Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

sesungguhnya PT. Asuransi Prisma Indonesia telah memenuhi persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU yang menentukan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

5. Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan, yaitu Putusan No.01Pailit2010PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 3 Maret 2010 yang amarnya menolak permohonan pailit dari PT. Asuransi Prisma Indonesia untuk seluruhnya dan menghukum PT. Asuransi Prisma Indonesia untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara. Alasan-alasan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkannya adalah: a. Menyatakan Pasal 149 ayat 2 UU No. 40 Tahun 2007 sifatnya adalah untuk mengatur badan hukum yang bersifat umum, sedangkan untuk badan hukum yang bergerak di bidang asuransi dalam mengajukan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat 5 UUK dan PKPU. Walaupun PT. Asuransi Prisma Indonesia sedang dilikuidasi atau telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan dan telah dibubarkan dalam RPUS tetapi secara hukum badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia masih eksis oleh karenanya tetap tunduk pada Pasal 2 ayat 5 UUK dan PKPU yang menentukan hak untuk mempailitkan perusahaan asuransi adalah Menteri Keuangan. b. Menyatakan surat-surat bukti yang diajukan oleh pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia ternyata para pemohon orang-orang sebagai wakil PT. Asuransi Universitas Sumatera Utara Prisma Indonesia tidak mendapat kuasa atau tidak mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan, dengan demikian PT. Asuransi Prisma Indonesia tidak mempunyai hak bertindak untuk dan atas nama mempailitkan dirinya sendiri PT. Asuransi Prisma Indonesia tanpa mendapat persetujuan Menteri Keuangan. c. Menyatakan alasan dan pertimbangan hukum tersebut di atas, oleh karena PT. Asuransi Prisma Indonesia tim likuidator belum punya kualitas untuk mempailitkan PT. Asuransi Prisma Indonesia, dengan demikian unsur dalam Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU tidak perlu dipertimbangkan lagi. d. Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Tidak mengangkat kurator dan seorang hakim pengawas. Atas Putusan No.01Pailit2010PN.Niaga.Jkt.Pst tersebut, PT. Asuransi Prisma Indonesia mengajukan upaya kasasi ke MA. 6. Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 dan UU No.37 Tahun 2004 MA memutuskan melalui Putusan Nomor 338KPDT.Sus2010 tanggal 12 Mei 2010 amarnya tetap menolak permohonan kasasi dari pemohon pailit PT. Asuransi Prisma Indonesia dan menghukum untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara serta menguatkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. MA berpendapat bahwa alasan-alasan PT. Asuransi Prisma Indonesia tidak dapat dibenarkan, Pengadilan Niaga tidak salah menerapkan hukum karena putusan dan pertimbangannya telah tepat dan benar yaitu menolak permohonan PT. Asuransi Universitas Sumatera Utara Prisma Indonesia karena PT. Asuransi Prisma Indonesia tidak mempunyai kualitas untuk mengajukan permohonan pailit. MA berpendapat telah benar PT. Asuransi Prisma Indonesia sebagai badan hukum masih ada karena sesuai dengan ketentuan Pasal 152 ayat 8 UUPT belum ada pengumuman yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam Berita Negara mengenai berakhirnya status badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia. Berakhirnya status badan hukum perseroan terbatas ditentukan dalam Pasal 152 ayat 8 UUPT, bahwa “Menteri mengumumkan berakhirnya status badan hukum Perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia”. Padahal pengumuman berakhirnya status badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia belum pernah dilakukan Menteri Hukum dan HAM RI. MA berpendapat bahwa untuk menentukan bidang usaha sebuah perusahaan harus didasarkan pada maksud dan tujuan berdirinya perusahaan tersebut sebagaimana diuraikan dalam akte pendiriannya dan bukan didasarkan pada ada atau tidaknya izin usaha karena relevansi izin usaha adalah untuk boleh tidaknya sebuah perusahaan memulai kegiatan usahanya. PT. Wataka General Insurance berubah nama menjadi PT. Asuransi Prisma Indonesia, 123 dengan maksud dan tujuan PT. Wataka General Insurance adalah melakukan usaha asuransi kerugian dan reasuransi kerugian. 124 123 Berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat No.24 tanggal 9 April 2001 dibuat dihadapan H. Rizul Sudarmadi, SH, Notaris di Jakarta. 