Pembuatan Komposit Busa Poliuretan Dengan Mikrobentonit Dan Arang Aktif Cangkang Kelapa Sawit Sebagai Bahan Penyaring Dalam Pengolahan Air Bersih DAS Belawan

(1)

PEMBUATAN KOMPOSIT BUSA POLIURETAN DENGAN

MIKROBENTONIT DAN ARANG AKTIF CANGKANG

KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PENYARING

DALAM PENGOLAHAN AIR BERSIH

DAS BELAWAN

TESIS

DENI REFLIANTO MANIK

117006035/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

PEMBUATAN KOMPOSIT BUSA POLIURETAN DENGAN

MIKROBENTONIT DAN ARANG AKTIF CANGKANG

KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PENYARING

DALAM PENGOLAHAN AIR BERSIH

DAS BELAWAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ilmu Kimia Pada Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DENI REFLIANTO MANIK

117006035/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 11 Februari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D : 1. Saharman Gea, Ph.D

2. Prof. Dr. Thamrin, M.Sc

3. Dr. Darwin Yunus Nasution, MS 4. Eddyanto, Ph.D


(4)

PERSETUJUAN

Judul Tesis : PEMBUATAN KOMPOSIT BUSA POLIURETAN

DENGAN MIKROBENTONIT DAN ARANG

AKTIF CANGKANG KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PENYARING DALAM PENGOLAHAN AIR BERSIH DAS BELAWAN

Nama Mahasiswa : DENI REFLIANTO MANIK Nomor Pokok : 117006035

Program Studi : MAGISTER (S2) ILMU KIMIA

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D

Ketua Anggota

Saharman Gea, Ph.D

Ketua Program Studi Dekan


(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

PEMBUATAN KOMPOSIT BUSA POLIURETAN DENGAN MIKROBENTONIT DAN ARANG AKTIF CANGKANG

KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PENYARING DALAM PENGOLAHAN AIR BERSIH

DAS BELAWAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan jelas.

Medan, Februari 2014 Penulis


(6)

PEMBUATAN KOMPOSIT BUSA POLIURETAN DENGAN MIKROBENTONIT DAN ARANG AKTIF CANGKANG

KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PENYARING DALAM PENGOLAHAN AIR BERSIH

DAS BELAWAN

ABSTRAK

Penelitian ini melaporkan tentang pembuatan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit sebagai bahan penyaring dalam pengolahan air bersih Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan. Penelitian ini terdiri dari enam tahap yaitu persiapan mikrobentonit, persiapan arang aktif cangkang kelapa sawit, pembuatan busa poliuretan, pembuatan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit, karakterisasi komposit busa poliuretan dan aplikasi komposit busa poliuretan sebagai bahan penyaring air sungai. Variasi berat pengisi yang dipilih yaitu 25; 50; 75 100 (% wt,

terhadap berat PPG). Karakterisasi gugus fungsi busa poliuretan dilakukan dengan teknik Spektroskopi FT-IR, morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)

dan sifat termal dengan teknik Thermogravimetric Analysis (TGA). Efektifitas

komposit busa poliuretan sebagai bahan penyaring ditentukan oleh nilai pH, kadar total padatan terlarut (TDS), total padatan tersuspensi (TSS) dan kekeruhan. Hasil analisis spektrum FT-IR busa poliuretan menunjukkan adanya serapan khas untuk gugus uretan. Hasil analisis SEM, busa poliuretan dan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit memiliki tipe struktur sel terbuka (opened cell) dengan diameter pori masing-masing 36,87-157,475 µm

(PU); 34,65-117,94 µm (PU-B25%) dan 15,20-54,77 µm (PU-A25%). Hasil analisis termogram diperoleh urutan kestabilan termal komposit busa poliuretan yaitu PU-B25% > PU-A25% > PU. Efektifitas komposit busa poliuretan sebagai bahan penyaring air sungai telah diteliti. Karakterisasi air setelah penyaringan menggunakan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit maupun arang aktif tidak menunjukkan perubahan pada nilai pH dan kadar TDS. Sedangkan, kadar TSS dan kekeruhan menurun dengan hasil optimum diberikan oleh komposit busa poliuretan dengan arang aktif 25% (PU-A25%) yaitu 68% dan 69%. Berdasarkan analisis parameter air hasil penyaringan, secara keseluruhan telah memenuhi standar air bersih menurut PERMENKES No.416/MENKES/PER/IX/1990 dan PP No.82 Tahun 2001


(7)

PREPARATION OF POLYURETHANE FOAM COMPOSITE WITH MICROBENTONITE AND ACTIVATED CHARCOAL OF PALM

KERNEL SHELLS AS FILTER MATERIAL FOR WATER TREATMENT OF BELAWAN WATERSHED

ABSTRACT

The present paper reports the preparation of polyurethane foam composite with microbentonite and activated charcoal of palm kernel shells as filters for water treatment of Belawan watershed. This study consists of six stages, namely preparation of microbentonite, preparation of activated charcoal of palm kernel shells, preparation of polyurethane foam, preparation of polyurethane foam composite with microbentonite and activated charcoal of palm kernel shells filler, polyurethane foam composite characterization and application of polyurethane foam composite as filter for water treatment. The varians weight of filler were 25; 50; 75 100 (%wt, PPG). The functional groups of polyurethane foam were characterized using FT-IR spectroscopy, the surface morphologies were observed using Scanning Electron Microscopy (SEM) and the thermal properties were conducted with Thernal Gravimetric Analysis (TGA). Polyurethane foam composite effectivity as filter determined by the value of pH, Total Dissolved Solid (TDS), Total Suspended Solid (TSS) and turbidity. The FT-IR spectrums of polyurethane foam show has characteristic absorption of urethane functional group. SEM images of polyurethane foam composite with microbentonite and activated charcoal of palm kernel shells has an open cell structure type with a pore diameter 36.87-157.475 µm (PU); 34.65-117.94 µm (PU-B25%) and 15.20-54.77 µm (PU-A25%). The results of sequence

analysis thermogram obtained polyurethane foam composite thermal stability of PU-B25% > PU-A25% > PU. The polyurethane foam composite effectivity as filter for

water treatment has been investigated. Water characterization after filtration showed not experience of change assess pH and TDS, while the TSS and turbidity level

decreased with the optimum results given by the polyurethane foam composite with activated charcoal of palm kernel shells 25% (PU-A25%) are 68% and 69%. Based on

the analysis of parameters of filtered water, the overall rate quality of treated water has been fulfilled PERMENKES No.416/MENKES/PER/IX/1990 and PP No.82 Tahun 2001.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus atas segala kasih setia dan berkatNya yang telah memampukan penulis untuk dapat meyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan sebaik mungkin.

Tesis ini berjudul “PEMBUATAN KOMPOSIT BUSA POLIURETAN DENGAN MIKROBENTONIT DAN ARANG AKTIF CANGKANG KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PENYARING DALAM PENGOLAHAN AIR BERSIH DAS BELAWAN”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada orang tua penulis, Ayahanda Marcius Manik dan Ibunda Irmawati Gultom yang selalu memberikan nasehat, motivasi dan mendoakan penulis. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DMT&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) dan Dr. Sutarman, M.Sc selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana Ilmu Kimia. Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D dan Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Pascasarjana Ilmu Kimia atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa di Pascasarjana Ilmu Kimia.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS. Ph.D selaku dosen pembimbing I dan Bapak Saharman Gea, Ph.D selaku dosen pembimbing II atas waktu, saran dan bimbingannya dalam penelitian dan penyusunan tesis ini. Bapak Prof. Dr. Thamrin, M.Sc, Bapak Dr. Darwin Yunus Nasution, MS dan Bapak Eddyanto, Ph.D selaku dosen penguji atas saran dan


(9)

MS atas motivasi dan nasehat kepada penulis. Bapak dan Ibu dosen Pascasarjana Ilmu Kimia yang telah memberi disiplin ilmu selama penulis menjalani studi. Kak Lely, Bang Edi dan rekan-rekan penulis di Pascasarjana Ilmu Kimia stambuk 2011 dan 2012 yang telah banyak membantu dan memberikan saran kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pihak pembaca sangat diharapkan untuk kesempurnaan tesis ini. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Februari 2014 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Deni Reflianto Manik

Tempat dan Tanggal Lahir : Pekanbaru, 22 Februari 1988

Alamat Rumah : Jl. H. Imam Munandar Gg. Setia No. 21 Pekanbaru, Riau

Email : deni.reflianto@gmail.com Nama Ayah : Marcius Manik

Nama Ibu : Irmawati Gultom

DATA PENDIDIKAN

- Lulus SD Negeri 006 Pekanbaru, Provinsi Riau pada tahun 2000 - Lulus SMP Negeri 13 Pekanbaru, Provinsi Riau pada tahun 2003 - Lulus SMA Negeri 6 Pekanbaru, Provinsi Riau pada tahun 2006

- Lulus Sarjana Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

RIWAYAT HIDUP v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

DAFTAR SINGKATAN xiii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 3

1.3. Pembatasan Masalah 3

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.5. Manfaat Penelitian 4

1.6. Metodologi Penelitian 5

1.7. Lokasi Penelitian 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Busa Poliuretan 7

2.1.1. Isosianat 11

2.1.2. Poliol 12

2.1.3. Bahan peniup 14

2.1.4. Katalis 15

2.1.5. Surfaktan 15

2.1.6. Pemanjang rantai 15

2.2. Karakterisasi 16

2.2.1. Difraksi sinar-X 16

2.2.2. Fourier Transform Infrared Spectroscopy 18

2.2.3. Scanning Electron Microscopy 20

2.2.4. Thermogravimetry Analysis 21


(12)

2.4. Kualitas Air 23

2.4.1. pH 24

2.4.2. Total padatan terlarut 23

2.4.3. Total padatan tersuspensi 25

2.4.4. Kekeruhan 26

2.5. Adsorben 26

2.5.1. Adsorben 26

2.5.2. Arang aktif cangkang kelapa sawit 29

2.6. Adsorpsi 31

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Alat 34

3.2. Bahan 35

3.3. Prosedur Penelitian 35

3.3.1. Preparasi mikrobentonit 35

3.3.2. Karakterisasi mikrobentonit 36

3.3.3. Pembuatan arang aktif 36

3.3.4. Karakterisasi arang aktif 37

3.3.4.1 Kadar air 37

3.3.4.2 Kadar abu 37

3.3.4.3 Daya serap iodin 38

3.3.5. Pembuatan komposit 38

3.3.6. Karakterisasi komposit 39

3.3.7. Persiapan sampel air sungai 39

3.3.8. Penyaringan air sungai 40

3.3.9. Analisa parameter air 40

3.3.9.1 pH 40

3.3.9.2 Penetapan kadar total padatan terlarut 41 3.3.9.3 Penetapan kadar total padatan tersuspensi 41

3.3.9.4 Penetapan kekeruhan 41

3.4. Bagan Penelitian 42

3.4.1. Preparasi bentonit 42

3.4.2. Pembuatan arang aktif 43

3.4.3. Pembuatan komposit 44

3.4.4. Penyaringan air 45

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Preparasi Bentonit 46

4.2. Karakterisasi Bentonit 46

4.3. Pembuatan Arang Aktif 48


(13)

