Jathilan di Kabupaten Gunung Kidul
Kesenian Jathilan: Identitas dan Perkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta
No Kecamatan
Jumlah Grup
Total jumlah grup jathilan aktif Gunung Kidul
133 buah
Sumber Data: Dinas Kebudayaan dan Pariwisara Gunungkidul, 2008
Pada awal perkembangannya, satu kelompok penari jathilan di Gunung Kidul terdiri dari dua peran, yaitu penari kuda dan pria
dengan cemeti. Meski begitu, seni jathilan yang dimainkan dalam berbagai pertunjukan resmi saat ini sudah mengadopsi beberapa
perubahan mendasar pada kostum, jumlah penari, maupun rincian gerakannya.
Pagelaran jathilan Gunung Kidul seperti pagelaran seni lain- nya, mempunyai alur cerita tertentu. Dalam penyajiannya, jathil-
an di Gunung Kidul biasanya juga mengambil cerita Panji, ketika Raden Panji Asmorobangun tengah mencari istrinya, Dewi Sekar-
taji, dengan sekelompok pasukan berkuda. Namun, dalam alur ce- ritanya sering tak mempersoalkan lagi pertemuannya, tetapi lebih
mengutamakan tema pencariannya. Sebelum pentas dimulai, jathilan Gunung Kidul biasanya se-
lalu diawali dengan prosesi ritual yang dilakukan seorang pawang. Inilah salah satu bentuk komunikasi antara manusia dengan makh-
luk gaib, yang diminta tak menggangu permainan jathilan. Jalan cerita utama dalam seni jathilan di Gunung Kidul merefleksikan
berbagai problematika yang timbul dalam hubungan antara ma- syarakat kelas atas dan kaum pekerja. Kelas rakyat yang diwakili
para penari tak henti-henti bergerak, pacak gulu ’ e ggerakkan
Kesenian Jathilan dan Persebarannya di Daerah Istimewa Yogyakarta
kepala ke kiri- ka a ’, sirik ’bergeser ke sa pi g de ga sete gah
berlari’, njondhil ’ elo pat’ hi gga berguli g-guling di tanah. Para penari itu dikendalikan oleh pimpinan pasukan dengan
cemeti yang selalu mengawasi segala tindakan para penari. Me- reka menggambarkan tokoh lurah prajurit yang disiplin, tertib, dan
memiliki otoritas. Kesan arogan dan datar tanpa basa basi dimun- culkan oleh dominasi warna merah menyala dan hitam pada rias-
an wajah dan pakaiannya. Tokoh ini bergerak memutar menge- lili gi pe ari kuda di te gah are a ya g keasyika e gikuti
musik. Sesekali melecutkan cemeti untuk memperingatkan penari
kuda jika mer eka berti dak kebablasan”.
Kebiasaan jathilan di Gunung Kidul ini membawakan sebuah cerita yang disampaikan dalam bentuk tarian. Saat ini tidak banyak
orang yang melihat pertunjukan seni dari sisi pakem bentuk ke- senian tersebut, melainkan dari sisi hiburannya. Hal yang mereka
lihat dan lebih mereka senangi adalah bagian di mana para pemain jathilan ini seperti kerasukan dan melakukan atraksi-atraksi ber-
bahaya. Jadi, masyarakat melihat jathilan sebagai sebuah pertun- jukan di mana para pemainnya kerasukan. Lebih-lebih saat irama
pengiring merangkak naik baca: irama cepat, penari kuda terlihat semakin liar dan tidak terkontrol. Pada klimaks pertunjukan ini, tak
jarang mereka terlihat kerasukan. Inilah fase yang ditunggu- tunggu para penonton. Saat itulah para penari kuda memper-
tunjukkan atraksi ndadi. Mereka seperti di luar kesadaran saat makan beling serpihan kaca, mengupas kelapa dengan gigi
mereka, memecahkan tempurungnya dengan dahi, lalu meminum
Kesenian Jathilan: Identitas dan Perkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta
airnya. Tak jarang, mereka juga makan bunga-bunga persembahan dan minum air mentah dari ember seperti layaknya seekor kuda.
Di akhir pertunjukan, alunan gamelan dalam jathilan Gunung Kidul kembali ke tempo semula seiring sang pria bercemeti me-
mainkan fungsinya sebagai penyembuh. Dia mendekap penari yang kesurupan, membaca mantra-mantra, dan menyemburnya
dengan air. Seketika si penari kesurupan mengejang, lalu kembali sadar seolah tidak tahu kegilaan apa yang dia lakukan sebelumnya.
Gambar 10. Gerak Erotis Jathilan Putri menjadi Ciri Khas Penyajian Foto: Kuswarsantyo, 2011