Teknik Pengumpulan Data Analisis Data

Interpol dan Aseanapol, dalam hal ini Polri berfungsi sebagai National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia. b. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan kerjasama internasional, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian 42

3. Teknik Pengumpulan Data

. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka library research sebagai instrumen dari studi dokumen. Metode ini penulis lakukan tidak lain hanya mengumpulkan bahan-bahan melalui kepustakaan, yakni berupa peraturan perundang-undangan, buku- buku, putusan-putusan pengadilan jurnal, dokumen-dokumen serta sumber- sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam tesis 42 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1990, hal. 41. Universitas Sumatera Utara ini. Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi. Di samping itu dikumpulkan juga data primer yang dilakukan melalui wawancara dengan informan yakni Direktorat Narkoba Polda Sumut maupun Direktorat IV Tipid Narkoba Bareskrim Polri.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh berupa data sekunder akan disajikan secara sistematis dengan mempertimbangkan keterkaitan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dikemukakan dalam penelitian tesis ini, selanjutnya akan dianalisis secara yuridis kualitatif normatif dengan penguraian secara deskriptif dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam tesis ini. Penentuan metode analisis demikian dilandasi oleh pemikiran bahwa penelitian ini tidak hanya bermaksud mengungkapkan atau melukiskan data apa adanya, melainkan jugaberupaya memberikan argumentasi. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif dengan menggunakan teori dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan mengenai pengembangan kerjasama Internasional yang dilakukan oleh Polri dalam penanggulangan kejahatan narkotika Universitas Sumatera Utara teorganisir. Penggunaan logika berfikir deduktif –induktif dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian. 43 43 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda, 2006, hal. 26-29 bahwa deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melalukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali. Universitas Sumatera Utara 31

BAB II PENGATURAN KERJASAMA INTERNASIONAL INSTRUMEN

INTERNASIONAL DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATANNARKOTIKA A. Aturan Multirateral tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan Narkotika Kerjasama multirateral diartikan sebagai perjanjian antar banyak pihak yang timbul dari adanya perjanjian internasional sebagai law making treaties atau traite- lois dimaksudkan perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Kerjasama lebih fokus pada perjanjian yang mengakibatkan hak dan kewajiban antar para pihak yang mengadakan perjanjian. 44 Perjanjian internasional dapat timbul dari perundingan negotiation, penandatanganan signature dan pengesahan ratification. 45 Kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang deviant behavior yang selalu ada dan melekat inherent dalam setiap bentukmasyarakat, Hal inilah yang mendasari terjadinya kerjasama Internasional dalam penanggulangan kejahatan Narkotika terorganisir. 46 44 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 122 45 Ibid , hal. 125 46 Goode, Erich, Deviant Behavior, New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984, hal. 43 karena itu kejahatan merupakan fenomena sosial yang bersifat universal a univerted social phenomenon dalam kehidupan manusia, dan bahkan Universitas Sumatera Utara dikatakan telah menjadi the oldest social problem of human kind. 47 Salah satu wujud dari kejahatan trasnasional yang krusial karena menyangkut masa depan generasi suatu bangsa, terutama kalangan generasi muda negeri ini adalah kejahatan dibidang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Selain memiliki dimensi lokal, nasional dan regional kejahatan juga dapat menjadi masalah internasional, karena seiring dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi yang canggih, modus operandi kejahatan masa kini dalam waktu yang singkat dan dengan mobilitas yang cepat dapat melintasi batas-batas negara borderless countries. Inilah yang dikenal sebagai kejahatan yang berdimensi transnasional transnational crime. 48 Modus operandi sindikat peredaran narkotika dengan mudah dapat menembus batas-batas negara di dunia melalui jaringan manajemen yang rapi dan teknologi yang canggih dan masuk ke Indonesia sebagai negara transit transit-state atau bahkan sebagai negara tujuan perdagangan narkotika secara ilegal point of market-state. Dalam kurun waktu dua dasa warsa terakhir ini, Indonesia telah menjadi salah satu negara yang dijadikan pasar utama dari jaringan sindikat peredaran narkotika yang berdimensi internasional untuk tujuan-tujuan komersial. 49 47 Ibid 48 Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia , Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 45 49 I Nyoman Nurjana, Penanggulangan Kejahatan Narkotika: Eksekusi Hak Perspektif Sosiologi Hukum , httpwww.google.com, diakses tanggal 5 Desember 2013. Hal ini disebabkan oleh faktor bahwa Negara Indonesia belum secara maksimal menerapkan pencegahan dan Universitas Sumatera Utara penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana peredaran gelap Narkotika pada proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana Narkotika sehingga uang hasil kejahatan mudah untuk digunakan. Hal ini ditandai dengan masuknya negara Indonesia sebagai salah satu negara black list dan pencucian uang sebagai salah satu kategori serious crime. Desakan Internasional antara lain dari Financial Action Task Force FATF 50 dimana sebelumnya Juni 2001 Indonesia bersama 17 tujuh belas negara lainnya mendapat ancaman sanksi Internasional serta dimasukkan sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memberantas pencucian uang Non Cooperative Countries and Trytorries to Combat Money LaunderingNCCT . 51 50 FATF adalah suatu badan Internasional di luar PBB yang anggotanya terdiri dari negara donor dan fungsinya sebagai satuan tugas dalam pemberantasan pencuciang uang.FATF ini sangat disegani selain karena keanggotaannya juga badan ini terbukti mempunyai suatu komitmen yang serius untuk memberantas pencucian uang. Keberadaan FATF berwibawa karena antara FATF dan OECD Organization for Economic Cooperation Development menjalin hubungan yang sangat baik terutama dalam hal tukar menukar informasi berkaitan dengan masalah korupsi dan pencucian uang pada negara-negara yang akan mendapatkan bantuan dana, dalam Yenti Garnasih, Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai fenomena “baru” di Indonesia dan permasalahannya , Makalah pada Seminar Sosialisasi Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman RI, Medan 9 September 2004, hal. 1. Selanjutnya lihat, Zulkarnain Sitompul, Peran PPATK Mencegah Dan Memberantas Pencucian Uang , Disampaikan pada acara Pelatihan Anti Pencucian Uang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tanggal 15 September 2005 di Medan, bahwa Pada awal 1990an mulai didirikan Financial Intelligence Unit FIU sebagai jawaban terhadap kebutuhan akan keberadaan suatu lembaga atau intitusi yang bertugas menerima, menganalisis dan memproses laporan transaksi keuangan yang disampaikan oleh lembaga keuangan. Dalam dekade berikut jumlah FIU meningkat secara signifikan yang kemudian mendorong negara-negara mendirikan suatu organisasi informal dengan nama Egmont Group. Pada tahun 2003 Financial Action Task Force FATF mengeluarkan revisi rekomendasi yang untuk pertama kalinya secara eksplisit merekomendasikan agar didirikan FIU untuk mencegah dan memberantas pencucian uang.Langkah ini kemudian diikuti oleh IMF dan Word Bank dengan memberikan bantuan tekhnis kepada negara-negara anggotanya dalam mendirikan FIU. 51 Ibid . Tahun 1997 Indonesia telah meratifikasi United Convention Narcotic and Pschotropic Subsancess 1988, yang menyatakan bahwa negara yang telah meratifikasi harus segara melakukan upaya pemberantasan pencucian uang maka seharusnya Indonesia pada Universitas Sumatera Utara waktu itu segera melakukan kriminalisasi pencucian uang. 52 52 Ibid , bahwa pengaturan pencucian uang di Indonesia relatif baru dan sebagaimana diketahui kriminalisasi pencucian uang ini sarat dengan nuansa politik dan dilakukan atas desakan Internasional. Konvensi 1988 dipandang sebagai puncak dari upaya Internasional untuk menetapkan suatu International Anti Money Laundering Legal Regime , dengan lahirnya United Nation Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psyhotropic Substances atau lebih dikenal dengan nama UN Drug Convention tahun 1988, dimana Indonesia sudah menjadi anggota tetapi belum meratifikasinya. Pada tanggal 19 Desember 1988 lahir UN Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances di Wina, Australia. Ditanda tangani oleh 106 negara. Berdasarkan indentifikasi jaringan peredaran narkotika di negara-negara Asia, Indonesia diperhitungkan sebagai pasar market-state yang paling prospektif secara komersial bagi sindikat internasioanl yang beroperasi di negara-negara sedang berkembang.Hal ini dapat digambarkan dalam jalur peredaran gelap jaringan Narkotika terorganisir antar Negara di dalam jaringan Golden Triangle. Hal ini dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini: Universitas Sumatera Utara Gambar 1: Rute Peredaran Gelap Heroin dari Segitiga Emas Sumber data: Direktorat Tindak Pidana narkoba Mabes Polri 2014. Kelompok bandar terbesar dalam distribusi heroin ini adalah dari Nigeria. Kelompok ini biasa disebut Nigerian Drugs Travellers. Sementara itu, untuk distribusi kokain, mafia Black African juga menguasai di jalur pasca produksi. Kokain yang dibawa dari Amerika Selatan, didistribusikan di Bangkok setelah transit di Eropa. Mereka juga yang membawa kokain itu ke Indonesia, untuk disampaikan ke pengedar-pengedar yang mayoritas orang Indonesia. Misalnya ke wilayah kota Medan masuk dari Negara Singapura dan Kuala Lumpur. Sedangkan jenis narkoba ganja yang memang produksi dalam negeri sepenuhnya dikuasai oleh bandar-bandar lokal, dari tingkat hulu sampai hilir. Jumlah pemakai narkoba di dunia hingga tahun 2009 sebanyak ± 200 juta orang. 53 53 Anjan Pramuka Putra, Strategi Peningkatan Kerjasama Penanggulangan Kejahatan Narkoba Internasional Guna Mengakselerasi Grand Strategi Polri Dalam Rangka Mewujudkan Sementara itu, route pergerakan peredaran narkoba Universitas Sumatera Utara jenis shabu, ecstassy dan marijuana internasional yang dikirim ke Indonesia melalui Jakarta dan di distribusikan ke seluruh wilayah termasuk kota Medan, digambarkan sebagai berikut : Gambar 2: Rute Peredaran Gelap Shabu, Ecstassy, Marijuana Sumber data: Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri 2014. Masalah penyalahgunaan narkotika dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional dan regional ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional. Karena itu, upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika dalam negeri harus disinergikan dan diintegrasikan dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui kerjasama regional maupun internasional.Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya Stabilitas Keamanan Nasional , Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Sekolah Pimpinan Tingkat Tinggi, Lembang, 2010, hal. 10 Universitas Sumatera Utara dituangkan dalam The United Nations Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk 54 1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional; : 2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan 3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas. Konvensi PBB yang mengatur tentang pemberantasan gelap narkotika diatur dalam United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narkotic Drugs and Psyhotropic Substance 1988 . Pertimbangan lahirnya konvensi ini, didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai sasaran hasil produksi, distribusi dan perdagangan gelap narkotika, sehingga mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelapnarkotika tahun 1988. Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran, antara lain, sebagai berikut 55 1. Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika; : 2. Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula; 54 Ibid 55 Syaiful Bakhri, The Developments Of Fine Penalties In Criminal Law Of Indonesia , Rabu, 13 Juni 2012, http:www.google.com , diakses tanggal 5 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara 3. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 Tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika; dan 4. Perlunya memperkuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narkotic Drugs and Psyhotropic Substance 1988, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional yang lebih efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap narkotika. Untuk tujuan tersebut, para pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan prosedur administrasi masing-masing sesuai konvensi ini dengan tidak mengabaikan asas kesamaan kedaulatan, keutuhan wilayah Negara serta asas tidak mencampuri urusan yang pada hakikatnya merupakan masalah dalam negeri masing- masing. Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, tiap-tiap negara diharapkanakan mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan setiap peredaran gelap narkotika dan psikotropika. 56 Setiap pihak seyogyanya dapat menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat berwenang lainnya yang mempunyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam konvensi tersebut merupakan kejahatan serius, seperti 57 56 Ibid 57 Ibid : Universitas Sumatera Utara 1. Keterlibatan di dalam kejahatan dari kelompok kejahatan terorganisasi yang pelakunya sebagai anggota; 2. Keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisasi secara internasional; 3. Keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh dilakukannya kejahatan tersebut; 4. Penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku; 5. Kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan dengan jabatannya; 6. Menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk melakukan kejahatan; 7. Kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial, atau tempat-tempat lain anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan pendidikan, olahraga, dan kegiatan sosial; 8. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing pihak; 9. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam konvensi ini adalah jenis- jenis kejahatan yang menurut sistem hukum nasional negara pihak dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dapat ditun tu t dan dipidan a. Konvensi PBB dalam United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narkotic Drugs and Psyhotropic Substance. 1988 pada intinya mengatur beberapa ketentuan yang harus dipatuhi oleh negara-negara yang tunduk pada konvensi ini antara lain 58 1. Yurisdiksi, negara terkait harus mengambil tindakan yurisdiksi terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh pelaku atau tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah, di atas kapal atau di dalam pesawat udara Negara Pihak tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh orang yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Masing-masing Pihak harus mengambil juga tindakan apabila : 58 Ibid Universitas Sumatera Utara diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1, jika tersangka pelaku kejahatan berada di dalam wilayahnya dan tidak di ekstradisikan ke Pihak lain; 2. Perampasan, negara terkait dapat merampas narkotika dan psikotropika, bahan-bahan serta peralatan lainnya yang merupakan hasil dari kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi. Lembaga peradilan atau pejabat yang berwenang dari negara terkait, berwenang untuk memeriksa atau menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan. Petugas atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolaknya dengan alasan kerahasiaan bank. Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, seluruh kekayaan sebagai hasil kejahatan dapat dirampas. Apabila hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka perampasan hanya dikenakan sebatas nilai taksiran hasil kejahatan yang telah tercampur. Namun demikian, perampasan tersebut baru dapat berlaku setelah diatur oleh hukum nasional negara terkait.Transformasi United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narkotic Drugs and Psyhotropic Substance. 1988 ke dalam hukum nasional Indonesia yakni dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Narkotika yang selanjutnya di ubah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum mengatur secara terperinci menyangkut perampasan narkotika dan psikotropika, bahan-bahan serta peralatan lainnya yang merupakan hasil dari kejahatan terutama Apabila hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah; 3. Bantuan Hukum Timbal balik, para negara terkait akan saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan, penuntutan dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi ini. Tranformasi menyangkut bantuan hukum timbal balik di dalam sistem hukum nasional Indonesia hanya memfokuskan dalam proses penyidikan tindak pidana terkait narkotika penyidik dapat melakukan kerjasama dengan Negara-negara lain untuk mengungkap jaringan narkotika terorganisir, namun menyangkut mekanisme dan teknis bantuan hukum timbal balik belum dirinci secara detail sebagaimana diamanahkan dalam National Central Bureau NCB dan International Crime Police Organization ICPO.Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, Undang-Undang Nomor5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor22 tahun 1997 tentang Narkotikaserta Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara khusus tidak mengatur mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan di luar batas teritorial Indonesia. Karena itu, instrumen hukum narkotika nasional tidak mampu menjangkau tindak pidana narkotika yang Universitas Sumatera Utara bersifat transnasional. Bantuan hukum timbal balik dapat diminta untuk keperluan 59 a. Mengambil alat bukti atau pernyataan dari orang; : b. Memberikan pelayanan dokumen hukum; c. Melakukan penggeledahan dan penyitaan; d. Memeriksa benda dan lokasi; e. Memberikan informasi dan alat bukti; f. Memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan yang disahkan dan catatannya, termasuk catatan-catatan bank, keuangan, perusahaan, atau perdagangan; atau g. Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, perlengkapan atau benda lain untuk keperluan pembuktian. Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya. Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah Indonesia untuk menanggulangi kejahatan narkotika di dalam negeri adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 Stbl. 1927 No. 278 yo No. 536 yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius. Konvensi tunggal Narkotika 1961 Single Convention on Narcotic Drugs, 1961 merupakan hasil dari United Nations Conference for the Adoption of a Single Convention on Narcotic Drugs yang diselenggarakan di New York dari tanggal 24 Januari sampai dengan tanggal 25 Maret 1961, dan yang dibuka untuk 59 Ibid Universitas Sumatera Utara penandatanganan pada tanggal 30 Maret 1961. Konvensi ini bertujuan untuk: Pertama , menciptakan suatu konvensi internasional yang pada umumnya dapat diterima oleh negara-negara di dunia ini dan dapat mengganti peraturan-peraturan pengawasan internasional atas narkotika yang bercerai-berai di dalam 8 delapan buah perjanjian international. Kedua, menyempurnakan cara-cara pengawasan narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan. Ketiga, menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan agar maksud dan tujuan tersebut dapat dicapai 60 Konvensi tunggal 1961 ini berjalan selama 11 sebelas tahun yang kemudian dilakukan perubahan pada tanggal 6 Maret sampai dengan tanggal 24 Maret 1972 di Jenewa yang menghasilkan Protokol dan yang dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 25 Maret 1972, termasuk oleh Indonesia . 61 Dewan PBB telah membuat atau mengadakan konvensi mengenai pemberantasan peredaran psikotropika convention on psycotropic subtances yang diselenggarakan di Viena pada awal tahun 1971dengan 71 negara peserta dan 4 negara peninjau. Hal ini sebagai reaksi yang didorong oleh keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan pasar, penyalahgunaan, dan peredaran narkoba secara ilegal, serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja yang paling banyak digunakan sebagai sasaran pasar, sehingga mendorong lahirnya konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran narkotika ilegal pada tahun 1988. . 60 I Nyoman Nurjana, loc.cit 61 Ibid Universitas Sumatera Utara Transformasi yang dilakukan oleh Indonesia yakni meratifikasinya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs And Psychotropic Substance, 1988 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika,1988, dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk bersama-sama dengan anggota masyarakat dunia lainnya aktif mengambil bagian dalam upaya memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika, oleh karena itu telah menandatangani United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances , 1988 Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 di Wina, Australia pada tanggal 17 Maret 1989 dan telah pula meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 dan Konvensi Psikotropika 1971, dengan undang-undang Nomor 8 Tahun 1996, serta membentuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Saat ini Negara Indonesia telah melahirkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang secara tegas menguraikan beberapa perbuatan mulai dari mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, danatau menggunakan narkotika, yang jika dilakukan tanpa pengendalian dan pengawasan dari pihak yang berwenang, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Universitas Sumatera Utara