4.4.1. Penetapan kadar air 49

4.4.2. Penetapan kadar abu 50

4.4.3. Daya serap iodium 51

4.5. Sintesis Busa Poliuretan 52

4.6. Karakterisasi Poliuretan dengan Spektroskopi Fourier

Transform Infrared 54

4.7. Karakterisasi Komposit dengan Scanning Electron Microscopy 56

4.8. Karakterisasi Komposit dengan Thermogravimetric Analyisis 58

4.9. Analisis Air 61

4.9.1. pH 61

4.9.2. Total padatan terlarut 62

4.9.3. Total padatan tersuspensi 64

4.9.4. Kekeruhan 65

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 68

5.2. Saran 68

DAFTAR PUSTAKA 69


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Daerah serapan inframerah 20

Tabel 2.2 Syarat mutu arang aktif berdasarkan Standar Nasional

Indonesia (SNI) Nomor 06-3730 Tahun 1995 32

Tabel 3.1 Alat - alat penelitian 34

Tabel 3.2 Bahan - bahan penelitian 35

Tabel 3.3 Kode sampel arang aktif cangkang kelapa sawit 36

Tabel 3.4 Kode sampel komposit 39

Tabel 4.1 Nilai sudut 2θ dari montmorilonit 48

Tabel 4.2 Hasil karakterisasi arang aktif cangkang kelapa sawit 48 Tabel 4.3 Pita serapan spektrum FTIR polipropilen glikol (PPG) 55 Tabel 4.4 Pita serapan spektrum FTIR toluen diisosianat (TDI) 55 Tabel 4.5 Pita serapan spektrum FTIR busa poliuretan (PU) 56

Tabel 4.6 Persen kehilangan berat komposit 60

Tabel 4.7 Hasil analisis pH air sungai 62

Tabel 4.8 Hasil analisis kadar total zat padat terlarut 63 Tabel 4.9 Hasil analisis kadar total padatan tersuspensi 65

Tabel 4.10 Hasil analisis kekeruhan 67


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Struktur isomer a) toluen diisosianat dan b) metilen

difenildiisosianat 12

Gambar 2.2 Struktur molekul polipropilen glikol (PPG) 14

Gambar 2.3 Difraksi sinar-Xpada kristal 17

Gambar 2.4 Struktur molekul mineral monmorillonit 27 Gambar 3.1 Sistem penyaringan air dengan komposit 40 Gambar 4.1 Difraktogram bentonit alam asal Bener Meriah, Aceh 47 Gambar 4.2 Kadar air arang aktif cangkang kelapa sawit 49 Gambar 4.3 Kadar abu arang aktif cangkang kelapa sawit 50 Gambar 4.4 Daya serap arang aktif cangkang kelapa sawit terhadap

iodin 51

Gambar 4.5 Hasil reaksi sintesis busa poliuretan 53 Gambar 4.6 Spektrum FTIR dari a) polipropilen glikol; b) toluen

diisosianat dan c) busa poliuetan 54

Gambar 4.7 Foto SEM a) busa poliuretan (PU); b) komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit 25% (PU-B25%); dan c) komposit busa poliuretan dengan arang aktif 25%

(PU-A25%) pembesaran 50X dan 500X. 57

Gambar 4.8 Termogram TGA busa poliuretan (PU); komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit 25% (PU-B25%) dan

komposit busa poliuretan dengan arang 25% (PU-A25%) 59 Gambar 4.9 Nilai pH air sungai hasil penyaringan 61 Gambar 4.10 Kadar total padatan terlarut air sungai hasil penyaringan 63 Gambar 4.11 Kadar total padatan tersuspensi air sungai hasil

penyaringan 64


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran A.1 Difraktogram bentonit asal Bener Meriah, Aceh 75 Lampiran A.2 Spektrum FTIR polipropilen glikol (PPG) 75 Lampiran A.3 Spektrum FTIR toluen diisosianat (TDI) 76 Lampiran A.4 Spektrum FTIR busa poliuretan (PU) 76 Lampiran A.5 Hasil foto SEM busa poliuretan (PU) pada

pembesaran a) 50X dan b) 500X 77

Lampiran A.6 Hasil foto SEM komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit 25% (PU-25%

77 ) pada pembesaran a) 50X dan b) 500X

Lampiran A.7 Hasil foto SEM komposit busa poliuretan dengan arang aktif cangkang kelapa sawit 25% (PU-A25%

77 )

pada pembesaran a) 50X dan b) 500X

Lampiran A.8 Termogram busa poliuretan (PU) 78

Lampiran A.9 Termogram komposit busa poliuretan dengan

mikrobentonit 25% (PU-B25%) 78

Lampiran A.10 Termogram komposit busa poliuretan dengan arang aktif 25% (PU-A25%)

Lampiran B.1 Hasil penetapan kadar air arang 80

Lampiran B.2 Hasil penetapan kadar abu arang 81

Lampiran B.3 Hasil standarisasi larutan Natrium tiosulfat 0,1 N 82 Lampiran B.4 Hasil standarisasi larutan iodium 0,1 N 82 Lampiran B.5 Hasil penetapan daya serap arang aktif terhadap

larutan iodium 83

Lampiran C.1 Pengolahan bentonit alam Kabupaten Bener Meriah,

Aceh menjadi mikrobentonit 85


(17)

Lampiran C.3 Komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan

arang aktif cangkang kelapa sawit 87

Lampiran C.4 Lokasi pengambilan sampel air Sungai 87 Lampiran C.5 Proses penyaringan sampel air sungai menggunakan

komposit dengan metode kolom 88


(18)

DAFTAR SINGKATAN

DAS : Daerah Aliran Sungai DMEA : Dimethylethanolamine

FTIR : Fourier Transform Infrared Spectroscopy JCPDS : Join Committee On Difraction Standarts MC : Methylene Chloride

NTU : Nephelometric Turbidy Unit PPG : Polipropilen Glikol

PU : Poliuretan

SEM : Scanning Electron Microscopy SNI : Standar Nasional Indonesia TDI : Toluen Diisosianat

TDS : Total Dissolved Solid TGA : Thermogravimetric Analisis TSS : Total Suspended Solid XRD : X-Ray Diffraction


(19)

PEMBUATAN KOMPOSIT BUSA POLIURETAN DENGAN MIKROBENTONIT DAN ARANG AKTIF CANGKANG

KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PENYARING DALAM PENGOLAHAN AIR BERSIH

DAS BELAWAN

ABSTRAK

Penelitian ini melaporkan tentang pembuatan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit sebagai bahan penyaring dalam pengolahan air bersih Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan. Penelitian ini terdiri dari enam tahap yaitu persiapan mikrobentonit, persiapan arang aktif cangkang kelapa sawit, pembuatan busa poliuretan, pembuatan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit, karakterisasi komposit busa poliuretan dan aplikasi komposit busa poliuretan sebagai bahan penyaring air sungai. Variasi berat pengisi yang dipilih yaitu 25; 50; 75 100 (% wt,

terhadap berat PPG). Karakterisasi gugus fungsi busa poliuretan dilakukan dengan teknik Spektroskopi FT-IR, morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)

dan sifat termal dengan teknik Thermogravimetric Analysis (TGA). Efektifitas

komposit busa poliuretan sebagai bahan penyaring ditentukan oleh nilai pH, kadar total padatan terlarut (TDS), total padatan tersuspensi (TSS) dan kekeruhan. Hasil analisis spektrum FT-IR busa poliuretan menunjukkan adanya serapan khas untuk gugus uretan. Hasil analisis SEM, busa poliuretan dan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit memiliki tipe struktur sel terbuka (opened cell) dengan diameter pori masing-masing 36,87-157,475 µm

(PU); 34,65-117,94 µm (PU-B25%) dan 15,20-54,77 µm (PU-A25%). Hasil analisis termogram diperoleh urutan kestabilan termal komposit busa poliuretan yaitu PU-B25% > PU-A25% > PU. Efektifitas komposit busa poliuretan sebagai bahan penyaring air sungai telah diteliti. Karakterisasi air setelah penyaringan menggunakan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit maupun arang aktif tidak menunjukkan perubahan pada nilai pH dan kadar TDS. Sedangkan, kadar TSS dan kekeruhan menurun dengan hasil optimum diberikan oleh komposit busa poliuretan dengan arang aktif 25% (PU-A25%) yaitu 68% dan 69%. Berdasarkan analisis parameter air hasil penyaringan, secara keseluruhan telah memenuhi standar air bersih menurut PERMENKES No.416/MENKES/PER/IX/1990 dan PP No.82 Tahun 2001


(20)

PREPARATION OF POLYURETHANE FOAM COMPOSITE WITH MICROBENTONITE AND ACTIVATED CHARCOAL OF PALM

KERNEL SHELLS AS FILTER MATERIAL FOR WATER TREATMENT OF BELAWAN WATERSHED

ABSTRACT

The present paper reports the preparation of polyurethane foam composite with microbentonite and activated charcoal of palm kernel shells as filters for water treatment of Belawan watershed. This study consists of six stages, namely preparation of microbentonite, preparation of activated charcoal of palm kernel shells, preparation of polyurethane foam, preparation of polyurethane foam composite with microbentonite and activated charcoal of palm kernel shells filler, polyurethane foam composite characterization and application of polyurethane foam composite as filter for water treatment. The varians weight of filler were 25; 50; 75 100 (%wt, PPG). The functional groups of polyurethane foam were characterized using FT-IR spectroscopy, the surface morphologies were observed using Scanning Electron Microscopy (SEM) and the thermal properties were conducted with Thernal Gravimetric Analysis (TGA). Polyurethane foam composite effectivity as filter determined by the value of pH, Total Dissolved Solid (TDS), Total Suspended Solid (TSS) and turbidity. The FT-IR spectrums of polyurethane foam show has characteristic absorption of urethane functional group. SEM images of polyurethane foam composite with microbentonite and activated charcoal of palm kernel shells has an open cell structure type with a pore diameter 36.87-157.475 µm (PU); 34.65-117.94 µm (PU-B25%) and 15.20-54.77 µm (PU-A25%). The results of sequence

analysis thermogram obtained polyurethane foam composite thermal stability of PU-B25% > PU-A25% > PU. The polyurethane foam composite effectivity as filter for

water treatment has been investigated. Water characterization after filtration showed not experience of change assess pH and TDS, while the TSS and turbidity level

decreased with the optimum results given by the polyurethane foam composite with activated charcoal of palm kernel shells 25% (PU-A25%) are 68% and 69%. Based on

the analysis of parameters of filtered water, the overall rate quality of treated water has been fulfilled PERMENKES No.416/MENKES/PER/IX/1990 and PP No.82 Tahun 2001.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar

Belakang

Busa poliuretan merupakan polikondensasi dari senyawa poli-hidroksi (poliol) dengan isosianat. Fenomena busa terjadi ketika sejumlah kecil bahan peniup (blowing agent) dan air ditambahkan selama proses polimerisasi. Air bereaksi dengan

kelompok isosianat memberikan asam karbamat yang secara spontan kehilangan CO2, sehingga menghasilkan gelembung busa (Esmaeilnezhad dkk, 2009).

