Kerangka Teori Tinjauan Yuridis Penggunaan Formulir Akta Jual Beli Kapling Perumahan Oleh PPAT Di Kota Medan

14 14

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Suatu penelitian hukum dengan kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teori merupakan suatu hal yang penting. Pada kerangka konsepsional menurut Soerjono Soekanto, “diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan di dalam landasankerangka teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai sistem atau ajaran”. 17 Kerangka teori adalah, “suatu kerangka berfikir lebih lanjut terhadap masalah- masalah yang diteliti” 18 . Berbicara tentang teori yang digunakan pada penelitian penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang di kota Medan adalah didasarkan pada teori Asas Kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dapat dilihat bahwa ada kata “semua” dalam kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah”. Kata “semua” menurut Sutarno, “memberitahukan kepada setiap orang boleh membuat perjanjian yang syarat dan ketentuan dalam perjanjian ditentukan atau diatur sendiri oleh para pihak dan perjanjian yang dibuat tersebut mengikat bagi para pihak seperti undang- undang”. 19 17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 6. 18 Ibid., hal. 6-7. 19 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank,Alfabeta, Bandung, 2004, hal. 75. Universitas Sumatera Utara 15 15 Sementara itu untuk kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah” mengandung arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, sehingga baru dapat dikatakan perjanjian tersebut mengikat bagi para pihak yang membuatnya seperti undang-undang. Syarat sah suatu perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain : 1. Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Setelah Akta Jual Beli dibuat berdasarkan perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata, barulah selanjutnya didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional. Akta Jual Beli yang didaftarkan di BPN berguna untuk bukti kepemilikan sertifikat tanah. Selanjutnya sertifikat tanah yang menjadi objek dalam Akta Jual Beli, dibalik namakan menjadi nama Pembeli. Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Kedudukan PPAT termasuk akta-aktanya, bentuk akta dan blangko aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan secara historis embrio kelahiran PPAT dimulai pada tahun 1961 melalui Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pada waktu itu dikenal dengan istilah Pejabat yang berwenang membuat Akta bukan akta otentik mengenai perbuatan-perbuatan hukum dengan objek hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah. 20 Dalam menjalankan jabatannya PPAT wajib menggunakan blangko akta formulir yang telah dicetak. Secara historis penggunaan blangko diawali 20 Reza Febriantina, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT dalam Pembuatan Akta Otentik”,Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, hal. 28. Universitas Sumatera Utara 16 16 dengan Peraturan Kepala BPN No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta, kemudian setelah berlaku Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, penggunaan blangko akta diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 21 Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Badan Pertanahan Nasional terkenal arogan dalam kebijakan yang dibuat berupa Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006, yang mewajibkan PPAT untuk membeli dan memakai blangko akta PPAT yang dibuat oleh BPN. Padahal berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT dalam jabatannya memiliki kewenangan untuk membuat akta sendiri. 22 Pengaturan penggunaan formulir-formulir akta blangko akta dilatar belakangi karena pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang karena jabatannya ex officio menjalankan sementara Jabatan PPAT, yang sebagian besar tidak bergelar Sarjana Hukum sehingga untuk memudahkan pelaksanaan jabatannya itu dibuatlah formulir-formulir akta dan buku petunjuk pengisian formulir blangko akta itu. Blangko yang dibuat oleh BPN adalah yang berkaitan dengan pertanahan, blangko tersebut berwujud form isian dan PPAT hanya mengisi form isian tersebut. Blangko tersebut dicetak oleh yayasan yang dimiliki oleh BPN. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyebutkan bahwa pendirian Yayasan tidak boleh berbisnis, melainkan untuk kepentingan sosial nirlaba. Saat ini yayasan tersebut sedang diaudit serta diperiksa oleh tim Kejaksaan Agung. 23 Berdasarkan isi aturan hukum yang mengatur eksistensi PPAT sebagaimana diuraikan di atas, bahwa kewenangan PPAT yaitu diberi kewenangan membuat Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah otentik.MenurutKamus Besar BahasaIndonesiabahwa : ”membuat adalah menciptakan, melakukan, atau mengerjakan”. 21 Ibid., hal. 29. 22 Ibid., hal. 29-30. 23 Hukum Online, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”, beta.hukumonline.com...ppat-gugat-bpn-karena-menolak-pendaftaran-akta-jual-beli., diakses pada 14 Juni 2011. Universitas Sumatera Utara 17 17 Dengan demikian PPAT mempunyai kewenangan untuk menciptakan, membuat, dan mengerjakan akta, yang berarti mengerjakan, melakukan, dan membuatnya sendiri akta PPAT yang menjadi kewenangannya sebagaimana tersebut dalam Pasal 95 Keputusan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat 2 Keputusan Kepala BPN No. 37 Tahun 1998, yaitu akta : Jual Beli; Tukar-Menukar; Hibah; Pemasukan ke dalam perusahaan inbreng; pembagian hak bersama; pemberian hak tanggungan; pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik; pemberian hak pakai atas tanah hak milik; dan surat kuasa membebankan hak tanggungan. 24 Oleh karena itu, bagaimana mungkin PPAT sebagai Pejabat Umum dalam mengimplementasikan kewenangannya hanya mengisi blangko atau formulir yang bentuk dan isinya ditentukan oleh BPN, tetapi blangkoformulir tersebut dicetak oleh pihak lain. Padahal, kewenangan PPAT tersebut bukan berasal dari kewenangan BPN atau BPN memberikan kewenangannya kepada PPAT. Dalam aturan hukum yang mengatur kewenangannya kepada BPN, yaitu Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 tidak ada satu pasal pun dalam Keppres tersebut yang menegaskan bahwa BPN mempunyai kewenangan tertentu terhadap PPAT atau PPAT lahir secara atributif ataupun delegatif dari kewenangan BPN. Akan tetapi dalam hal ini PPAT lahir sebagai beleidsregel atau policyrules dari Pemerintah langsung. Dengan kata lain, PPAT bukan lahir dari kewenangan BPN dan juga bukan subordinasi BPN atau bukan pelimpahan dari kewenangan BPN. Sejak semula dibuat lembaga PPAT dengan kewenangan yang melekat pada jabatan PPAT, bahwa kewenangan PPAT tersebut tidak pernah menjadi kewenangan BPN. 25 Dengan demikian, sudah saatnya PPAT untuk kembali melakukan kewenangannya sebagaimana pengertian membuat akta tersebut di atas. Selain itu, BPN ataupun pihak lainnya agar segera menghentikan kegiatannya melakukan pencetakan formulir akta-akta PPAT yang hanya meraih dan mengeruk keuntungan dari kegiatan menjual formulir-formulir akta PPAT, yang telah dilakukannya sejak keberadaan PPAT tahun 1961. 26 Sebagai sarana penting untuk dokumen otentik perbuatan hukum dalam peralihan hak atas tanah, maka formulir akta tanah seharusnya selalu tersedia di Kantor PPAT. Namun, para PPAT yang diberi tugas oleh BPN untuk membuat akta 24 Reza Febriantina, Loc.cit., hal. 30-31. 25 Ibid., hal. 32-33. 26 Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 281. Universitas Sumatera Utara 18 18 hak atas tanah ini sempat kesulitan karena ketersediaan akta terganggu menunggu penetapan tata cara pengelolaannya oleh Pemerintah.Selain daripada teori Asas Kebebasan berkontrak yang telah disebutkan di atas, maka teori yang juga berhubungan dengan penelitian penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang di kota Medan adalah teori tentang akta. Hal tersebut dikarenakan penelitian ini ada hubungannya dengan akta jual beli dan oleh sebab itu teori tentang akta harus digunakan sesuai dengan penelitian ini. Menurut R. Subekti dan Tjitrosoebadio, “akta berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift atau surat dan kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berarti perbuatan-perbuatan”. 27 Selain itu menurut R. Subekti sebagaimana dikutip Sutarno mengatakan bahwa, “akta diartikan sebagai surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak untuk dijadikan alat bukti”. 28 Sedangkan menurut Pitlo dalam buku yang diterjemahkan oleh M. Isa Arief mengartikan akta itu sebagai “suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti dan dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu diperbuat”. 29 Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo bahwa : “akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar 27 R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal. 9. 28 Sutarno, Op.cit., hal. 101. 