B. Aturan Regional tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan

Narkotika Sidang khusus ke-17 pada bulan Februari 1990,PBB mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Against Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme UNDCP.Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan kejahatan narkotika yang bersifat transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders pada tahun 1990 di Havana, Kuba. Resolusi ke-13 dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan narkotika dilakukan antara lain: a meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya narkotika; b program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara pelaku pemakaipengguna narkotika drug users dan pelaku bukan pengguna drug-dealers melalui pendekatan medis, psikologis, psikiatris, maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan 62 Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia Tenggara disepakati dalam ASEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and . 62 Anjan Pramuka Putra, Op.cit, hal. 18 Universitas Sumatera Utara Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tahun 1972 di Manila, Filipina. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1976. Contoh kerjasama yang telah dilakukan ASEAN adalah dengan Republik Korea melalui pembangunan sistem informasi seaport dan airport interdiction di Indonesia, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Di Indonesia sendiri pusat pengawasan seaport dan airport interdiction telah dibangun di kota Jakarta, Batam, Medan dan Denpasar. Selanjutnya daerah-daerah perbatasan di Indonesia yang memiliki tingkat kerawanan tinggi seperti Entikong juga akan memiliki fasilitas seperti ini. Merujuk pada pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN tahun 1976, telah menghasilkan Rencana Aksi ASEAN terhadap pengendalian penyalahgunaan narkotika dan disepakati untuk memfokuskan Rencana Aksi tersebut ke dalam empat bidang prioritas, yaitu : pendidikan pencegahan, terapi dan rehabilitasi, penegakan hukum, serta penelitian. Isi dari deklarasi regional ASEAN meliputi kegiatan- kegiatan bersama untuk meningkatkan 63 1. Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan narkotika; : 2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika; 3. Membentuk badan koordinasi di tingkat nasional; dan 4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan internasional. 63 Arman Depari, Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Narkotika, Naskah Akhir Strategi Perorangan, dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan kurikulum SESPATI Polri dalam rangka penyelesaian program pendidikan DIKREG-17 T.P. 2009 Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, untuk menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan tersebut, pada tahun 1984 telah dibentuk ASEAN Senior Officials on DrugsMatters ASOD dan satu Forum Kerjasama Kepolisian antar negara-negara ASEAN ASEANAPOL yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN 64 . Selain iu, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Board dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan informasi, serta kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional.Kendati demikian, kenyataan memperlihatkan bahwa kuantitas kejahatan di bidang penyalahgunaan narkotika terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin meningkatnya aktifitas peredaran narkotika secara ilegal melalui jaringan sindikat internasional ke negara- negara sedang berkembang. Adapun pengaturan menyangkut kerjasama dalam penanggulangan peredaran gelap narkotika yang terorganisir sebagai kejahatan transnasionaltercantum dalam ASEAN Declaration on Transnational Crime, Manila, 20 December 1997 dengan uraian sebagai berikut: 65 ”the ASEAN Ministers of InteriorHome Affairs and Representatives of ASEAN Member Countries, participating in the first ASEAN Conference on 64 Indradi Thanos dalam konferensi pers pertemuan ASEAN Senior Officials on Drug Matters ASOD di Hotel Borobudur, Jakarta, 13 Oktober 2010 65 Ibid Universitas Sumatera Utara Transnational Crime held in Manila on 18-20 December 1997; concernedabout the pernicious effects of transnational crime, such as terrorism, illicit drug trafficking, arms smuggling, money laundering, traffic in persons and piracy on regional stability and development, the maintenance of the rule of law and the welfare of the regions peoples;” Pada awalnya Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia dan Papua New- Guinea, hanya dijadikan sebagai negara-negara persinggahan transit states oleh jaringan sindikat internasional untuk melakukan perdagangan gelap narkotika. Tetapi kemudian sejak akhir tahun 1993, wilayah Indonesia mulai dijadikan sebagai negara tujuan transit point of transit perdagangan narkotika ilegal ke Australia dan Amereka Serikat dari pusat produksi dan distribusi narkotika di wilayah segi tiga emas the golden triangle yang terletak didaerah perbatasan antara Thailand, Laos dan Kamboja 66 International Criminal Police Organization ICPOInterpol Singapora dan Australia melaporkan bahwa antara tahun 1992-1993 dapat ditangkap pelaku pembuat dan pengedar narkotika sindikat internasional berkebangsaan asing setelah transit di Indonesia. Mereka mengakui bahwa petugas Bea Cukai di bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan Ngurah Rai Bali dengan mudah dapat dikelabui sehingga lolos sampai di Australia.Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia tidak lagi dijadikan transit- state atau point of transit perdagangan narkotika trasnasional, tetapi juga telah . 66 NCB Interpol Indonesia, Indonesia Pasar Potensial Sabu-Ekstasi, Publisitas Interpol, Senin, 27 September 2010 Universitas Sumatera Utara menjadi market yang sangat menguntungkan di wilayah Asia Tenggara,paling tidak karena 3 tiga alasan 67 1. Instrumen hukum nasional yang mengatur tentang narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, Undang-Undang Nomor5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor22 Tahun 1997 tentang Narkotikasecara khusus tidak mengatur mengenai tindak pidana narkotika yang dilakukan di luar batas teritorial Indonesia. Karena itu, instrumen hukum narkotika nasional tidak mampu menjangkau tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional; yaitu : 2. Secara normatif, ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Undang- UndangNarkotika 1976 maupun Undang-UndangNarkotika 1997 sudah berat mulai dari pidana penjara sampai pidana mati plus pidana denda secara kumulatif, tetapi kelemahan mendasar justru terjadi pada tingkatan implementasi atau penegakan hukumnya law enforcement. 3. Sanksi pidana penjara dan denda yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika 1976 dan Undang-UndangNarkotika 1997 hanya mencantumkan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus terhadap jenis tindak pidana tertentu dan pada setiap obyek narkotika tertentu. Tetapi, tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan maksimum umum, sehingga menimbulkan disparitas penjatuhan pidana disparity of sentencing dalam hal lamanya masa pidana strafmaat dan jenis pidananya strafsoort tanpa dasar pembenar yang jelas terhadap perkara-perkara pidana narkotika di pengadilan. Berdasarkan uraian di atas, menyangkut sanksi pidana dan denda yang diatur dalam instrumen hukum nasional yakni undang-undang narkotika berimplikasi hukum dari adanya disparitas penjatuhan pidana ini dikaitkan dengan correction administration , karena salah satu tujuan penjatuhan pidana adalah agar orang menghormati hukum; jika terpidana yang satu mengetahui ada terpidana lain dijatuhi pidana yang lebih ringan dari dirinya, atau sebaliknya padahal perbuatan yang 67 Romli Atmasasmita, dalam I Nyaman Nurjana, loc.cit Universitas Sumatera Utara dilakukan sama maka terpidana tersebut cenderung semakin tidak menghormati hukum. Akibatnya, tujuan dari penjatuhan pidana maupun perlindungan masyarakat untuk ketertiban dan keamanan juga menjadi tidak tercapai.Perbedaan mendasar Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyangkut pengenaan sanksi hukumnya lebih beratdibandingkan undang-undang lama, seperti seseorang mengetahui keluarganya ada yang memakai narkotika, namun tidak dilaporkan, maka yang bersangkutan akan dikenai hukuman 6 bulan penjara.Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika memuat ancaman hukuman bagi penyidik dan jaksa yang tidak menjalankan aturan setelah menyita barang bukti narkotika dan para penyalahguna narkotika yang dihukum penjara dan terbukti menjadi korban penyalahgunaan narkotika, wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Tempat ia menjalani rehabilitasi ditunjuk oleh pemerintah dan masa rehabilitasi dihitung sebagai masa hukuman. Narkoba jenis psikotropika yang selama ini masuk dalam golongan 1 dan 2 seperti shabu-shabu dan ekstasi, dijadikan narkotika golongan 1.