Busa merupakan salah satu produk komersil yang paling penting dari poliuretan. Busa poliuretan diklasifikasikan sebagai busa fleksibel, semi-kaku atau kaku tergantung pada sifat mekanik dan kerapatannya (Cinelli dkk, 2013). Busa poliuretan adalah bahan penyerap yang sangat baik karena luas permukaannya yang tinggi, mudah diperoleh dan murah biaya. Selain itu, busa poliuretan juga stabil dalam larutan asam dan basa serta tidak mengalami perubahan struktur ketika dipanaskan sampai temperatur 180oC (El-Sahat dkk, 2008 dan Moawed, 2006). Dengan demikian, busa poliuretan merupakan bahan yang sangat cocok digunakan sebagai adsorben untuk proses pemisahan dengan teknik perendaman maupun metode kolom.

Busa poliuretan telah banyak diaplikasikan pada berbagai proses pemisahan atau metode prakonsentrasi. Kemampuan busa poliuretan sebagai adsorben telah diteliti oleh Vidoti dkk (2005) dan Yasin (2011). Akhir-akhir ini, beberapa peneliti juga telah memodifikasi busa poliuretan untuk memperluas aplikasinya. Moawed dkk (2011) memodifikasi busa poliuretan dengan Rhodamin B untuk memisahkan ion logam trivalen Bi(III), Sb(III) dan Fe(III). Selain itu, Li dkk (2013) memodifikasi busa poliuretan dengan monomer oleofilik sebagai bahan penyerap solar dan minyak tanah dalam air.


(22)

Bentonit merupakan salah satu adsorben yang baik karena memiliki luas permukaan spesifik yang besar, kapasitas tukar kation yang tinggi, stabilitas kimia dan mekanik serta struktur yang berlapis (Melichova dan Hromada, 2012). Pada tahun-

tahun terakhir, pemanfaatan bentonit untuk mengontrol pencemaran air akibat polutan organik maupun anorganik mengalami peningkatan.

Selain itu, adsorben alternatif yang penggunaannya menjanjikan adalah arang aktif dari limbah organik seperti limbah cangkang kelapa sawit. Proses pembuatan arang aktif dari cangkang kelapa sawit sangat sederhana yakni proses karbonasi dan aktifasi secara fisika maupun kimia (Hartanto dan Ratnawati, 2010; Rashidi dkk, 2012; Meisrilestari dkk, 2013 dan Rahman dkk, 2013). Arang aktif dapat digunakan untuk mengadsorbsi bahan yang berasal dari cairan maupun fasa gas. Beberapa aplikasi dari arang aktif yaitu sebagai penyerap gas CO

Beberapa hasil penelitian menunjukkan efektifitas bentonit alam dalam menurunkan kadar ion Cu(II), Ni(II) dan Co(II) (Ghomri dkk, 2013), Zn(II), Fe(II) (Sheta dkk, 2003), formaldehid (Salman dkk, 2012), Rhodamin B (Khulood dkk, 2007) dan zat warna congo red (Akl

dkk, 2013).

2

Di Provinsi Sumatera Utara khususnya kota Medan, sumber air yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat berasal dari air permukaan salah satunya yaitu air Sungai Belawan. Akan tetapi, saat ini air Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan telah tercemar akibat adanya aktivitas masyarakat dan industri yang membuang limbah ke sungai. Hasil penelitian Harahap (2008), status mutu air Sungai Belawan telah tercemar berat berdasarkan hasil analisa parameter air yaitu amonia, COD, BOD, E. coli, Flouride (F) dan mangan (Mn). Selain itu Rukmana (2011) juga melaporkan

bahwa kadar besi (Fe) air Sungai Belawan telah melebihi batas standar maksimum menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001. Hasil ini menunjukkan bahwa (Widyastuti dkk, 2013); Rhodamin B (Agusriyadin dkk, 2012); Fenol (Kulkarni dkk, 2013); BOD, COD dan TSS (Irmanto dan Suyata, 2010).


(23)

perlunya dilakukan pengolahan air guna memperbaiki kualitas air sungai sehingga tidak membahayakan bila dikonsumsi secara langsung dan berkelanjutan.

Akhir-akhir ini, salah satu teknologi yang banyak digunakan di negara-negara maju adalah teknologi komposit. Komposit merupakan campuran dua material atau lebih secara makroskopik untuk menghasilkan material baru. Komposit memiliki banyak kelebihan, salah satunya dapat dimodifikasi untuk kepentingan tertentu dengan mempertahankan sifat fisik dan kimianya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mencoba membuat dan menggunakan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit sebagai bahan penyaring dalam pengolahan air bersih DAS Belawan. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam penyediaan metode sederhana dan relatif murah dalam pengolahan air untuk menghasilkan air bersih yang sesuai dengan Peraturan Mentri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Kriteria Mutu Air.

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah busa poliuretan dapat digunakan sebagai pengikat (binder) pada

komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit

2. Apakah komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit efektif sebagai bahan penyaring dalam pengolahan air bersih DAS Belawan

1.3 Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, permasalahan dibatasi pada:

1. Sampel air sungai yang digunakan yaitu air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan, Medan


(24)

3. Cangkang kelapa sawit yang digunakan diperoleh dari pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PTPN V Sei Garo, Kec. Tapung, Kab. Kampar, Provinsi Riau 4. Karakterisasi bentonit dilakukan dengan difraksi dinar-X

5. Karakterisasi arang aktif cangkang kelapa sawit yang dilakukan yaitu uji kadar air, kadar abu dan daya serap iodium

6. Karakterisasi komposit busa poliuretan yang dilakukan yaitu analisis gugus fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), analisis

permukaan dan pori dengan Scanning Electron Microscopy dan sifat termal

dengan Thermogravimetric Analisis (TGA)

7. Parameter air yang analisis yaitu pH, total padatan terlarut (TDS), total padatan tersuspensi (TSS) dan kekeruhan

1.4 Tujuan Penelitian

1. Memodifikasi dan mengkarakterisasi komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit

2. Mengevaluasi hasil penyaringan dengan Peraturan Mentri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Kriteria Mutu Air

3. Mengetahui efektifitas komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit sebagai bahan penyaring dalam pengolahan air bersih DAS Belawan

1.5 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah dalam pembuatan dan penggunaan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit 2. Sebagai informasi tambahan tentang karakter fisik dan kimia komposit busa


(25)

3. Memberikan sebuah teknologi/ metode yang sederhana dan relatif murah dalam pengolahan air menggunakan saringan komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium, dimana pada penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu :

1. Preparasi mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit 2. Karakterisasi mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit

Pada tahapan ini, mikrobentonit dikarakterisasi dengan difraksi sinar-X dan uji kualitas arang aktif berdasarkan SNI 06-3730-1995 yang meliputi uji kadar air, kadar abu dan daya serap terhadap iodium

3. Pembuatan komposit

Pada tahapan ini, komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit dibuat dengan metode one shot process yang

melewati beberapa tahap pencampuran. Polipropilen glikol (PPG), mikrobentonit/ arang aktif cangkang kelapa sawit, air, silicone surfactan, dimethylethanolamine (DMEA) dan methylene chloride (MC) dicampur dan

diaduk selama 15 detik. Kedalam campuran ditambahkan toluen diisosianat (TDI) dan cosmonate, kemudian diaduk selama 5 detik. Hasil reaksi

kemudian dituang kedalam cetakan dan dibiarkan untuk mengalami proses

curing selama 2 hari.

4. Karakterisasi komposit

Karakterisasi meliputi analisis gugus fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), permukaan dan pori-pori dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan sifat termal dengan Thermogravimetric Analisis (TGA)


(26)

Penyaringan dilakukan dengan metode kolom yaitu dengan mengalirkan sampel air melalui kolom (d: 5 cm, p: 100 cm) yang telah dilengkapi dengan komposit. Parameter air yang analisis yaitu pH, total padatan terlarut (TSS), total padatan tersuspensi (TDS) dan kekeruhan

Variabel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

- Variabel Bebas : Variasi berat mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit yang gunakan yaitu 25; 50; 75; 100 (% wt, terhadap

berat PPG)

- Variabel Tetap : Mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit berukuran 100 mesh, berat polipropilen glikol (PPG) 10 g,

dimethylethanolamine (DMEA) 0,2 pphp, silicon surfactan

2,04 pphp, air 2,67 pphp, methylene chloride 3 pphp, toluen

diisosianat (TDI) 5 g dan cosmonate 5 g

- Variabel Terikat : -Difraksi Sinar-X

- Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) - Scanning Electron Microscopy (SEM)

- Thermogravimetric Analisis (TGA) - pH meter

- TDS meter - Turbidimeter

1.7. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Polimer dan Laboratorium Terpadu Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan


(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Busa Poliuretan

Poliuretan merupakan bahan polimer yang mempunyai ciri khas adanya gugus fungsi uretan (-NHCOO-) dalam rantai utama polimer. Gugus fungsi uretan dihasilkan dari reaksi antara isosianat dengan senyawa yang mengandung gugus hidroksil (Ashida, 2007). Secara sederhana, reaksi pembentukan poliuretan dapat dituliskan sebagai berikut:

H O R O H + C

O

N R' N C

O

poliol diisosianat

C

O

N R' N C

O

H H

O R

O n

poliuretan (2.1)

Secara prinsip, poliuretan dapat dibuat dengan cara mereaksikan dua bahan kimia reaktif yaitu poliol dengan diisosianat, dan biasanya ditambahkan sejumlah aditif untuk mengontrol proses reaksi dan memodifikasi produk akhir (Woods, 1987). Jenis isosianat, poliol ataupun pemanjang rantai yang digunakan dalam sintesis poliuretan akan mempengaruhi kecepatan reaksi dan sifat dari produk akhir yang dihasilkan. Poliol memberikan fleksibilitas yang tinggi pada struktur poliuretan sehingga poliol disebut sebagai segmen lunak dari poliuretan. Disisi lain, isosianat dan pemanjang rantai memberikan kekakuan atau rigiditas dalam struktur poliuretan sehingga sering disebut sebagai segmen keras.


