Sejarah Kesenian Jathilan Buku JATHILAN Buku JATHILAN pdf
Kesenian Jathilan: Identitas dan Perkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta
pendukungnya. Oleh sebab itu, berbicara tentang perkembangan sebuah kesenian tidak bisa dipisahkan dari konteks masyarakat
pendukungnya. Pigeaud
menerangkan bahwa pada awalnya kesenian jathilan
hanya dibawakan oleh empat orang dan satu orang dalang. Dalang di sini bukan pencerita seperti pada pertunjukan wayang, namun
dalang di
sini berperan sebagai pemimpin. Mereka berkeliling
untuk acara perkawinan atau hajatan yang ada di desa Pigeaud, 1938:
217. Dalam pandangan Pigeaud, jathilan merupakan pertunjukan
tari yang
terdiri atas
penari laki-laki
maupun perempuan mengguna- kan bentuk tarian melingkar, dengan posisi kedua tangan konsen-
trasi memegang kuda képang sehingga praktis hanya kakilah yang mereka olah menjadi gerak Pigeaud, 1938: 218.
Claire Holt memberikan definisi tentang kesenian naik kuda tiruan itu sebagai berikut.
Dikenal sebagai kuda kepang kuda : kuda, kepang: bambu yang dianyam, pertunjukan rakyat ini dilakukan oleh laki-laki menung-
gang kuda-kudaan pipih yang dibuat dari anyaman bambu dan dicat. Tungkai tungkai penari sendiri menciptakan ilusi dan gerak
gerak kuda. Pertunjukan ini juga dikenal sebagai kuda lumping di Jawa
Barat kuda
itu dari
kulit: lumping,
ebleg di
barat daya jathilan
di daerah Yogyakarta dan reyog di Jawa Timur Holt, dialihbaha- sakan oleh R.M. Soedarsono, 2000: 127.
Kesenian jathilan identik dengan kuda sebagai objek sajian. Kuda
telah memberikan
inspirasi, mulai dari
gerak tari hingga makna
di balik tari kerakyatan tersebut. Secara etimologis, istilah jathilan berasal dari istilah Jawa njathil yang berarti meloncat-loncat me-
Kesenian Jathilan dan Persebarannya di Daerah Istimewa Yogyakarta
nyerupai gerak-gerik kuda. Dari gerak yang pada awalnya bebas tak teratur, kemudian ditata sedemikian rupa menjadi sebuah
gerak yang lebih menarik untuk dilihat sebagai tari penggambaran kuda yang ber-jingkrak-jingkrak menirukan gerak kuda.
Masyarakat di
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta mengenal
kesenian jathilan sebagai bagian dari upacara ritual tertentu yang menggunakan properti kuda képang. Penggunaan kuda képang
dalam kesenian jathilan ini didasarkan pada realitas bahwa kuda adalah binatang yang diyakini memiliki kelebihan dalam hal ke-
kuatan fisik. Di samping itu, secara naluriah kuda dalam banyak hal memiliki semangat dan dapat berfungsi sebagai penunjuk jalan.
Dalam alam pemikiran masyarakat Jawa kuno, kesenian jathilan mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakatnya. Oleh karenanya, hingga saat ini di beberapa wila- yah di Daerah Istimewa Yogyakarta, jathilan masih digunakan se-
bagai kesenian yang wajib dihadirkan dalam rangkaian acara ritual, seperti: merti désa, ruwat bumi, rasulan, dan sejenisnya.
Terkait dengan status sosial yang ada dalam kesenian jathi- lan, Pigeaud memberikan penjelasan bahwa tari kuda képang se-
cara khusus mempunyai hubungan dengan kelompok pemuda yang disebut dengan sinoman. Hal itu dapat ditemukan dalam be-
rita tanah Pasundan yang konon menyebut kuda sebagai pem- buka jalan yang hendak dilalui pawai penganten atau pawai khi-
tanan dengan nama kasinoman Pigeaud, 1938:167. Keterkaitan fungsi ini dapat ditemui pula dalam upacara per-
nikahan agung putra raja di Kasultanan Yogyakarta. Di Kraton Yog-
Kesenian Jathilan: Identitas dan Perkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta
yakarta tari kuda képang secara khusus digunakan untuk acara perkawinan putra raja yang lazim disebut dengan Édan-édanan.
Tari Édan-édanan untuk perkawinan putra raja di Kraton Yogya- karta ini sebagai pengawal prosesi rangkaian upacara pernikahan
agung putra raja dengan iringan gendhing lancaran Bindri. Keber- adaan kesenian Édan-édanan sebagai pengawal pengantin di kra-
ton adalah untuk tolak bala, agar acara pernikahan selamat dari segala macam gangguan Th. Pigeaud, 1938:167.
Terkait dengan sifat manusia, Pigeaud mengungkapkan bah- wa betapa kuatnya klasifikasi kehidupan masyarakat Jawa demi
rasa kebersamaan dalam alam ini ternyata harus diletakkan hu- bungan antara warna kuda kepang dengan empat nafsu manusia,
yakni mutmainah atau tumainah dengan warna putih, amarah dengan warna merah, supiyah dengan warna kuning, dan lauamah
dengan warna hitam Th.Pigeaud, 1938:446.
Gambar 2. Édan-édanan pada Prosesi Pernikahan G.K.R. Hayu dengan K.P.H. Notonegoro 22 Oktober 2013 di Kraton Yogyakarta Foto:
Kuswarsantyo
Kesenian Jathilan dan Persebarannya di Daerah Istimewa Yogyakarta
Data tertulis tentang kesenian jathilan adalah pada tahun 1930-an melalui tulisan Th. Pigeaud dalam buku Javaanse Volks-
vertoningen Th. Pigeaud, 1938:342. Pigeaud menjelaskan bahwa awal mula munculnya jathilan karena terjadinya percampuran dua
tontonan, yakni Réyog Ponorogo dengan tari kuda képang yang ada di dalamnya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa percampuran dua
bentuk pertunjukan tersebut telah terjadi sejak lama. Réyog sen- diri sebenarnya adalah tontonan tari Kuda képang dari Ponorogo
dan Kediri, sedangkan di DIY diberi nama jathilan Th. Pigeaud, 1938:430.