C. Aturan Bilteral tentang Kerjasama Penanggulangan Kejahatan Narkotika

Seiring dengan pesatnya perkembangan arus informasi dan teknologi, muncul pula tatanan kehidupan yang baru dalam berbagai dimensi.Transisi yang terjadi dari sistem bipolar ke sistem multipolar dunia kemudian menjadi salah satu yang mewarnai konstalasi kehidupan global.Ini disadari atau tidak telah membawa pengaruh yang sangat besar dalam hubungan yang terjalin antar Negara Universitas Sumatera Utara kemudian.Namun perkembangan globalisasi tak selamanya membawa keuntungan tapi justru menjadi celah dan peluang yang dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan transnasional dengan kemudahan yang ditawarkan oleh arus informasi, teknologi, dan transportasi yang bisa diperoleh dengan mudah.Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. Keadaan ekonomi dan politik global yang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas tersebut. Dampak sosial yang ditimbulkan pasca krisis multidimensional pada tahun 1997-1998 khususnya di Asia Tenggara ternyata juga menjadi factor pendorong munculnya masalah keamanan baru berupa kasi-aksi kejahatan transnasional atau melintasi batas Negara. Bentuk dan aksi kejahatan transnasional yang banyak terjadi khusunya di wilayah Asia Tenggara antara lain perdagangan atau penyelundupan manusia, baik perempuan dan anak-anak, narkotika dan obat-obatan terlarang, pembajakan kapal di perairan Asia Tenggara, money laudering, terorisme, serta perdagangan gelap persenjataan ringan. 68 Kejahatan yang melintasi batas-batas Negara ini ternyata disadari memberikan ancaman bagi stabilitas suatu Negara dan kawasan bahkan dunia.Ini dianggap sebagai ancaman keamanan non-konvensional karena kejahatan transnasional dapat mengancam segala aspek kehidupan termasuk pembangunan kehidupan sosial 68 Mattalitti Abdurrachman, Kerjasama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara , Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2001, hal. 1. Universitas Sumatera Utara kemasyarakatan dalam sebuah Negara. Lantas dengan maraknya serangkaian kejahatan transnasional yang terjadi tidak serta merta sebuah Negara mampu menanganinya sendiri karena kejahatan seperti ini melibatkan lebih dari satu Negara yang memiliki regulasi dan aturan yang berbeda-beda dalam menangani kasus ini dalam hukum nasional masing-masing Negara sehingga butuh kerjasama yang efektif guna menanggulangi kejahatan transnasional, khususnya kerjasama bilateral antar dua Negara di tataran Negara-negara ASEAN. Dalam pertemuan ke-2 ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime dio Yangoon , bulan Juni 1999 telah ditetapkan Rencana Aksi ASEAN untuk memerangi kejahatan transnasional. Dan dalam ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes ASEAN-PACTC tahun 2002 juga menyebutkan 8 jenis kejahatan lintas negara dalam lingkup kerjasama ASEAN yaitu: perdagangan gelap narkoba, perdagangan manusia, sea-piracy, penyelundupan senjata, pencucian uang, terorisme, international economic crime dan cyber crime. Sehingga untuk melihat bagaimana kerjasama yang telah dilakukan dalam dalam mengatasi kejahatan transnasional, maka penulis akan menguraikan satu persatu mengenai 6 jenis kejahatan transnasional berdasarkan ASEAN-PACTC. 69 Asia Tenggara dikenal sebagai wilayah penghasil obat-obatan terlarang terbesar di dunia, atau bersama-sama dengan “Golden Crescent” Afghanistan, Pakistan, dan Iran, dan Kolombia, melalui keberadaan segitiga emas di Perbatasan Thailand, Myanmar, dan Laos. Perlu diketahui bahwa Golden triangle merupakan 69 Ibid Universitas Sumatera Utara penghasil 60 opium dan heroin dunia.Namun bukan hanya menjadi pemasok opium yang besar tapi dengan jumlah populasi Asia Tenggara yang cukup besar, maka Kawasan ini juga menjadi pasar yang sangat potensial. 70 a. Pertukaran informasi melalui contact personpegawai perhubungan Negara masing-masing. Hal inilah yang mendasari perlunya kerjasama bilateral dengan Negara-negara yang rentan terjadinya peredaran gelap Narkotika. Adapun kerjasama bilateral yang telah dilakukan oleh Indonesia antara lainterjalinnya kerjasama secara bilateral seperti U.S Department of Justice Drug Enforcement Administration DEA, AFP Kepolisian Australia, PDRM Kepolisian Malaysia dan CNB Badan Narkoba Singapura. Kerjasama yang meliputi Pertemuanmesyuarat bilateral kelompokkumpulan kerja ke – 5 Antara Dit ivtp. Narkoba dan kt. Bareskrim polri DenganJabatan siasatan jenayah narkotik jsjn pdrmTanggal : 27 – 28 juli 2010Di bandung, Indonesia, menghasilkan kerjasama antar dua Negara yang meliputi: b. Memberi kemudahan penyediaan Communication Data Record CDR Telephone Billing dan kemudahan proses penyelidikanpenyiasatan dan peninjauanlawatan ke Clandestine Lab yang berhasil diungkapdibongkar. c. Pengawasan lalu lintaspengedaran NarkotikaDadah Interdiction antara kedua Negara diperbatasan darat, dan khusus untuk di perairan laut JSJN dan Dit IVTP. Narkoba dan KT. Bareskrim Polri diharapkan dapat memfasilitasi koordinasi dengan Pasukan Gerakan Marine PDRM dan Dit Pol Air Babinkam Polri serta instansi 70 Ibid Universitas Sumatera Utara pemerintah lainnya di kedua negara apabila ada kasus narkoba yang sedang ditanganinya. d. Meneruskan dan meningkatkan kerjasama pertukaran informasi dan intelijen tentang DPOorang yang dikehendaki kasuskes NarkobaDadah dan sindiket NarkobaDadah West African. Di samping itu terjalinnya kerjasama dengan Kepolisian Negara Asia Pasifik HONLEA, kerjasama colombo plan, kerjasama dengan ICPO-Interpol dan INCB- PBB untuk melakukan tindakan pemberantasan kejahatan Narkoba terhadap pelaku sebagai warga negara dari negara yang tidak terikat kerjasama secara bilateral. Universitas Sumatera Utara 54