(28)

Selain itu, sifat poliuretan (fleksibibilitas, densitas, struktur selular, hidrofilitas dan karakteristik proses) sangat ditentukan oleh struktur molekul. Secara umum, struktur dan sifat poliuretan dipengaruhi oleh:

- Berat molekul; bertambahnya berat moleku, sifat-sifat seperti kuat tarik, titik

leleh, elongasi, elastisitas dan temperatur transisi gelas akan meningkat hingga titik tertentu.

- Gaya antar molekul; termasuk dalam hal ini adalah ikatan hidrogen, momen

dipole dan ikatan Van Der Walls.

- Kekakuan rantai; adanya struktur aromatik dalam struktur poliuretan akan

meningkatkan titik leleh, kekerasan dan menurunkan elastisitas.

- Kristalinitas; linearitas dalam rantai polimer akan meningkatkan kristalinitas

yang selanjutnya akan menurunkan solubilitas, elastisitas, elongasi dan fleskibilitas namun serta meningkatkan kuat tarik, titik leleh dan kekerasan.

- Ikat silang; semakin tinggi tingkat ikat silang, maka poliuretan akan semakin

kaku (rigid) yang selanjutnya akan meningkatkan modulus elastisitasnya serta

mengurangi elongasi dan swelling terhadap pelarut.

Poliuretan berkembang menjadi suatu material khas yang mempunyai tetapan yang amat luas, tidak hanya digunakan sebagai fiber (serat), tetapi dapat juga digunakan untuk membuat busa (foam), bahan elastomer (karet/ plastik), lem, pelapis

(coating) dan lain-lain (Nicholson, 1997).

Busa poliuretan adalah jenis yang paling banyak aplikasinya di antara semua produk uretan. Busa didefinisikan sebagai substansi yang dibentuk dengan menjebak gelembung gas di dalam cairan atau padatan. Busa poliuretan (sering disebut sebagai uretan busa) dibuat dengan mereaksikan poliisosianat dan poliol dengan adanya bahan peniup (blowing agent), surfaktan dan katalis tanpa pemanasan eksternal dari


(29)

reaksi yang bersamaan yaitu pembentukan poliuretan

Terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk membentuk poliuretan yaitu metode one shot dan metode two shot. Metode one shot yaitu semua bahan baku

untuk menghasilkan polimer dicampur bersama-sama sebelum dituang kedalam cetakan. Sedangkan, untuk metode two shot, isosianat ditambahkan kedalam

campuran pada tahap kedua (Lim dkk, 2008). Sistem one shot umumnya digunakan

dalam pembentukan busa poliuretan, sedangkan untuk metode two shot bisanya

diaplikasikan pada produksi elastomer.

dan pembentukan gas dengan adanya katalis dan surfaktan (Landrock, 1995).

Pada pembentukan busa poliuretan terdapat dua reaksi utama, yaitu reaksi gel

dan blow. Reaksi gel terjadi antara isosianat dan gugus hidroksil untuk menghasilkan

ikatan uretan dan polimer gel (persamaan reaksi 2.2). Reaksi blow terjadi dalam dua

langkah, dimana pada reaksi ini menghabiskan satu molekul air dan dua gugus isosianat. Pertama, air bereaksi dengan isosianat menghasilkan asam karbamat (persamaan reaksi 2.3) yang tidak stabil sehingga cepat terdekomposisi menjadi amina dan melepaskan karbon dioksida (persamaan rekasi 2.4). Karbon dioksida adalah gas peniup yang mengisi sel. Kedua, amina bereaksi dengan isosianat yang belum terkonversi untuk membentuk ikatan urea

N C

R1

O + OH

R2 N

H

R1 C

O O

R2

Isosianat Alkohol Uretan

(persamaan reaksi 2.5).

(2.2) N C R1 O Isosianat O H H N H

R1 C

O O

H

Air Asam karbamat

+

(2.3)


(30)

N H

R1 C

O O H Asam karbamat N H

R1 H

+ O C O

Amin CO2 (2.4)

N C R1 O Isosianat + N H

R1 H

Amin

N H

R1 C

N O

R1

H

Urea (2.5)

Busa poliuretan diklasifikasikan ke dalam 3 tipe yaitu busa fleksibel, busa kaku (rigid) dan busa semi kaku (semi rigid). Perbedaan sifat fisik dari 3 tipe busa

poliuretan tersebut berdasarkan pada perbedaan berat molekul, fungsionalitas poliol dan fungsionalitas isosianat. Sedangkan berdasarkan struktur selnya, busa dibedakan menjadi dua yaitu sel terbuka (open cell) dan sel tertutup (closed cell). Busa dengan

struktur closed cell merupakan jenis busa kaku sedangkan busa dengan struktur opened cell adalah busa fleksibel (Cheremisinoff, 1989).

Busa dengan struktur sel terbuka memiliki pori-pori yang saling terhubung satu sama lain untuk membentuk jaringan interkoneksi. Selain itu, jenis busa ini memiliki kerapatan relatif lebih rendah dan penampilannya seperti spons. Busa

struktur sel tertutup tidak memiliki jaringan sel yang terhubung. Busa dengan struktur sel tertutup merupakan bahan busa padat. Biasanya jenis busa ini memiliki kuat tekan yang lebih tinggi karena strukturnya, memiliki stabilitas dimensi yang lebih tinggi, serapan air rendah dan memiliki kekuatan yang lebih tinggi jika dibandingkan busa sel

Busa-busa yang fleksibel dipakai sebagai isolator, termasuk laminat-laminat tekstil untuk pakaian musim dingin, panel pelindung pada mobil, kain pelapis tempat tidur, karpet dasar, spons sintetis dan berbagai pemakaian lainnya. Busa-busa kaku


(31)

paling umum dipakai dalam panel-panel konstruksi, untuk pengemasan barang-barang yang lunak, furnitur ringan dan perlengkapan flotasi kapal laut (Steven, 2001). 2.1.1 Isosianat

Isosianat merupakan gugus fungsi utama yang menjadi dasar dari industri poliuretan modern. Secara komersial, isosianat organik tersedia dalam bentuk alifatik, sikloalifatik, aromatik dan heterosiklik poliisosianat. Isosianat memiliki gugus fungsi (-N=C=O) yang memiliki reaktifitas tinggi terhadap nukleofil yang memiliki proton. Reaksi yang terjadi merupakan adisi nukleofilik melalui ikatan ganda karbon nitrogen.

Secara umum, isosianat aromatik lebih reaktif dibandingkan isosianat alifatik dan gugus diisosianat pada atom karbon primer dapat bereaksi lebih cepat dibandingkan gugus diisosianat pada ataom karbon sekunder maupun tersier. Adanya substituen penarik elektron pada cicin aromatik akan meningkatkan reaktifitas gugus isosianat, sedangkan donor elektron akan menurunkan reaktifitas karena pengaruh halogen sterik sebagai tambahan terhadap adanya efek induksi.

Poliisosianat aromatik telah digunakan untuk persiapan isosianat berbasis busa. Isosianat alifatik tidak digunakan karena poliisosianat alifatik bereaksi lambat dengan gugus hidroksi, sedangkan untuk reaksi busa membutuhkan reaktivitas tinggi. Poliisosianat utama yang digunakan adalah toluen diisosianat (TDI) dan metilen difenildiisosianat (MDI).

CH3

NCO

NCO

CH3

OCN NCO

isomer-2,4 isomer-2,6


(32)

OCN CH2 NCO

isomer-4,4

OCN CH2

OCN

isomer-2,4

CH2

OCN

isomer-2,2

NCO

polimer MDI (oligomer MDI)

NCO

CH*2

NCO NCO

CH2

n n:0-3

b)

Gambar 2.1 Struktur isomer a) toluen diisosianat dan b) metilen difenildiisosianat TDI memiliki senyawa dasar toluena, terdiri dari dua jenis isomer 2,4 (80%) dan isomer 2,6 (20%) yang merupakan isosianat biasa untuk pembuatan busa poliuretan. Jenis kedua adalah TDI dengan campuran 65% isomer 2,4 dan 35% isomer 2,6. TDI ini memiliki reaktifitas berbeda yang mana kedudukan 4-isosianat adalah lebih reaktif dari pada 2 atau 6 isosianat atau dapat dinyatakan gugus NCO pada kedudukan 4 adalah sepuluh kali lebih reaktif dari letak 2 atau 6 pada temperature kamar (Frisch, 1974). Pada penelitian ini jenis isosianat yang digunakan dalam pembuatan busa poliuretan yaitu produk komersial toluene diisosianat (TDI) campuran antara 80% isomer 2,4-TDI dan 20% isomer 2,6-TDI.

2.1.2 Poliol

Salah satu komponen penting dalam pembuatan poliuretan adalah poliol. Poliol dapat bereaksi dengan isosianat untuk membentuk poliuretan. Poliol yang memiliki dua gugus hidroksi disebut diol dan yang memiliki tiga gugus hidroksi disebut triol dan seterusnya. Poliol yang digunakan untuk produksi busa poliuretan adalah oligomer. Oligomer merupakan polimer berat molekul rendah yang memiliki setidaknya dua


(33)

gugus hidroksil

1. Polieter poliol

yang dapat bereaksi dengan gugus isosianat. Terdapat banyak sekali jenis poliol, tetapi secara keseluruhan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori yaitu:

Polieter poliol diproduksi oleh polimerisasi anionik alkilena oksida, (misalnya: propilena oksida, etilen oksida) dengan adanya inisiator dan katalis. Polieter poliol adalah senyawa utama yang digunakan dalam busa kaku dan busa fleksibel. Polieter poliol diproduksi oleh polimerisasi anionik alkilena oksida (misalnya: propilena oksida, etilen oksida) dengan adanya inisiator dan katalis. Polieter poliol untuk busa poliuretan kaku diproduksi menggunakan inisiator fungsionalitas tinggi seperti gliserol, sorbitol 2. Poliester poliol

dan sukrosa.

Poliester poliol untuk busa poliuretan dapat diproduksi oleh reaksi di-basic acids (misalnya: asam adipat dan asam ftalat) dengan glikol (misalnya: etilena

glikol dan propilen glikol) ataupun dibuat dengan pembukaan cincin polimerisasi lakton. Contoh dari jenis poliol ini adalah poli(1,6-heksanadiol) karbonat. Bahan-bahan ini digunakan dalam pembuatan poliuretan yang fleksibel. Namun, untuk busa poliuretan kaku, poliol poliester aromatik adalah tipe poliol yang paling sering digunakan

(Eaves, 2004)

karena dapat meningkatkan ketahanan busa terhadap api dan asap yang dihasilkan sedikit.

