Pengaruh Nilai Tukar, Suku Bunga, dan Inflasi Terhadap Harga Saham pada Industri Rokok di Bursa Efek Indonesia

(1)

MEDAN

PENGARUH NILAI TUKAR, SUKU BUNGA DAN INFLASI

TERHADAP HARGA SAHAM PADA INDUSTRI ROKOK

DI BURSA EFEK INDONESIA

DRAFT SKRIPSI

OLEH

SRI LESTARI 060502034 MANAJEMEN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Universitas Sumatera Utara Medan


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STRATA-1 MEDAN

PENGANGGUNG JAWAB SKRIPSI

NAMA : SRI LESTARI NIM : 060502034 DEPARTEMEN : MANAJEMEN

JUDUL : PENGARUH NILAI TUKAR, SUKU BUNGA, DAN INFLASI TERHADAP HARGA SAHAM PADA INDUSTRI ROKOK DI BURSA EFEK INDONESIA

TANGGAL : PEMBIMBING SKRIPSI


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STRATA-1 MEDAN

PERSETUJUAN ADMINISTRASI AKADEMIK

NAMA : SRI LESTARI NIM : 060502034 DEPARTEMEN : MANAJEMEN

JUDUL : PENGARUH NILAI TUKAR, SUKU BUNGA, DAN INFLASI TERHADAP HARGA SAHAM PADA INDUSTRI ROKOK DI BURSA EFEK INDONESIA

TANGGAL : KETUA DEPARTEMEN MANAJEMEN

( PROF. Dr. RITHA F. DALIMUNTHE,S.E, M.Si )

TANGGAL : DEKAN FAKULTAS EKONOMI


(4)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan ini adalah hasil kerja saya sendiri melalui penelitian yang saya lakukan. Segala sumber dan kutipan yang terdapat dalam skripsi ini telah saya lampirkan sebagaimana mestinya.

Medan, Juni 2010 Hormat saya,

Sri Lestari 060502034


(5)

ABSTRAK

Sri Lestari (2010). Pengaruh Nilai Tukar, Suku Bunga, dan Inflasi Terhadap Harga Saham pada Industri Rokok di Bursa Efek Indonesia. Di bawah bimbingan Drs. Nakman Harahap M.Si, Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, S.E. M.Si (Ketua Departemen Manajemen), Dr. Khaira Amallia Fachruddin S.E, M.B.A (Penguji I), Syafrizal Helmi Situmorang, S.E. M.Si (Penguji II).

Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana pengaruh nilai tukar, suku bunga, dan inflasi terhadap harga saham. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Faktor Nilai Tukar, Suku Bunga, dan Inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan secara simultan terhadap Harga Saham Industri Rokok di Bursa Efek Indonesia. Faktor nilai tukar tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Faktor suku bunga mempunyai pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Faktor inflasi tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia.

Metode analisis yang digunakan untuk melihat pengaruh nilai tukar, suku bunga, dan inflasi terhadap harga saham adalah metode deskriptif dan metode analisis statistik, yang berguna dalam analisis regresi linier berganda dan pengujian hipotesis. Uji-F atau uji signifikan simultan dan uji-t atau uji parsial pada tingkat signifikansi 5% . Pengolahan data menggunakan program Software SPSS (Statistic Package for the Social Sciens) 15.00 for windows.

Hasil Uji-F atau uji signifikan simultan menunjukkan bahwa semua variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yaitu terdapat pengaruh signifikan variabel bebas terhadap harga saham. Uji-t atau uji parsial menunjukkan variabel nilai tukar dan inflasi tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham pada industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Variabel suku bunga memiliki pengaruh terhadap harga saham pada industri rokok di Bursa Efek Indonesia.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Pengaruh Nilai Tukar, Suku Bunga dan Inflasi Terhadap Harga Saham Pada Industri Rokok di Bursa Efek Indonesia”. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada Ayahanda Suryadi dan Ibunda Satini sebagai ucapan terima kasih dan rasa hormat, yang telah banyak memberikan motivasi, nasehat, bantuan, kasih sayang, dan terutama atas doa yang selalu dipanjatkan demi kesuksesan hidup penulis.

Penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, nasehat, dan dorongan dari berbagai pihak selama masa perkuliahan hingga penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, S.E., M.Si selaku Ketua Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Nisrul Irawati M.B.A selaku Sekertaris Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.


(7)

4. Ibu Dra. Yulinda, M.Si selaku Dosen Wali yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama masa kuliah.

5. Bapak Drs. Nakman Harahap, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan saran kepada penulis.

6. Ibu Dr. Khaira Amallia Fachruddin, S.E., M.B.A selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan arahan dan saran kepada penulis.

7. Bapak Syafrizal Helmi Situmorang, S.E., M.Si selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan arahan dan saran kepada penulis.

8. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik, mengajar, dan memberikan pengetahuan bagi penulis selama perkuliahan. Seluruh Pegawai Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi selama perkuliahan.

9. Adinda tersayang Fandy Setiawan yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis untuk selalu berupaya menjadi panutan yang baik bagi keluarga.

10.Teruntuk yang tercinta Wawan Aditya, terima kasih atas semangat, motivasi, kasih sayang, perhatian, serta yang menjadi penyemangat hidup penulis.

11.Keluarga besar penulis dari pihak Ayahanda dan Ibunda (Kakek/Nenek, Pakde/Bude, Paklek/Bulek, serta para Kakak/Adik sepupu)

12.Teman-teman seperjuangan di Manajemen ’06 terkhusus untuk Ratih, Novi, Dedek, Dian, Ira, Imah, Daulay, Mikhral, Riko, Febri, Syawal, Januar, Boy, Andri, Joko, serta seluruh teman yang tidak bisa disebutkan


(8)

satu persatu. Terima kasih karena telah meberikan warna selama masa perkuliahan penulis.

13.Sahabat-sahabat terbaik penulis, Marini Triana, Laila Rahmayani Hrp, dan Juliana. Terima kasih atas persahabatannya selama ini yang selalu memberikan kebahagiaan dan kecerian di setiap hari bagi penulis.

14.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan yang diberikan pada penulis.

Senada dengan akhir prakata ini penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kemajuan ilmu pada umumnya dan dan kemajuan bidang pendidikan pada khususnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu demi penyempurnaan skripsi ini, penulis mengharapakan saran, pendapat dan kritik dari pembaca, dan dengan rendah hati penulis akan menerimanya.

Medan, Juni 2010 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

BAB I PENDAHULUAN A. . Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 8

C. Kerangka Konseptual... 8

D. Hipotesis... 11

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 12

1. Tujuan Penelitian... 12

2. Manfaat Penelitian... 12

F. Metodologi Penelitian... 13

1. Batasan Operasional... 13

2. Definisi Operasional Variabel... 13

3. Populasi dan Sampel... 15

4. Teknik Pengumpulan Data... 16

5. Tempat dan Waktu Penelitian... 16

6. Jenis Data... 16

7. Metode Analisis Data... 17

BAB II URAIAN TEORETIS A. Penelitian Terdahulu... 24

B. Harga Saham... 25

C. Nilai Tukar... 27

1. Teori yang Berkaitan dengan Nilai Tukar... 27

2. Jenis-jenis Sistem Nilai Tukar... 29

3. Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar... 30

4. Hubungan Nilai Tukar dengan Harga Saham... 32

D. Suku Bunga... 33

1. Fungsi Suku Bunga dalam Perekonomian... 33

2. Faktor yang mempengaruhi Suku Bunga... 34

3. Hubungan Suku Bunga dengan Harga Saham... 34

E. Inflasi... 35

1. Jenis-jenis Inflasi... 36


(10)

BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

A. Pasar Modal Indonesia... 39

B. Sejarah Perkembangan Industri Rokok... 41

C. Gambaran Umum Industri Rokok Indonesia... 42

1. PT. Gudang Garam Tbk... 42

2. PT. H.M Sampoerna Tbk... 44

3. PT. BAT Indonesia Tbk... 45

4. PT. Bentoel International Inv, Tbk... 46

BAB IV ANAISIS DAN EVALUASI A. ANALISIS DESKRIPTIF... 48

1. Deskripsi Harga Saham... 48

2. Deskripsi Nilai Tukar... 49

3. Deskripsi Suku Bunga... 51

3. Deskripsi Inflasi... 52

B. ANALISIS STATISTIK... 54

1. Analisis Regresi Linier Berganda... 54

a. Uji Normalitas... 55

b. Uji Heterokedastisitas... 57

c. Uji Autokorelasi... 58

d. Uji Multikolinearitas... 60

2. Pengujian Hipotesis... 61

a. Uji-F (Uji Signifikansi Simultan)... 61

b. Uji-t ( Uji Parsial)... 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN... 66

B. SARAN... 66

DAFTAR PUSTAKA... ix LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perkembangan Produksi Rokok Tahun 2005-2009... 2

Tabel 1.2 Perkembangan Realisasi Cukai Tahun 2005-2009... 3

Tabel 1.3 Harga Saham Industri Rokok... 5

Tabel 1.4 Indikator Ekonomi... 6

Tabel 1.5 Perusahaan Rokok Yang Terdaftar di BEI... 16

Tabel 1.6 Kriteria Pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi... 20

Tabel 4.1 Harga Saham pada Industri Rokok Yang Terdaftar di BEI Periode Tahun 2001-2008... 48

Tabel 4.2 Nilai Tukar pada Industri Rokok Yang Terdaftar di BEI Periode Tahun 2001-2008... 49

Tabel 4.3 Suku Bunga pada Industri Rokok Yang Terdaftar di BEI Periode Tahun 2001-2008... 51

Tabel 4.4 Inflasi pada Industri Rokok Yang Terdaftar di BEI Periode Tahun 2001-2008... 52

Tabel 4.5 Hasil Estimasi Regresi... 54

Tabel 4.6 Hasil Uji Kolmogrov Smirnov... 56

Tabel 4.7 Hasil Uji Durbin-Watson Test... 59

Tabel 4.8 Hasil The Runs Test... 60

Tabel 4.9 Hasil Uji Multikolinearitas... 61

Tabel 4.10 Hasil Uji Simultan (Uji-F)... 62


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual... 11 Gambar 4.1 Hasil Uji Normal P-P Plot of Regression

Standardized Residual... 57 Gambar 4.2 Hasil Scatterplot... 58


(13)

ABSTRAK

Sri Lestari (2010). Pengaruh Nilai Tukar, Suku Bunga, dan Inflasi Terhadap Harga Saham pada Industri Rokok di Bursa Efek Indonesia. Di bawah bimbingan Drs. Nakman Harahap M.Si, Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, S.E. M.Si (Ketua Departemen Manajemen), Dr. Khaira Amallia Fachruddin S.E, M.B.A (Penguji I), Syafrizal Helmi Situmorang, S.E. M.Si (Penguji II).

Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana pengaruh nilai tukar, suku bunga, dan inflasi terhadap harga saham. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Faktor Nilai Tukar, Suku Bunga, dan Inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan secara simultan terhadap Harga Saham Industri Rokok di Bursa Efek Indonesia. Faktor nilai tukar tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Faktor suku bunga mempunyai pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Faktor inflasi tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia.

Metode analisis yang digunakan untuk melihat pengaruh nilai tukar, suku bunga, dan inflasi terhadap harga saham adalah metode deskriptif dan metode analisis statistik, yang berguna dalam analisis regresi linier berganda dan pengujian hipotesis. Uji-F atau uji signifikan simultan dan uji-t atau uji parsial pada tingkat signifikansi 5% . Pengolahan data menggunakan program Software SPSS (Statistic Package for the Social Sciens) 15.00 for windows.

Hasil Uji-F atau uji signifikan simultan menunjukkan bahwa semua variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yaitu terdapat pengaruh signifikan variabel bebas terhadap harga saham. Uji-t atau uji parsial menunjukkan variabel nilai tukar dan inflasi tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham pada industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Variabel suku bunga memiliki pengaruh terhadap harga saham pada industri rokok di Bursa Efek Indonesia.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Industri hasil tembakau (IHT) mempakan industri yang kontroversial. Di satu pihak industri ini memegang peranan penting dalam perekonomian negara, di lain pihak produk yang dihasilkan diisukan membahayakan bagi kesehatan. Peran tembakau dan industri hasil tembakau dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat adalah dalam penyediaan lapangan kerja, sebagai sumber pendapatan petani dan buruh, pedagang, pendapatan daerah, cukai, dan devisa negara. Tantangan yang dihadapi industri hasil tembakau yang terbesar pada saat ini adalah isu bahaya rokok terhadap kesehatan yang dipelopori oleh World Health Organization (WHO).

Industri rokok merupakan salah satu industri yang memiliki peranan penting dalam kegiatan perekonomian negara Indonesia. Pada kurun waktu 2005-2008, tercatat industri rokok telah mengalami pertumbuhan sebesar 17,53%. Rokok merupakan barang konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia, dengan sekitar 177 juta orang dari 270 juta penduduk Indonesia adalah penghisap rokok. Jumlah batang rokok yang terjual di tahun 2009 mencapai lebih dari 200 miliar batang. Hal ini menjadikan industri rokok berpotensi sangat besar untuk berkembang.


(15)

TABEL 1.1

PERKEMBANGAN PRODUKSI ROKOK, 2005 - 2009 (miliar batang)

Jenis Rokok 2005 2006 2007 2008 2009

a. Sigaret Kretek Mesin (SKM) 126,6 125,4 131,7 144,5 139,6 b. Sigaret Kretek Tangan (SKT 78,2 77,9 84,3 88,2 84,4 c. Sigaret Putih Mesin (SPM) 15,3 13,5 16,0 17,0 16,4

Total (a+b+c) 220,1 216,8 231,9 249,7 240,4 Sumber: www.docstoc.com (23 januari 2010, diolah penulis)

Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, cukai mempunyai konstribusi yang sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri. Penerimaan cukai dipungut dari 3 (tiga) jenis barang yaitu; etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol dan hasil tembakau. Dari penerimaan cukai tersebut, 95 persen berasal dari cukai hasil tembakau yang diperoleh dari jenis hasil tembakau (JHT) berupa rokok sigaret kretek mesin, rokok sigaret tangan dan rokok sigaret putih mesin, yang dihasilkan oleh industri rokok.

Penerimaan cukai mengalami peningkatan secara signifikan dalam periode 2005-2008, tumbuh rata-rata sebesar 15,5 persen, yaitu dari Rp33,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp51,3 triliun pada tahun 2008. Faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan penerimaan cukai tersebut antara lain adalah (a) dilaksanakannya berbagai kebijakan yang bersifat intensifikasi maupun ekstensifikasi; (b) disempurnakannya berbagai peraturan di bidang cukai seperti penerapan tarif full spesific; (c) dibentuknya kantor-kantor pelayanan bea cukai yang lebih modern sebagai bagian dari program modernisasi administrasi kepabeanan dan cukai; (d) peningkatan upaya pengawasan di bidang cukai terutama terhadap peredaran rokok ilegal serta pengawasan pita cukai palsu; dan


(16)

(e) peningkatan produksi rokok, terutama rokok jenis sigaret kretek mesin. Perkembangan realisasi cukai tahun 2005- 2009 dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL 1.2

PERKEMBANGAN REALISASI CUKAI, 2005-2009 (Triliun Rupiah)

Uraian 2005 2006 2007 2008 2009

Cukai Hasil Tembakau 32.6 37.1 43.5 49.9 53.3 Cukai Ethyl Alkohol (EA) 0.1 0.1 0.4 0.4 0.5 Cukai Minuman Mengandung EA 0.5 0.6 0.7 0.9 0.8 Denda Administrasi Cukai 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Cukai Lainnya 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Total 33.3 37.8 44.7 51.3 54.5

Sumber : www.docstoc.com (23 Januari 2010, diolah penulis)

Secara lebih rinci, penerimaan cukai didominasi oleh penerimaan cukai hasil tembakau. Selama periode 2005-2008, cukai hasil tembakau memberi kontribusi rata-rata sebesar 97,8 persen dengan rata-rata pertumbuhan 15,2 persen. Sementara itu, kontribusi cukai ethyl alcohol mencapai 0,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 60,6 persen, dan cukai minuman mengandung ethyl alcohol (MMEA) memberikan kontribusi sebesar 1,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan 20,6 persen. Dalam tahun 2009, realisasi penerimaan cukai menunjukkan peningkatan sebesar 6,4 persen, yaitu dari Rp51,3 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp54,5 triliun pada tahun 2009. Berdasarkan jumlah penerimaan cukai 2009 tersebut, sebanyak Rp 53,3 triliun atau 97,6 persen dari total penerimaan cukai berasal dari cukai hasil tembakau, dengan pertumbuhan 6,7 persen. Sementara itu, Rp 0,5 triliun atau 0,9 persen berasal dari cukai ethyl alcohol dengan pertumbuhan 17,2 persen, dan Rp 0,8 triliun (1,5 persen) berasal dari cukai MMEA dengan penurunan 9,1 persen. Faktor utama yang mendorong naiknya penerimaan cukai ditengah lesunya perekonomian dalam tahun 2009 adalah diberlakukannya kenaikan tarif terhadap cukai tembakau dengan rata-rata


(17)

kenaikan 7 persen. Selain itu, internal effort yang dilakukan oleh pemerintah berupa reformasi birokrasi dan pembenahan organisasi turut mempengaruhi peningkatan efisiensi pemungutan cukai.

Penjualan yang cenderung meningkat dari tahun 2001-2008 di beberapa perusahaan memberikan gambaran bahwa industri rokok di Indonesia berkembang dengan baik. Peningkatan yang baik ini merupakan gambaran bahwa industri rokok memiliki prospek sebagai tempat bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Hal inilah yang menjadi dasar para investor bersedia menanamkan modalnya di industri rokok.

Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat memberikan dampak yang berbeda-beda pada pertumbuhan suatu perusahaan. Pertumbuhan suatu perusahaan dapat dilihat dari harga saham perusahaan tersebut. Harga saham sangat dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran yaitu harga suatu saham akan cenderung naik bila saham mengalami kelebihan permintaan dan cenderung turun bila terjadi kelebihan penawaran. Menurut Boedie et al. ( dalam Pane, 2009) beberapa faktor yang mempengaruhi harga saham yaitu profitabilitas, suku bunga, inflasi, nilai tukar, tingkat pengangguran, transaksi berjalan dan defisit anggaran.

Pada tahun 2001 hingga tahun 2008, perusahaan rokok Indonesia ada yang mengalami pertumbuhan namun ada pula yang mengalami kemerosotan dilihat dari harga sahamnya, seperti diperlihatkan pada Tabel 1.3.


(18)

Tabel 1.3

Harga Saham Industri Rokok

Nama Perusahaan Tahun Harga Saham (dalam Rp)

BATI

(PT BAT Indonesia, Tbk)

2001 9.217

2002 9.129

2003 9.504

2004 8.500

2005 7.991

2006 5.795

2007 5.008

2008 4.758

GGRM

(PT Gudang Garam, Tbk)

2001 12.391

2002 10.062

2003 10.541

2004 13.662

2005 13.045

2006 10.037

2007 9.279

2008 7.166

HMSP

(PT H.M Sampoerna, Tbk)

2001 3.204

2002 4.210

2003 3.997

2004 5.566

2005 9.103

2006 8.254

2007 14.091

2008 11.892

RMBA

(PT Bentoel International Inv, Tbk)

2001 156

2002 200

2003 107

2004 112

2005 125

2006 187

2007 370

2008 587

Sumber : www.idx.co.id (20 Maret 2010, diolah penulis)

Pada tabel 1.3 diatas, dapat terlihat bahwa harga saham pada empat perusahaan rokok tersebut berfluktuasi. Saham PT. BAT Indonesia, Tbk mencapai harga tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebesar Rp. 9.504 dan memperoleh harga saham terendah pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp. 4.758. PT. Gudang Garam, Tbk mencapai harga saham tertinggi pada tahun 2004 sebesar Rp. 13.662 dan mengalami harga saham terendah pada tahun 2008 sebesar Ro. 7.166.


(19)

PT. H.M Sampoerna, Tbk mengalami harga saham tertinggi yaitu sekitar Rp. 14.091 pada tahun 2007 dan mencapai harga saham terendah sebesar Rp. 3.201 pada tahun 2001. PT. Bentoel International Inv, Tbk mencapai harga saham tertinggi pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp. 587 dan mencapai harga saham terendah pada tahun 2003 yaitu sebesar Rp 107.

Pada umumnya hampir semua investasi yang meliputi saham, obligasi, valuta asing, deposito, dan derivatif lainnya mengandung unsur ketidakpastian yang sering disebut risiko. Akan tetapi, saham merupakan sekuritas yang mempunyai risiko yang tinggi dibandingkan dengan sekuritas yang lain. Seorang investor haruslah mampu menghadapi risiko dari dana yang diinvestasikannya, akan tetapi disisi lain investor juga dihadapkan pada peluang mendapatkan return yang lebih besar pada waktu yang sangat singkat. Apabila investor ingin mengharapkan return yang lebih tinggi maka harus bersedia menanggung risiko yang lebih tinggi pula.

Tabel 1.4 Indikator Ekonomi

No Indikator Tahun

2005 2006 2007 2008

1 Inflasi 17.11% 6.60% 6.59% 11.1%

2 Suku Bunga 7.42% 12.75% 9.75% 9.25%

3 Nilai Tukar

(terhadap US$)

9.709 9.163 9.144 9.691

Sumber : www.bi.go.id (20 Januari 2010, diolah penulis)

Berdasarkan Tabel 1.4 dapat diketahui bahwa inflasi yang terjadi selama lima tahun mengalami fluktuasi. Inflasi merupakan kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk secara keseluruhan (Tandelilin, 2001:212). Pada tahun 2006 inflasi turun tajam dari kisaran 17,11% menjadi hanya 6,60%. Pada tahun


(20)

2007 inflasi tetap berada di seputar 6,59% dan mengalami kenaikan pada tahun 2008 menjadi 11,1%.