BAB III PERAN POLRI DALAM PENGEMBANGAN KERJASAMA

INTERNASIONAL UNTUK MENANGGULANGI KEJAHATAN NARKOTIKA YANG TERORGANISIR

A. Dampak Peredaran Narkotika Terorganisir terhadap stabilitas

Keamanan Dalam Negeri sehingga memerlukan Pengembangan Kerjasama Internasional Era globalisasi berkolerasi dengan pencapain tujuan Polri menuju paripurna world class organization.Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa era globalisasi telah membawa perubahan berbagai tatanan kehidupan manusia di dunia baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan hukum sehingga berpengaruh secara signifikan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Polri dalam rangka mewujudkan stabilitas keamanan nasional.Di samping itu era globalisasi tentunya berpengaruh pada pola hidup masyarakat dan juga mempengaruhi munculnya kejahatan yang dilakukan berskala internasional yang lebih dikenal sekarang ini yaitu terjadinya tindak pidana yang digolongkan ke dalam “Trans National Crime”. Perkembangan lingkungan strategis baik global, regional maupun nasional mengandung berbagai gangguan keamanan yang diprediksi akan semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitas dan tidak mengenal batas suatu negara. Pada abad turbulensi The Age of Turbulence yang ditandai dengan revolusi teknologi terutama informasi dan Universitas Sumatera Utara transportasi di samping berdampak pada pembangunan di berbagai bidang dan terintegrasinya sistem perekonomian dan keuangan dunia, juga memiliki efek samping pada kemajuan tindak kejahatan baik dari variasi modus operandi, pengorganisasian dan mobilitasnya. Berbagai bentuk ancaman terhadap keamanan nasionalakan mewarnai dari skala terendah sampai dengan skala tertinggi dan menimbulkan dampak yang berspektrum luas di berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Salah satunya yakni tindak pidana Narkotika yang menjadi trend isu regional dan Internasional. 71 Instrumen internasional yang memuat kebijakan mengenai narkotikaseperti konvensi-konvensi harus diperhatikan dalam pengembangan kerjasama internasional yang selaras dengan prinsip-prinsip kerjasama internasional antara lain asas hubungan baik antar Negara, pembentukan perjanjian internasional dengan Negarayuridiksi lain, peranan Indonesia dalam global framework berupa komitmen Indonesia untuk mengatasi kejahatan lintas batas, mencegah impunitas dan menunjukkan bahwa Indonesia bukan tempat yang aman bagi pelaku kejahatan safe haven. 72 71 Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkembangan dan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Kekayaan Negara dan Kejahatan Transnasional , Jakarta, September 2008, hal. 3 . 72 Linggawaty Hakim, Tinjauan Umum Ekstradisi dalam Perspektif Hubungan Luar Negeri, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Makalah disampaikan pada “FGD RUU EKSTRADISI” diselenggarakan DIVKUM MABES POLRI, Tanggal 17 Desember 2013 Indonesia telah meratifikasi beberapa kesepakatan internasioal termasuk yang diratifikasi belakangan adalah “The United Nations Convention Againts Illict Traffic on Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988” dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun Universitas Sumatera Utara 1997 dan pengaturan psikotropika berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan psikotropika serta pemberantasan peradaran gelap psikotropika. Penyelenggaraan konferensi tentang psikotropika pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adoption of Protocol on Pscyhotropic Substances mulai tanggal 11 Januari-21 Februari di Wina, Australia telah menghasilkan Convention Psyhotropic Substances 1971. Materi muatan konvensi tersebut berdasarkan pada resolusi The United Nations Economic and Social Council Nomor 1474 XLVIII tanggal 24 Maret 1970 merupakan aturan- aturan untuk disepakati menjadi kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi oleh semua negara 73 Kondisi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup memprihatinkan baik dari segi modus maupun karakteristik kejahatan yang dilakukan secara terorganisir, sangat rapi namun terputus-putus tidak terstruktur. Berdasarkan karakteristik tersebut maka kejahatan ini dikategirkan sebagaiwhite collar crime konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school status in the course of his occupation ”. Kejahatan kerah putih ini sudah pada taraf transnasional, tidak lagi . Baik konvensi maupun undang-undang kesemuanya menekankan begitu pentingnya penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika untuk dilakukan secara bersama-sama. 73 Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 1. Universitas Sumatera Utara mengenal batas-batas wilayah negara sehingga mengharuskan bagi negara berkembang untuk menggunakan perangkat hukum yang tersedia untuk memberantas pelaku kejahatan 74 Kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang bersifat lintas negara, kejahatan terorganisir, dan kejahatan serius yang dapat menimpa segenap lapisan masyarakat, khususnya generasi muda. Penyalahgunaan narkotika telah menimbulkan banyak korban, serta menimbulkan kerugian yang sangat besar, terutama dari segi kesehatan, ekonomi, sosial, dan keamanan.Dari data hasil survei BNN-UI tahun 2013 diketahui bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah mencapai 2,2 atau sekitar 3,8 juta orang dari total populasi penduduk usia 10-60 tahun. . Oleh karena itu, peningkatan kerjasama penanggulangan dan pemberantasan sebagai upaya represif dalam memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan. 75 74 Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan, Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK, Medan, tanggal 6 Mei 2004, bahwa konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school status in the course of his occupation ”. Kejahatan kerah putih ini sudah pada taraf transnasional, tidak lagi mengenal batas-batas wilayah negara sehingga mengharuskan bagi negara berkembang untuk menggunakan perangkat hukum yang tersedia untuk memberantas pelaku kejahatan. 75 Adjar Dewantoro, Optimalisasi Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Yang Lebih Koprehensif Dan Terintegrasi Guna Meningkatkan Kualitas Generasi Muda Dalam Rangka Ketahanan Nasional , Taskap Lemhanas RI, Dik Reg XLIX dan L T.A. 2013 Berdasarkan laporan United Nation Drugs Control Programme UNDCP, Indonesia telah menempatkan posisi kuning untuk masalah narkotika dan posisi warna merah untuk masalah psikotropika.Posisi warna kuning menunjukkan kondisi suatu negara yang berbahaya, sedangkan posisi warna merah menunjukan posisi Universitas Sumatera Utara bahaya tertinggi atau teramat serius. 76 Atas dasar laporan tersebut, penyalahgunaan Narkotika di Indonesia sudah menghawatirkan keberlangsungan masa depan bangsa dan negara, karena mengancam dan bahkan dapat menghancurkan generasi muda. Disamping itu, menjadi preseden buruk bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang pada muaranya berpengaruh pada keamanan dalam negeri. Potret penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba saat ini digambarkan antara lain sebagai berikut : Tabel 1: Penanganan Kasus oleh BNN Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 JENIS Jumlah Tindak Pidana 2008 2009 2010 2011 2012 Narkotika 64 83 104 Psikotropika - - - Bahan Berbahaya - - - Jumlah 64 83 104 Sumber: Badan Narkotika Nasional, 2013 Keterangan: Data belum ada karena BNN belum terbentuk Data BNN sebagaimana digambarkan pada tabel di atas menunjukkan bahwa penanganan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba mengalami peningkatan berdasarkan hasil pengungkapan yang dilakukan oleh BNN. Peningkatan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dimaksud dilihat dalam kurun waktu Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2012 dengan perincian pada tahun 2010 sebanyak 64 kasus narkotika yang ditangani oleh BNN, penanganan terhadap psikotropika dan bahan berbahaya tidak ada. Pada Tahun 2011 sebanyak 83 kasus narkotika, sementara itu penanganan terhadap kasus psikotropoka dan bahan 76 Ibid Universitas Sumatera Utara berbahaya tidak ada. Tahun 2012 sebanyak 104 kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang diungkap oleh BNN diseluruh wilayah Republik Indonesia, sedangkan penanganan terhadap kasus psikotropika dan bahan berbahaya tidak ada. Data pada tahun 2008 dan tahun 2009 menunjukkan tidak adanya penanganan kasus yang ditangani oleh BNN karena lembaga BNN belum efektif difungsikan untuk penanganan kasus tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Pada tahun 2008 dan tahun 2009 penanganan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotikahanya ditangani oleh fungsi Reserse Polri. Tabel 2: Penanganan Kasus oleh Polri Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 Sumber: Direktorat IV Tipid Narkoba Bareskrim Polri, 2013 Penanganan kasus tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang dilakukan oleh Polri dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.Salah satu faktor yang mendasari peningkatan penanganan kasus berdasarkan hasil pengungkapan yang dilakukan oleh Polri yakni terbentuknya Direktorat dan Satuan Narkoba di tingkat Polda dan Satuan Kewilayahan Polresta secara tersendiri yang selama ini berada di di bawah Direktorat Reserse pada tingkat Polda dan di bawah Satuan Reserse pada tingkat Satuan Kewilayah Polresta. Adapun peningkatan PELAKU Jumlah Tindak Pidana 2008 2009 2010 2011 2012 Narkotika 10.008 11.135 17.834 19.045 18.977 Psikotropika 9.783 8.779 1.181 1.601 1.729 Bahan Berbahaya 9.573 10.964 7.599 9.067 7.917 Jumlah 29.364 30.878 26.614 29.713 28.623 Universitas Sumatera Utara penanganan kasus tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba berdasarkan data di atas dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Penanganan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pada Tahun 2008 sebanyak 10.008 kasus. Penanganan terhadap kasus psikotropika sebanyak 9.783 kasus dan penanganan terhadap kasus penyalahgunaan bahan berbahaya sebanyak 9.573 kasus. 2. Pada Tahun 2009 penanganan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebanyak 11.135 kasus. Penanganan terhadap kasus psikotropika sebanyak 8.779 kasus dan penanganan terhadap kasus penyalahgunaan bahan berbahaya sebanyak 10.964 kasus. 3. Penanganan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pada Tahun 2010 sebanyak 17.834 kasus. Penanganan terhadap kasus psikotropika sebanyak 1.181 kasus dan penanganan terhadap kasus penyalahgunaan bahan berbahaya sebanyak 7.599 kasus. 4. Pada Tahun 2011 penanganan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebanyak 19.045 kasus. Penanganan terhadap kasus psikotropika sebanyak 1.601 kasus dan penanganan terhadap kasus penyalahgunaan bahan berbahaya sebanyak 9.067 kasus. 5. Penanganan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pada Tahun 2012 sebanyak 18.977 kasus. Penanganan terhadap kasus psikotropika sebanyak 1.729 kasus dan penanganan terhadap kasus penyalahgunaan bahan berbahaya sebanyak 7.917 kasus. Universitas Sumatera Utara Tabel 3: Jumlah Pelaku berdasarkan Usiayang ditangani BNN periode 2008 - 2012 Sumber: Badan Narkotika Nasional, 2013 Keterangan: Data belum ada karena BNN belum terbentuk Berdasarkan data di atas dapat diuraikan bahwa jumlah pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dilihat dari usia yang ditangani oleh BNN menunjukkan bahwa dominan usia pelaku di atas 30 tahun dengan jumlah pelaku pada tahun 2010 sebanyak 34 pelaku, tahun 2011 sebanyak 83 pelaku dan pada tahun 2012 sebanyak 105 pelaku. Tabel 4: Jumlah Pelaku berdasarkan Usiayang ditangani Polri periode 2008 - 2012 Sumber: DirektoratIV Tipid Narkoba Bareskrim Polri, 2013 Usia Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 16 - - - 16-20 1 8 14 21-25 13 19 25 26-30 27 33 43 30 34 83 105 Jumlah 75 143 187 Usia Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 16 133 113 88 117 132 16-19 2.001 1.731 1.515 1.771 2.103 20-24 6.441 5.430 4.987 5.361 5.460 25-29 10.136 9.756 8.915 11.691 10.307 30 26.000 21.373 17.917 17.649 17.451 Jumlah 44.711 38.403 33.422 36.589 35.453 Universitas Sumatera Utara Data dari Direktorat IV Tipid Narkoba Bareskrim Polri Periode Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 menunjukkan bahwa dominasi pelaku yang terbanyak rata-rata berusia di atas 30 tahun, di samping itu pelaku yang terbanyak lainnya berusia antara 25 sampai dengan 29 tahun. Dapat diuraikan bahwa pelaku yang berusia di atas 30 tahun pada tahun 2008 sebanyak 26.000 pelaku, tahun 2009 sebanyak 21.373 pelaku, tahun 2010 sebanyak 17.917 pelaku, tahun 2011 sebanyak 17.649 pelaku dan tahun 2012 sebanyak 17.451 pelaku. Terhadap pelaku yang berusia antara 25 sampai dengan 29 tahun yakni padat tahun 2008 sebanyak 10.136 pelaku, tahun 2009 sebanyak 9.757 pelaku, tahun 2010 sebanyak 8.915 pelaku, tahun 2011 sebanyak 11.691 pelaku dan tahun 2012 sebanyak 10.307 pelaku. Terjadinya penurunan jumlah pelaku antara tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 apabila dibandingkan dengan jumlah pelaku pada tahun 2011 dan 2012,dikarenakan terjadinya penyesuaian dan pemantapan restrukturisasi organisasi Polri pada fungsi Reserse dan pembentukan BNN sebagai salah satu institusi selain Polri yang diberikan wewenang pemberantasan kejahatan narkotika, sekaligus terjadinya deregulasi berupa kebijakan hukum pengaturan menyangkut penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotikapada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang sebelumnya diatur pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Universitas Sumatera Utara Tabel 5: Kewarganegaraan Pelaku yang ditangani BNN periode 2008 - 2012 Sumber: Badan Narkotika Nasional, 2013 Keterangan: Data belum ada karena BNN belum terbentuk Dari data BNN tersebut di atas terkait kewarganegaraan pelaku, diketahui bahwa WNIyang terlibat dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotikapada tahun 2010 sebanyak 50 orang, tahun 2011 sebanyak 102 orang, tahun 2012 sebanyak 170 orang. Sedangkan WNA yang terlibat dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di wilayah hukum Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 25 orang, tahun 2011 sebanyak 41 orang, tahun 2012 sebanyak 17 orang. Tabel 6: Kewarganegaraan Pelaku yang ditangani Polri periode 2008 - 2012 Sumber: DirektoratIV Tipid Narkoba Bareskrim Polri, 2013 Potret tersebut diatas menunjukan bahwa langkah-langkah penanggulangan oleh 2 dua institrusi penegak hukum belum mampu untuk menekan perkembangan Warga Negara Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 WNI 50 102 170 WNA 25 41 17 Jumlah 75 143 187 Warga Negara Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 WNI 44.613 38.295 33.288 36.469 35.354 WNA 98 108 134 120 99 Jumlah 44.711 38.403 33.422 36.589 35.453 Universitas Sumatera Utara peredaran gelap narkotika yang modus operandinya semakin beragam.Hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah kasus yang ditangani, baikoleh BNN maupun oleh Polri, baik dari aspek usiamaupun kewarganegaraan asal pelaku yang menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Khusus keterlibatan sejumlah warga negara asing sebagaimana tergambar pada tabel 5 maupun tabel 6, menunjukkan betapa pelaku jaringan narkotika terorganisir antara negara telah lama “bermain’ di Indonesia. Kondisi ini dengan nyata dapat mengancam masa depan bangsa Indonesia, apalagi dalam praktiknya, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tanpa pandang bulu telah melibatkan pelaku-pelaku dengan usia produktif yang merupakan generasi muda bangsa yang kepadanya ditambatkan harapan untuk kelangsungan masa depan negeri ini. Daya rusak penyalahgunaan narkotika sangat luar biasa.Narkotika menggerogoti energi kreatif, daya nalar, dan keinginan untuk berbuat baik.Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan salah satu penyebab meningkatnya kriminalitas, korupsi dan penyimpangan perilaku yang dapat menghancurkan kualitas sumber daya manusia, khususnya generasi muda sebagai aset bangsa. Pecandu narkotika yang menjalankan proses rehabilitasi di Indonesia berjumlah 14.510 orang, tersebar di lembaga rehabilitasi BNN, rehabilitasi instansi pemerintah dan rehabilitasi komponen masyarakat. Pecandu narkotika yang menjalankan proses rehabilitasi telah melampaui kemampuan kapsitas lembaga atau panti rehabilitas. Kerugian dari penyalahgunaan narkotika bukan hanya menimbulkan penyakit kesehatan semata terhadap individu, tetapi bisa menjadi penyakit sosial yang Universitas Sumatera Utara mematikan, seperti HIVAID, hepatititis, TBC dan sebagainya yang dapat menular bagi manusia lain. Dampak dari semua itu adalah terjadinya peningkatan biaya ekonomi. Pada tahun 2001 sebesar Rp 23 triliun, pada tahun 2004 meningkat dua kali lipat menjadi sebesar Rp 44,4 triliun, sedangkan pada tahun 2008 menurun menjadi Rp 32 triliun. 77 Biaya tersebut diatas merupakan biaya ekonomi yang harus dikeluarkan oleh negara, antara lain: konsumsi obat, pengobatan, detoksifikasi, dan rehabilitasi, perawatan, kecelakaan, penegakan hukum, pengadilan dan eksekusi 78 Beragam jenis narkotika yang beredar di Indonesia dan didatangkan dari luar negeri, baik dalam bentuk yang sudah jadi, maupun berupa bahan baku yang kemudian diolah di Indonesia. Hal ini menunjukan adanya keterlibatan jaringan sindikat narkotika internasional, antara produsen, kurir, bandar, pengedar sampai ke pemakai terhubung dengan sistem sel yang terputus.Rentang komunikasi antara mereka hanya setingkat ke atas dan setingkat ke bawah.Seorang pengedar hanya bisa berhubungan dengan bandar, tidak mengenal kurir yang memasok narkotika kepada bandar, apalagi sampai kenal dengan godfather bisnis narkotika . Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh individu untuk detoksifikasi, dan rehabilitasi, perawatan dan sebagainya.Selain biaya ekonomi tersebut diatas masih terdapat berbagai biaya yang harus dikeluarkan oleh negara guna memberantas peredaran gelap narkotika. 79 77 Ibid 78 Majalah Narkotika Ungkap, edisi 1 April 2013, hal 31. 79 Ibid , Mabes Polri, Buku narkoba, hal 54-56. . Kondisi ini yang menyebabkan pengungkapan jaringan sindikat narkotika internasional sangat sulit, Universitas Sumatera Utara investigasi akan berhenti di jalan buntu, karena pelaku yang tertangkap tidak mempunyai informasi yang lengkap tentang keseluruhan jaringannya. Menurut laporan International Narcotics Control Strategy INCS, jaringan sindikat perdagangan heroin dunia masuk ke Indonesia dengan cara melibatkan jaringan mereka yang ada di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Nigeria. Kelompok- kelompok itu memperoleh heroin dari Segi Tiga Emas atau Bulan Sabit Emas di Bangkok, kemudian dibawa kurir melalui pesawat terbang komersial ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Dari Jakarta, heroin ini kemudian didistribusikan ke Amerika Serikat, Australia, dan Eropa Barat. 80 Dari hasil pemantauan Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri, distribusi narkoba jenis heroin yang berkembang di Indonesia diorganisasikan oleh bandar-bandar asing atau sindikat dari Nepal, Pakistan, dan negara-negara Afrika Barat Daya, seperti Nigeria, Ghana dan Liberia, atau yang kerap disebut Black Africa. 