Saat ini pembuatan poliol yang digunakan untuk membuat poliuretan telah dikembangkan agar mempunyai tingkat reaktifitas yang lebih tinggi dengan isosianat untuk memproduksi poliuretan dengan sifat khusus. Selain itu, penggunaan poliol triol dalam pembuatan poliuretan yaitu polipropilen glikol (PPG), gliserol dan lainnya mulai digalakkan. Penggunaan poliol triol ini mulai dikembangkan karena, apabila monomer yang digunakan untuk polimerisasi mempunyai lebih dari dua gugus fungsi


(34)

(Gambar 2.2) akan membentuk ikatan silang (crosslinking) dalam jaringan

polimernya sehingga akan dihasilkan poliuretan dengan sifat khusus. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan sintesis busa poliuretan menggunakan polipropilen glikol (PPG) sebagai sumber poliolnya.

HO CH2CH O

CH3

n H

Gambar 2.2 Struktur molekul polipropilen glikol (PPG)

2.1.3 Bahan peniup

Bahan atau zat yang menghasilkan struktur sel dalam massa polimer didefinisikan sebagai bahan peniup (blowing agent). Bahan peniup meliputi gas yang mengembang

saat tekanan dilepaskan, cairan yang mengembangkan sel-sel ketika berubah menjadi gas dan bahan kimia yang terurai atau bereaksi di bawah pengaruh panas/ katalis untuk membentuk gas (Eaves, 2004).

Bahan peniup memainkan peran yang sangat penting baik dalam pembuatan maupun kinerja busa polimer. Bahan peniup merupakan faktor yang paling dominan dalam pengendali kepadatan busa. Selain kepadatan, bahan peniup juga mempengaruhi mikrostruktur dan morfologi sel busa

1. Bahan peniup fisika

yang nantinya menjadi penentu penggunaan akhir busa. Bahan peniup dalam pembuatan busa poliuretan dibagi menjadi dua, yaitu:

Contohnya: gas-gas (udara, nitrogen atau karbondioksida) yang oleh tekanan larut dalam polimernya

2. Bahan peniup kimia yang terurai oleh pemanasan untuk melepaskan gas. Contohnya: cairan bertitik didih rendah seperti klorofluorokarbon (CFC), metilen klorida (MC) dan aseton(Steven, 2001)


(35)

2.1.4 Katalis

Pembuatan poliuretan biasanya dipercepat oleh adanya katalis berupa senyawa basa (amina), garam logam atau senyawa organo logam. Senyawa amina fungsinya untuk mempercepat reaksi isosianat-air dan reaksi isosianat-poliol. Sedangkan kompleks organo logam sebagai katalis yang kuat untuk reaksi isosianat-poliol (Eaves, 2004). Katalis diperlukan terutama pada pembuatan busa pada temperatur kamar, khususnya bila digunakan senyawa dengan gugus hidroksi sekunder (seperti polipropilen glikol). Contoh katalis busa antara lain Stannous 2-ethylhexanoate, Di-butil tin di-laurat, pentamethyldiethylene triamin, dimethylcyclohexylamine, tris-dimethylaminopropyl hexahydrotriazine, kalium oktoat, kalium asetat dan lainnya.

2.1.5 Surfaktan

Surfaktan adalah senyawa yang molekul - molekulnya mempunyai dua ujung yang berbeda interaksinya dan merupakan bahan baku utama untuk pembuatan busa poliuretan. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan antara cair - cair atau cair - padat. Selain itu, surfaktan berfungsi untuk mencampur komponen - komponen yang tidak saling larut, stabilisasi ekspansi busa saat mengembang, pengontrolan ukuran sel dan menghasilkan tipe struktur sel yang diinginkan seperti sel terbuka atau sel tertutup (Landrock, 1995).

Surfaktan yang dapat digunakan merupakan surfaktan berbasis surfaktan silikon. Surfaktan silikon muncul sebagai produk komersial pada sekitar tahun 1958. Penggunaan surfaktan silikon dan katalis amina tersier maupun katalis timah dimungkinkan untuk menghasilkan busa fleksibel berbasis polieter dengan metode

one shot.


(36)

Pemanjang rantai (chain extender) pada busa poliuretan digunakan untuk

meningkatkan panjang segmen keras (hard segment) agar diperoleh pemisahan

mikrofase yang lebih sempurna. Tanpa penambahan pemanjang rantai, poliuretan yang dihasilkan biasanya memiliki properti mekanis yang kurang baik dan menunjukkan adanya pemisahan mikrofase yang tidak sempurna (Wang, 1998). Pemanjang rantai dapat dikategorikan menjadi dua kelas, yaitu diol dan diamine. Secara umum, pemanjang rantai yang berupa diol atau diamine alifatik akan menghasilkan material yang lebih lembut daripada pemanjang rantai aromatik.

2.2Karakterisasi

Karakterisasi poliemer merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu industri polimer guna menentukan aplikasi dari polimer. Aplikasi polimer ini ditentukan oleh sifat yang dimiliki oleh bahan polimer tersebut. Untuk mengetahui sifat-sifat polimer yang telah disintesis maka dilakukan karakterisasi terhadap sifat fisik dan kimia antara lain morfologi, struktur molekul dan sifat termal. Pada penelitian ini digunakan beberapa metode karakterisasi antara lain: Identifikasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD), analisis struktur molekul dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR),

analisa permukaan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dan analisis sifat

termal menggunakan Thermogravimetric Analysis (TGA)

2.2.1Difraksi sinar-X

Sinar-X merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yaitu 1 Å (10-10 m). Spektrum sinar-X terletak antara sinar-γ dengan sinar ultraviolet. Sinar-X ditemukan pada tahun 1895 dan digunakan untuk mempelajari struktur kristal hingga tingkat atomik. Difraksi sinar-X adalah metode analisis yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan radiasi sinar elektromagnetik sinar-X (Dann, 2000). Difraksi sinar-X merupakan metode analisis utama dalam identifikasi zat atau material padatan. Hampir setiap Kristal memiliki jarak antar atom atau jarak bidang


(37)

Metode serbuk difraksi sinar-X (XRD) merupakan salah satu teknik primer yang digunakan ahli mineral dan ahli kimia zat padat untuk mempelajari sifat fisika dan kimia material yang belum dikenal. Teknik ini dilakukan dengan menempatkan sampel materi yang ingin dipelajari pada wadah sampel. Radiasi sinar-X pada panjang gelombang tertentu ditembakkan pada sampel. Intensitas radiasi hasil difraksi dicatat oleh goniometer. Hasil analisis ditunjukkan dalam bentuk 2θ yang dapat dikonversikan ke satuan jarak d. Analisis difraktogram dilakukan untuk menentukan interatom spacing (d) melalui pencocokan dengan database. Perubahan

pada lebar puncak atau posisi puncak menentukan ukuran, kemurnian serta tekstur kristal.

Sinar-X berinteraksi dengan elektron-elektron pada materi. Tembakan pada suatu materi anorganik akan dihamburkan ke berbagai arah. Sebagai sumber sinar-X pada beberapa analisis difraksi berasal dari Cu. Penembakan elektron berenergi tinggi mengakibatkan elektron pada orbital 1s akan terionisasi, kekosongan ini mengakibatkan elektron pada orbital 2p dan 3p jatuh mengisi kekosongan tersebut dan membebaskan sejumlah energi dalam bentuk radiasi sinar-X. Transisi elektron dari orbital 2p ke 1s disebut radiasi Kα dengan panjang gelombang 1,5418 Å. Sedangkan transisi elektron orbital 3p ke 1s disebut Kβ dengan panjang gelombang 1,3922 Å. Radiasi Kα lebih umum dipakai dari pada Kβ.

Pada difraksi sinar-X, cahaya yang dihamburkan jatuh pada bidang paralel

dari suatu sampel terlihat pada Gambar 2.3. Agar terjadi interferensi konstruktif antara sinar yang terhambur dan beda jarak lintasannya harus memenuhi pola nλ .


(38)

Gambar 2.3 Difraksi sinar-Xpada kristal

Hukum Bragg merupakan perumusan matematik tentang persyaratan yang harus dipenuhi agar berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut merupakan berkas difraksi. Hukum Bragg mengemukakan hubungan antara panjang gelombang dan sinar-X pada dua bidang yang paralel sebagai berikut:

2d sin θ = nλ (2.6)

Keterangan: n =suatu bilangan bulat

θ = sudut difraksi

λ = panjang gelombang sinar-X

d = jarak kisi pada kristal dalam bidang

(Masrukan, 2008)

Identifikasi senyawa dapat dilakukan secara cepat dengan membandingkan atom intensitas spektrum sampel dengan intensitas standar, karena intensitas spektrum suatu senyawa sangat spesifik dan berbeda untuk setiap senyawa. Setiap jenis mineal memiliki susunan atom yang spesifik sehingga menghasilkan bidang atom karakteristik yang dapat memantulkan sinar-X. Sinar-X dapat dipantulkan oleh atom-atom yang tersusun dalam bidang kristal dan menghasilkan pola-pola khas dari setiap jenis mineral sewaktu dianalisis. Montmorilonit dicirikan oleh puncak difraksi


(39)

sinar-X tingkat pertama sebesar 12,3 Å yang bergeser ke 17,7 Å setelah contoh mengalami solvasi (Tan, 1998).

2.2.2 Fourier Transform Infrared Spectroscopy

Spektroskopi inframerah pada umumnya digunakan untuk melakukan penentuan jenis gugus fungsi suatu senyawa organik dan mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan pada daerah sidik jarinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula.

Ketika sinar inframerah dilewatkan melalui suatu sampel polimer, maka sejumlah frekuensi diabsorbsi sementara yang lain akan diteruskan (ditransmisikan). Jika persena absorbansi atau persen transmitan digambarkan terhadap frekuensi maka akan dihasilkan suatu spektrum inframerah. Transisi yang terlibat dalam absorbansi sinar inframerah berkaitan dengan perubahan-perubahan vibrasi dalam molekul. Ada dua jenis vibrasi molekul yang umum yaitu: vibrasi ulur (ritme gerakan sepanjang sumbu ikatan sebagai interaksi pertambahan atau pengurangan jarak antar atom) dan vibrasi tekuk (perubahan sudut ikatan antara ikatan-ikatan dengan suatu atom).

Penggunaan spektroskopi inframerah dalam karakterisasi polimer menggunakan daerah 4.000 cm-1 - 666 cm-1 (2,5 - 15 μm). Daerah dengan frekuensi 700 cm-1 - 200 cm-1 (14,3 - 50 μm) disebut inframerah jauh dan daerah dengan frekuensi 14.290 cm-1 - 4.000 cm-1

Sistem analisa spektroskopi infra merah (IR) telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisa infra merah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas

(0,7 - 2,5 μm) disebut inframerah dekat. Daerah serapan inframerah beberapa gugus fungsi ditunjukkan dalam Tabel 2.1.


