Perkembangan Jathilan di DIY
Kesenian Jathilan: Identitas dan Perkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta
Kidul dengan jathilan ritual di Kabupaten Bantul terdapat ke- miripan. Namun, muncul pula bentuk baru jathilan yang dikem-
bangkan berbeda menurut wilayah budaya masing-masing. Misal- nya, kesenian incling atau jathilan khas Kulon Progo yang saat ini
dijadikan ikon kesenian tradisional khas Kulon Progo di samping kesenian Angguk.
Digelarnya festival jathilan dan réyog se DIY sejak 2008 lalu oleh Dinas Pariwisata DIY memberikan peluang seniman tradisio-
nal membuat kreasi baru pertunjukan jathilan. Bentuk sajian ja- thilan untuk festival inipun sangat berbeda dengan bentuk jathilan
yang secara konvensional telah dilakukan bersama oleh grup-grup jathilan yang ada di DIY. Perbedaan itu dapat terlihat dari durasi
penyajian yang hanya ditampilkan dalam waktu maksimal 15 me- nit. Pola koreografi padat dengan mengutamakan kualitas kepe-
narian. Iringan tidak lagi monoton, namun variatif dengan meng- hadirkan gamelan sebagai instrumen pengiring, demikian pula un-
tuk kostum dan properti. Hal yang paling penting dalam kategori festival ini tidak diperkenankan untuk ndadi trance.
Bentuk baru jathilan yang muncul merupakan alternatif per- tunjukan jathilan yang akan memberi nuansa baru serta selera es-
tetik baru bagi para penonton yang selama ini hanya mengenal dua bentuk sajian jathilan. Bentuk pertama adalah jathilan untuk
acara ritual dan kedua bentuk jathilan untuk hiburan. Munculnya bentuk baru jathilan merupakan dampak mun-
culnya tempat-tempat wisata yang menginginkan dukungan ke- semarakan di sekitar lokasi. Dengan hadirnya grup-grup jathilan di
Perkembangan Bentuk Penyajian Kesenian Jathilan di DIY dan Problematikanya
lokasi objek wisata, akan semakin menambah marak program pari- wisata di wilayah tersebut. Kenyataan tersebut memunculkan
bentuk gaya baru jathilan dengan segala variasinya. Berkem- bangnya sebuah karya seni ditengah kehidupan masyarakat sebe-
narnya banyak ditentukan oleh keinginan masyarakat yang meng- hendaki adanya perubahan. Hal ini sejalan dengan apa yang diung-
kapkan oleh Kayam bahwa seni akan berkembang mengikuti arus perubahan masyarakat Kayam, 1981:12. Kenyataan itulah yang
saat kini terjadi di beberapa tempat pertunjukan wisata, seperti di kawasan Tlogoputri Kaliurang, Pantai Glagah dan waduk Sermo di
Kulon Progo atau di Waterbyur Ponjong Gunung Kidul. Hubungan antara seni dan masyarakat merupakan faktor
pendorong timbulnya varian budaya. Apabila varian budaya itu teradaptasi dan dilakukan terus-menerus dalam waktu dan ruang
yang sama, maka akan sulit dibedakan dengan budaya asli dan budaya pendatang baru. Hal ini disebabkan karena sifat adaptif
dari sebuah varian budaya. Bicara mengenai pertemuan dua bu- daya atau lebih yang akan mempengaruhui perkembangan ben-
tuk penyajian satu jenis kesenian, Bakker menyatakan bahwa akul- turasi sebenarnya mencoba untuk memahami fenomena-feno-
mena yang
timbul karena kontak langsung antarindividu-individu
dari kelompok budaya yang berbeda yang secara terus-menerus, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan beruntun dalam
pola-pola budaya asli dari salah satu atau kedua kelompok yang berinteraksi.
Kesenian Jathilan: Identitas dan Perkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta
Acculturation comprehend those phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continous
first-hand contact, with subbsequent changes in the original cultu- ral pattern of either or both groups Bakker S.J. 1984:115.
Apa yang dikatakan Bakker sejalan dengan teori perubahan yang diungkapkan oleh Parsons, yang menyatakan bahwa dalam
konteks globalisasi yang terjadi, segala bentuk perkembangan tidak dapat terlepas dari situasi dan perubahan kondisi sosial
masyarakat. Oleh karena itu, memahami seni tradisional secara kontekstual sangat penting artinya untuk memberikan gambaran
latar belakang yang menyebabkan terjadinya perubahan satu bentuk kesenian. Kontekstual dalam kaitan ini berarti tidak hanya
sesuai dengan adat-istiadat, namun juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini ditegaskan oleh Koentjaraningrat
yang menyebutkan bahwa sebuah kebudayaan yang telah dimiliki suatu komunitas dapat mengandung budaya lain budaya baru,
sehingga budaya lain akan menjadi pusat dari budaya milik ko- munitas baru. Ini semua karena telah terjadi proses penyesuaian
kultural dalam masyarakat Koentjaraningrat, 1985:230. Penegasan Koentjaraningrat ini merupakan salah satu bukti
bahwa budaya baru yang dibawa angin globalisasi yang merambah dalam kehidupan komunitas seni tradisi sangat mudah untuk
mempengaruhi gaya penyajian karya seni yang sudah ada. Dalam kasus seni jathilan misalnya, telah banyak dibuktikan adanya pe-
ngaruh penyajian yang mengadopsi pada unsur-unsur budaya luar
Perkembangan Bentuk Penyajian Kesenian Jathilan di DIY dan Problematikanya
yang sebelumnya tidak ada. Namun kini perubahan itu telah ter- jadi dan telah menyatu pada budaya masyarakat. Fenomena per-
ubahan akibat hadirnya era global yang terjadi dalam seni jathilan ini ternyata juga terjadi di wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Menurut penuturan Sriyaningsih, di Lombok terdapat seni per- tunjukan dari beberapa kelompok etnik, seperti Jawa dan Bali
yang telah diberi warna lokal dan menjadi tradisi suku Sasak. Fenomena ini merupakan pembentuk pola budaya dengan ciri
warna lokal yang menyatu dengan budaya luar sebagai akibat glo- bal akulturasi Sriyaningsih, 1995:6-7.