81 Karakteristik kejahatan narkotika adalah melibatkan jaringan antar bangsa transnational crime.Kejahatan lintas negara ini telah mengancam eksistensi ketahanan dan keamanan semua bangsa.Patut diduga kejahatan narkotika telah didanai oleh sindikat kejahatan internasional dengan dukungan yang besar, sumber daya manusia yang profesional dengan dukungan teknologi yang canggih. Bisnis Hal ini menunjukkan bahwa peredaran gelap narkotika, tidak hanya berskala nasional atau regional, namun sudah berskala internasional. 80 Andjar Dewantoro, Loc.cit 81 Ibid Universitas Sumatera Utara peredaran gelap narkotika yang menjanjikan keuntungan besar, telah menyeret semua bangsa ke dalam berbagai persoalan politik, sosial, ekonomi serta pertahanan dan keamanan yang berpotensi dapat menghambat laju pembangunan bangsa di masa kini dan di masa yang akan datang. Perkembangan kejahatan ini sangat menakutkan kehidupan umat manusia di dunia, khususnya bagi generasi muda.Tidak ada satu negara manapun di dunia yang bisa mengklaim bahwa negaranya bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.Indonesia juga termasuk negara yang mengalami permasalahan ini.Dibeberapa negara, termasuk Indonesia, telah berupaya untuk menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika ini. Instrumen internasional yang memuat kebijakan penanggulangan narkotika hanya berupa konvensi-konvensi yang harus diperhatikan, karena konvensi-konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat setiap negaradalam penanggulangan peredaran gelap narkotika internasional. Indonesia telah meratifikasi beberapa kesepakatan internasioal, seperti : The United Nations Convention Againts Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 , diratifikasi melalui Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1997 dan pengaturan psikotropika berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, serta mencegah penyalahgunaan psikotropika dan pemberantasan peradaran gelap psikotropika. Kerjasama internasional telah dilakukan oleh Indonesia, namun dalam implementasinya belum berjalan optimal. Menurut laporan United Nations Office on Drug and Crime UNODC, yaitu lembaga internasional di bawah PBB yang Universitas Sumatera Utara menangani kejahatan narkotika, World Drug Report 2005 UNODC nilai perdagangan Narkotika di tahun 2003 telah mencapai US322 miliar, dengan perincian yaitu: Ganja US113 miliar, Kokain US71 miliar, Opiat US65 miliar, Resin Ganja US29 miliar, dan ATSEkstasi dll US44 miliar. Jumlah tersebut lebih besar dibanding Gross Domestic Product GDP 88 persen negara- negara di dunia.Nilai perdagangan yang besar tersebut, pada periode tahun 2003- 2004, telah menjadi faktor peningkatan jumlah penyalahgunaan Narkotika di dunia 82 Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki 17.508 pulau besar dan kecil, dengan garis pantai 95.181 km terpanjang ke-empat di dunia. Dunia internasional mengakui bahwa Indonesia memiliki berbagai potensi yang luar biasa dan merupakan modal dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, potensi itu antara lain: Pertama , luas wilayah nusantara yang terdiri dari daratan dan lautan serta kedudukannya berada di posisi silang dunia. Kedua, sumber kekayaan alam yang berlimpah.Ketiga, jumlah penduduk yang besar.Keempat, digunakannya selat Malaka sebagai jalur perlintasan perdagangan dunia. Keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan segala potensinya, disatu sisi menguntungkan perekonomian Indonesia, namun disisi lain mengandung berbagai bentuk ancaman karena banyak pintu terbuka bagi penyelundupan, khususnya penyelundupan narkotika. Disamping itu tersedia 22 bandara di 22 provinsi yang membuka akses ke bandara udara diberbagai negara, khususnya terbuka bagi perdagangan luar negeri. . 83 82 Siswandi, Pangsa Narkotika Dunia Indonesia dalam Andjar Dewantoro, Loc.cit 83 Ibid Kondisi ini Universitas Sumatera Utara merupakan pintu resmi yang bercelah untuk melakukan penyelundupan narkotika maupun dijadikan sebagai lalu lintas perdagangan narkotika internasional.Kemudian, mudah dan murahnya merekrut kurir jaringan narkotika internasional menjadikan Indonesia sebagai bagian dari jaringan narkotika internasional.Situasi dan kondisi inilah yang perlu diwaspadai dan diantisipasi guna mencegah masuknya narkotika internasional ke Indonesia, maupun dijadikannya Indonesia sebagai lalu lintas perdagangan gelap narkotika internasional, serta pangsa peredaran gelap narkotika internasional. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika masih terus menjadi ancaman serius bagi setiap negara, hal ini diakibatkan oleh terjadinya peningkatan produksi narkotika secara illegal dan pendistribusian yang begitu cepat dan meluas dengan tidak lagi mengenal batas antara negara, hal ini mengakibatkan korban penyalahgunaan narkotika setiap tahunnya mengalami peningkatan.Upaya pengawasan narkotika yang ketat oleh negara-negara di dunia telah dapat mengendalikan peredaran narkotika di Eropa, Amerika dan Asia.Namun demikian transaksi dan peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh pelaku kejahatan terorganisir organized crime ternyata terus meningkat, sehingga diperlukan berbagai kebijakan, strategi dan upaya untuk melindungi masyarakat, khususnya generasi muda dari bahaya narkotika. Menurut laporan United Nations Office on Drug and Crime UNODC 2010, yaitu lembaga internasional di bawah PBB, diketahui bahwa pada tahun 2008 diperkirakan antara 155-250 juta orang 3,5-5,7 dari populasi penduduk dunia Universitas Sumatera Utara yang berumur 15-64 tahun menggunakan narkotika, minimal sekali dalam setahun 84 Masuknya narkotika ke Indonesia tidak lepas dari peran sindikat yang menguasai jalu-jalur peredaran.Hal ini dapat dilihat dari jalur yang dikuasai oleh . Disaat trend konsumsi heroin dan kokain dianggap stabil dan mengalami penurunan, hampir mayoritas kawasan diimbangi dengan kenaikan penyalahgunaan narkotika yang menggunakan resep dan zat sintetis.Penggunaan resep non medis menjadi permasalahan yang baru disejumlah negara maju dan negara berkembang. Sementara itu, di Amerika Utara banyak permintaan ganja, opiat dan kokain, permintaan kecanduan terhadap ATS tidak mendominasi di semua kawasan tetapi memilki peran yang cukup besar terutama di kawasan Asia dan Oceania, Eropa dan Amerika Utara. Arus globalisasi yang masuk ke Indonesia berdampak pada perubahan nilai- nilai yang bersifat positif maupun negatif dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Perkembangan lingkungan global dalam perdagangan gelap narkotika mempengaruhi dijadikannya Indonesia sebagai pangsa pasar peredaran gelap narkotika internasional. Selain itu, Indonesia juga dijadikan sebagai tempat transit heroin yang akan dikirimkan dari Jakarta ke pasar Asia, Amerika Serikat, Eropa, Amerika Selatan, Afrika dan Australia. Meskipun tidak ada bukti bahwa penyelundupan heroin dari Jakarta ke Amerika Serikat memiliki efek signifikan dalam struktur organisasi narkotika di Amerika Serikat, sindikat narkotika Afrika Barat telah menempati Indonesia sebagai urutan keempat kelompok pengedar dari negara itu. 84 Rencana Strategis BNN Tahun 2010-2014 Review, hal 1. Universitas Sumatera Utara sindikat yang lazim dikenal sebagai the route of heroin golden triangle dan the route of shabu, ecstasy, marijuana yang dilakukan oleh sindikat Nigerian Drugs Travellers mafia Black Afrika.Jaring-jaring yang dibangun merupakan jaringan rahasia dan kerja rahasia clandestine.Dari uraian tersebut diatas, diketahui bahwa perkembangan lingkungan global telah mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya jaringan sindikat narkotika internasional di Indonesia, karena Indonesia hingga saat ini masih menjadi lalu lintas peredaran gelap narkotika internasional, menjadi tempat merekrut kurir narkotika internasional serta menjadi pangsa narkotika internasional. Kondisi faktual kerjasama internasional dalam penanggulangan kejahatan Narkotika terorganisir dirasakan belum optimal. Kerjasama yang dilakukan hanya terbatas pada kesepakatan dan bantuan timbal balik tanpa mengintensifkan kerjasama secara operasional disebabkan faktor kurangnya kemauan Negara yang diminta bantuan untuk melakukan tindakan penanganan terhadap pelaku oleh Negara yang meminta juga karena belum adanya rumusan secara teknis antar Negara dalam pemberantasan pelaku kejahatan yang diindikasi terlibat peredaran gelap narkotika melaui tindakan task force yang melibatkan masing-masing Kepolisian antar Negara. Hal ini dapat dicontohkan menyangkut kerjasama antar negara dalam penanganan dan penangkapan terhadap pelaku kejahatan Narkoba secara terpadu integrated. Kerjasama internasional dimaksud adalah kerjasama yang dilakukan oleh negara- negara yang tergabung dalam forum International Drug Enforcement Conference IDEC di tingkat regional Far East Regional Working Group Meeting dengan sasaran prioritas kerjasama berupa Daftar Target Target List yang meliputi Universitas Sumatera Utara target operasi dan intelijen, termasuk daftar buronan fugitive list dan daftar yang diawasi watch list. Satu hal yang perlu diperhatikan, hampir semua negara sangat menyadari bahwa permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika adalah masalah global, mengingat karakteristiknya yang transnasional dan berdimensi internasional. Oleh karena itu, dalam menanggulangi masalah ini, setiap negara memiliki kebijakan yang melibatkan dunia internasional. Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bukanlah masalah baru, sebab masalah ini sesungguhnya sudah ada sejak lama dan dilakukan umat manusia di seluruh belahan dunia bahkan telah menjadi budaya. Penggunaan narkotika pada acara-acara pesta misalnya di Eropa dan Amerika Utara sudah merupakan hal yang biasa. Penggunaan morfin dan kokain merupakan gambaran sehari-hari di Eropa maupun di Amerika Utara pada akhir abad kesembilan belas 85 . Tidak hanya terjadi di kota-kota besar di dunia, akan tetapi juga bisa ditemukan di kawasan pedesaan negara-negara yang sedang berkembang, khususnya di kalangan masyarakat Asia Tenggara dimana menggunakan kokain merupakan hal biasa 86 85 . Kesemua tadi menunjukkan bahwa masalah tersebut merupakan masalah global yang menimpa hampir seluruh belahan dunia, sebab masalah ini tidak hanya dialami oleh negara-negara maju, akan tetapi juga menjadi http:www.google.com , Penanggulangan Narkotika di Indonesia, diakses tanggal 18 April 2014 86 http:www.yahoo.com , Bahaya Narkotika bagi Stabilitas Keamanan Nasional, diakses tanggal 18 April 2014 Universitas Sumatera Utara masasalah negara-negara berkembang dan bahkan negara miskin. Pendeknya bahwa masalah narkotika sudah menjadi masalah global umat manusia di dunia. Mengingat bahaya narkotika sebagai salah satu wujud nyata ancaman global terhadap kehidupan manusia, berbagai forum kerjasama penegakan hukum internasional menyimpulkan bahwa trend kejahatan narkotika menunjukkan peningkatan baik regional maupun internasional, sehingga dalam penanggulangannya diperlukan kerjasama penegak hukum secara internasional melalui perumusan bersama tentang strategi penanggulangan dari berbagai sisi pendekatan pemecahan masalah. Dari pengungkapan kasus-kasus narkotika oleh Polri menunjukkan adanya korelasi antara tingginya peredaran gelap narkotika dan meningkatnya ancaman bagi stabilitas keamanan dalam negeri, baik dari aspek pelaku maupun dari aspek korban penyalahguna dan peredaran gelap narkotika. Terungkapnyakasus-kasus tersebut, jelas menunjukkan bahwa Indonesia tidaklagi hanya menjadinegara transit pelaku dan narkotikanya, melainkan Indonesia telah menjadi negara tempat memproduksi narkotika dan menjadi salah satu “market” terbesar di kawasan Asia Tenggara. Kenyataan ini sungguh sangat memprihatinkan, apalagi berdasarkan data yang ada pada BNN menunjukkanbahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di tanah air telah menyentuh sebagian besar kelompok usia produktif, yang masih berstatus pelajar maupun mahasiswa. Hasil survei BNN dan Universitas Indonesia menyebutkan bahwa setiap hari 40 orang meninggal karena narkotika, 3,2 juta orang atau 1,5 penduduk Indonesia menjadi pengguna dan penyalahguna Universitas Sumatera Utara narkotika. Berikut adalah data penanganan kasus-kasus narkotika sebagai kejahatan transnasional oleh Polri sebagai berikut 87 Sumber: DirektoratIV Tipid Narkoba Bareskrim Polri, 2013 Keterangan: CT Crime Total adalah Jumlah Tindak Pidana; CC Crime Clereance adalah Jumlah Tindak Pidana yang selesai ditangani. : Tabel 7 : Data Kejahatan Transnasional Narkotika Tahun 2002 – 2012 Berdasarkan data tersebut di atas, sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 trend peningkatan jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kasus yang selesai ditangani oleh Polri, cenderung terus meningkat. Pada tahun 2007 misalnya, jumlah kasus narkotika yang berhasil diungkap berjumlah 16.252 kasus dan jumlah kasus yang dapat selesai ditangani sebanyak 15.473 kasus atau mencapai 95,2. Trend keberhasilan pengungkapan kasus-kasus narkotika ini terus meningkat dari tahun ke tahun dan yang tertinggi dicapai pada tahun 2011 dengan jumlah 30.878 kasus dan dapat dituntaskan sebanyak 30.710 kasus, yang artinya tingkat penyelesaian perkara hampir mencapai 100. Kondisi ini tentunya, baik langsung maupun tidak langsung, berimplikasi terhadap stabilitas keamanan dalam negeri. Kejahatan ini di Indonesia, semakin meningkat tidak hanya secara kuantitas namun juga meningkat secara 87 Laporan Direktorat IV Bareskrim Mabes Polri, Pengembangan Kerjasama Internasional dalam Penanggulangan Kejahatan Narkotika Terorganisir , 2012 Universitas Sumatera Utara kualitas. Hal ini terbukti dari beberapa keberhasilan pengungkapan kasus, baik oleh Polri maupun oleh BNN, bahwa Indonesia juga sudah menjadi daerah produsen narkotika ilegal yang berskala internasional. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia mulai diketahui pada tahun 1968. Meluasnya jalur peredaran gelap narkotika dunia juga tidak terlepas sebagai dampak globalisasi, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, khususnya di bidang transportasi dan komunikasi yang menjadikan dunia tanpa batas, sehingga memudahkan terjadinya penyelundupan ke negara lain termasuk Indonesia. Hal ini juga dipengaruhi oleh posisi geografis Indonesia yang sangat strategis, merupakan daya tarik tersendiri bagi sindikat narkotika internasional untuk mengembangkan jalur peredarannya dan menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan peredaran. Bahkan dewasa ini sudah mampu memproduksi, meracik, atau mengolah sendiri, sehingga korban dan pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika telah berkembang ke seluruh lapisan masyarakat. Dampaknya, tidak hanya membahayakan fisik dan psikis para pelaku, tetapi telah berkembang menjadi bahaya yang mengancam keamanan dalam negeri. Dari uraian di atas, dapat di kontruksikan bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan masalah global yang perlu mendapat perhatian serius di tiap-tiap negara, karena selain merupakan kejahatan transnasional, kejahatan ini merupakan masalah kompleks yang tidak hanya memperhatikan faktor- faktor penyebab terjadinya peredaran gelap narkotika sehingga memerlukan kerjasama internasional, misalnya faktor geografi Indonesia dan lemahnya Universitas Sumatera Utara pengawasan dijalur-jalur masuk ke Indonesia serta sistem hukum yang ada, melainkan juga harus memperhatikan akibat atau dampak multi dimensional yang ditimbulkan, karena kejahatan peredaran gelap narkotika merupakan kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime yang tentunya memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh dengan melibatkan setiap negara terkait.Kata lainnya, kejahatan ini merupakan masalah yang kompleks dan multidimensional, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Perkembangannya pada saat ini sudah sampai pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data yang ada pada BNN, tercatat bahwa kejahatan narkotika di tanah air telah merambah pada hampir semua kelompok usia produktif yakni yang masih berstatus pelajar maupun mahasiswa. Hasil survei BNN dan Universitas Indonesia menyebutkan bahwa setiap hari, 40 orang Indonesia meninggal karena narkoba, 3,2 juta orang atau 1,5 penduduk Indonesia menjadi pengguna dan penyalahguna narkotika. 88 Perkembangan lingkungan regional terkait dengan permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak jauh berbeda dengan perkembangan lingkungan global.Konsepsi Indonesia bebas narkoba tahun 2015 adalah mengikuti kesepakatan yang telah dibuat diantara negara-negara ASEAN, yaitu Drug Free ASEAN DFA 2015.Penyalahgunaan narkotika dikawasan ASEAN tergambarkan dari semakin meningkat penyalahgunaan narkotika jenis Hal ini tentunya akan mempengaruhi situasi keamanan dalam negeri. 88 www.bnn.go.id , menutup Sekat keluar masuknya narkoba ke wilayah hokum Indonesia, diakses tanggal 4 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara ATS 89 .Peredaran gelap narkotika di kawasan ASEAN menunjukan peningkatannya dari aspek modus operandi pelaku. Hal ini ditandai dengan terungkapnya sejumlah kasus narkoba di ASEAN, diantaranya 90 a. Penangkapan warga negara Iran di Indonesia, Thailand dan Philipina, yang memasukan narkoba jenis metamphetamine atau shabu dalam jumlah besar. : b. Terungkapnya perkembangan baru cara penanaman ganja di Jepang dengan menggunakan sistem indoor dengan menggunakan pot dalam jumlah besar. c. Terungkapnya kelompok kriminal di Vietnam yang melakukan metode cloning untuk menghasilkan tanaman ganja dengan kualiitas yang sama. d. India sebagai sumber produksi ketamine yang selama ini mengirim dalam jumlah besar ke negara-negara di dataran Amerika dan Eropa, dan juga termasuk ke negara-negara ASEAN. Hal ini menunjukan bahwa sindikat narkoba India memiliki jaringan dengan sindikat narkotika internasional dan nasional negara tertentu yang dijadikan sebagai pangsa narkotika. Dari uraian tersebut diatas, diketahui bahwa perkembangan lingkungan regional dapat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya jaringan narkotika internasional dan nasional, serta dimanfaatkannya Indonesia sebagai tempat transit dan pangsa peredaran gelap narkotika internasional. Mewujudkan stabilitas keamanan dalam negeritentunya dimaksudkan untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional yang salah satunya adalah terciptanya ketertiban dan keteraturan di tengah-tengah masyarakat sebagai tujuan dari negara hukum rechstaat 91 89 Rencana Strategis BNN Tahun 2010-2014 Review, hal 6. 90 Ibid . . Upaya mewujudkan stabilitas keamanan nasional 91 Muhammad Ibrahim, Kebijakan Hukum Pidana Tentang Pengaturan Interaksi Proses Penyidikan dan Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana , Ringkasan Disertasi Program Doktor Universitas Sumatera Utara dilakukan oleh pemerintah yang di dalam penyelenggaraannya diamanahkan kepada Polri selaku institusi yang bertanggungjawab sepenuhnya atas terpeliharanya keamanan dalam negeri terhadap hakekat ancaman yang terjadi, khususnya dampak negatif globalisasi yang ditandai dengan demokratisasi, perkembangan informasi dan teknologi yang menghilangkan batas antar negara termasuk dalam proses penegakan hukum law enforcement 92