124 Berdasarkan Akta Perseroan Terbatas No.5 tanggal 1 Maret 1991 dibuat dihadapan Abdul Latief, Notaris di Jakarta. Terdapat fakta-fakta yang menunjukkan bahwa PT. Asuransi Prisma Indonesia tetap mamiliki maksud dan tujuan yang sama yaitu melakukan kegiatan usaha asuransi kerugian dan reasuransi kerugian. Universitas Sumatera Utara Hal itu juga diakui oleh MA bahwa berdasarkan fakta persidangan, maksud dan tujuan didirikannya PT. Asuransi Prisma Indonesia melakukan usaha asuransi kerugian dan reasuransi kerugian tidak ada perubahan sehingga pengajuan permohonan pailit tunduk pada ketentuan khusus yang mengatur mengenai perusahaan asuransi yaitu Pasal 20 UU Usaha Perasuransian dan Pasal 2 ayat 5 UUK dan PKPU. Jika tunduk pada UU Usaha Perasuransian, maka maksud dan tujuan perusahaan asuransi harus jelas dalam akta pendiriannya. Sedangkan jika tidak ditentukan maksud dan tujuan dalam akta pendiriannya adalah untuk melakukan kegiatan usaha asuransi dan reasuransi, maka perusahaan tersebut dalam hal kepailitan harus tunduk pada UUPT dan UUK dan PKPU. Menurut Pasal 2 ayat 5 UUK dan PKPU menentukan, “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”. Sesuai dengan ketentuan Pasal 149 ayat 2 UUPT kewajiban likuidator untuk mengajukan permohonan pailit gugur ketika perusahaan dalam likuidasi adalah perusahaan bidang tertentu yang diatur oleh undang-undang lain selain UUPT. MA berpendapat bahwa PT. Asuransi Prisma Indonesia adalah perusahaan asuransi di mana ketentuan mengenai pengajuan permohonan pailit diatur secara khusus yaitu pada Pasal 2 ayat 5 UUK dan PKPU. Dengan demikian MA tetap menolak upaya kasasi dari PT. Asuransi Prisma Indonesia dan menguatkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Universitas Sumatera Utara Alasan-alasan PT. Asuransi Prisma Indonesia mengajukan permohonan kasasi sehubungan dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri dalam pertimbangan hukumnya menyatakan: 125 PT. Asuransi Prisma Indonesia dalam alasan kasasinya menyatakan sebagai bukti nyata PT. Asuransi Prima Indonesia sudah tidak eksis lagi sebagai perusahaan asuransi disebabkan karena adanya sanksi pembatasan kegiatan usaha dan larangan melakukan penutupan pertanggungan baru sebagaimana disebutkan dalam surat Menteri Keuangan Nomor: S-1199MK.102007 tertanggal 26 September 2007. Jika dalam waktu 3 tiga bulan terhitung tanggal surat tersebut PT. Asuransi Prima Indonesia tidak juga memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat 1 Kepmen No.424KMK.062003 sebagaimana telah diubah dengan Kepmen No. 135PMK.052005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Perubahan Atas Kepmen Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa walaupun PT. Asuransi Prisma Indonesia sedang dilikuidasi telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan dan telah dibubarkan dalam RPUS dan sejak itulah hubungan hukum antara Menteri Keuangan dengan PT. Asuransi Prima Indonesia sudah berakhir, tetapi secara hukum badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia masih eksis. PT. Asuransi Prisma Indonesia dalam alasan kasasinya menyatakan Pengadilan Niaga salah menerapkan hukum dalam menyatakan PT. Asuransi Prisma Indonesia sebagai badan hukum yang masih eksis. Pengadilan Niaga sama sekali tidak memberikan indikator atau penjelasan di mana letak masih eksisnya PT. Asuransi Prima Indonesia dalam likuidasi secara hukum. Apakah sebagai perusahaan asuransi atau perseroan terbatas biasa, tidak ditetapkan. 125 Putusan MA Nomor 338KPDT.Sus2010 tanggal 12 Mei 2010, hal. 9. Universitas Sumatera Utara No.424KMK.062003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, maka ijin usaha PT. Asuransi Prima Indonesia dicabut. Kepmen inilah yang menurut PT. Asuransi Prisma Indonesia dalam alasan kasasinya seharusnya yang menjadi dasar pertimbangan Pengadilan Niaga dalam menyatakan PT. Asuransi Prima Indonesia tidak eksis lagi, bukan karena dicabutnya izin usaha PT. Asuransi Prima Indonesia sehingga membuat berakhirnya hubungan hukum Kemenkeu dengan PT. Asuransi Prima Indonesia. Pasal 142 ayat 1 UUPT menentukan syarat-syarat pembubaran perseroan terbatas terjadi: a. Berdasarkan keputusan RUPS; b. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; c. Berdasarkan penetapan pengadilan; d. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; e. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau f. Karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat 1 UUPT tersebut di atas, jika telah dilakukan pencabutan izin PT. Asuransi Prima Indonesia pada tanggal 13 Mei 2008 maka sejak itulah PT. Asuransi Prisma Indonesia bukan lagi perusahaan asuransi atau dengan kata tidak eksis sebagai perusahaan asuransi dan menjadi sebuah perseroan terbatas biasa meskipun masih menggunakan nama PT. Asuransi Prisma Indonesia. Jika ijin usaha PT. Asuransi Prima Indonesia telah dicabut maka pengajuan permohonan pailit PT. Asuransi Prima Indonesia tunduk pada ketentuan Pasal 142 Universitas Sumatera Utara ayat 2 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas UUPT, bukan pada Pasal 2 ayat 5 UUK dan PKPU karena ketentuan ini hanya khusus berlaku bagi perusahaan asuransi yang masih aktif menjalankan usaha dan belum dicabut ijinnya oleh Menteri Keuangan. Pasal 142 ayat 2 UUPT Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat 1: a. Wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan b. Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi. Pasal 2 ayat 5 UUK dan PKPU, menentukan, “Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”. Jika berpedoman pada Pasal 2 ayat 5 UUK dan PKPU ini jelas bahwa PT. Asuransi Prima Indonesia sudah tidak aktif lagi sebagai perusahaan asuransi karena izin usahnya sudah dicabut oleh Kemenkeu pada tanggal 13 Mei 2008. Seharusnya yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga adalah ketentuan Pasal 142 ayat 1 dan Pasal 142 ayat 2 UUPT yang setelah dicabut izinnya diwajibkan diikuti dengan likuidasi. Tetapi pada faktanya Kemenkeu tidak melakukan likuidasi terhadap PT. Asuransi Prima Indonesia setelah dicabut izin olehnya. Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga yang menyatakan bahwa badan hukum PT. Asuransi Prima Indonesia secara hukum masih eksis sebagai perusahaan asuransi, menurut PT. Asuransi Prima Indonesia adalah pertimbangan yang salah Universitas Sumatera Utara penerapan hukum karena mengabaikan fakta dan akibat hukum dari dicabutnya ijin usaha PT. Asuransi Prima Indonesia berdasarkan UUPT. Selanjutnya alasan bagi PT. Asuransi Prima Indonesia memohonkan kasasi sehubungan dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri dalam pertimbangan hukumnya menyatakan: 126 126 Putusan MA Nomor 338KPDT.Sus2010 tanggal 12 Mei 2010, hal. 9. Menimbang bahwa dari surat-surat bukti yang diajukan ternyata Pemohon sebagai Pemohon pailit dalam perkara a quo tidak mendapat kuasa atau tidak mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan, dengan demikian Pemohon sebagai Tim Likuidasi tidak mempunyai hak bertindak untuk dan atas nama mempailitkan dirinya sendiri PT. Asuransi Prisma Indonesia dalam likuidasi tanpa mendapat persetujuan Menteri Keuangan. PT. Asuransi Prima Indonesia beralasan dalam permohonan kasasinya berpendapat: pertimbangan tersebut adalah merupakan pertimbangan yang salah penerapan hukumnya. Pengadilan Niaga mengabaikan fakta bahwa izin usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia sudah dicabut oleh Menteri Keuangan pada tanggal 13 Mei 2008. Pada saat izin usaha PT. Asuransi Prima Indonesia dicabut oleh Menteri Keuangan pada tanggal 13 Mei 2008 maka terhitung pada tanggal tersebut status PT. Asuransi Prima Indonesia bukan lagi merupakan perusahaan asuransi dan berubah menjadi sebuah perseroan terbatas biasa. Dengan berubahnya status Pemohon Kasasi menjadi perseroan terbatas biasa maka proses likuidasi maupun akibat-akibat hukum yang melekat terkait dengan proses likuidasi PT. Asuransi Prima Indonesia termasuk didalamnya pengajuan permohonan pailit tunduk pada ketentuan UUPT. Sehingga dalam hal ini PT. Asuransi Prima Indonesia jelas tidak lagi tunduk pada ketentuan Pasal 2 ayat 5 UUK dan PKPU. Universitas Sumatera Utara PT. Asuransi Prima Indonesia mendasarkan pada ketentuan Pasal 149 ayat 2 UUPT yang menentukan: Dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang Perseroan lebih besar daripada kekayaan Perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain, dan semua kreditor yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan. Karena pada faktanya setelah ijin usaha PT. Asuransi Prima Indonesia dicabut pada tanggal 13 Mei 2008, PT. Asuransi Prima Indonesia melakukan pembubaran diri dan mengangkat Tim Likuidator dan ternyata ditemukan fakta bahwa jumlah utang PT. Asuransi Prima Indonesia jauh lebih besar daripada jumlah aset PT. Asuransi Prima Indonesia. Oleh karenanya berdasarkan 149 ayat 2 UUPT tersebut di atas dan dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh kreditor maka PT. Asuransi Prima Indonesia secara hukum justru waiib mengajukan permohonan pailit melalui Pengadilan Niaga. PT. Asuransi Prima Indonesia berpendapat, bahwa jika