 December 1997; concernedabout the pernicious effects of transnational crime, such as terrorism, illicit drug trafficking, arms smuggling, money laundering, traffic in persons and piracy on regional stability and development, the maintenance of the rule of law and the welfare of the regions peoples;” Pada awalnya Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia dan Papua New- Guinea, hanya dijadikan sebagai negara-negara persinggahan transit states oleh jaringan sindikat internasional untuk melakukan perdagangan gelap narkotika. Tetapi kemudian sejak akhir tahun 1993, wilayah Indonesia mulai dijadikan sebagai negara tujuan transit point of transit perdagangan narkotika ilegal ke Australia dan Amereka Serikat dari pusat produksi dan distribusi narkotika di wilayah segi tiga emas the golden triangle yang terletak didaerah perbatasan antara Thailand, Laos dan Kamboja 66 International Criminal Police Organization ICPOInterpol Singapora dan Australia melaporkan bahwa antara tahun 1992-1993 dapat ditangkap pelaku pembuat dan pengedar narkotika sindikat internasional berkebangsaan asing setelah transit di Indonesia. Mereka mengakui bahwa petugas Bea Cukai di bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan Ngurah Rai Bali dengan mudah dapat dikelabui sehingga lolos sampai di Australia.Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia tidak lagi dijadikan transit- state atau point of transit perdagangan narkotika trasnasional, tetapi juga telah . 66 NCB Interpol Indonesia, Indonesia Pasar Potensial Sabu-Ekstasi, Publisitas Interpol, Senin, 27 September 2010 Universitas Sumatera Utara menjadi market yang sangat menguntungkan di wilayah Asia Tenggara,paling tidak karena 3 tiga alasan 67 1. Instrumen hukum nasional yang mengatur tentang narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, Undang-Undang Nomor5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor22 Tahun 1997 tentang Narkotikasecara khusus tidak mengatur mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan di luar batas teritorial Indonesia. Karena itu, instrumen hukum narkotika nasional tidak mampu menjangkau tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional; yaitu : 2. Secara normatif, ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Undang- UndangNarkotika 1976 maupun Undang-UndangNarkotika 1997 sudah berat mulai dari pidana penjara sampai pidana mati plus pidana denda secara kumulatif, tetapi kelemahan mendasar justru terjadi pada tingkatan implementasi atau penegakan hukumnya law enforcement. 3. Sanksi pidana penjara dan denda yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika 1976 dan Undang-UndangNarkotika 1997 hanya mencantumkan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus terhadap jenis tindak pidana tertentu dan pada setiap obyek narkotika tertentu. Tetapi, tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan maksimum umum, sehingga menimbulkan disparitas penjatuhan pidana disparity of sentencing dalam hal lamanya masa pidana strafmaat dan jenis pidananya strafsoort tanpa dasar pembenar yang jelas terhadap perkara-perkara pidana narkotika di pengadilan. Berdasarkan uraian di atas, menyangkut sanksi pidana dan denda yang diatur dalam instrumen hukum nasional yakni undang-undang narkotika berimplikasi hukum dari adanya disparitas penjatuhan pidana ini dikaitkan dengan correction administration , karena salah satu tujuan penjatuhan pidana adalah agar orang menghormati hukum; jika terpidana yang satu mengetahui ada terpidana lain dijatuhi pidana yang lebih ringan dari dirinya, atau sebaliknya padahal perbuatan yang 67 Romli Atmasasmita, dalam I Nyaman Nurjana, loc.cit Universitas Sumatera Utara dilakukan sama maka terpidana tersebut cenderung semakin tidak menghormati hukum. Akibatnya, tujuan dari penjatuhan pidana maupun perlindungan masyarakat untuk ketertiban dan keamanan juga menjadi tidak tercapai.Perbedaan mendasar Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyangkut pengenaan sanksi hukumnya lebih beratdibandingkan undang-undang lama, seperti seseorang mengetahui keluarganya ada yang memakai narkotika, namun tidak dilaporkan, maka yang bersangkutan akan dikenai hukuman 6 bulan penjara.Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika memuat ancaman hukuman bagi penyidik dan jaksa yang tidak menjalankan aturan setelah menyita barang bukti narkotika dan para penyalahguna narkotika yang dihukum penjara dan terbukti menjadi korban penyalahgunaan narkotika, wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Tempat ia menjalani rehabilitasi ditunjuk oleh pemerintah dan masa rehabilitasi dihitung sebagai masa hukuman. Narkoba jenis psikotropika yang selama ini masuk dalam golongan 1 dan 2 seperti shabu-shabu dan ekstasi, dijadikan narkotika golongan 1.

C. Aturan Bilteral tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan Narkotika