B. Kerjasama Internasional yang dilakukan Polri dalam Penanggulangan

Kejahatan Narkotika Terorganisir . Hal ini sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bukan semata-mata menjadi masalah dalam negeri suatu negara, melainkan telah menjadi masalah yang melintasi batas antar negara atau berdimensi internasional secara terorganisir, sehingga dalam upaya penanggulangan terhadap kejahatan ini harus dilakukan secara bersama antara negara maupun lintas negara. Dari sisipenanggulangan berarti bahwa Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 2010, hlm. 1 bahwa ketertiban dan keteraturan merupakan suatu tujuan dari Negara yang berdasarkan hukum, untuk itu dalam mewujudkannya memerlukan keberadaan dari aparatur penegak hukum sebagai komponen sistem hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bukan semata-mata didasarkan atas kekuasaan dan wewenang yang ada padanya, melainkan adalah alat Negara yang melayani kebutuhan secara seimbang antara kepentingan anggota masyarakat dan Negara sebagai suatu kesatuan. Keseimbangan disatu sisi berarti melakukan tindakan tegas bagi setiap pelanggar hukum sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. 92 Lihat Richard A. Posner, The Economic of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachussets and London, 1994, hlm. 120 bahwa sesungguhnya kegiatan pemerintah terbatas dan hanya mempunyai fungsi yaitu untuk menjamin keamanan secara fisik di kedua aspek internal dan ekseternal. Tanpa adanya tatanan internal kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai , sedangkan aspek keamanan ekternal meliputi perlindungan dari ancaman yang datang dari luar kelompok masyarakat, termasuk ancaman dan gangguan. Universitas Sumatera Utara masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotikaini dijadikan masalah global, sehingga kerjasama internasional perlu terus dikembangkan oleh Polri, yang tidak hanya mencakup kerjasama institusi kepolisian antar negara, melainkan juga kerjasama antara negara-negara dengan organisasi-organisasi internasional yang bergerak menangani masalah ini. Langkah-langkah kerjasama penanggulangan kejahatan narkotika antara negara-negara di dunia melalui berbagai konvensi internasional tentang narkotika, seperti Konvensi The Hague 1912 sampai dengan konvensi mengenai pemberantasan tindak pidana narkotika transnasional, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988, atau yang dikenal dengan Konvensi Wina 1988. Kerjasama antar negara ini tentunya harus dikembangkan karena tidak mungkin suatu negara dapat memberantas peredaran gelap narkotikayang dijalankan oleh sindikat internasional sendirian, tanpa bekerjasama dengan negara-negara atau institusi-institusi penegak hukum lain. Penanggulangan kejahatan narkotika yang berdimensi internasional oleh Polri, seringkali berhadapan dengan birokrasi dan sistem hukum yang berbeda sehingga proses penyidikan terhambat bahkan tidak dapat dilakukan penuntutan. Berbagai kesepakatan bilateral dan multilateral telah dilakukan guna mengatasi permasalahan- permasalahan dalam penanganan kejahatan narkotika tersebut 93 93 Laporan Direktorat IV Bareskrim Mabes Polri, Pengembangan Kerjasama Internasional dalam Penanggulangan Kejahatan Narkotika Terorganisir , 2012 . Universitas Sumatera Utara Organisasi antar polisi sedunia yaitu National Central Burea NCB- Interpol atau sering juga disebut dengan nama International Crime police Organization ICPO yang didirikan pada tahun 1923 sebagai salah satu badan kerjasama antar polisi seluruh dunia guna mengatasi masalah transnasional crime kejahatan transnasional, telah banyak berkontribusi dalam berbagai persoalan mendasar di kehidupan masyarakat internasional hingga sekarang. Dengan anggotanya yang hampir mencapai dua ratus negara di seluruh dunia ini,NCB-Interpol telah melaksanakan program-program berskala dunia untuk mencegah dan mengatasi kejahatan multinasional. Dalam hal ini misi NCBInterpol tidak hanya melangkah lebih jauh dari sekedar penanganan terhadap kejahatan transnasional, melainkan mempunyai capaian jangka panjang yaitu tingkat keamanan yang tinggi untuk seluruh umat manusia di dunia, dimana keamanan di definisikan sebagai “keamanan yang seutuhnya baik fisik, mental maupun sosial” 94 Gangguan keamanan dimaksud adalah yang diakibatkan berbagai tindak kejahatan yang terjadi di suatu negara maupun transnegara. Dewasa ini berbagai macam kejahatan mengalami perkembangan yang cukup memprihatinkan dan muncul begitu cepat seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern. Di dorong oleh kesadaran akan pentingnya hubungan internasional dalam hal adanya masalah bersama yang memerlukan penyelesaian bersama, kemudian ditindaklanjuti oleh Indonesia dengan menjadi anggota salah satu organisasi internasional yang bernama . 94 Halba Rubis Nugroho, Upaya Pencegahan dan Penanggulanagan Trafficking in Persons, Majalah NCB-Interpol Indonesia , edisi ke 5, Jakarta: NCB-Jakarta, 2009, hal .77 Universitas Sumatera Utara National Central Bureau NCB-Interpol atau lebih dikenal dengan sebutan International Crime Police Organization ICPO-Interpol pada tahun 1954 sesuai keputusan Perdana Menteri RI Nomor: KepPM245X1954 tanggal 5 oktober tahun 1954. National Central Bureau NCB-Interpol sebagai organisasi kepolisian internasional yang menangani masalah kejahatan transnasional, yang terjadi di wilayah perbatasan seperti terorrism, illicit drugs trafficking, trafficking in persons, sea piracy and armed robbery at sea, arms smugglingand international economic crime . Dalam kegiatan-kegiatan ataupun program yang dilakukan oleh NCB-Interpol selalu bertindak sesuai dengan fungsi dan perannya yaitu Konstitusi ICPO Pasal 2 95 1. Facilitates cross-border police co-operation in overcoming transnational crime : memfasilitasi upaya kerjasama antar institusi kepolisian dalam penanganan kejahatantransnasional atau fasilitator penanganan kejahatan transnasional; : 2. Supports : menyediakan bantuan teknis untuk memperkuat kapabilitasnasional dalam penanganan kejahatan transnasional;. 3. Assistance : mengidentifikasi, membangun dan menjadi sumber utama dalam internasional best practice dan untuk mempromosikan penanganan kejahatan transnasional serta mendukung penanggulangan kejahatan transnasional oleh semua organisasi internasional; 4. Authorities and services whose mission is to prevent or combat international crime : mempunyai kewenangan dan tugas untuk mencegah atau memerangi kejahatan internasional. Ada beberapa kegiatan NCB-Interpol yang dilakukan untuk mengimplementasikan perannya di dunia internasional to prevent or combating transnational crime adalah sebagai berikut 96 95 Ibid , hal. 78 : 96 Ibid Universitas Sumatera Utara 1. Melakukan kerjasama Ekstradisi yaitu : penyerahan oleh antar negara, yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidanakan karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yuridiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenanguntuk mengadili dan memidananya; 2. Melakukan kerjasama Mutual Legal Assistace on Criminal Matters MLA yaitu: bantuan timbal balik antar negara yang meminta dalam hal menghadirkan barang bukti atau saksi kejahatan; 3. Melakukan Memorandum of Understanding MoU dalam penanganan kejahatantransnasional; 4. Interpol’s Global Police System IGCS 1-247 : sistem komunikasi kepolisian global yang terkoneksi jaringan 1-247 terpusat di lyon perancis untuk bertukar informasi yang aman dan cepat; 5. Konferensi tahunan para pimpinan NCB-Interpol tiap-tiap negara anggota ICPO. NCB-Interpol sebagai organisasi internasional memiliki sebuah hubungan yaitu, hubungan organisasi dengan lingkungan tempatnya melakukan aktifitas sangat penting. Suatu organisasi berada di dalam kebudayaan dan struktur sosial masyarakat yang sangat luas, agar dapat bertahan hidup, organisasi harus mampu memenuhi fungsi yang bermanfaat bagi masyarakat. Untuk itu NCB- Interpol menyadari pentingnya kerjasama dengan pemerintah, Universitas Sumatera Utara kelompok masyarakat, serta LSM sebagai lembaga kemasyarakatan. NCB-Interpol harus mampu menciptakan lingkungan dan perangkat kebijakan yang tidak hanya memungkinkan pelaksanaan tujuan utama secara efektif, tetapi juga harus dapat merangsang pemikiran dan pembaharuan yang efektif serta dapat diterima oleh masyarakat setempat. Fungsi NCB-Interpol untuk facilitating cross-border police co-operation, and supports and assists all organizations, authorities and services whose mission is to prevent or combat international crime adalah menopang, memperkuat, dan mendukung suatu usaha yang diarahkan pada pencegahan kejahatan transnasional di wilayah perbatasan. NCB-Interpol dalam melakukan kegiatan untuk membantu menyelesaikan suatu permasalahan keamanan di suatu negara adalah penjabaran dari tugas dan peran NCB-Interpol sebagai organisasi penanggulangan kejahatan transnasional dunia. Disamping itu, apabila telah melibatkan lebih dari satu negara, maka penanganannya akan menghadapi berbagai permasalahan antara lain masalah batas negara dan yurisdiksi, perbedaan hukum nasional masing-masing negara, ada tidaknya perjanjian ekstradisi, ada tidaknya perjanjian mengenai bantuan timbal balik mutual legal assistance dan kecepatan dalam pertukaran informasi antara negara- negara yang menjadi tujuan peredaran gelap narkotika. Kewenangan aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum dibatasi oleh suatu wilayah negara yang berdaulat penuh sebagai batas dari yurisdiksi hukum yang dimilikinya. Sedangkan di Universitas Sumatera Utara sisi lain para pelaku kejahatan dapat bergerak dengan lebih bebas melewati batas wilayah negara sepanjang didukung dengan adanya dokumen keimigrasian yang memadai. Pada umumnya kecepatan gerak penegak hukum jauh tertinggal dari kegesitan pelaku, untuk itu diperlukan pemantapan kerjasama internasional yang dilakuka n oleh Polri. Langkah masyarakat Internasional menurut Romli Atmasasmita dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional dan kejahatan internasional terbukti masih bertumpu pada prinsip kedaulatan negara state’s sovereignty yaitu hak ekslusif negara untuk melakukan penuntutan dan peradilan terhadap pelaku- pelaku kejahatan dalam wilayah teritorial negara tersebut. 97 Salah satu kebijakan yang ditempuh untuk mewujudkan apa yang menjadi harapan, Polri melakukan berbagai upaya dan terobosan-terobosan dengan Hal ini berbeda dengan politik ekonomi global yang mengurangi makna batas wilayah yuridiksi negara sehubungan dengan perjanjian perdagangan bebas sejak tiga puluh tahun yang lalu dan Indonesia telah menyepakati perjanjian perdagangan bebas tersebut. Dalam praktik pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional dan internasional sampai saat ini prinsip kedaulatan negara dan yuridiksi pengadilan nasional serta perbedaan sistem hukum merupakan tiga faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilannya. 97 Romli Atmasasmita, Pemberantasan Kejahatan Transnasional Dalam Peta Politik Ekonomi Global , Makalah disampaikan pada “FGD RUU EKSTRADISI” diselenggarakan DIVKUM MABES POLRI, Tanggal 17 Desember 2013, hal. 2 Universitas Sumatera Utara mengedepankan upaya pemantapan kerjasama internasional dalam penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir sebagai berikut 98 1. Lebih intensifnya Polri dalam mengembangkan kerjasama secara regional dan internasional di bidang operasional misalnya kerjasama dengan Kepolisian Negara Asia Pasifik HONLEA, kerjasama Colombo Plan, kerjasama dengan ICPO-Interpol dan INCB-PBB untuk melakukan tindakan pemberantasan kejahatan narkotika terhadap pelaku sebagai warga negara dari negara yang tidak terikat kerjasama secara bilateral. : 2. Membentuk perjanjian ekstradisi, khusus terhadap pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika antar negara serta keterpaduan sistem hukum legal system yang berlaku secara internasional dalam penanggulangan sindikat narkotika internasional. Perjanjian ekstradisi ini didasarkan pada asas-asas sebagai berikut perjanjian dan hubungan baik, Double Criminality, daftar kejahatan yang diperjanjikan atau atas kebijaksanaan Negara yang diminta. 99 98 Anjan Pramuka Putra, Strategi Peningkatan Kerjasama Penanggulangan Kejahatan Narkoba Internasional Guna Mengakselerasi Grand Strategi Polri Dalam Rangka Mewujudkan Stabilitas Keamanan Nasional , Naskah Akhir Strategi Perorangan untuk memenuhi persyaratan kurikulum SESPATI Polri dalam rangka penyelesaian program pendidikan Dikreg XVIII Tahun Pendidikan 2010. 