(40)

ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya (Hummel, 1985).

Hadirnya sebuah puncak serapan dalam daerah gugus fungsi dalam spektrum inframerah merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam senyawa cuplikan. Demikian pula tidak adanya puncak dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum inframerah berarti bahwa gugus fungsi yang menyerap pada daerah tersebut tidak ada (Pine, 1988).

Tabel 2.1 Daerah serapan inframerah

No Gugus fungsi Daerah frekuensi (cm-1) Vibrasi

1 Karbonil (C = O) 1.870 – 1.650 ulur

2 Alkohol

O – H C – OH C – OH C – OH

3.640 – 3.250 ulur

1.160 – 1.030 ulur

1.440 – 1.260 in-plane bend

700 – 600 wag

3 Alkana

CH CH 2 2

1.470 – 2.450 wag

740 – 720 rock

4 Amina

N – H C – N

3.460 – 3.280 ulur

1.190 – 1.130 ulur

5 Ester

C – O – C 1.290-1.180 asimetri ulur

6 Aromatik


(41)

C – C 1.400, 1.500, 1.600 ulur pada cincin

2.2.3 Scanning Electron Microscopy

Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan sebuah tipe mikroskop elektron

yang menggambarkan permukaan sampel melalui proses scan dengan menggunakan

pancaran energi yang tinggi dari elektron. Elektron berinteraksi dengan atom-atom yang membentuk sampel dan menghasilkan sinar yang mengandung informasi tentang komposisi topografi permukaan sampel dan sifat lain seperti konduktivitas listrik.

Scanning Electron Microscope telah menjadi alat yang berharga dalam

perkembangan teori ilmiah dan memberikan andil besar di bidang biologi, obat-obatan dan ilmu material. Penggunaan SEM sebagai salah satu mikroskop elektron didasarkan pada fakta bahwa mereka dapat digunakan untuk mengamati dan mengkarakterisasi bahan dengan skala mikrometer (μm) hingga nanometer (nm) (Voutou dan Stefanaki, 2008).

Dalam SEM, lensa yang digunakan adalah suatu lensa elektromagnetik, yakni medan magnet dan medan listrik yang dibuat sedemikian rupa sehingga elektron yang melewatinya dibelokkan seperti cahaya oleh lensa eletromagnetik tersebut. Sebagai pengganti sumber cahaya dipergunakan suatu pemicu elektron (electron gun), yang

berfungsi sebagai sumber elektron yang dapat menembaki elektron yang berenergi tinggi, biasanya antara 20 KeV-200KeV dan terkadang sampai 1 MeV (Yulizar, 2005).

2.2.4 Thermogravimetry Analysis

Termogravimetri analisis merupakan teknik analisa yang digunakan untuk menentukan stabilitas termal dari suatu material dengan memantau perubahan berat yang terjadi pada material yang dipanaskan. Berat sampel secara terus-menerus dipantau saat peningkatan temperatur, baik pada tingkat yang konstan atau melalui


(42)

serangkaian langkah-langkah. Komponen polimer atau formulasi elastomer menguap atau terurai pada temperatur yang berbeda. Hal ini menyebabkan serangkaian langkah penurunan berat komponen dapat diukur secara kuantitatif

Termogravimetri analisis merupakan salah satu teknik analisa termal yang telah banyak digunakan untuk karakterisasi berbagai bahan. TGA mengukur jumlah dan laju (kecepatan) perubahan massa dari sampel sebagai fungsi temperatur atau waktu yang terkontrol. Dalam bidang polimer, tekni TGA terutama dipakai untuk mengevaluasi kestabilan termal suatu polimer, studi kinetika reaksi dekomposisi polimer serta identifikasi polimer. Jika polimer dipanaskan dalam atmosfir inert, maka dapat terjadi dua jenis reaksi yaitu polimerisasi atau depolimerisasi dengan kalor yang menyertainya. Selain itu, teknik ini sangat berguna untuk memperlajari material termoplastik, termoset, elastomer, komposit, film, serat, pelapis dan cat. Pengukuran TGA memberikan informasi berharga yang dapat digunakan untuk memilih material untuk penggunaan aplikasi akhir, memprediksi kinerja produk dan meningkatkan kualitas produk (Sichina, 2010).

.

2.3 Sungai Belawan

Sungai Belawan yang mempunyai luas catchment area dihitung dari garis pantai/

muara sebesar 647 km2, merupakan sungai di wilayah Kabupatan Deli Serdang yang mempunyai luas terbesar setelah Sungai Padang sebesar 684 km2. Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Belawan berada pada daerah Kampung Lalang dengan satu staff gauge seluas 353,20 km2

Hulu Sungai Belawan berada di daerah Kecamatan Pancur Batu, melintasi Kecamatan Sunggal, Kecamatan Hamparan Perak dan Kecamatan Labuhan Deli sebelum akhirnya bermuara di Selat Malaka sepanjang 53 km, dengan lebar sungai rata-rata 10-15 meter. Disepanjang aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal terdapat berbagai macam aktivitas manusia, seperti

(Dokumen UKL/UPL, 2002. PDAM Tirtanadi IPA Sunggal).


(43)

dan kegiatan industri. Dengan adanya berbagai aktivitas tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas perairan, diantaranya perubahan faktor fisik maupun kimia perairan (Siregar, 2009).

Dewasa ini masalah utama sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik terus menurun khususnya untuk air minum. Salah satu kondisi geologis yang mempengaruhi kualitas secara kimia adalah unsur besi dan mangan yang berlebihan dalam lapisan tanah tempat sumber air berada.

Pemantauan air Sungai Belawan sebelum Instalasi Pengolahan Air (IPA) pada tahun 2005 bila dibandingkan dengan Baku Mutu Air peruntukan kelas I termasuk Kelas D (buruk/ tercemar berat). Parameter yang melampaui baku mutu air adalah Ammonia, Mn, BOD, COD, total E. coli. Selanjutnya pada tahun 2006, termasuk

Kelas B (baik/ pencemaran ringan) dengan parameter yang melampaui baku mutu air yaitu BOD dan COD. Pada tahun 2007, kualitas air Sungai menurun dan tergolong Kelas C (sedang) dengan parameter yang melampaui baku mutu air yaitu amonia, BOD dan COD (Harahap, 2005).

2.4 Kualitas Air

Air merupakan kebutuhan dasar bagi semua makhluk hidup. Air selalu digunakan oleh masyarakat dalam berbagai aktivitas seperti dalam rumah tangga, pertanian, industri, peternakan dan sebagainya. Kualitas air yang digunakan sangat penting untuk diketahui dalam mengurangi resiko-resiko buruk yang akan terjadi. Oleh karena itu, kualitas air sangat diperhatikan dan memenuhi syarat-syarat yang terutama baik bagi kesehatan.

Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menguji kualitas air sehingga dapat digunakan dan menjadi air yang murni, yaitu :


(44)

Air yang berkualitas harus memenuhi persyaratan fisik seperti kondisi air yang jernih atau tidak keruh, warna dari air tersebut, rasa yang ditimbulkan oleh air itu, tidak berbau, temperatur air yang normalnya sekitar (20-26o

- Parameter Kimia

C) dan tidak mengandung zat padatan

pH air selalu netral (pH=7), tidak mengandung bahan kimia beracun, kesadahan airnya rendah, tidak mengandung bahan organik dan tidak mengandung garam atau ion-ion garam.

- Parameter Bakteriologi

Tidak mengandung bakteri-bakteri patogen dan non patogen yang dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak enak, lendir dan kerak pada pipa.

2.4.1 pH

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan air yang memiliki pH lebih besar dari pH normal akan bersifat basa. Nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia dan biokimia tidak stabil.

Kondisi perairan yang sangat asam ataupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi. Kondisi pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik. Sedangkan kondisi pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme.


(45)

2.4.2 Total padatan terlarut

Total padatan terlarut atau Total Dissolved Solid (TDS) adalah padatan-padatan yang

mempunyai ukuran lebih kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan terlarut terdiri dari senyawa organik dan anorganik yang larut dalam air. Senyawa-senyawa ini umumnya berupa ion positif atau ion negatif. Selain itu, gas-gas yang terlarut misalnya oksigen, karbondioksida, hidrogen sulfida dan lain-lain.

Total zat padat terlarutmenyatakan jumlah total perpindahan pertukaran ion (mobile charged ions), termasuk mineral-mineral, garam-garam atau logam-logam

yang terlarut dalam sejumlah tertentu suatu larutan dinyatakan dalam satuan mg/L atau ppm. TDS bergantung pada kemurnian suatu larutan (sampel air). Secara umum, nilai TDS merupakan jumlah kation dan anion dalam air. Kadar TDS yang cukup tinggi biasanya menggambarkan adanya kandungan ion K+, Na+ dan Cl-, dimana ion-ion ini hanya akan menimbulkan sedikit bahaya dalam waktu singkat. Akan tetapi, mungkin saja dalam sampel air tersebut terdapat pula beberapa logam berat seperti Pb2+ dan Cd2+ yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.

2.4.3 Total padatan tersuspensi

Total padatan tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS) adalah bahan-bahan

tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter

pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air. Kekeruhan air yang meningkat juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme.

Menurut Priyono (1994), bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir, lumpur, tanah dan bahan kimia inorganik menjadi bentuk bahan tersuspensi di dalam air sehingga bahan tersebut menjadi penyebab polusi tertinggi di dalam air. Kebanyakan sungai dan daerah aliran sungai selalu membawa endapan lumpur yang


(46)

disebabkan erosi alamiah dari pinggir sungai. Akan tetapi, kandungan sedimen yang terlarut pada hampir semua sungai meningkat terus karena erosi dari tanah pertanian, kehutanan, konstruksi dan pertambangan. Partikel yang tersuspensi menyebabkan kekeruhan dalam air, sehingga mengurangi kemampuan ikan dan organisme air lainnya memperoleh makanan dan mengurangi tanaman air melakukan fotosintesis.

Selain itu, air buangan industri mengandung jumlah padatan teruspensi dalam jumlah yang bervariasi tergantung dari jenis industrinya. Air buangan dari industri-industri makanan, terutama industri-industri farmasi dan industri-industri tekstil sering mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi.

2.4.4 Kekeruhan

Kekeruhan (turbiditas) merupakan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabakan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya, lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme. Kekeruhan pada air merupakan satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penyediaan air bagi umum, mengingat bahwa kekeruhan tersebut akan mengurangi segi estetika, menyulitkan dalam usaha penyaringan dan akan mengurangi efektivitas usaha desinfeksi (Sutrisno, 1991).