Suku bunga merupakan harga yang harus dibayar atas modal pinjaman dan dividen serta keuntungan modal yang merupakan hasil dari modal ekuitas (Brigham, 2001:158). Suku bunga yang berlaku di Indonesia selama lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Suku bunga pada tahun 2004 sebesar 7,42% jauh lebih kecil dibandingkan suku bunga pada tahun 2006 yaitu sebesar 12,75%. Pada tahun 2007 suku bunga turun menjadi 9,75% dan kemudian berangsur-angsur turun kembali pada tahun 2008 sebesar 9,25%.

Nilai tukar merupakan harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang negara lain. Berdasarkan Tabel 1.4 diatas diketahui bahwa selama lima tahun terakhir rupiah mengalami fluktuasi terhadap dolar US. Pada tahun 2006, rupiah Indonesia mengalami apresiasi sebesar 5,62% apabila dibandingkan dengan rata-rata nilai tukar pada tahun 2005. Pada tahun 2007, rupiah Indonesia juga mengalami apresiasi terhadap dolar US sebesar 0,21% bila dibandingkan dengan tahun 2006. Pada tahun 2008 rupiah Indonesia mengalami apresiasi sebesar 5,98%.

Fluktuasi nilai tukar dapat menjadi pertimbangan bagi para investor. Apabila nilai tukar mata uang suatu negara berfluktuasi tajam dan mengalami apresiasi, maka investor akan cenderung tidak tertarik berinvestasi di negara tersebut. Apabila mata uang suatu negara berfluktuasi tidak terlalu tajam dan mengalami depresiasi, maka investor cenderung lebih tertarik berinvestasi di negara tersebut.


(21)

Pasar modal Indonesia yang semakin berkembang, menuntut pengetahuan yang baik dalam berinvestasi saham di pasar modal, sehingga muncul ketertarikan untuk meneliti pengaruh nilai tukar, suku bunga, dan inflasi terhadap harga saham. Penelitian ini melibatkan industri rokok yaitu dengan judul “Pengaruh

Nilai Tukar, Suku Bunga, dan Inflasi terhadap Harga Saham pada Industri Rokok di Bursa Efek Indonesia”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :

“Apakah nilai tukar, suku bunga, dan inflasi memiliki pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia ?”

C. Kerangka Konseptual

Harga saham sangat dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran, harga suatu saham cenderung naik bila suatu saham mengalami kelebihan permintaan dan cenderung turun jika terjadi kelebihan penawaran. Menurut Boedie et al. (dalam Pane, 2009) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi harga saham yaitu profitabilitas, suku bunga, inflasi, nilai tukar, tingkat pengangguran, transaksi berjalan, dan defisit anggaran.

Variabel profitabilitas tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa analisis fundamental mempunyai pengaruh terhadap harga saham. Variabel tingkat pengangguran juga tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena sudah tercakup pada tingkat inflasi


(22)

sebagaimana dikatakan Samuelson (dalam Pane, 2009), yakni : the Philip curve illustrates the trade-off theory of inflation. According to this view, a nation can buy a lower level of unemployment if is willing to pay the price level of inflation”. Selain itu transaksi berjalan juga diabaikan karena sudah tercakup dalam nilai tukar sebagaimana diungkapkan Samuelson : bahwa pergerakan nilai tukar akan terus berlanjut sampai neraca modal dan neraca berjalan kembali dalam posisi keseimbangan.

Defisit anggaran tidak digunakan dalam penelitian ini yaitu karena defisit anggaran terjadi bila pengeluaran pemerintah lebih besar dari penerimaan pajak. Bila defisit anggaran ini ditutup dengan cara menerbitkan obligasi pada pasar modal maka secara otomatis harga saham akan terpengaruh. Namun defisit anggaran yang terjadi di Indonesia ditutup dengan utang luar negeri sehingga tidak ada dampak langsung terhadap harga saham.

Nilai tukar atau kurs (exchange rate) adalah harga satu mata uang (yang diekspresikan) terhadap mata uang lainnya ( Faizal dalam Dewi, 2006). Kurs dapat diekpresikan sebagai jumlah mata uang lokal yang dibutuhkan untuk membeli mata uang asing (disebut direct quote) atau sebaliknya, sejumlah mata uang asing yang dibutuhkan untuk membeli satu unit mata uang lokal (disebut indirect quote). Hubungan nilai tukar dengan harga saham adalah berlawanan arah (negatif) dimana pada saat nilai tukar terdepresiasi maka harga saham akan naik, dan pada saat nilai tukar mengalami apresiasi maka harga saham akan turun. Nilai tukar dimasukkan dalam penelitian ini karena nilai tukar sangat sering berfluktuasi yang dapat mengakibatkan pasar modal Indonesia mengalami kemuduran yang berdampak terhadap perekonomian Indonesia.


(23)

Inflasi merupakan kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk secara keseluruhan ( Tandelilin, 2001:212). Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan kepada barang lainnya. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan penurunan daya beli uang (purchasing power of money). Selain itu, inflasi yang tinggi juga bisa mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasinya. Sebaliknya jika tingkat inflasi suatu negara mengalami penurunan, maka hal ini akan merupakan sinyal yang positif bagi investor seiring dengan turunnya risiko daya beli uang dan risiko penurunan pendapatan riil.

Perubahan suku bunga dapat mempengaruhi variabilitas return suatu investasi yang tercermin akibat perubahan harga saham (Tandelilin, 2001:48-49). Perubahan suku bunga akan mempengaruhi harga saham secara terbalik. Apabila suku bunga meningkat maka harga saham akan turun, hal tersebut dapat terjadi karena investor akan lebih tertarik terhadap investasi yang terkait dengan suku bunga (misalnya deposito) dengan cara memindahkan investasinya dari saham.

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka variabel yang mempengaruhi harga saham yang digunakan dalam penelitian ini yaitu nilai tukar, suku bunga, dan inflasi. Kerangka konseptual dapat digambarkan pada Gambar 1.1.


(24)

Gambar 1.1 : Kerangka Konseptual

Sumber : Boedie et al. dalam Pane, 2009 ( diolah penulis)

D. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu jawaban yang diberikan masih berdasar pada teori yang relevan dan belum didasarkan pada faktor-faktor empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data ( Sugiyono, 2009:93). Hipotesis tersebut tentang perilaku, fenomena, atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi.

Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan pada rumusan masalah, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut :

“Faktor nilai tukar, suku bunga, dan inflasi mempunyai pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia”.

Nilai Tukar (X1)

Suku Bunga (X2)

Inflasi (X3)

Harga Saham (Y)


(25)

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara variabel nilai tukar, suku bunga, dan inflasi terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Bagi Penulis

Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan penulis dalam bidang keuangan khususnya yang menyangkut nilai tukar, suku bunga, inflasi dan harga saham. b. Bagi Investor

Penelitian ini bermanfaat untuk bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam pengambilan keputusan melakukan investasi pada saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia.

c. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini dapat bermanfaat menambah pengetahuan serta dapat memberikan informasi sebagai referensi atau perbandingan bagi peneliti lain dalam penelitian mengenai nilai tukar, suku bunga, inflasi, dan harga saham pada ruang lingkup dan kajian yang lebih luas.


(26)

F. Metodologi Penelitian 1. Batasan Operasional

Adapun yang menjadi batasan operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Variabel Bebas (Independent variable) yang terdiri dari nilai tukar, suku bunga, dan inflasi.

2. Variabel terikat (Dependent variable) yaitu harga saham.

b. Perusahaan yang menjadi sample penelitian adalah perusahaan rokok yang terdaftar di BEI selam tahun 2001-2008.

c. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Data laporan keuangan dan harga saham perusahaan Industri Rokok tahun 2001-2008 yang dipublikasikan BEI.

2. Data nilai tukar, suku bunga, dan inflasi pada tahun 2001-2008 yang dipublikasikan Bank Indonesia.

2. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Variabel Terikat (Dependent Variable) (Y)

Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga saham masing-masing perusahaan yang termasuk industri rokok yang terdaftar di BEI. Harga saham dihitung dari harga bulanan yang dikalkulasikan menjadi rata-rata tahunan dengan menggunakan rumus sebagai berikut ( Utami dan Mudjilah dalam Pane, 2009) :


(27)

Rata-rata harga saham tahunan =

b. Variabel Bebas (Independent Variable)(X)

Σ harga saham bulanan

12

1. Nilai Tukar (X1)

Nilai tukar atau kurs (exchange rate) adalah harga satu mata uang (yang diekspresikan) terhadap mata uang lainnya ( Faizal dalam Dewi, 2006). Nilai tukar diukur dari perubahan nilai tukar mata uang rupiah Indonesia terhadap dolar Amerika Serikat setelah disesuaikan dengan tingkat inflasi (dalam Pane, 2009), dengan menggunakan rumus : Rata-rata nilai tukar tahunan =

= Gross Profit

Rata-rata nilai tukar tahunan

Σ nilai tukar bulanan

12

Fluktuasi nilai tukar akan berpengaruh terhadap total pendapatan operasional sebagai hasil dari keuntungan. Oleh karena itu, maka rata-rata nilai tukar akan dikaitkan dengan gross profit pada laporan keuangan masing-masing perusahaan.

Dapat digambarkan rumus sebagai berikut :

2. Suku Bunga (X2)

Suku bunga yaitu berupa suku bunga riil yang dihitung dari perubahan suku bunga SBI jangka waktu satu bulan yang telah disesuaikan dengan tingkat inflasi (dalam Pane, 2009), yang dihitung dengan menggunakan rumus :

Rata-rata suku bunga tahunan = Σ suku bunga bulanan


(28)

Perubahan tingkat suku bunga akan berpengaruh terhadap hutang masing-masing perusahaan kepada pihak ketiga (liabilities). Sehingga akan didapat perubahan tingkat suku bunga yang berbeda dari masing-masing perusahaan, dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

= Rata-rata suku bunga tahunan x Total Liabilities 3. Inflasi (X3)

Inflasi merupakan kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk secara keseluruhan (Tandelilin, 2001:212). Data inflasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data perbulan yang kemudian dirata-ratakan menjadi data tahunan dengan menggunakan rumus : Rata-rata inflasi tahunan =

3. Populasi dan Sampel

Σ inflasi perbulan

12

Inflasi akan menyebabkan terjadinya kenaikan suku bunga perusahaan yang pada akhirnya juga akan menyebabkan hutang masing-masing perusahaan pada pihak ketiga berupa beban bunga akan menjadi meningkat. Oleh karena itu, rata-rata inflasi tahun ini akan dikaitkan dengan beban bunga (interest expense) masing-masing perusahaan (dalam Pane, 2009).