Majelis Hakim Pengadilan Niaga bersikeras bahwa PT. Asuransi Prima Indonesia tidak berhak mengajukan permohonan pailit dan yang berhak adalah Menteri Keuangan, maka Pengadilan Niaga sebenarnya telah salah menerapkan hukum karena mengabaikan fakta dan akibat hukum sebagai konsekuensi dari dicabutnya ijin usaha PT. Asuransi Prima Indonesia oleh Menteri Keuangan. PT. Asuransi Prima Indonesia yang melakukan permohonan kasasi merupakan perintah undang-undang yaitu sesuai ketentuan Pasal 149 ayat 2 UUPT dan bukan atas keinginan PT. Asuransi Prima Indonesia, terlebih lagi permohonan pailit tersebut diajukan juga demi kepentingan para kreditor PT. Asuransi Prima Indonesia. Pertimbangan Pengadilan Niaga yang menyatakan bahwa PT. Asuransi Universitas Sumatera Utara Prima Indonesia tidak berhak mengajukan permohonan pailit adalah pertimbangan yang salah penerapan hukum karena mengabaikan fakta dan akibat hukum dari dicabutnya izin usaha PT. Asuransi Prima Indonesia. Alasan kasasi PT. Asuransi Prima Indonesia bahwa Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat salah menerapkan hukum karena PT. Asuransi Prima Indonesia tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kualitasnya dalam mengajukan pailit dan menyatakan bahwa PT. Asuransi Prisma Indonesia tidak perlu membantah Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU dan tidak perlu dipertimbangkan lagi. Menurut PT. Asuransi Prima Indonesia setelah dicabut izin usaha PT. Asuransi Prima Indonesia oleh Kemenkeu status PT. Asuransi Prima Indonesia menjadi perseroan terbatas biasa terhitung sejak tanggal 13 Mei 2008. Sejak berstatus menjadi perseroan terbatas biasa maka segala tindakan hukum PT. Asuransi Prima Indonesia termasuk didalamnya melakukan likuidasi dan mengajukan permohonan pailit tunduk pada UUPT dan bukan UUK dan PKPU. Oleh karenanya menurut PT. Asuransi Prima Indonesia pihaknya memiliki kualitas legal standing dalam mengajukan permohonan pailit atas diri sendiri self bankruptcy. Singkatnya Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetap mendasarkan putusannya pada ketentuan Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU yang menentukan seharusnya PT. Asuransi Prima Indonesia dipailitkan oleh Menteri Keuangan, bukan pihak PT. Asuransi Prima Indonesia berdasarkan Pasal 142 ayat 1 dan ayat 2 jo Pasal 149 UUPT. Kemudian putusan ini dikuatkan MA dengan menyatakan PT. Asuransi Prima Indonesia tetap sebagai perusahaan asuransi dan reasuransi yang masih tetap eksis karena belum ada pengumuman dari Menteri Hukum dan HAM. Universitas Sumatera Utara Menteri Keuangan tidak segera mempailitkan PT. Asuransi Prima Indonesia setelah dicabutnya izin, karena dalam UU Usaha Perasuransian terdapat ketentuan yang menentukan bahwa pencabutan izin perusahaan asuransi dilakukan untuk pembatasan kegiatan usaha perusahaan asuransi. Ketentuan pencabutan izin perusahaan asuransi secara yuridis harus diikuti permintaan pencabutan izin yang dapat dimintakan oleh Kemenkeu kepada pengadilan. Ketentuan Pasal 20 UUK dan PKPU, menentukan, dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam peraturan kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha, Menteri berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada pengadilan agar perusahaan tersebut dinyatakan pailit. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan berpedoman kepada UU Usaha Perasuransian, diketahui bahwa pencabutan izin usaha perusahaan asuransi karena perusahaan asuransi tersebut tidak tidak melaksanakan atau tidak tunduk pada ketentuan dalam UU Usaha Perasuransian. Ketentuan yang menentukan syarat tersebut bahwa perusahaan asuransi yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia menghilangkan hal-hal yang menyebabkan pembatasan yang ditentukan dalam Pasal 18 UU Usaha Perasuransian. Pembatasan dimaksud adalah kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 ayat 3 UU Usaha Perasuransian yaitu bahwa perusahaan yang bersangkutan wajib menyusun rencana dalam rangka mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya. UU Usaha Perasuransian memerintahkan kegiatan usaha perusahaan asuransi harus dibatasi. Tetapi jika perusahaan asuransi yang bersangkutan tidak tunduk pada ketentuan pembatasan kegiatan usaha yang ditentukan dalam UU Usaha Universitas Sumatera Utara Perasuransian dan peraturan lainnya, maka perusahaan asuransi tersebut berpotensi dapat dicabut izin usahanya dan selanjutnya Kemenkeu dapat memohonkan pernyataan pailit kepada pengadilan. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN