Kewenangan NotarisPPAT dalam Pembuatan Akta

73 73

BAB III KEABSAHAN PENGGUNAAN FORMULIR AKTA JUAL BELI KAPLING

PERUMAHAN OLEH PPAT DI KOTA MEDAN A. Tinjauan Umum Tentang Keabsahan Suatu Akta yang Dibuat Oleh NotarisPPAT Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa : “akta adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”. 119 Berdasarkan pernyataan maka dalam penelitian ini juga membahas tentang keabsahan suatu akta yang dibuat oleh NotarisPPAT.

1. Kewenangan NotarisPPAT dalam Pembuatan Akta

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris adalah “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenanganlainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Selain itu dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa : “akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Sementara menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PP No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa, “PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu 119 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 121. 73 Universitas Sumatera Utara 74 74 mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Selain itu, dalam Pasal 1 angka 4 PP No. 37 Tahun 1998 ditentukan bahwa : “akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun”. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka dapat dilihat dalam definisi tersebut bahwa Notaris merupakan Pejabat Umum yang berwenang dalam pembuatan akta-akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Jadi, notaris merupakan Pejabat umum yang tidak membatasi dirinya untuk perbuatan hukum tertentu dalam pembuatan akta kecuali yang menjadi larangan untuk dibuat aktanya atau bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1 angka 1 dan angka 4 PP No. 37 Tahun 1998 menentukan bahwa PPAT merupakan Pejabat Umum yang berwenang dalam pembuatan akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, jadi PPAT membatasi diri untuk pembuatan akta terhadap perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada prinsipnya Notaris dan PPAT merupakan Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik. Hanya saja Notaris dapat membuat akta-akta otentik yang umum sifatnya tetapi tidak dapat membuat akta-akta yang dilarang untuk membuatnya dan akta-akta otentik yang dikeluarkan oleh Pejabat lainnya seperti akta nikah yang dikeluarkan oleh Pejabat Kantor Urusan Agama, akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Pejabat Catatan Sipil, Berita Acara yang dibuat oleh Panitera atau Jurusita Pengadilan, Putusan dan Penetapan Pengadilan yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri setempat dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 75 75 Sedangkan PPAT merupakan pejabat umum yang hanya dapat membuat akta- akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu yang berhubungan dengan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun seperti jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan inbreng, pebagian hak bersama, pemberian Hak Guna BangunanHak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan dan Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan. Selain itu Notaris dan PPAT yang masing-masing sebagai Pejabat Umum dapat merangkap jabatan sebagai PPAT berdasarkan Pasal 7 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998. 120 PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan Pasal 7 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa, “PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris, Konsultan atau Penasehat Hukum”. 121 Selain itu perbuatan hukum yang dapat dibuatkan aktanya berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 2 PP No. 37 Tahun 1998 adalah sebagai berikut : 1. Jual beli. 2. Tukar menukar. 3. Pemasukan ke dalam Perusahaan inbreng. 4. Pembagian hak bersama. 5. Pemberian Hak Guna BangunanHak Pakai atas tanah Hak Milik. 6. Pemberian Hak Tanggungan. 7. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Sebagaimana yang telah diutarakan di atas mengenai Notaris yang dapat merangkap jabatan sebagai PPAT, maka kewenangannya pun tidak jauh berbeda dalam pembuatan akta-akta otentik. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada beberapa wewenang Notaris meliputi empat hal, antara lain : 1. “Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya. 120 Wawancara dengan Agusnita CH sebagai NotarisPPAT Medan pada tanggal 7 Februari 2011. 121 Wawancara dengan Bahrum sebagai Pegawai BPN Medan pada tanggal 2 Februari 2011. Universitas Sumatera Utara 76 76 2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. 3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat di mana akta itu dibuat. 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu”. 