= Rata-rata inflasi tahunan x Interest Expense

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah populasi perusahaan industri rokok yang terdaftar di BEI. Jumlah populasi industri rokok yang terdaftar di BEI dengan laporan kegiatan perdagangan saham lengkap tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 adalah sebanyak empat emiten. Dikarenakan jumlah populasi yang hanya berjumlah 4 perusahaan, maka metode pengambilan sampel


(29)

yang digunakan adalah metode sampel jenuh (sensus). Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2009:122).

Tabel 1.5

Perusahaan Rokok yang Terdaftar di BEI

No Kode Emiten Nama Emiten Tanggal Listing

1 GGRM Gudang Garam Tbk 27 Agustus 1990

2 HMSP HM Sampoerna Tbk 15 Agustus 1990

3 BATI BAT Indonesia Tbk 20 Desember 1979

4 RMBA Bentoel International Inv. Tbk 5 Maret 1990

Sumber : www.idx.co.id (20 Maret 2010, diolah penulis) 4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi dengan mengumpulkan data pendukung literatur, jurnal, dan buku-buku referensi untuk mendapatkan gambaran masalah yang diteliti serta mengumpulkan data sekunder yang relevan dari laporan yang dipublikasikan Bursa Efek Indonesia dan Bank Indonesia.

5. Tempat dan Waktu Penelitian

a. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di BEI melalui situs www.bi.go.id dan www.idx.co.id.

b. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yaitu pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Juni 2010.

6. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang bersumber dari data sekunder. Data sekunder yaitu berasal dari publikasi Bursa Efek Indonesia tentang data emiten, laporan-laporan yang


(30)

dipublikasikan oleh Bank Indonesia, berbagai hasil penelitian dan buku referensi, jurnal-jurnal, majalah-majalah, laporan harga saham yang terdapat di Bursa Efek Indonesia.

7. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan metode analisis statistik.

A. Metode Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif adalah suatu metode analisis dimana data-data yang dikumpulkan, diklasifikasi, dianalisis, dan diinterpretasikan secara objektif sehingga memberikan informasi dan gambaran mengenai topik yang dibahas.

B. Metode Analisis Statistik

1. Analisis Regresi Linier Berganda

Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh dari nilai tukar, suku bunga, dan inflasi terhadap harga saham. Model yang digunakan adalah sebagai berikut:

Y = a + b1X1+b2X2+b3X3+e

Dimana : Y = Harga saham X1 = Nilai tukar X2 = Suku bunga X3 = Inflasi

b1 - b3 = koefisien regresi variebel X1 - X4


(31)

Sebelum melakukan analisis regresi, agar didapat perkiraan yang efisen dan tidak bias maka dilakukan pengujian asumsi klasik. Ada beberapa kriteria persyaratan asumsi klasik yang harus dipenuhi :

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam sebuah model regresi, variabel independen dan variabel dependen atau keduanya berdistribusi normal atau tidak. Model yang paling baik hendaknya berdistribusi data normal atau mendekati normal (Situmorang dkk., 2008:55-62). Metode yang digunakan untuk menguji normalitas adalah dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov terhadap nilai standar residual hasil persamaan regresi. Apabila probabilitas hasil uji Kolmogorov Smirnov lebih besar dari 5%, maka data berdistribusi normal, dan demikian sebaliknya. Selain uji Kolmogorov Smirnov, deteksi normalitas dapat dilakukan dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual. Apabila data menyebar di sekitar garis diagonal, maka regresi memenuhi asumsi normalitas. Namun jika data meyebar jauh dari garis diagonal atau titik tidak mengikuti arah garis diagonal maka regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.

b. Uji Heterokedastisitas

Uji heterokedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain (Situmorang dkk., 2008:62-67).


(32)

Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap maka disebut homokedastisitas, sementara jika berbeda disebut heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk menguji ada atau tidaknya heterokedastisitas pada model regresi yaitu dengan menggunakan metode grafik Scatterplot. Apabila data yang berbentuk titik-titik membentuk suatu pola, maka model regresi terkena heterokedastisitas. Apabila data yang berbentuk titik-titik tidak membentuk suatu pola atau menyebar, maka model regresi tidak terkena heterokedastisitas.

c. Uji Autokorelasi

Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi linier terdapat hubungan yang kuat baik positif maupun negatif antar data yang ada pada variable-variabel penelitian (Situmorang dkk, 2008:78-79). Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi, dengan demikian dapat dikatakan bahwa autokorelasi terjadi apabila observasi yang berturut-turut sepanjang waktu mempunyai korelasi antara satu dengan yang lainnya. Untuk menguji ada atau tidaknya autokorelasi dalam suatu model regresi, maka peneliti menggunakan Durbin-Watson Test (DW) yang diberi symbol “d”.


(33)

Tabel 1.6

Kriteria Pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi

Hipotesis nol Keputusan Jika

Tidak ada autokorelasi positif Tolak 0 < d < dl Tidak ada autokorelasi positif No decision Dl ≤ d ≤ du Tidak ada korelasi negative Tolak 4 – dl < d < 4 Tidak ada korelasi negatif No decision 4 – du ≤ d ≤ 4- dl Tidak ada autokorelasi, positif

atau negative

Tidak ditolak Du < d < 4 - du

Sumber : Situmorang dkk., (2008:86)

Keterangan : du = batas atas dl = batas bawah

Uji yang dilakukan selain Durbin-Watson Test untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi dalam model regresi yaitu The Runs Test. Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi dengan The Runs Test dapat dilihat dari Asymp. Sig. (2-tailed). Apabila Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari signifikansi 5% maka model regresi tidak terkena autokorelasi.

d. Uji Multikolinearitas

Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi linier ditemukan adanya korelasi yang tinggi diantara variabel bebas (Situmorang dkk,. 2008:96-106). Apabila terdapat korelasi antara variabel bebas, maka terjadi multikolinearitas, demikian juga sebaliknya apabila tidak terdapat korelasi antara variabel bebas, maka tidak terjadi multikolinearitas. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala multikolinearitas dapat dilihat dari besarnya nilai Vairance Inflation Factor (VIF) dengan ketentuan :


(34)

Bila VIF > 5 maka terdapat masalah multikolinearitas yang serius Bila VIF < 5 maka tidak terdapat masalah multikolinearitas yang

serius

2. Pengujian Hipotesis

Uji hipotesis berguna untuk memeriksa atau menguji apakah koefisien regresi yang didapat signifikan. Ada dua jenis koefisien regresi yang dapat dilakukan yaitu uji-F dan uji-t.

a. Uji-F (uji signifikansi simultan)

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel bebas secara simultan dapat diterima menjadi model penelitian terhadap variabel terikat.

Bentuk pengujian :

H0:b1 =b2 =b3 =0, artinya nilai tukar, suku bunga, dan inflasi tidak mempunyai pengaruh signifikan secara simultan terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia. H1: b1≠b2 ≠b3 ≠0, artinya factor nilai tukar, suku bunga,

dan inflasi mempunyai pengaruh signifikan secara simultan terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Pada penelitian ini nilai Fhitung akan dibandingkan dengan Ftabel pada tingkat signifikan α = 5%. Kriteria penilaian hipotesis pada uji simultan atau uji-F :

H1 ditolak ( H0 diterima ) jika F hitungFtabelpada α = 5%


(35)

b. Uji-t (uji parsial)

Digunakan untuk menguji koefisien regresi secara individual. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah secara parsial masing-masing variabel bebas mempunyai pengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel terikat. Setelah didapat nilai thitung

maka selanjutnya nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel.

Bentuk pengujian :

1. H0:b1 =0, artinya faktor nilai tukar tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia.

H1:b1 ≠0, artinya faktor nilai tukar mempunyai pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia 2. H0:b2 =0, artinya faktor suku bunga tidak mempunyai

pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia.

H1:b2 ≠0, artinya faktor suku bunga mempunyai pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia 3. H0:b3 =0, artinya faktor inflasi tidak mempunyai pengaruh

terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia H1:b3 ≠0, artinya faktor inflasi mempunyai pengaruh terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia.


(36)

Pada penelitian ini nilai thitung dibandingkan dengan ttabel pada

tingkat signifikan (α) = 5%. Akan tetapi, penulis melihat ttabel

pada tingkat signifikansi 2,5% karena melihat dua arah. Kriteria pengambilan keputusan pada uji-t :

H0 diterima jika : -ttabelthitungttabel

H1 diterima jika : -ttabel>thitung atau thitung>ttabel

Pengujian asumsi klasik dilakukan untuk mendapatkan hasil penelitian yang BLUE ( Best Linier Unbiased Estimated ). Dalam menganalisis data, penulis menggunakan program Software SPSS (Statistic Package for the Social Sciens) 15.00 for windo ws.


(37)

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Pane tahun 2009 dengan judul “Pengaruh Risiko Sistematis, Nilai Tukar, Suku Bunga, dan Inflasi Terhadap Harga Saham Pada Industri Tekstil di Bursa Efek Indonesia ”. Hasil penelitian membuktikan bahwa risiko sistematis, nilai tukar, suku bunga dan inflasi secara bersama-sama memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Risiko sistematis yang dihitung dengan indeks beta tidak berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Nilai tukar mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Suku bunga tidak berpengaruh negatif signifikan terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia. Inflasi berpengaruh negatif signifikan terhadap harga saham industri rokok di Bursa Efek Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Haryanto dan Riyanto pada tahun 2007 dengan judul “Pengaruh Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia dan Nilai Kurs terhadap Risiko Sistematik Saham Perusahaan di BEJ”. Sampel yang digunakan dikelompokkan menjadi perusahaan manufaktur dan non manufaktur. Hasil penelitian bahwa variabel makro yaitu nilai kurs dan suku bunga mempengaruhi risiko sistemtik saham, namun hasilnya tidak konsisten pada dua karakteristik industri yang berbeda. Pada perusahaan manufaktur hanya kurs yang mempengaruhi risiko saham sedangkan pada perusahaan non-manufaktur suku bunga SBI yang mempengaruhi risiko sistematis saham. Selain itu hasil


(38)

menunjukkan bahwa hubungan antara suku bunga SBI dan risiko sistematis saham adalah negatif. Hasil penelitian berbeda dengan penjelasan yang semestinya yaitu jika suku bunga naik maka return investasi yang terkait dengan suku bunga (misal deposito) juga akan naik.

Penelitian yang dilakukan oleh Anastasia et al pada tahun 2003 dengan judul “Analisis Faktor Fundamental dan Risiko Sistematis terhadap Harga Saham Properti di BEJ”. Faktor fundamental terdiri ROA, ROE, BV, DER, r. Hasil penelitian menemukan bahwa faktor fundamental Book Value (BV) yang mempengaruhi harga saham secara parsial, sedangkan faktor fundamental yang lainnya dan risiko sistematis yang dihitung dengan indeks beta tidak berpengaruh secara parsial terhadap harga saham.