99 Karobinops Bareskrim Polri, Permasalahan Dalam Extradisi, tanggal 17 Desember 2013. Adapun syarat permintaan ekstradisi antara lain bagi terpidana yakni asli atau salinan otentik putusan pengadilan, keterangan untuk tetapkan identitas dan warga Negara, asli atau salinan otentik surat perintah penahanan, syarat- syarat lain dari Negara diminta. Sedangkan bagi terdakwatersangka Universitas Sumatera Utara antara lain asli atau salinan otentik Sprin penangkapanpenahanan, uraian kejahatan, ketentuan hukum yang dilanggar, bunyi ancaman hukuman, keterangan saksi dibawah sumpah, keterangan untuk tetapkan identitas dan warga Negara, permohonan penyitaan Barang Bukti bila adadiperlukan, syarat-syarat lain dari Negara diminta. 100 3. Polri lebih memfokuskan dalam penyitaan dan penelusuran harta kekayaan hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh pelaku dengan memanfaatkan financial system dengan maksud menyamarkan, menyembunyikan, mengalihkan harta kekayaan kejahatan, bertujuan untuk pembiayaan sindikat narkotik antar negara. Tindakan penelusuran dilakukan melalui inventarisasi aset yang dimiliki tersangka seperti rekening bank, rumah dan saham yang berada di dalam dan luar negeri. Pentingnya pemberantasan kejahatan narkotika melalui kerjasama internasional yang dilakukan oleh Polri didasarkan pada dampak yang ditimbulkan baik dampak sosial maupun dampak ekonomi yang mengkhawatirkan dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Data menunjukkan di Amerika Serikat, biaya ekonomi dan sosial akibat narkotika mencapai 181milyar, di Canada 8,2 milyar dan di Australia kerugian mencapai sekitar 8,190 juta. Perbandingan kerugian akibat narkotika terhadap gross domestic product GDP di Amerika Serikat 100 Ibid Universitas Sumatera Utara sebesar 1,7, Canada 0,98, Australia 0,88 dan Perancis 0,16. Di Indonesia kerugian diperkirakan Rp.23,6 triliyun atau 2,6 milyar BNN,2009 101 2. Kerjasama yang dilakukan dalam pemberantasan kejahatan narkotika cenderung diarahkan pada pertukaran informasitentang pelaku dan sindikatnya, serta modus operandi yang digunakan. Belum sepenuhnya mengarah pada mekanisme kerjasama antar negara dalam penanggulangan dan penangkapan terhadap para pelaku kejahatan narkotika. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kerjasama yang dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam forum International Drug . Polri selaku institusi pemerintah yang melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni bertanggungjawab dalam mewujudkan keamanan dalam negeri telah melakukan berbagai upaya pemberantasan kejahatan transnasional, khususnya narkotika, diantaranya melalui kerjasama antar negara dan berperan aktif dalam organisasi-organisasi internasional. Kerjasama yang telah dilakukan selama ini, secara faktual dirasakan belum optimal dalam menanggulangi kejahatan narkotika yang terus meningkat. Untuk itu kerjasama internasional dipandang perlu untuk terus dikembangkan, baik dari aspek teknis atau mekanisme maupun strategi. Kondisi faktual kerjasama yang dilakukan oleh Polri saat ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: 101 Ibid Universitas Sumatera Utara Enforcement Conference IDEC di tingkat regional Far East Regional Working Group Meeting dengan sasaran prioritas kerjasama berupa: Pertama, daftar target target list yang meliputi target operasi dan intelijen;dan Kedua, daftar target yang termasuk daftar buronan fugitive list dan daftar yang diawasi watch list. 3. Kerjasama bilateral, regional dan internasional, misalnya forum International Drug Enforcement Conference IDEC masih terjalin di tingkat regional ASEAN Far East Regional Working Group Meeting, belum melibatkan negara-negara lainnya yang terindikasi sebagai jalur peredaran narkotika yang dikendalikan oleh sindikat internasional. Walapun ada kerjasama dengan Interpol, namun tidak secara spesifik dalam pemberantasan sindikat kejahatan narkotikainternasional. Hal ini terbukti daridata kewarganegaraan pelaku kejahatan narkotika yang berhasil diungkap Polri menunjukkan bahwa negara asal pelaku belum tergabung dalam forum IDEC, atau forum kerjasama internasional lainnya. 4. Kerjasama yang diikuti oleh Indonesia Direktorat IV Tipid Narkoba Bareskrim Polri pada tahun 2009 lebih difokuskan pada kegiatan rapat koordinasi Perfektur Kepolisian Fukuoka, Jepang 16 Januari 2009, pelatihan Bangkok, Thailand 12-23 Januari 2009, konferensi, pertemuan formal maupun informal, seminar, lokakarya, kursus, pertemuan bilateral, pertemuan Penegak Hukum Narkotika Tiga Universitas Sumatera Utara Negara Filippina, Indonesia dan Malaysia. Sedangkan pada tahun 2010 bersifat kegiatan pemusnahan barang bukti narkotika oleh pemerintahan Kamboja Drug Burn, pertemuan informal, pertukaran informasi Teheran, 22-25 Februari 2010 danpertemuan ADEC ke-15, konferensi. Pada dua tahun tersebut menunjukkan bahwa kerjasama yang dilakukan belum diarahkan untuk membentuk perjanjian ekstradisi terhadap pelaku yang melakukan kejahatan peredaran gelap narkotika antar negara serta keterpaduan sistem hukum legal system yang berlaku secara internasional dalam penanggulangan peredaran gelap narkotika. 5. Polrimelalui Direktorat IV Tipid Narkoba Bareskrim Polri dan Jabatan Siasatan Jenayah Narkotik JSJN Polis Diraja Malaysia menyadari betapa pentingnya kerjasama untuk bersama-sama memerangi kejahatan ini, mengingat Indonesia dan Malaysia memiliki garis perbatasan darat dan garis perbatasan perairan atau pantai yang cukup panjang dan sangat berpeluang sebagai jalur perdagangan gelap narkotika. Untuk itu, Polri maupun PDRM terus meningkatkan kerjasama dalam bentuk pertukaran informasi dan penyelidikan bersama guna membongkar dan menghancurkan sindikat perdagangan Universitas Sumatera Utara gelap narkotika jaringan Indonesia-Malaysia.Kondisi faktual kerjasama dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut ini 102 Tabel 8 : Implementasi kegiatan kerjasama Indonesia Polri dengannegara lain Tahun 2009 : NO MITRA KERJASAMA JENIS KEGIATAN LOKASI URAIAN KEGIATAN KET 1 2 3 4 5 6 1. Jepang Pertemuan Formal Fukuoka, Jepang 16 Jan 2009 Rapat Koordinasi dan Pertukaran Informasi tentang Kasus Penyelundupan Narkoba oleh 12 Anak Buah Kapal ABK WNI di Jepang 2. ILEA – Bangkok Pelatihan Bangkok, Thailand 12-23 Jan 2009 Pelatihan “Clandestine Laboratory Investigations Course” 3. Interpol Meeting Bangkok, Thailand 10-13 Feb 2009 Head of National Law Enforcement Authority HONLEA Asia Pasifik ke- 32 4. JSJN – PDRM Pertemuan Bilateral 12-14 Feb 2009 Rapat koordinasi dengan Jabatan siasatan Jenayah Narcotic PDRM 5. CND Commission on Narcotic Drugs Konferensi Vienna, Austria Maret 2009 High–Level Segment Of The Fifty– Second Session Of The Commission On Narcotic Drugs, 6. Interpol Konferensi Vietnam, 12-16 Mei 2009 The 29th Aseanapol Conference 7. UNODC Seminar Bangkok, Thailand 27-29 Mei 2009 Seminar “Community policing for building safer communities” dengan topik untuk bidang penegak hukum adalah ”Law Enforcement initiatives for reducing drug abuse and HIVAIDS risks in the country, needs and gaps” 8. Asia Pasific Economic Forum APEF Lokakarya Sydney, Australia 9-12 Juni 2009 Lokakarya dengan Australian Federal Police AFP tentang Pendeteksian dan Pencegahan Pembawa Uang Tunai dan Penyelundupan Uang dalam jumlah besar Detecting and Deterring Cash Couriersand Bulk Cash Smugglers 9. SOMTC – 9 Pertemuan Asean Nay Pyi Taw, Myanmar 28 Juni – 5 Juli 2009 Transnational Crime Meeting 1 2 3 4 5 6 10. JICA Kursus Pelatihan Japan, 5 Juli – 1 Agst 2009 The Study Program on Drug Abuse and Narcotis Control 11. Royal Thai Police Pertemuan Bilateral Bangkok, Thailand 15-18 Juli 2009 Operation Storm II, Planning Meeting 12. ILEA – Bangkok Kursus Pelatihan Bangkok, Narcotics Unit Commander Course 102 Direktorat IV Tipid Narkoba Bareksrim Polri Universitas Sumatera Utara Thailand 31 Agst-11 Sept 2009 13. JICA Seminar Japan, 23 Sept-10 Okt 2009 Seminar “Control on Drug Offences” 14. JSJN – PDRM Pertemuan Bilateral Kuala Lumpur, Malaysia 29 Sept-2 Okt 2009 Rapat Koordinasi dan Pertukaran Informasi 15. JSJN – PDRM Pertemuan Bilateral 1-5 Nov 2009 Rapat Koordinasi dan Pertukaran Informasi 16. Royal Thai Police Pertemuan Bilateral 11-14 Nov 2009 Rapat Koordinasi dan Pertukaran Informasi 17. JSJN – PDRM Pertemuan Penegak Hukum Tiga Negara Indonesia, Filipina dan Malaysia Kuala Lumpur, Malaysia 17-19 Nov 2009 Pembentukan Satgas Khusus JSJN PDRM 18. Australian Federal Police AFP Pertemuan Bilateral 14-20 Des 2009 Perumusan SOP dan penyidikan lanjutan terhadap kasus Narkotika yang melibatkan kedua warga negaraterkait Sumber: DirektoratIV Tipid Narkoba Bareskrim Polri, 2013 Tabel 9 :Implementasi kegiatan kerjasama Indonesia Polri dengannegara lain Tahun 2010 NO MITRA KERJASAMA JENIS KEGIATAN LOKASI URAIAN KEGIATAN KET 1 2 3 4 5 6 1. Kamboja dan Australian Federal Police AFP Pemusnahan Barang Bukti Kamboja, 25-30 Jan 2010 Acara pemusnahan sejumlah besar barang bukti precursor dengan cara dibakar drug burn di Kamboja 2. National Police Agency NPA - Japan Pertemuan Internasional Tokyo, Japan 2-5 Feb 2010 “15th Asia-Pacific Operational Drug Enforcement Conference ADEC-15th” 3. Thailand dan ICPO Interpol Lyon Pertemuan Formal Bangkok, Thailand 9-10 Feb 2010 2nd Operational Working Meeting on Cocaine related Crimes in Asia with involvement of West African Drug Criminal Groups 4. Iran, Department for Combating against Drug of the Islamic Republic of Iran Police Pertemuan Informal Teheran, Iran 22-25 Feb 2010 Pertemuan informal dan pertukaran informasi tentang maraknya permasalahan penyelundupan narkoba yang dilakukan oleh Iranian Syndicate di Indonesia 1 2 3 4 5 6 5. FDEA, DEA SingaporeOffice, Thailand Konferensi Bangkok, Thailand 1-3 Maret 2010 IDEC Far East Regional Working Group Meeting , pertemuan IDEC kelompok Regional Timur Jauh 6. Vienna, Austria Konferensi Vienna, Austria 8-12 Maret 2010 Sidang Komisi Narkoba Commission on Narcotic Drugs-CND sesi ke-53 7. Rio de Janeiro, Brasil Konferensi Rio de Janeiro, Brasil 27th International Drug Enforcement Conference pertemuan tahunan IDEC Universitas Sumatera Utara 25- 29 April 2010 8. Hong Kong SAR Pertemuan Bilateral Hongkong, Macao 17-21 Mei 2010 Coordination, Meeting and Information Exchange antara Polri dengan Hongkong Police Force, Hongkong Custom and Excise Department dan Macau Judiciary Police 9. Kamboja Konferensi Phnom Penh, Kamboja 24-28 Mei 2010 30th Aseanapol Conference 10. Australia Pelatihan Sydney, Australia 1-13 Juni 2010 Money LaunderingInvestigation Training 11. Royal Thai Police Rapat Koordinasi Bangkok, Thailand 15-18 Juni 2010 Rapat koordinasi antar lembaga kepolisian untuk mengungkap jaringan West Afrcan Syndicate WAS 12. Nigeria Pertemuan Bilateral Nigeria, 16-18 Juni 2010 Penyusunan draft MOU antara Polri dengan Kepolisian Nigeria 13. Singapura Workshop Singapura, 20-21 Juni 2010 Narcotic Law Enforcement Workshop Sumber: DirektoratIV Tipid Narkoba Bareskrim Polri, 2013 Berdasarkan data pada tabel 8 dan 9 di atas tentang implementasi kegiatan kerjasama antara Indonesia yang diwakili oleh Polri dengan negara lain, baik pada tahun 2009 maupun pada tahun 2010, menunjukkan adanya upaya proaktif yang dilakukan Polri dalam menjalin kerjasama, baik regional maupun internasional, dengan institusi penegak hukum negara lain maupun dengan organisasi internasional untuk menanggulangi kejahatan narkotika yang terorganisir. Penanggulangan dimaksud diarahkan agar terimplementasinya kebijakan penanggulangan criminal policy peredaran gelap narkotika yang meliputi penal policy dan non penal policy. Menurut Barda Nawawi Arief penanggulamgan diartikan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, 103 103 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Loc.cit atau didefenisikan dengan “the rational organization of the control of crime by society”, dan “Criminal Universitas Sumatera Utara Policy is the rational organization of the social reaction to crime ”. 104 Implementasi peran Polri melalui keikutsertaan dalam pertemuan antara negara maupun organisasi internasional ditujukan untuk menanggulangi peredaran gelap narkotika, misalnya keikutsertaan Polri pada pertemuan internasional yang dilaksanakan oleh National Police Agency NPA-JAPAN dalam 15 th Asia-Pacific Operational Drug Enforcement Conference ADEC-15 th , konferensi FDEA, DEA Singapore Office, Thailand dalam kegiatan IDEC Far East Regional Working Group Meeting, kerjasama dengan Australian Federal Police AFP menyangkut perumusan SOP dan penyidikan lanjutan terhadap kasus Narkotika yang melibatkan kedua warga Negara, pertemuan Interpol pada kegiatan Head of National Law Enforcement Authority HONLEA Asia Pasifik ke-32. 104 Ibid Universitas Sumatera Utara 94