Kekeruhan dinyatakan dalam satuan unit turbiditas, setara dengan 1 mg/liter SiO2. Peralatan yang pertama kali digunakan untuk mengukur turbiditas atau kekeruhan adalah Jackson Candler Turbidimeter, yang dikalibrasi dengan menggunakan silika. Kemudian Jackson Candler Turbidimeter dijadikan sebagai alat baku atau standar bagi pengukuran kekeruhan.

2.5 Adsorben


(47)

tersebut. Adsorben yang digunakan dalam proses pemurnian terdiri dari tipe polar (hidrofilik) dan non polar (hidrofobik). Adsorben polar antara lain silika gel, alumina yang diaktivasi dan beberapa jenis tanah liat (clay). Adsorben tipe ini umumnya

digunakan jika zat warna yang akan dihilangkan lebih polar dari cairannya. Adsorben non polar antara lain arang (karbon dan batubara) dan arang aktif, yang biasa digunakan untuk menghilangkan zat warna yang kurang polar.

2.5.1 Bentonit

Bentonit merupakan istilah perdagangan untuk lempung mineral yang mengandung montmorillonit sebagai komponen utamanya. Bentonit berwarna dasar putih dengan sedikit kecoklatan atau kemerahan atau atau kehijauan tergantung dari jenis dan jumlah fragmen mineral-mineralnya. Bentonit bersifat sangat lunak, ringan, mudah pecah, dan terasa seperti sabun. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) bentonit sekitar 70 meq/100 g, luas permukaan spesifik yaitu sekitar 700-800 m2

Struktur monmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua silikon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida tetrahedral. Pada tetrahedral, empat atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Sedangkan pada oktahedral atom alumunium berikatan dengan enam atom oksigen pada ujung struktur (Soedjoko, 1987).

/g dan oleh karena besarnya nilai ini maka montmorilonit memperlihatkan sifat plastis dan melekat kuat jika basah (Olpen, 1997).


(48)

Gambar 2.4 Struktur molekul mineral monmorillonit

Mineral-mineral bentonit umumnya berupa butiran sangat halus yang mempunyai struktur kristal berlapis dan berpori. Mineral tersebut mempunyai kemampuan mengembang (swellability) karena ruang antar lapis yang dimilikinya,

dan dapat mengakomodasi ion-ion atau molekul terhidrat dengan ukuran tertentu. Potensi mengembang-mengerut dan adanya muatan negatif yang tinggi merupakan penyebab mineral ini dapat menerima dan menyerap ion-ion logam dan kation-kation organik menghasilkan senyawa komplek berupa organo-mineral. Kation organik diyakini mampu menggantikan kation-kation anorganik pada posisi antar lapis (Tan, 1993).

Proses substitusi isomorfik dianggap sebagai sumber utama muatan negatif dalam mineral liat tipe 2:1. Sebagian dari silikon dalam lapisan tetrahedral dapat diganti oleh ion yang berukuran sama, yang biasanya adalah Al3+. Dengan cara yang sama, sebagian dari Al dalam lembar oktahedral dapat digantikan oleh Mg2+, tanpa mengganggu struktur kristal. Penggantian oleh satu ion bervalensi tiga (Al3+) untuk satu ion bervalensi empat (Si4+) merupakan sebab timbulnya satu muatan negatif pada lempeng silikat yang sebelumnya netral. Banyaknya penggantian menentukan jumlah muatan negatif (Soepardi, 1983). Ada 2 (dua) jenis bentonit yang banyak dijumpai,


(49)

1. Swelling bentonite (bentonit yang dapat mengembang) atau sering juga disebut

sebagai bentonit jenis Wyoming atau Na-bentonit. Bentonit jenis ini merupakan mineral montmorilonit yang mempunyai lapisan partikel air tunggal (single water layer particles) yang mengandung kation Na+ yang dapat dipertukarkan. Bentonit

ini mempunyai kemampuan mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan kedalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Dalam keadaan kering berwarna putih atau kuning gading, sedangkan dalam keadaan basah dan terkena sinar matahari akan berwarna mengkilat. Perbandingan antara kation Na+ dan kation Ca+ yang terdapat didalamnya sangat tinggi, suspensi koloidalnya mempunyai pH 8,5 sampai 9,8. Kandungan Na2

2. Non swelling bentonite (bentonit yang kurang dapat mengembang) atau sering juga

disebut Ca-bentonit. Bentonit jenis ini merupakan mineral montmorilonit yang kurang dapat mengembang apabila dicelupkan di dalam air, namun setelah diaktifkan dengan asam memiliki sifat sedikit menyerap air dan mengendap dengan cepat tanpa membentuk suspensi. Bentonit jenis ini memiliki pH sekitar 4,0-7,1, daya tukar ion yang juga cukup besar, mengandung kalsium dan magnesium yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan kandungan natriumnya. Karena sifat-sifat yang dimilikinya, maka bentonit jenis ini dapat digunakan sebagai bahan penyerap warna.

O dalam bentonit jenis ini, pada umumnya lebih besar dari 2%.

2.5.2 Arang aktif cangkang kelapa sawit

Cangkang kelapa sawit merupakan salah satu limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang cukup besar yaitu mencapai 30% dari produk minyak. Cangkang kelapa sawit termasuk juga limbah padat hasil pengolahan kelapa sawit. Limbah padat mempunyai ciri khas pada komposisinya. Komponen terbesar dalam limbah padat tersebut adalah selulosa, disamping komponen lain meskipun lebih kecil seperti abu, hemiselulosa dan lignin. Cangkang kelapa sawit mengandung kadar air 7,8%, kadar


(50)

abu 2,2%, zat mudah menguap 69,5% dan kadar karbon 20,5% (Hartanto dan Ratnawati, 2010).

Cangkang sawit memiliki banyak kegunaan serta manfaat bagi industri dan rumah tangga. Beberapa diantaranya adalah produk bernilai ekonomis tinggi yaitu arang aktif. Arang aktif adalah senyawa berbahan dasar karbon yang telah diolah sehingga memiliki porositas tinggi dan luas permukaan besar. Dua sifat ini menyebabkan arang aktif dapat digunakan sebagai adsorben yang efektif untuk berbagai senyawa organik pada pengolahan air limbah. Aktifasi merupakan suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan. Arang yang diaktifasi akan mengalami perubahan sifat fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar yang berpengaruh terhadap daya adsorpsi.

Sembiring dan Sinaga (2003) menyebutkan bahwa metode aktifasi yang umum digunakan dalam pembuatan arang aktif yaitu:

- Aktifasi kimia

Aktifasi kimia adalah proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakian bahan-bahan kimia. Metode ini dilakukan dengan cara merendam bahan baku pada bahan kimia (H3PO4, ZnCl2, CaCl2, K2S, HCl, H2SO4, NaCl, Na2CO3

- Aktifasi fisika

) dan diaduk dalam jangka waktu tertentu, kemudian dicuci dengan akuades selanjutnya dikeringkan. Proses ini bertujuan untuk membersihkan permukaan pori, membuang senyawa pengganggu dan menata kembali letak atom yang dapat dipertukarkan.

ktivasi fisika adalah proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas, uap dan CO2. Pemanasan ini bertujuan untuk menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori arang aktif sehingga luas permukaan karbon aktif bertambah besar. Pemanasan dengan uap atau CO2 pada


(51)

temperatur tinggi merupakan reaksi endoterm, sehingga lebih mudah dikontrol dan paling umum digunakan.

Luas permukaan arang aktif berkisar antara 300-3500 m2

Arang aktif dibagi atas 2 tipe, yaitu arang aktif sebagai pemucat dan sebagai penyerap uap. Arang aktif sebagai pemucat, biasanya berbentuk serbuk (powder)

yang sangat halus, diameter pori mencapai 1000Å, digunakan dalam fase cair, berfungsi untuk memindahkan zat-zat penganggu yang menyebabkan warna dan bau yang tidak diharapkan, membebaskan pelarut dari zat-zat penganggu dan kegunaan lain yaitu pada industri kimia

/gram dan ini berhubungan dengan struktur pori internal, struktur pori ini menjadikan celah-celah dalam arang aktif mampu dilewati oleh molekul pada saat adsorpsi. Arang aktif dapat mengadsorpsi gas, molekul netral, asam atau basa organik tetapi tidak mampu menyerap secara maksimal ion logam atau garam-garam yang terinonisasi dengan kuat. Daya serap arang aktif sangat besar yaitu 25-1000% terhadap berat arang aktif (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Arang aktif sebagai penyerap uap, biasanya berbentuk granular atau pellet yang sangat keras diameter pori berkisar antara 10-200 Å, tipe pori lebih halus, digunakan dalam fase gas, berfungsi untuk memperoleh kembali pelarut, katalis, pemisahan dan pemurnian gas. Arang aktif ini diperoleh dari tempurung kelapa, tulang, batu bata atau bahan baku yang mempunyai bahan baku yang mempunyai struktur keras.

Pengujian mutu arang aktif dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan arang aktif agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Syarat mutu arang aktif berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 06-3730 Tahun 1995 ditunukkan pada Tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2 Syarat mutu arang aktif berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 06-3730 Tahun 1995


(52)

Uraian Persyaratan Butiran Serbuk

Kadar zat terbang (%) Mask 15 Mask 25

Kadar air (%) Maks 4.5 Maks 15

Kadar abu (%) Maks 2.5 Maks 10

Daya jerap I2 (mg/g) Min 750 Min 750

Karbon aktif murni (%) Min 80 Min 65

Daya jerap terhadap benzena (%) Min 25 -

Daya jerap terhadap biru metilen (mg/g) Min 60 Min 120

Bobot jenis curah (g/ml) 0.45-0.55 0.3-0.35

Lolos mesh - Min 90

Kekerasan (%) min 80 -

2.6 Adsorpsi

Adsorpsi (penyerapan) adalah suatu proses pemisahan komponen dari suatu fase fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap. Dalam adsorpsi digunakan istilah adsorbat dan adsorban. Adsorbat adalah substansi yang terserap atau substansi yang akan dipisahkan dari pelarutnya, sedangkan adsorban merupakan suatu media penyerap yang dalam hal ini berupa senyawa karbon (Webar, 1972). Proses adsorpsi umumnya dilakukan dengan cara mengontakkan larutan/ gas dengan padatan, sehingga sebagaimana komponen larutan dan gas diserap pada permukaan padatan dan akibatnya akan mengubah komposisi larutan keluar.

Proses adsorpsi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika terjadi apabila molekul adsorbat ditahan secara fisika yaitu oleh gaya tarik Van Der Walls. Adsorpsi ini terjadi akibat adanya gaya tarik menarik antar molekul adsorben dengan adsorbat. Proses ini merupakan proses dapat balik. Bahan yang terserap tidak mengalami perubahan kimia dan tidak menembus kedalam kristal adsorben, tetapi hanya terserap pada permukaan adsorben. Adsorpsi


(53)

kimia terjadi akibat adanya pertukaran elektron pada permukaan. Adsorpsi ini terjadi akibat adanya interaksi kimia antara adsorben dengan bahan yang terserap dan merupakan reaksi searah.