Penelitian yang dilakukan oleh Suhardi pada tahun 2005, dengan judul “Studi Empiris terhadap Dua Faktor yang Mempengaruhi Return Saham pada Industri Food and Beverages di BEJ”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio hutang dan tingkat risiko tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap return saham.

B. Harga Saham

Menurut Buku Panduan Investasi di Pasar Modal Indonesia tahun 2003 (dalam Dedi dan Riyatno, 2007:26), saham adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan, dan pemegang saham memiliki hak klaim atas penghasilan dan aktiva perusahaan. Harga sebuah saham sangat dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran, harga suatu saham akan cenderung naik


(39)

bila suatu saham mengalami kelebihan permintaan dan cenderung turun jika terjadi kelebihan penawaran.

Harga saham adalah harga suatu saham yang diperdagangkan di bursa. Harga saham sering dicatat berdasarkan perdagangan terakhir pada hari bursa sehingga sering disebut harga penutupan. Oleh karena itu harga saham diukur dari harga resmi berdasarkan transaksi penutupan terakhir pada hari bursa. Harga saham sangat dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran. Pada saat permintaan saham meningkat, maka harga saham tersebut akan cenderung meningkat, sebaliknya pada saat banyak pemilik saham menjual saham yang dimilikinya, maka harga saham tersebut cenderung akan mengalami penurunan. Market Price merupakan harga pada saat riil dan merupakan harga yang paling mudah ditentukan karena merupakan harga dari suatu saham pada pasar yang sedang berlangsung. Harga pembukaan bursa merupakan harga pada saat penutupan (closing price) sebelumnya. Menurut Boedie et al. (dalam Pane, 2009) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi harga saham yaitu profitabilitas, suku bunga, inflasi, nilai tukar, tingkat pengangguran, transaksi berjalan dan defisit anggaran.

Harga sebuah saham dapat berubah atau berfluktuasi dengan cepat bahkan dalam hitungan menit maupun hitungan detik. Hal tersebut diakibatkan karena banyaknya pesanan yang dimasukkan ke JATS (Jakarta Automated Trading System). Pada perdagangan Bursa Efek Indonesia terdapat lebih 400 terminal komputer dimana para floor trader dapat memasukkan pesanan yang diterimanya dari nasabah. Pada monitor-monitor yang memantau perdagangan saham, terdapat beberapa istilah harga saham :


(40)

a. Previous Price menunjukkan harga penutupan hari sebelumnya.

b. Open atau Opening Price menunjukkan harga saham pertama kali pada saat pembukaan sesi I perdagangan, yaitu pada jam 09.30 WIB.

c. High atau Highest Price menunjukkan harga tertinggi atas suatu saham yang terjadi sepanjang perdagangan pada hari tersebut.

d. Low atau Lowest Price menunjukkn harga terndah atas suatu saham yang terjadi sepanjang perdagangan pada hari tersebut.

e. Closing Price atau Last Price menunjukkan harga terakhir yang terjadi atas suatu saham, yaitu jam 16.00 WIB.

f. Change menunjukkan selisih antara harga pembukaan dengan harga terakhir yang terjadi pada hari tersebut.

C. Nilai Tukar

Nilai tukar merupakan harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang negara lain. Dengan kata lain bahwa nilai tukar yaitu mengukur nilai suatu valuta suatu negara dari perspektif valuta negara lain. Sejalan dengan berubahnya kondisi ekonomi, nilai tukar akan juga berubah secara substansional.

1. Teori yang Berkaitan dengan Nilai Tukar

a) Balance of payment Approach

Pendekatan ini didasarkan pada pendapat bahwa nilai tukar valuta ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan terhadap valuta tersebut. Adapun alat yang digunakan untuk mengukur kekuatan penawaran dan permintaan tersebut adalah Balance of Payment.


(41)

b) Teori Purchasing Power Parity

Teori ini agak berbeda dengan pendekatan sebelumnya. Teori ini berusaha untuk menghubungkan nilai tukar dengan daya beli valuta tersebut terhadap barang dan jasa. Pendekatan ini mengunakan apa yang disebut Law of One Price sebagai dasar. Dalam Law of One Price disebutkan bahwa dengan asumsi tertentu, dua barang yang identik (sama dalam segala hal) harusnya mempunyai harga yang sama.

c) Fisher Effect

Teori ini diperkenalkan oleh Irving Fishing. Fisher Effect menyatakan bahwa tingkat suku bunga nominal di suatu negara akan sama dengan tingkat suku bunga riil ditambah tingkat inflasi di negara itu. Pernyataan tersebut dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut :

Suku Bunga Nominal = Suku Bunga Riil + Tingkat Inflasi

Dengan kta lain, tingkat suku bunga nominal di dua negara dapat berbeda karena tingkat inflasi mereka berbeda.

d) International Fisher Effect

Pendapat ini didasari oleh Fisher Effect, bahwa pergerakan nilai mata uamh suatu negara di banding negara lain (pergerakan kurs) disebabkan oleh perbedaan suku bunga nominal yang ada di kedua negara tersebut.

Implikasi dari International Fisher Effect adalah bahwa orang tidak bisa menikmati keuntungan yang lebih tinggi hanya dengan menanamkan dana mereka ke negara yang mempunyai suku bunga


(42)

nominal tinggi karena nilai mata uang negara yang suku bunganya tinggi tersebut akan terdepresiasi (turun nilainya) sebesar selisih bunga nominal dengan negara yang mempunyai suku bunga nominal lebih rendah.

2. Jenis-jenis Sistem Nilai Tukar

Sistem nilai tukar dapat diklasifikasikan menurut seberapa jauh nilai tukar dikendalikan oleh pemerintah (Madura, 2000:156-162). Sistem nilai tukar suatu negara biasanya masuk ke dalam salah satu kategori sistem tetap (fixed), sistem mengambang bebas (freely floating), sistem mengambang terkendali (managed floating), dan sistem terpatok (pegged).

1) Sistem Tetap (fixed)

Pada sistem nilai tukar tetap, nilai tukar mata uang dibuat konstan ataupun hanya diperbolehkan berfluktuasi dalam kisaran yang sempit. Bila pada suatu saat nilai tukar mulai berfluktuasi terlalu besar, maka pemerintah akn melakukan intervensi untuk menjaga agara fluktuasi tetap berada dalam kisaran yang diinginkan.

2) Sistem Mengambang Bebas (freely floating)

Pada sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar dibiarkan bergerak mengikuti kekuatan-kekuatan pasar tanpa intervensi dari pemerintah. Dalam sistem ini, perusahaan-perusahaan perlu mencurahkan sumber daya yang substansial untuk mengukur dan mengelola risiko valuta asing.


(43)

3) Sistem Mengambang Terkendali (managed floating)

Pada sistem nilai tukar mengambang terkendali, nilai tukar dibiarkan berfluktuasi tanpa batas-batas yang eksplisit, tetapi bank sentral bisa melakukan intervensi untuk mempengaruhi pergerakan nilai tukar. Hal ini dilakukan untuk mencegah valuta berfluktuasi terlalu tajam ke satu arah.

4) Sistem Terpatok (pegged)

Sistem nilai tukar terikat dimana mata uang lokal dikaitkan nilainya pada sebuah valuta asing atau pada sebuah jenis mata uang tertentu. Nilai mata uang lokal akan mengikuti fluktuasi dari nilai mata uang yang dijadikan ikatan tersebut.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Nilai Tukar

Perubahan dalam permintaan dan penawaran suatu valuta dapat diakibatkan oleh banyak faktor (Sukirno, 2004:402-403), yaitu :

1) Kenaikan harga (inflasi)

Inflasi yang terjadi pada suatu negara sangat berpengaruh terhadap kurs atau nilai tukar negara tersebut. Inflasi yang berlaku pada umumnya cenderung menurunkan nilai suatu valuta asing. Kecenderungan seperti ini disebabkan efek inflasi yaitu inflasi menyebabkan harga dalam negeri lebih tinggi dibandingkan barang impor sehingga impor akan meningkat, dan ekspor akan menurun karena harganya bertambah mahal.


(44)

2) Perubahan harga barang ekspor dan impor

Harga suatu barang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan apakah suatu barang akan diimpor maupun diekspor. Barang-barang dalam negeri yang dapat dijual dengan harga barang yang relatif murah akan menaikkan ekspor dan apabila harganya naik maka ekspornya akan berkurang. Pengurangan harga barang impor akan menambah jumlah impor dan sebaliknya kenaikan harga barang impor akan mengurangi impor.

3) Perubahan dalam citarasa masyarakat

Citarasa masyarakat mempengaruhi corak konsumsi mereka. Maka perubahan citarasa masyarakat akan mengubah corak konsumsi mereka akan barang-barang yang diproduksikan didalam negeri maupun yang diimpor. Perbaikan kualitas barang-barang dalam negeri menyebabkan keinginan mengimpor berkurang dan dapat menyebabkan ekspor meningkat. Sedangkan perbaikan kualitas barang-barang impor meyebabkan keinginan masyarakat untuk mengimpor bertambah besar. Perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing.

4) Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi

Suku bunga dan tingkat pengembalian investasi sangat penting perannya dalam mempengaruhi aliran modal. Apabila suku bunga dan tingkat pengembalian rendah maka akan mengakibatkan modal dalam negeri mengalir ke luar negeri, dan sebaliknya apabila suku bunga dan tingkat pengembalian tinggi maka akan mengakibatkan modal luar


(45)

negeri masuk ke dalam negeri. Apabila lebih banyak modal mengalir ke dalam negeri maka permintaan terhadap mata uang dalam negeri bertambah dengan demikian akan menambah nilai mata uang negara tersebut.

5) Pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung terhadap kemajuan ekonomi negara tersebut. Apabila kemajuan itu terutama diakibatkan oleh perkembangan ekspor, amka permintaan atas mata uang negara tersebut akan naik yang akan mengakibatkan harga saham akan naik. Sebaliknya, apabila kemajuan ekonomi tersebut mengakibatkan impor berkebang lebih cepat dibandingkan ekspor maka permintaan atas mata uang negara tersebut akan menjadi turun yang akan berdampak terhadap penurunan harga saham.

4. Hubungan Perubahan Nilai Tukar dengan Harga Saham

Hubungan secara teoretis antara nilai tukar rupiah dengan harga saham bersifat negatif yaitu apabila terjadi penurunan nilai tukar mata uang rupiah terhadap US$ (rupiah terdepresiasi) maka harga saham akan mengalami peningkatan. Perubahan dari nilai tukar disebut depresiasi atau apresiasi. Depresiasi adalah suatu penurunan harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Misalnya dari Rp 1 = $1,50 menjadi Rp 1 = $1,25. Hal ini berarti mata uang Rp terhadap US$ mengalami depresiasi. Bila semua kondisi lainnya tetap (ceteris paribus) maka depresiasi mata uang suatu negara akan membuat harga-harga menjadi lebih murah bagi pihak luar negeri.


