Latihan Menulis Kritik Sastra Prosa

Bahasa Indonesia SMP KK J 63 Ayu, kamu sudah besar, sudah waktunya untuk sholat. Kenapa kita harus sholat? Karena itu wujud syukur kita kepada Sang Pencipta. Aku tak pernah mengerti mengapa Ibu harus berterima kasih. Atas apa? Atas air mata itu? Atas penghianatan Ayah? Atas kepergiannya dalam pelukan wanita lain? Atas ejekan dan cemoohan orang-orang yang mengatakan aku anak haram? Apa itu haram? Bukankah itu untuk babi? Tapi aku manusia Jangan begitu, Nak. Ini hanya cobaan. Tuhan yang lebih mengerti yang terbaik untuk kita. Mungkin duka lebih manis, lebih indah dari tawa, jika tawa akan membuat kita melupakan-Nya. Dia tidak pernah tidur, Nak. Dia sedang menguji hamba-hamba-Nya yang beriman. Wangi itu datang lagi. Gumam-gumaman itu belum berhenti. Ibu ingin kembali pada-Nya, setelah apa yang Ibu lakukan di masa lalu. Ibu tak bisa apa-apa. Semua telah terjadi, Ibu hanya bisa melakukan ini, kata Ibu dengan matanya yang sungai dari hulu di gunung yang tinggi. Aku tak pernah mampu menyelaminya, terlalu luas dan dalam, terlalu berliku. Ibu tak ingin engkau seperti Ibu, Nak. Ibu mau kau jadi anak yang sholehah, yang berbakti dan taat kepada-Nya, katanya lagi. Apa pula itu sholehah? Aku juga sekolah. Aku sering mendengarnya, bersama dengan kata-kata yang lain, yang terlampau banyak dan membuat kepalaku berdenyut. Walau Ibu hanya seorang penjahit, ia tak pernah mau berhenti menyekolahkan aku, hingga sekarang, hingga aku menjadi sarjana. Belum, masih pekan depan, dan ia tak akan pernah melihat aku dalam upacara itu. Sepertinya, aku jadi batu. Bukan Ibu yang melakukannya karena ku tahu ia tak akan setega itu. Lagipula, aku sangat menyayanginya, lebih dari apa pun. Setelah segala apa yang ia alami, pantaskah aku menyakitinya? Entahlah, mungkin orang lain, mungkin Ayah, karena aku pernah memakinya, walau umurku belum genap enam tahun waktu itu. Mungkin juga Tuhan. Entahlah. Tapi, yang jelas, aku telah menjadi batu. Bukan diriku yang sebenarnya karena aku tetap seorang gadis yang periang dan bahkan berprestasi di sekolah. Tapi, aku tak pernah mengenal Tuhan. Lebih tepatnya tidak mau karena Ibu nyaris menyerah selalu berusaha mengajarkan aku, apa yang ia bisa. Tapi, aku tak pernah mau. Bahkan seolah aku tak pernah mendengar apa- apa tentangnya.