29 M. Isa Arief, Pembuktian dan Daluarsa, Intermasa, Jakarta, 1978, hal 52. Universitas Sumatera Utara 19 19 daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”. 30 Berdasarkan beberapa pendapat dari ahli hukum tersebut di atas tentang pengertian akta, maka ada beberapa unsur dari pengertian akta tersebut antara lain : 1. Surat yang sengaja dibuat. 2. Ditandatangani para pihak. 3. Diperuntukkan atau dibuat untuk dijadikan sebagai alat bukti tentang suatu peristiwa. Setelah melihat beberapa pengertian dan unsur-unsur pengertian dari akta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua surat disebut sebagai akta kalau tidak memenuhi unsur-unsur tersebut. Hal yang sama juga dikatakan oleh Victor Situmorang yang menyatakan bahwa, “tidaklah semua surat dapat disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula baru dapat disebut akta”. 31 Berdasarkan pernyataan dari Victor Situmorang di atas maka unsur-unsur dari akta tersebut, harus memenuhi kriteria bahwa dibuat dengan sengaja dan ditandatangani yang bertujuan sebagai alat bukti terhadap suatu peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak tertentu. Dengan demikian, suatu surat dikatakan sebagai akta harus dapat menjadi alat bukti dipersidangan. Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata alat-alat bukti tersebut terdiri atas : 30 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 121. 31 Victor Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.52. Universitas Sumatera Utara 20 20 1. Bukti tulisan. 2. Bukti dengan saksi-saksi. 3. Persangkaan-persangkaan. 4. Pengakuan dan sumpah. Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1866 KUHPerdata di atas, maka akta merupakan alat bukti tulisan. Pembuktian dengan tulisan tersebut menurut Pasal 1867 KUHPerdata adalah, “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”, dan hal yang sama juga disebutkan oleh Sutarno yang mengatakan bahwa : “ada dua bentuk akta yaitu : Akta Otentik; dan Akta di Bawah Tangan”. 32 Mengenai akta otentik tersebut diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “suatu akta otentik ialah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa : “Suatu akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan”. 33 32 Sutarno, Op.cit., hal. 101. 33 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 124. Universitas Sumatera Utara 21 21 Berdasarkan pengertian dari akta otentik yang disebutkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata dan definisi akta otentik menurut Sudikno Mertokusumo, maka yang disebut akta otentik yang memenuhi syarat-syarat antara lain 34 : 1. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat di hadapan pegawai-pegawai umum yang ditunjuk oleh undang-undang. 2. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuatnya akta harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. 3. Di tempat di mana pejabat berwenang membuat akta tersebut. Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang akta otentik, bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum, namun apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang ataupun bentuknya cacad maka menurut M. Yahya Harahap “akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil akta otentik oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun akta demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan dengan syarat apabila akta itu ditandatangani oleh para pihak”. 35 Pernyataan M. Yahya Harahap tersebut sama halnya seperti yang disebutkan dalam Pasal 1869 KUHPerdata yaitu bahwa, “suatu akta yang karena tidak kuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacad dalam bentuknya, 34 Ibid., hal. 125. 35 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 566. Universitas Sumatera Utara 22 22 tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan, jika ia ditandatangani oleh para pihak”. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh M. Yahya Harahap dan Pasal 1869 KUHPerdata di atas, maka dapat dikatakan bahwa otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat saja, akan tetapi caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu, suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan jika ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan akta tersebut. Sementara itu, Pejabat yang dimaksud dalam KUHPerdata sebagaimana disebutkan di atas antara lain “Notaris, Panitera, Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim dan sebagainya”. 36 Sedangkan menurut Sutarno tentang pejabat yang dimaksud dalam KUHPerdata tersebut juga tidak jauh berbeda yaitu, “Notaris, Hakim, Juru Sita pada Pengadilan, Pegawai Catatan Sipil dan dalam perkembangannya seorang Camat karena jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Akta Camat selanjutnya disebut PPAT”. 37 Dengan demikian sebagaimana yang disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo dan Sutarno, maka dapat dikatakan bahwa suatu Akta Notaris, Putusan ataupun Penetapan Hakim, Berita Acara yang dibuat oleh 36 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 124. 37 Sutarno, Op.cit., hal. 102. Universitas Sumatera Utara 23 23 juru sita Pengadilan atau Panitera Pengadilan, Akta Perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Catatan SipilKantor Urusan Agama, Akta Kelahiran yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, Akta-Akta yang dibuat oleh PPAT seperti akta jual beli tanahrumah merupakan akta-akta otentik. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa, “pada umumnya akta otentik yang menyangkut bidang perdata dibuat oleh Notaris”. 38 Dan hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa, “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Akan tetapi dalam Pasal 1868 KUHPerdata tentang akta otentik, hanya menerangkan tentang yang dinamakan akta otentik, sedangkan tentang pejabat umum dalam pasal tersebut tidak diberikan penjelasan ataupun pengertian sedikitpun. Namun dalam pasal-pasal yang lain dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan- peraturan atau ketentuan-ketentuan lain ditegaskan adanya pejabat lain yang diberi tugas atau wewenang untuk membuat akta otentik. Menurut Ahmad Sanusi, ada pejabat lain yang ditugaskan dapat membuat akta-akta otentik berdasarkan pasal-pasal yang lain dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan lainnya yang dikecualikan dari kewenangan dari Notaris antara lain : 1. Akta Catatan Sipil yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan berdasarkan Pasal 4 KUHPerdata. 38 M.Yahya Harahap, Op.cit., hal. 573. Universitas Sumatera Utara 24 24 2. Akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akte Tanah. 3. Akta wasiat dalam daerah pertempuran yang dibuat di hadapan perwira minimal berpangkat letnan dengan dihadiri oleh 2 dua orang saksi, berdasarkan Pasal 946 KUHPerdata. 4. Kapten Kapal atau Nahkoda atau Mua’lim boleh membuat akta wasiat bagi penumpang yang sedang menghadapi kematiaan dengan dihadiri oleh 2 dua orang saksi berdasarkan Pasal 947 KUHPerdata. 5. Bila terjadi penyakit menular di suatu tempat dan orang luar tidak boleh masuk, Notaris tidak ada, Pegawai Umum Bupati atau Camat boleh membuat surat wasiat dengan dihadiri oleh 2 dua orang saksi berdasarkan Pasal 948 ayat 1 KUHPerdata, demikian juga apabila terjadi gempa bumi, sakit atau kecelakaan yang mengakibatkan kematian, pemberontakan atau bencana alam lainnya yang hebat dalam keadaan yang sungguh-sungguh terancam kematian, sedangkan dalam jarak 9 sembilan kilometer disekitar itu tidak ada Notaris. 39 Namun demikian menurut Victor Situmorang, ada beberapa akta yang menjadi kewenangan Notaris bersama-sama dengan pejabat lain untuk membuatnya, yaitu : 1. Akta pengangkatan anak di luar kawin berdasarkan Pasal 281 KUHPerdata. 2. Berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik berdasarkan Pasal 1227 KUHPerdata. 3. Berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi berdasarkan Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUHPerdata. 4. Akta protes wessel dan cek berdasarkan Pasal 143 KUHPerdata. 40 Kekosongan formulir Akta PPAT tersebut dimanfaatkan oleh Kantor Wilayah BPN, yaitu dengan menentukan dan mewajibkan formulir akta PPAT tersebut difotocopy dan fotocopynya harus diketahuidilegalisasi oleh salah satu Kepala Seksi 39 Ahmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Tarsito, Bandung, 1999, hal. 89. 40 Victor Situmorang, Op.cit., hal. 34-35. Universitas Sumatera Utara 25 25 pada Kanwil BPN tersebut. 41 Apabila tidak ada orang yang meleges maka PPAT dapat menunggu atau menitipkan kepada Pegawai BPN yang sedang bertugas pada saat itu untuk dilakukannya legalisasi Formulir Akta Jual Beli. Tentunya legalisasi tersebut tidak gratis, setidaknya harus ada biaya yang sama dengan biaya membeli formulir akta PPAT di kantor pos setempat. Sudah tentu hal ini menyuburkan pungutan liar transaction cost dan penyalahgunaan wewenang oleh BPN, dalam arti tidak ada aturan hukum yang bersumber dari kewenangan BPN untuk melegalisasi fotokopi akta PPAT tersebut.

2. Konsep