(46)

Apresiasi adalah suatu kenaikan harga suatu mata uang terhadap mata uang negara lain. Misalnya dari Rp 1 = $ 1,75. hal ini berarti mata uang Rp terhadap US$ mengalami apresiasi. Bila semua kondisi lainnya tetap (ceteris paribus) maka apresiasi mata uang suatu negara akan membuat harga-harga barangnya menjadi lebih mahal bagi pihak luar negeri. Dengan kata lain peningkatan nilai mata uang suatu negara tercermin dari penurunan permintaan masyarakat pada mata uang asing yang selanjutnya akan meningkatkan harga saham.

D. Suku Bunga

Suku bunga adalah harga yang harus dibayar atas modal pinjaman, dan dividen serta keuntungan modal yang merupakan hasil dari modal ekuitas (Brigham, 2001:158). Suku bunga yang dibayarkan kepada penabung tergantung pada :

1) Tingkat pengembalian yang diharapkan produsen akan perolehan dari modal yang ditanamkan.

2) Saat mengkonsumsi yang disukai oleh konsumen / penabung (preferensi waktu dalam mengkonsumsi).

3) Risiko yang terkandung dalam pinjaman tersebut. 4) Tingkat inflasi yang diperkirakan.

1. Fungsi Suku Bunga dalam Perekonomian

Tingkat suku bunga mempunyai beberapa fungsi dalam suatu perekonomian, anatara lain (dalam Pane, 2009) :

a. Sebagai daya tarik bagi penabung individu, institusi, atau lembaga yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan.


(47)

b. Tingkat suku bunga dapat digunakan sebagai alat kontrol bagi pemerintah terhadap dana langsung investasi pada sektor-sektor ekonomi.

c. Tingkat suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian.

d. Pemerintah dapat memanipulasi tingkat bunga untuk meningkatkan produksi, sebagi akibatnya tingkat bunga dapat digunakan untuk mengontrol tingkat inflasi.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat umum suku bunga selain perkiraan inflasi, tingkat likuiditas aktiva yang dikehendaki, dan keadaan permintaan dan penawaran (Brigham, 2001:158) adalah :

a. Kebijakan Bank Sentral

b. Besarnya defisit anggaran pendapatan dan belanja negara c. Neraca perdagangan luar negeri

d. Tingkat kegiatan usaha

3. Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Harga Saham

Tandelilin (2001:48-49) mengemukakan bahwa perubahan suku bunga dapat mempengaruhi variabilitas return suatu investasi yang tercermin akibat perubahan harga saham. Perubahan suku bunga akan mempengaruhi harga saham secara terbalik ceteris paribus. Apabila suku bunga meningkat maka harga saham akan turun, hal tersebut dapat terjadi karena investor akan lebih tertarik terhadap


(48)

investasi yang terkait dengan suku bunga (misalnya deposito) dengan cara memindahkan investasinya dari saham.

Saham apabila banyak dijual, dengan kata lain bahwa permintaan lebih kecil daripada penawaran akan mengakibatkan harga saham tersebut menjadi turun. Demikian juga sebaliknya apabila suku bunga menurun maka harga saham akan menjadi naik. Hal tersebut dpaat terjadi disebabkan jumlah saham yang diminta akan menjadi banyak, yang sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran apabila permintaan lebih besar daripada penawaran maka harga akan menjadi naik atau lebih tinggi.

E. Inflasi

Inflasi merupakan kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk secara keseluruhan (Tandelilin, 2001:212). Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan kepada barang lainnya. Inflasi akan menyebabkan terjadinya kenaikan suku bunga perusahaan yang pada akhirnya juga akan menyebabkan hutang perusahaan pada pihak ketiga berupa beban bunga akan menjadi meningkat.

Tujuan jangka panjang dari pemerintah yaitu menjaga agar tingkat inflasi yang berlaku berada pada tingkat yang sangat rendah. Tingkat inflasi nol persen bukanlah tujuan utama kebijakan pemerintah karena tingkat inflasi nol persen adalah sukar untuk dicapai, yang paling penting untuk diusahakan adalah menjaga agar tingkat inflasi tetap rendah.


(49)

1. Jenis-jenis Inflasi

a. Berdasarkan sumber atau penyebab kenaikan harga-harga yang berlaku : 1) Inflasi tarikan permintaan (Demand pull inflation)

Merupakan inflasi yang terjadi pada masa perekonomian berkembang dengan pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa. Pengeluaran yang berlebihan tersebut akan menyebabkan terjadinya inflasi. Inflasi tarikan permintaan juga berlaku pada masa perang atau ketidakstabilan politik yang terus menerus. Dalam masa seperti tersebut pemerintah berbelanja jauh melebihi pajak yang dipungutnya. Untuk membiayai kelebihan pengeluartan tersebut pemerintah terpaksa mencetak uang atau meminjam dari bank sentral yang akan menyebabkan permintaan agregat akan melebihi kemampuan ekonomi. 2) Inflasi desakan biaya (cost push inflation)

Inflasi ini berlaku pada masa perekonomian berkembang dengan pesat dimana tingkat pengangguran adalah sangat rendah. Apabila perusahaan-perusahaan masih menghadapi permintaan bertambah, mereka akan berusaha untuk meningkatkan produksi dengan cara memberikan gaji dan upah yang lebih tinggi kepada pekerjanya dan mencari pekerja baru dengan tawaran pembayaran yang lebih tinggi. Langkah tersebut akan mengakibatkan biaya produksi meningkat, yang selanjutnya akan menaikkan harga barang yang diproduksi.


(50)

3) Inflasi impor

Inflasi bersumber dari kenaikan harga barang-barang impor, inflasi ini timbul apabila perusahaan membutuhkan barang yang diimpor untuk proses produksi sehingga harga barang yang diproduksi tersebut akan menjadi naik dan akan berakibat terhadap barang-barang yang lainnya. b. Berdasarkan tingkat kelajuan kenaikan harga-harga yang berlaku:

1) Inflasi Merayap

Inflasi merayap adalah proses kenaikan harga-harga yang lamban jalannya. Dimana kenaikan harga yang tingkatnya tidak melebihi 2 atau 3% setahun, misalnya negara yang termasuk dalam inflasi merayap ini adalah Malaysia dan Singapura.

2) Inflasi Sederhana

Inflasi sederhana adalah proses kenaikan harga-harga yang biasanya dialami oleh negara-negara berkembang. Negara tersebut tidak menghadapi masalah hiperinflasi, akan tetapi juga tidak mampu menurunkan inflasi pada tingkat yang sangat rendah. Inflasi yang terjadi antara 5% hingga 10%.

3) Inflasi Hiperinflasi

Inflasi hiperinflasi adalah proses kenaikan harga-harga yang sangat cepat, yang menyebabkan tingkat harga manjadi dua atau beberapa kali lipat dalam masa yang singkat. Misalnya pada Indonesia pada tahun 1965 tingkat inflasi adalah 500%, inflasi pada tahun 1966 mencapai 650%, berarti harga-harga naik 5 kali lipat pada tahun 1965 dan 6,5 kali lipat pada tahun 1966.


(51)

c. Berdasarkan bobotnya dapat dibedakan menjadi empat, yaitu :

1) Inflasi ringan adalah inflasi dengan laju pertumbuhan yang berlangsung perlahan dan berada pasa posisi satu digit atau dibawah 10% per tahun.

2) Inflasi sedang adalah inflasi dengan tingkat laju pertumbuhan berada di antara 10-30% per tahun atau melebihi dua digit.

3) Inflasi berat merupakan inflasi dengan laju pertumbuhan berada di antara 30-100% per tahun.

4) Inflasi sangat berat adalah inflasi dengan laju pertumbuhan melampaui 100% per tahun.

2. Pengukuran Tingkat Inflasi

Untuk mengukur laju perumbuhan tingkat inflasi, ada beberapa cara yang digunakan yaitu dengan menggunakan angka harga umum, angka deflator PNB, indeks harga konsumen, aras harga harapan, indeks harga dalam dan luar negeri, angka deflator Gross National Product dan indeks harga.


(52)

A. PASAR MODAL INDONESIA

Pasar modal Indonesia sudah ada sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Pasar modal atau Bursa Efek Indonesia didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC pada 14 Desember 1912. Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman.

Kegiatan pasar modal Indonesia mengalami kevakuman disebabkan beberapa faktor, seperti Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1942-1952), perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pada tahun 1952, Bursa Efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri Keuangan (Prof. DR. Sumitro Djojohadikusumo) dan instrumen yang diperdagangkan adalah Obligasi Pemerintah RI (1950). Pada tahun 1956-1977 Bursa Efek vakum karena program nasionalisasi Belanda di Indonesia.

Pada tanggal 10 Agustus 1977, Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. Bursa Efek Jakarta dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public


(53)

PT.Semen Cibinong sebagai emiten pertama. Pada tahun 1977 sampai 1987, perdagangan di Bursa Efek sangat lesu karena masyarakat lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen pasar modal. Pada tahun 1987, ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahn bagi perusahaan untuk melakukan penawaran umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.

Pada tahun 1988 sampai 1990, paket deregulasi dibidang perbankan dan pasar modal diluncurkan dan BEJ terbuka untuk asing sehingga aktivitas bursa meningkat. Pada bulan Desember 1988, pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES 88) yang memberikan kemudahan perusahan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal.

Pada tanggal 16 Juni 1989, Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT. Bursa Efek Surabaya. Pada tanggal 13 Juli 1992, deperingati sebagai HUT BEJ karena tanggal 13 Juli 1992 adalah hari swastanisasi BEJ. Pada tahun 1995, Bursa Efek Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya dan diberlakukannya Sistem Otomatisasi Perdagangan di BEJ dengan sistem komputer JATS (Jakarta Automated Trading Systems). BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading) pada tahun 2002. pada tanggal 10 November 2007, Bursa Efek Surabaya (BES) bergabung dengan Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).


(54)

B. SEJARAH PERKEMBANGAN INDUSTRI ROKOK

Perkembangan rokok kretek Indonesia dimulai di Kudus pada tahun 1890 dan kemudian menyebar ke berbagai daerah lain di Jawa Tengah antara lain Magelang, Surakarta, Pati, Rembang, Jepara, Semarang juga ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Perkembangan industri rokok di Indonesia ditandai dengan lahirnya perusahaan rokok besar yang menguasai pasar dalam industri ini, yaitu PT.Gudang Garam,Tbk yang berpusat di Kediri, PT. Djarum yang berpusat di Kudus, PT.HM Sampoerna, Tbk yang berpusat di Surabaya, PT. Bentoel yang berpusat di Malang dan PT. Nojorono yang berpusat di Kudus.

Rokok Indonesia memiliki cita rasa yang berbeda dengan rokok luar negeri yang biasa dikenal dengan nama rokok putih. Rokok Indonesia, yang dikenal dengan rokok kretek (clove cigarette), mempunyai cita rasa yang berbeda karena adanya pemanfaatan bahan baku cengkeh (sebagai tambahan aroma) selain tembakau sebagai bahan pokoknya.