Proses adsorpsi tergantung pada sifat zat padat yang mengadsorpsi, sifat atom/molekul yang diserap, konsentrasi, temperatur dan lain-lain. Pada proses adsorpsi terbagi menjadi beberapa tahap yaitu:

- Transfer molekul-molekul zat terlarut yang teradsorpsi menuju lapisan film yang

mengelilingi adsorben.

- Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film (film diffusion process). - Difusi zat terlarut yang teradsopsi melalui kapiler/pori dalam adsorben (pore

diffusion process).

- Adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori atau permukaan

adsorben.

Menurut Droste (1997) proses adsorpsi dipengaruhi oleh :

- Bahan penyerap

Bahan yang digunakan untuk menyerap mempunyai kemampuan berbeda-beda, tergantung dari bahan asal dan juga metode aktivasi yang digunakan.

- Ukuran butir

Semakin kecil ukuran butir, maka semakin besar permukaan sehingga dapat menyerap kontaminan semakin banyak. Secara umum kecepatan adsorpsi ditujukan oleh kecepatan difusi zat terlarut ke dalam pori-pori partikel adsorben.

- Derajat keasaman (pH larutan)

Pada pH rendah, ion H+ akan berkompetisi dengan kontaminan yang akan diserap, sehingga efisiensi penyerapan turun. Proses penyerapan akan berjalan baik bila pH larutan tinggi. Derajat keasaman mempengaruhi adsorpsi karena pH menentukan tingkat ionisasi larutan, pH yang baik berkisar antara 8-9. Senyawa asam organik dapat diadsorpsi pada pH rendah dan sebaliknya basa organik dapat diadsorpsi pada pH tinggi.


(54)

- Waktu serap

Waktu serap yang lama akan memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul zat terlarut yang terserap berlangsung dengan baik.

- Konsentrasi

Pada konsentrasi larutan rendah jumlah bahan diserap sedikit, sedangkan pada konsentrasi tinggi jumlah bahan yang diserap semakin banyak. Hal ini disebabkan karena kemungkinan frekuensi tumbukan antara partikel semakin besar.


(55)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Alat

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian disusun dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1 Alat – alat penelitian

Nama Alat Spesifikasi Merek

Gelas beaker 50 mL, 100 mL, 500 mL Pyrex

Labu ukur 100 mL, 250 mL, 500 mL Pyrex

Erlenmeyet 50 mL, 250 mL Pyrex

Pipet volum 5 mL, 10 mL, 25 mL Pyrex

Buret 50 mL Pyrex

Cawan porselin - -

Mortar dan alu porselin - -

Neraca analitis (presisi ± 0.0001 g) Mettler Toledo

Ayakan 100 mesh Tantalum 3N8 purity

Mixer 0 – 1200 rpm Miyako

Oven 30 – 200 oC Precision Scientific

X-Ray Difraktometer - Shimadzu 6000

Fourier Transform Infrared

Spectroscopy -

Perkin Elmer Version 10.03.10 Scanning Electron

Microscopy -

JEOL-JSM-6510LV

Thermogravimetric Analysis - SDT Q600

Turbidimeter -

pH meter

Hack 2100N

- Hanna Instruments

TDS meter -

Tanur listrik/Furnace

Hanna Instruments


(56)

3.2 Bahan

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian disusun dalam Tabel 3.2. Tabel 3.2 Bahan – bahan penelitian

Bahan Spesifikasi Merek

Bentonit - -

Cangkang kelapa sawit - -

HCl p.a E. Merck

Na2S2O3. 5H2O p.a E. Merck

KI p.a E. Merck

I2 p.a E. Merck

K2Cr2O7 p.a E. Merck

Polipropilena glikol p.a E. Merck

p.a

Toluena diisosianat E. Merck

p.a

Methylene chloride E. Merck

Dimethylethanolamine p.a E. Merck

Silicon surfactants p.a E. Merck

Cosmonate p.a E. Merck

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Preparasi mikrobentonit

Bentonit yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Kabupaten Bener Meriah, Aceh dengan ciri fisik berwarna putih kecoklatan. Bentonit disuspensi dalam air kemudian didiamkan selama 5 menit dan selanjutnya didekantasi. Cara ini diulang dengan variasi waktu pendiaman 10 menit dan 15 menit hingga dihasilkan bentonit yang bebas dari pengotor. Bentonit dikeringkan dalam oven pada temperatur 110oC selama 4 jam, kemudian dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh.


(57)

Mikrobentonit dipanaskan dalam oven selama 2 jam pada temperatur 110o

3.3.2 Karakterisasi mikrobentonit

C, kemudian disimpan dalam desikator.

Mikrobentonit dituang ke sampler holder, kemudian dipadatkan dan diratakan

permukaannya. Selanjutnya sampler holder dipasang kedalam goniometer yang telah

diset parameter pengukurannya yaitu menggunakan radiasi Cu Kα (λ = 1,5418Ǻ), tegangan anoda 40 kV, arus 30 mA, kecepatan pengukuran 2o/menit dan 2θ =10°-50°. 3.3.3 Pembuatan arang aktif

Cangkang kelapa sawit diambil dari pabrik pengolahan kelapa sawit PTPN V Sei. Garo, Provinsi Riau. Cangkang dijemur dibawah sinar matahari selama 3 (tiga) hari. Cangkang kering dimasukkan kedalam drum pembakaran (drum kiln), kemudian

dibakar sampai asap putih hilang. Arang hasil pembakaran dipisahkan dari abu atau sisa cangkang yang tidak terbakar, kemudian dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh. Aktivasi arang dilakukan dengan merendam 10 g arang dalam 100 mL larutan HCl 1 N selama 24 jam. Suspensi kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No. 42 dan endapan dicuci dengan akuades hingga diperoleh filtrat dengan pH netral. Endapan dikeringkan dalam oven selama 3 jam pada temperatur 110oC, kemudian dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh. Diulangi prosedur aktifasi arang untuk larutan HCl 2,5 N, 5 N, 7,5 N dan 10 N.

Tabel 3.3 Kode sampel arang aktif cangkang kelapa sawit No Kode sampel Keterangan

1 TA Arang tanpa aktivasi

2 AA-1 N Arang yang diaktifasi dengan HCl 1 N 3 AA-2,5 N Arang yang diaktifasi dengan HCl 2,5 N 4 AA-5 N Arang yang diaktifasi dengan HCl 5 N 5 AA-7,5 N Arang yang diaktifasi dengan HCl 7,5 N 6 AA-10 N Arang yang diaktifasi dengan HCl 10 N


(58)

3.3.4 Karakterisasi arang aktif 3.3.4.1 Kadar air

Penetapan kadar air arang aktif didasarkan pada metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 yaitu dengan menimbang arang aktif sebanyak 1 g kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sebelumnya telah ditimbang dan diketahui beratnya. Cawan beserta arang aktif dikeringkan dalam oven selama 3 jam pada temperatur 105°C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Kadar air arang aktif dihitung menggunakan persamaan 3.1 berikut:

Keterangan:

a = berat arang awal (g)

b = berat arang setelah dikeringkan (g)

3.3.4.2 Kadar abu

Penetapan kadar abu arang aktif didasarkan pada metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 yaitu dengan menimbang arang aktif sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Contoh dipijarkan dalam tungku listrik pada temperatur 600-800oC selama 4 jam atau sampai semua contoh menjadi abu, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu arang aktif dihitung menggunakan persamaan 3.2 berikut:

Keterangan:


(59)

3.3.4.3 Daya serap iodium

Penetapan daya serap iodium didasarkan pada metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 yaitu dengan menimbang arang aktif sebanyak 0,5 g, kemudian dipindahkan ke dalam tempat berwarna gelap dan tertutup. Sebanyak 50 mL larutan iodin 0,1 N dimasukkan kedalam wadah, kemudian dikocok selama 15 menit pada temperature kamar lalu disaring. Filtrat dipipet sebanyak 10 mL ke dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N. Jika warna kuning larutan hampir hilang (kuning pucat), tambahkan indikator amilum 1% sebagai indikator dan titrasi dilanjutkan hingga mendapatkan titik akhir (warna biru tepat hilang) titrasi. Daya serap arang aktif terhadap iodin dapat dihitung menggunakan persamaan 3.3 berikut:

Keterangan: V1

N

= volume larutan natrium tiosulfat (mL) 1

N

= normalitas larutan natrium tiosulfat (N) 2

w = berat arang (g)

= normalitas larutan iodin (N)

126,9 = jumlah iod yang sesuai dengan 1 mL Na2S2O3 0,1N

3.3.5 Pembuatan komposit

Komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang kelapa sawit dibuat dengan metode one shot process yang melewati beberapa tahap

pencampuran. Sebanyak 10 g polipropilen glikol (PPG), mikrobentonit 25% (% wt,


(1)

B5. Hasil penetapan daya serap arang aktif terhadap larutan iodium

Kode sampel A

Volume

N Na2S2O3 N I

Berat arang (g) 2

Daya serap (mg/g) Na2S2O Rata-rata

Na 3

2S2O3

TA 1 8,8

8,66 0,101 0,103 0,5009 190 2 8,7

3 8,5 AA-1 N 1 5,5

5,6 0,101 0,103 0,5028 569

2 5,7 3 5,6 AA-2,5 N 1 4,6

4,6 0,101 0,103 0,5017 694

2 4,7 3 4,5 AA-5 N 1 4,0

4,03 0,101 0,103 0,5025 763 2 4,0

3 4,1 AA-7,5 N 1 4,4

4,23 0,101 0,103 0,5003 742 2 4,1

3 4,2 AA-10 N 1 4,4

4,43 0,101 0,103 0,5022 714 2 4,5


(2)

Contoh perhitungan daya serap iodium Diketahui:

:

V1(Na2S2O3) = N

8,66 mL 1 (Na2S2O3 )

N

= 0,101 N 2 (I2)

Berat arang = 0,5009 g = 0,103 N

B6. Berat bahan pengisi (%, wt terhadap berat PPG)

Pengisi 10 g polipropilen glikol (PPG)

25% 50% 75% 100%

Mikrobentonit 2,5 g 5,0 g 7,5 g 10 g

Arang aktif 2,5 g 5,0 g 7,5 g 10 g

Contoh perhitungan Berat PPG = 10 g

:


(3)

LAMPIRAN C

C1. Pengolahan bentonit alam asal Kabupaten Bener Meriah, Aceh menjadi


(4)

(5)

C3. Komposit busa poliuretan dengan mikrobentonit dan arang aktif cangkang

kelapa sawit


(6)

C5. Proses penyaringan air sungai menggunakan komposit dengan metode kolom