122 Dapat dikatakan bahwa jika suatu akta dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang tidak berwenang untuk itu, maka akta itu bukanlah akta otentik, melainkan hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan jika para pihak telah menandatanganinya. Hal tersebut sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 1869 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “suatu akta karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas atau karena suatu cacad dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan, jika ia ditandatangani oleh para pihak”. Meskipun PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998, akan tetapi akta yang dibuat oleh PPAT tersebut didasarkan atas perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat 2 PP No. 37 Tahun 1998 mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dengan demikian wewenang dari seorang PPAT tersebut adalah membuat semua akta otentik yang berkenaan dengan perbuatan hukum dalam Pasal 2 ayat 2 PP No. 37 Tahun 1998 yaitu jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan inbreng, pebagian hak bersama, pemberian Hak Guna BangunanHak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan dan Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. 123 122 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis,Alumni, Bandung, 1994, hal. 35. 123 Wawancara dengan Bahrum sebagai Pegawai BPN Medan pada tanggal 2 Februari 2011. Universitas Sumatera Utara 77 77 Mengenai wewenang PPAT, maka hal tersebut sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa : “Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”. Selain daripada hal yang telah disebutkan di atas mengenai wewenang dari PPAT, oleh karena seorang PPAT tersebut dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan Pasal 7 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998, maka menurut hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa ada penambahan wewenang dari PPAT tersebut antara lain : PPAT berwenang terhadap orang-orang untuk kepentingan siapa akta tersebut dibuat, akan tetapi PPAT dilarang membuat akta apabila untuk PPAT sendiri, suami atau isteri, keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus tanpa batas derajat dan dalam garis lurus ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa atau menjadi kuasa dari pihak lain. 124 Mengenai penambahan kewenangan dari PPAT yang merangkap jabatan sebagai Notaris tersebut, maka untuk seorang PPAT dilarang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dan diatur dalam Pasal 23 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998 yang menentukan bahwa : PPAT dilarang membuat akta apabila untuk PPAT sendiri, suami atau isteri, keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus tanpa batas derajat dan dalam garis lurus ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam 124 Wawancara dengan Agusnita CH sebagai NotarisPPAT Medan pada tanggal 7 Februari 2011. Universitas Sumatera Utara 78 78 perbuatan hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa atau menjadi kuasa dari pihak lain. Pendapat dari Van Dunne yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa berdasarkan wewenang Notaris terhadap akta yang dibuatnya, maka dikatakan bahwa : “suatu perjanjian terjadi melalui suatu proses yang terdiri dari tiga fase yakni fase pra-kontrak, fase kontrak dan fase pasca kontrak”. 125 Fase- fase atau tahap-tahap yang dilakukan dalam suatu perjanjian atau perbuatan hukum baik oleh pihak Notaris atau PPAT tersebut, antara lain : 1. Tahap pra-kontrak, biasanya terjadi kesepakatan tentang isi pokok perjanjian tersebut dan pada tahap prakontrak ini apabila tidak ditemukan kesepakatan di antara para pihak yang ingin membuat perjanjian tersebut, maka tahap kontrak tidak akan dilanjutkan, tetapi jika ditemukan kesepakatan di antara para pihak maka akan dilanjutkan kepada tahap kontrak; 2. Tahap kontrak, biasanya pada tahap ini kesepakatan mengenai isi perjanjian telah ada, sehingga dengan demikian tahap ini dapat dilanjutkan kepada tahap pasca kontrak; 3. Tahap pasca kontrak, biasanya pada tahap ini telah tercapainya kesepakatan secara terperinci dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, maka timbullah hak dan kewajiban antara para pihak yang membuat perjanjian. 126 Kewenangan dari NotarisPPAT dalam hal pembuatan akta otentik terhadap perbuatan hukum tertentu bagi para pihak yang mengingkannya akan melahirkan suatu tanggung jawab terhadap akta yang telah dibuat oleh NotarisPPAT tersebut, meskipun akta tersebut sesuai dengan keinginan dari para pihak dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi jika dikemudian hari terjadi perselisihan antara para pihak yang membuat akta tersebut atau terhadap pihak ketiga, maka pihak NotarisPPAT tersebut akan dituntut harus bertanggungjawab terhadap akta yang telah 125 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.cit., hal. 35. 126 Wawancara dengan Yulhamdi sebagai NotarisPPAT Medan pada tanggal 5 Februari 2011. Universitas Sumatera Utara 79 79 dibuatnya tersebut di Persidangan atau Pengadilan, dan paling tidak posisi NotarisPPAT tersebut sebagai saksi ahli di persidangan. 127

2. Akta Notaris dan PPAT sebagai Alat Bukti di Persidangan