Dalam sejarah perkembangannya produksi rokok cenderung mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, salah satu sebabnya adalah semakin dikenalnya rokok kretek sehingga permintaan untuk rokok kretek meningkat. Sebelum tahun 1975 industri rokok Indonesia masih didominasi oleh rokok putih yang diimpor. Setelah tahun 1975 industri rokok kretek mampu menjadi primadona di negerinya sendiri.

Industri rokok di Indonesia merupakan industri yang banyak menyerap tenaga kerja (sumber daya manusia, SDM). SDM dibutuhkan mulai dari penanaman tembakau dan cengkeh di perkebunan, pengeringan tembakau dan cengkeh, perajangan tembakau dan pelintingan rokok di pabrik-pabrik sampai


(55)

pedagang asongan yang memasarkan rokok di jalanan. Industri rokok di Indonesia menyerap tenaga kerja sekitar 500.000 karyawan, yang bekerja langsung pada pabrik dan pada seluruh level struktur organisasi. Penyerapan tenaga kerja tidak hanya ada di pabrik rokok saja tetapi apabila ditambah dengan jumlah orang yang terlibat dari hulu sampai hilir yang diawali dengan petani tembakau dan cengkeh, karyawan produksi kertas pembungkus rokok, sampai karyawan dalam jalur distribusi (ritel, outlet dan pedagang asongan), jumlah tenaga kerja yang terserap dalam industri ini sekitar 18 juta jiwa.

Perkembangan teknologi memacu juga modernisasi industri rokok di Indonesia diawali dengan mesinisasi yang dipelopori oleh PT. Bentoel pada tahun 1968 sehingga produksinya disebut dengan sigaret kretek mesin (SKM). Walaupun ada modernisasi tetapi kebutuhan tenaga kerja masih tetap tinggi yang diserap oleh proses produksi pelintingan rokok yang dikerjakan oleh tenaga manusia dan produknya selama ini dikenal dengan nama sigaret kretek tangan (SKT).

C. GAMBARAN UMUM INDUSTRI ROKOK INDONESIA

1. PT. GUDANG GARAM Tbk

Gudang Garam Tbk adalah sebuah merupakan pemimpin dalam produksi kompleks perusahaan ini adalah


(56)

PT Gudang Garam didirikan pada berumur sekitar dua puluh tahun, Ing Hwie mendapat tawaran bekerja dari pamannya di pabrik rokok Cap 93 yang merupakan salah satu pabrik rokok terkenal d mendapatkan promosi dan akhirnya menduduki posisi direktur di perusahaan tersebut.

Pada tahun 1956 Ing Hwie meninggalkan Cap 93. Dia membeli tanah di nama perusahaannya menjadi Pabrik Rokok Tjap Gudang Garam.

Beberapa produk dari PT. Gudang Garam, Tbk antara lain adalah Gudang Garam International, Gudang Garam Surya 12, Gudang Garam Surya 16, Gudang garam Surya Slims, Gudang Garam Surya Signature, Gudang garam Nusantara, Gudang Garam Nusantara Mild, Gudang Garam Merah, Gudang Garam Djaja, Taman Sriwedari dan Sigaret Kretek Filter Klobot.

PT. Gudang Garam Tbk berdiri sejak tahun 1971 dengan Nomor Wajib Pajak 01.107.155.2-092.00. Modal dasarnya sebesar Rp. 962.044.000.000,- dan modal disetor sebesar Rp. 962.044.000.000,-. PT. Gudang Garam Tbk beralamat di Jl. Semampir II/I Wisselboard 21091-21096. Direktur utama adalah Buntoro Turutan. Komisaris adalah Juni Setiawan Wonowidjojo. Komite Audit (ketua) adalah Frans Willem Van Gelder dan anggota adalah Yudiono Mukti Widjojo. Pemegang saham PT. Gudang Garam Tbk adalah PT. Surya Mitra Kesuma (www.idx.co.id, 20 Maret 2010 ).


(57)

2. PT. H.M SAMPOERNA Tbk

Hanjaya Mandala Sampoerna adalah sebelumnya merupakan perusahaan yang dimiliki keluarga sejak Maret 2005 kepemilikan mayoritasnya berpindah tangan ke perusahaan rokok terbesar di dunia dari keluarga yang melebihi 90 tahun. Beberapa merek rokok terkenal dari Sampoerna adalah Dji Sam Soe, A Mild. Dji Sam Soe adalah merek lama yang telah bertahan sejak masa awal perusahaan tersebut. Selain itu, perusahaan ini juga juga terkenal karen

Sampoerna didirikan pada tahun istrinya Siem Tjiang Nio, imigra Handel Maastchpaij Liem Seeng Tee yang kemudian berubah menjadi NV Handel Maastchapij Sampoerna. Perusahaan ini meraih kesuksessan dengan mer memporak-porandakan bisnis tersebut. Setelah masa tersebut, putra Liem, perusahaan tersebut dengan manajemen yang lebih modern. Nama perusahaan juga berubah seperti namanya yang sekarang ini. Selain itu, melihat kepopuleran rokok cengkeh di Indonesia, dia memutuskan untuk hanya memproduksi rokok

Generasi berikutnya, Sampoerna melangkah lebih jauh dengan terobosan-terobosan yang dilakukannya, seperti perkenalan rokok bernikotin rendah,


(58)

kepemilikan di perusahaan supermarket perbankan.Pada tahun jajaran direksi dan menjabat sebagai

PT. H.M Samperna Tbk listing di Bursa Efek Jakarta pada 5 Agustur 1990 dengan Nomor Wajib Pajak 01.108.205.4-092.000 dengan klasifikasi rokok. Modal dasarnya adalah sebesar Rp 630.000.000.000,- dan modal disetor sebesar Rp 450.000.000.000,-. Kantor pusat PT. H.M Sampoerna terletak di Jl. Rangkut Industri Raya 18 Surabaya. Direktur utama PT. H.M. Sampoerna adalah Martin Gray King. Komisaris adalah Douglas Walter Werth. Komisaris Independen adalah Ekadhamantjanto Kasih. Komite Audit (ketua) adalah Louis Suwarna dengan anggota yaitu Timotius dan Amir Abadi Jusuf. Pada Maret perusahaan ini kemudian diakuisisi oleh Philip Morris (www.idx.co.id, 20 Maret 2010).

3. PT. BAT INDONESIA Tbk

PT. BAT Indonesia Tbk adalah anak perusahaan dari British American Tobacco p.l.c, kelompok perusahaan tembakau terbesar kedua didunia dengan lebih dari 300 merek dan beroperasi di 10 negara serta bermarkas di London, Inggris. PT. BAT Indonesia Tbk telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1917 dan pertama kali terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1979 dengan kantor pusat di Jakarta. Saat ini mempekerjakan sekitar 500 orang karyawan di 6 kantor cabang penjualan, 3 pusat pertembakauan, pabrik dan 1 kantor pusat. Merek-merek utama dati PT. BAT Indonesia Tbk adalah Dunhill, Lucky Strike, Ardath, Commfil dan Kansas.


(59)

PT. BAT Indonesia Tbk memiliki Nomor Wajib Pajak 1.000.164.2-054 dengan klasifikasi rokok. Modal dasarnya adalah sebesar Rp 88.000.000.000,- dan modal disetor sebesar Rp 22.000.000.000,-. Kantor pusat beralamat di Jl. Plaza Exim lantai 25 Gatot Subroto No 36-38 Jakarta.

Komisaris utama PT. Bat Indonesia Tbk adalah Frans Seda, Komisaris adalah Stuart Damon Brazier, Komisaris Independen adalaqh Subroto Zaini, MBA dan Djoto Moeljono. Komite Audit (ketua) adalah Frans Seda dengan anggota Djoto Moeljono dan Subroto Zaini. Direktur utama adalah Ian Thomas Morton dengan anggota Lekir Amir Daud, Masudil Badri, Ir MBA, Mark Drain dan Wahyu Indrawanto. Pemegang saham PT. Bat Indonesia Tbk adalah British American Tobacco, HMSP- Fund Services Client, dan Ssb s71 v Acf First Eagle Overs (www.idx.co.id, 20 Maret 2010).

4. PT. BENTOEL INTERNATIONAL INVESTAMA Tbk

Bentoel Group adalah perusahaan induk dari beberapa perusahaan yang menjalankan usaha di bidang industri rokok yang biasa dikenal dengan nama Bentoel. Sejarah Bentoel di mulai pada saat Ong Hok Liong mendirikan industri rokok rumahan yang dinamakan “Strootjes Fabriek Ong Hok Liong” pada tahun 1930. Industri rumahan tersebut berubah nama menjadi N.V Pertjetakan Hien An pada tahun 1951. Empat tahun kemudian nama perusahaan kembali diubah menjadi PT. Perusahaan Rokok Tjap Bentoel.

Pada akhir tahun 60an, Bentoel adalah produsen rokok pertama yang memproduksi sigaret kretek mesin (SKM) berfilter di Indonesia. Bentoel juga merupakan produsen pertama yang menggunakan plastik sebagai pembungkus


(60)

kemasan. Inovasi tersebut kemudian menjadi acuan di industri rokok kretek nasional. Pada dekade 70an dan 80an, Bentoel tumbuh dengan pesat, dan menjadi salah satu pemain utama dalam industri rokok dalam negeri. Pengakuan terhadap Bentoel sebagai produsen dan distributor rokok yang dapat diandalkan juga diperoleh dari Philip Morris, melalui kerja sama yang berlangsung selama lebih dari 20 tahun sejak tahun 1984. Dalam periode tersebut, Bentoel diberikan hak eksklusif untuk memproduksi rokok Marlboro dan menjadi distribusi tunggal dari semua produk Philip Morris di Indonesia. Pemberian hak eksklusif pada Bentoel untuk memproduksi rokok Marlboro berakhir pada tahun 1998 sedangkan kerja sama distribusi baru berakhir pada tahun 2005.

PT. Bentoel International Inv Tbk listing di Bursa Efek Jakarta pada 5 Maret 1990. Modal dasarnya adalah sebesar Rp 2.996.240.625.000,- dan modal disetor sebesar Rp 6.733.125.000,-. Kantor pusatnya terletak di Jl. Jenderal Sudirman Kav 34-35 Jakarta 10220. Presiden Komisaris adalah M. Sjan Arifin. Komisaris Independen adalah Harianto Mangkusasono. Komisaris adalah Frans Setiawan Widjaja. Presiden direktur adalah Y.W Junardy. Wakil Presiden Direktur adalah Darjoto Setyawan. Direktur adalah Theodorus Sunarlis, Sun Alexander Yapeter dan Henry Komala.