BAB IV KENDALA DAN UPAYA DALAM PENGEMBANGAN KERJASAMA

INTERNASIONAL GUNA PENANGGULANGAN KEJAHATAN NARKOTIKA TERORGANISIR

A. Kerjasama Internasional belum mengarah pada Pelacakan dan

Penyitaan Asset dan Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan narkotika. Upaya memerangi kejahatan narkotika sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional telah berlangsung lama dilakukan oleh setiap negara di dunia. Upaya tersebut didukung oleh PBB, antara lain melalui United Nation Convention Against Transnational Organized Crime di Palermo, Nopember 2000 Palermo Convention. Dengan semangat memerangi kejahatan lintas negara tersebut, pada tanggal 20 Desember 1997 negara-negara anggota Asean menyepakati “ASEAN Declaration on Transnational Crimes” melalui pertemuan para Menlu ASEAN di Manila. Implementasi dari deklarasi tersebut, adalah terbentuknya forum AMMTC ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime yang secara teknis operasional dilaksanakan oleh SOMTC Senior Officer Meeting on Transnational Crime. Pada pertemuan AMMTC ke-2 tanggal 23 Juni 1999 telah disepakati 6 enam jenis kejahatan yang termasuk isu kejahatan transnasional yaitu terorisme, perdagangan gelap narkotika, perdagangan manusia, pencucian uang, penyelundupan senjata dan rompak laut. Kemudian dengan disepakatinya 2 dua isu kejahatan lainnya yaitu Cyber Crime dan International Economic Crime menjadi isu kejahatan transnasional Universitas Sumatera Utara pada pertemuan AMMTC ke-3 di Singapura tanggal 11 Oktober 2001, sehingga kejahatan transnasional menjadi 8 delapan jenismeliputi : terrorism, illicit drug trafficking, trafficking in person, money laundering, arm smuggling, sea piracy, cyber crime dan international economic crime 105 Harta kekayaan yang cukup besar yang diperoleh dari kejahatan-kejahatan transnasional, khususnya para pelaku kejahatan narkotika yang teorganisir, tidak langsung digunakan oleh pelaku untuk membiayai produksi narkotika ilegalnya dengan berbagai motif dan tujuan, utamanya adalah untuk mengaburkan hasil kejahatan. Untuk itu biasanya para pelaku selalu berupaya untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya memasukannya kedalam sistem keuangan banking system resmi. Cara-cara yang ditempuh pelaku kejahatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dengan maksud untuk menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum terhadap aliran dana yang diperoleh maupun yang disalurkan, sekaligus diperuntukkan membiayai peredaran gelap narkotika yang di operasikan secara terorganisir dan melintasi beberapa negara. Adapun kondisi kerjasama aparat penegak hukum antar negara, dapat digambarkan sebagai berikut . 106 1. Belum ada kerjasama internasional menyangkut pelacakan harta kekayaan pelaku kejahatan narkotika yang biasanya dilakukan oleh organized : 105 Ibid 106 Anjan Pramuka Putra, Loc.cit Universitas Sumatera Utara crimesyndicate sindikat kejahatan terorganisir dengan melibattkan financial system . 2. Pelacakan terhadap harta kekayaan tentunya didahului dengan penggunaan kerangka patut diduga bahwa transaksi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika. 3. Belum ada kesepakatan kerjasama untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan yang terindikasi dapat atau sedang digunakan untuk membiayaioperasional sindikatnarkot ika internasional. Lemahnya Penyedia Jasa Keuangan PJK menyangkut penerapan prinsip know your costumer menyebabkan pelaku dengan mudah memanfaatkan lembaga ini untuk mendukung aksi kejahatannya, dalam berbagai bentuk transaksi keuangan. Jika prinsip ini betul-betul dapat dilaksanakan oleh PJK, tentunya akan sangat membantu aparat penegak hukum untuk melacak, menelusuri sekaligus memblokir setiap aliran dana yang terindikasi memiliki kaitan dengan pelaku kejahatan narkotika. 4. Tindakan pelacakan dan penyitaan terhadap asset atau harta kekayaan pelaku kejahatan narkotika antar negara belum dijadikan sebagai sasaran dan prioritas kerjasama penanggulangan kejahatan narkotika yang terorganisir. 5. Belum diarahkannya kerjasama untuk merumuskan ketentuan hukum yang harus ditaati oleh setiap aparat penegak hukum dimanapun, menyangkut ketentuan penyitaan aset atau harta kekayaan pelaku kejahatan narkotika yang terorganisir. Universitas Sumatera Utara 6. Adanya sistem hukum dan perundang-undangan yang berbeda disetiap negara, terutama dalam hal pemidanaan, sehingga menyulitkan dalam upaya melakukan penuntutan atau penindakan. Di samping itu adanya perbedaan kerangka hukum tentang predicate crime kejahatan narkotika sehingga menyulitkan dalam penyitaan aset dan harta kekayaan pelakunya.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi

Pengembangan Kerjasama Internasional yang dilakukan oleh Polri Disamping kendala-kendala teknis sebagaimana telah diuraikan di atas, pengembangan kerjasama internasional yang dilakukan oleh Polri, khususnya dalam penanggulangan kejahatan narkotika yang terorganisir, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor lain, diantaranya :

1. Letak Wilayah Strategis Indonesia