(61)

A. ANALISIS DESKRIPTIF

Metode analisis deskriftif adalah suatu metode analisis dimana data-data yang dikumpulkan, diklasifikasikan, dianalisis, dan diinterpretasikan secara objektif sehingga memberikan informasi dan gambaran mengenai topik yang dibahas. Hasil estimasi variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Deskripsi Harga Saham Industri Rokok yang terdaftar di BEI periode tahun 2001-2008

Tabel 4.1 Harga Saham

Pada Industri Rokok yang Terdaftar di BEI Periode Tahun 2001-2008

(dalam rupiah) EMITEN

TAHUN

BATI GGRM HMSP RMBA

2001 9,217 12,391 3,204 156

2002 9,129 10,062 4,210 200

2003 9,504 10,541 3,997 107

2004 8,500 13,662 5,566 112

2005 7,991 13,045 9,103 125

2006 5,795 10,037 8,254 187

2007 5,008 9,279 14,091 370

2008 4,758 7,166 11,892 587

RATA-RATA 7,477.75 10,772.875 7,539.625 230.5

Pada Tabel 4.1 menunjukkan nilai variabel terikat (Y) yaitu harga saham pada masing-masing perusahaan yang termasuk dalam industri rokok yang terdaftar di BEI selama periode tahun 2001-2008. Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa harga saham berfluktuasi setiap tahunnya.


(62)

PT. BAT Indonesia Tbk (BATI) memiliki harga saham tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebesar Rp. 9.504 dan memiliki harga saham terendah pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp. 4.758. Sementara PT. Gudang Garam Tbk (GGRM) memperoleh harga saham tertinggi pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp 13.662 dan memperoleh harga saham terendah pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 7.166.

PT. H.M Sampoerna Tbk (HMSP) memperoleh harga saham tertinggi pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp 14.091 dan memproleh harga saham terendah pada tahun 2001 yaitu sebesar Rp 3.204. PT. Bentoel International Inv Tbk (RMBA) meperoleh harga sham tertinggi pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 587 dan memperoleh harga saham terendah pada tahun 2004 yaitu hanya berkisar Rp 112.

2. Deskripsi Nilai Tukar pada Industri Rokok yang terdaftar di BEI periode tahun 2001-2008

Tabel 4.2 Nilai Tukar

Pada Industri Rokok yang Terdaftar di BEI Periode Tahun 2001-2008

(dalam jutaan rupiah) EMITEN

TAHUN

BATI GGRM HMSP RMBA

2001 22.4530 493.2070 492.4753 26.9286

2002 41.9342 44.6929 490.4848 52.5337

2003 34.7473 522.1295 522.2039 41.2844

2004 29.1233 541.3990 650.3066 50.4262

2005 25.8792 529.6891 743.7394 43.9530

2006 21.1896 455.7220 922.4897 76.5055

2007 25.2626 555.9913 958.2545 109.9100

2008 22.0124 549.8116 1,064.6753 119.0608


(1)

Rata-rata suku bunga tahunan =

Emiten

Σ suku bunga bulanan

12

= Rata-rata suku bunga tahunan x Total

Liabilities

Sehingga nilai variabel Suku Bunga dikaitkan dengan total hutang

Tahun

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 BATI 52,993.62 37,112.20 22,330.31 17,275.84 22,619.63 31,005.85 29,202.68 46,013.78

GGRM 859,412.89 742,569.12 632,981.98 499,407.82 775,005.86 1,016,741.25 841,891.41 755,355.5

HMSP 831,565.55 571,764.73 417,264.99 379,354.42 611,704.15 816,524.16 646,211.31 700,240.9

RMBA 164,327.95 126,301.79 92,906.30 53,702.59 62,629.07 137,441.38 199,317.12 236,013.6

D.

INFLASI (X

3

)

Rata-rata inflasi tahunan =

Emiten

Σ inflasi perbulan

12

= Rata-rata inflasi tahunan x Interest Expense

Sehingga nilai variabel Inflasi dikaitkan dengan beban bunga

Tahun

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 BATI 42.12 451.21 298.39 83.31 60.32 161.11 535.94 0

GGRM 3,583.97 36,008.17 22,357.10 19,917.08 54,168.92 85,353.42 21,453.44 57,021.83

HMSP 3,252.72 31,165.91 22,285.56 21,583.74 31,217.68 32,127.07 11,449.15 15,389.32


(2)

LAMPIRAN III

HASIL SPSS 15.00 FOR WINDOWS

1.

HASIL REGRESI BERGANDA

Coefficientsa

3684.521 1124.563 3.276 .003

.018 .616 .005 .029 .977

.008 .003 .573 2.427 .022

-.014 .053 -.063 -.268 .791

(Constant) Nilai_Tukar Suku_Bunga Inflasi Model

1

B Std. Error

Unstandardized Coefficients

Beta Standardized

Coefficients

t Sig.

Dependent Variable: Harga_Saham a.

2.

UJI ASUMSI KLASIK

a.

Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

32 .0000000 3879.748943 .130 .130 -.103 .733 .656 N

Mean Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z As ymp. Sig. (2-tailed)

Unstandardiz ed Res idual

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.


(3)

Observed Cum Prob

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0

E

x

p

e

c

te

d

C

u

m

P

ro

b

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0

b.

Heterokedastisitas

Regression Standardized Predicted Value

2 1

0 -1

R

eg

re

ss

io

n

S

tu

d

en

ti

ze

d

R

es

id

u

al

2

1

0

-1

-2

Scatterplot Dependent Variable: Harga_Saham


(4)

c.

Autokorelasi

Model Summaryb

.530a .281 .204 4082.30505 2.051

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson Predictors: (Constant), Inflas i, Nilai_Tukar, Suku_Bunga

a.

Dependent Variable: Harga_Saham b.

Runs Test

7578.5000 16 16 32 16 -.180 .857 Test V aluea

Cases < Test V alue Cases >= Test Value Total Cases

Number of Runs Z

As ymp. Sig. (2-tailed)

Harga_ Saham

Median a.

d.

Multikolinearitas

Coefficientsa

3684.521 1124.563 3.276 .003

.018 .616 .005 .029 .977 .957 1.045

.008 .003 .573 2.427 .022 .460 2.174

-.014 .053 -.063 -.268 .791 .465 2.150

(Constant) Nilai_Tukar Suku_Bunga Inflasi Model 1

B Std. Error

Unstandardized Coefficients

Beta Standardized

Coefficients

t Sig. Tolerance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: Harga_Saham a.


(5)

3.

PENGUJIAN HIPOTESIS

a.

Uji-F (Uji Signifikan Simultan)

ANOV Ab

1.8E+008 3 60788975.77 3.648 .024a

4.7E+008 28 16665214.56

6.5E+008 31

Regres sion Residual Total Model 1

Sum of

Squares df Mean S quare F Sig.

Predic tors: (Constant), Inflasi, Nilai_Tukar, S uku_Bunga a.

Dependent Variable: Harga_Saham b.

b.

Uji-t (Uji Parsial)

Coefficientsa

3684.521 1124.563 3.276 .003

.018 .616 .005 .029 .977

.008 .003 .573 2.427 .022

-.014 .053 -.063 -.268 .791

(Constant) Nilai_Tukar Suku_Bunga Inflasi Model

1

B Std. Error

Unstandardized Coefficients

Beta Standardized

Coefficients

t Sig.

Dependent Variable: Harga_Saham a.

4.

DESCRIPTIVE STATISTIC

De scri ptive Statistics

32 107.0000 14091. 00 6501.031 4575.5060886 32 21.1896 6950.3066 518.1399 1216.6382635 32 17275. 84 1016741 388412.2 335701.5213 32 .0000 85353. 42 16030. 35 20227. 07335 32

Harga_Saham Nilai_Tukar Suku_Bunga Inflasi

Valid N (lis twis e)


(6)

5.

DATA RESIDUAL STATISTIC

Re siduals Sta tisticsa

3818.870 10423. 08 6501.031 2425.4492588 32

-1. 106 1.617 .000 1.000 32

763.902 4031.939 1287.738 662.261 32

3425.786 42349. 18 7643.016 6831.9830931 32

-6940.74 6348.484 .0000000 3879.7489428 32

-1. 700 1.555 .000 .950 32

-1. 980 1.583 -.039 1.028 32

-36783.2 6578.848 -1141.98 7793.1525686 32

-2. 096 1.629 -.041 1.044 32

.117 29.271 2.906 5.504 32

.000 19.799 .646 3.496 32

.004 .944 .094 .178 32

Predic ted V alue St d. P redic ted Value St andard E rror of Predic ted V alue

Adjust ed P redicted Value Residual

St d. Residual St ud. Residual Deleted Residual St ud. Deleted Residual Mahal. Dis tanc e Cook's Dis tanc e

Centered Leverage Value

Minimum Maximum Mean St d. Deviat ion N

Dependent Variable: Harga_Saham a.

6.

DATA COLLINEARITY DIAGNOSTIC

Collinearity Diagnosticsa

2.764 1.000 .04 .04 .02 .03

.732 1.944 .01 .95 .01 .03

.380 2.698 .69 .01 .01 .26

.125 4.711 .26 .00 .96 .69

Dimension 1

2 3 4 Model 1

Eigenvalue

Condition

Index (Constant) Nilai_Tukar Suku_Bunga Inflasi

Variance Proportions

Dependent Variable: Harga_Saham a.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Bank BUMN Di Bursa Efek Indonesia

9 84 98

Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, Dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Properti Dan Real Estat Di Bursa Efek Indonesia

7 96 143

Pengaruh Nilai Tukar Dan Suku Bunga Terhadap Harga Saham Pada Industri Tekstil Di Bursa Efek Indonesia

49 223 96

Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga,Dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Perbankan Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia

0 42 84

PENGARUH INFLASI,SUKU BUNGA, DAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG)DI BURSA EFEK INDONESIA

2 27 51

PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH DAN TINGKAT SUKU BUNGA TERHADAP HARGA SAHAM PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH DAN TINGKAT SUKU BUNGA TERHADAP HARGA SAHAM (STUDI PADA INDUSTRI MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2004-2009).

0 2 15

ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA, INFLASI, DAN NILAI TUKAR TERHADAP HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN JASA Analisis Pengaruh Suku Bunga, Inflasi, Dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Jasa Perhotelan Dan Pariwisata Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indon

0 2 15

ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA, INFLASI, DAN NILAI TUKAR TERHADAP HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN JASA Analisis Pengaruh Suku Bunga, Inflasi, Dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Jasa Perhotelan Dan Pariwisata Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indo

1 3 18

ANALISIS PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR, DAN TINGKAT SUKU BUNGA TERHADAP HARGA SAHAM ANALISIS PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR, DAN TINGKAT SUKU BUNGA TERHADAP HARGA SAHAM PERBANKAN.

0 1 8

ANALISIS PENGARUH TINGKAT SUKU BUNGA, INFLASI, DAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP HARGA SAHAM PT GURANG GARAM ANALISIS PENGARUH TINGKAT SUKU BUNGA, INFLASI, DAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP HARGA SAHAM PT GURANG GARAM Tbk di BURSA EFEK INDONESIA.

0 1 7