Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009

(1)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU, FAKTOR PELAYANAN KESEHATAN DAN FAKTOR PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT TERHADAP TINGKAT

KEPATUHAN PENDERITA TB PARU DALAM PENGOBATAN DI PUSKESMAS PEKAN LABUHAN KOTA MEDAN

TAHUN 2009

Oleh :

IMELDA ZULIANA NIM. 041000170

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU, FAKTOR PELAYANAN KESEHATAN DAN FAKTOR PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT TERHADAP TINGKAT

KEPATUHAN PENDERITA TB PARU DALAM PENGOBATAN DI PUSKESMAS PEKAN LABUHAN KOTA MEDAN

TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

NIM. 041000170 IMELDA ZULIANA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judul

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU, FAKTOR PELAYANAN KESEHATAN DAN FAKTOR PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT TERHADAP TINGKAT

KEPATUHAN PENDERITA TB PARU DALAM PENGOBATAN DI PUSKESMAS PEKAN LABUHAN KOTA MEDAN

TAHUN 2009

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

IMELDA ZULIANA NIM. 041000170

Telah Diuji dan Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 20 Juni 2009 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Siti Khadijah Nst, SKM, M.Kes dr. Heldy BZ, MPH

NIP. 132231812 NIP. 131124052

Penguji II Penguji III

Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si dr. Fauzi, SKM

NIP. 131996170 NIP. 140052649

Medan, Juni 2009 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara, Dekan,

dr. Ria Masniari Lubis, M.Si NIP. 131124053


(4)

ABSTRAK

TB Paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada tahun 2006, terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB secara global dan sekitar 1,7 juta orang meninggal. Jumlah penderita TB Paru BTA positif di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan pada tahun 2006 sebanyak 24 orang dengan angka kesembuhan 62%. Pada tahun 2007, terdapat 20 penderita TB Paru BTA positif tapi angka kesembuhan hanya 20%. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kesembuhan dan Puskesmas Pekan Labuhan belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%.

Jenis penelitian ini adalah explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan efek samping Obat Anti Tuberkulosis), faktor pelayanan kesehatan (ketersediaan obat, sikap petugas kesehatan, lokasi/jarak, penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah), dan peran PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru. Populasi adalah seluruh penderita TB Paru yang berobat dengan sampel sebanyak 38 orang yang sedang menjalani pengobatan tahap lanjutan kategori 1 (total sampling). Uji statistik yang digunakan adalah regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah pengetahuan (p=0,004) dan peran PMO (p=0,000). Variabel yang tidak memiliki pengaruh adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, efek samping OAT, dan faktor pelayanan kesehatan (p>0,05).

Berdasarkan hasil penelitian, maka petugas kesehatan di Puskesmas Pekan Labuhan perlu melakukan penyuluhan kesehatan secara intensif dan berkesinambungan kepada penderita TB Paru dan PMO agar tercapai keberhasilan pengobatan.


(5)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

ABSTRACT

Lung TB is one of public health problems in the world especially in developing countries including Indonesia. In 2006, globally, there were approximately 9.2 million new cases, and about 1.7 million people died. The number of people with lung TB positive BTA as much as 24 patients with 62% cure rate at Pekan Labuhan Health Centre Medan City, by the year 2006. In 2007, there were 20 people with lung TB positive BTA but the cure rate was 20%. This means decreasing in numbers of cure rate and Pekan Labuhan Health Centre did not reach the target yet that was set at least 85%.

The type of research was explanatory research that aims to explain the influence of individual characteristics (age, sex, education, employment, knowledge, side effects of OAT), health service factors (availability of drugs, health- officer attitudes, location/distance, health promotion, home visits), and the role of PMO on the obedience level of lung TB patients in treatments. The population were all lung TB patients which taking medicine and the samples were 38 patients in first category that were currently undergoing advanced treatment (total sampling). The statistic test was used multiple linier regression.

The results of research shows that the variables which have significant influence on the obedience level of lung TB patients in treatments are knowledge (p = 0.004) and the role of PMO (p = 0.000). The variables which have no influence are age, sex, education, employment, side effects of OAT, and health service factors (p>0.05).

Based on the results of research, health-officers at Pekan Labuhan Health Centre do health promotion for lung TB patients and PMO in order to achieve the success of the treatment.

Keywords: Tuberculosis, Obedience in treatments.


(6)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : IMELDA ZULIANA

Tempat/Tanggal Lahir : Aceh Timur, 03 Juli 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Jumlah Anggota Keluarga : 5 (anak ke-4 dari 5 bersaudara)

Alamat Rumah : Jl. Pelajar Timur Griya Unimed No. 29 Medan 20228

Riwayat Pendidikan :

1. 1991 - 1992 : TK Dharma Patra Pertamina Rantau, Aceh Timur 2. 1992 - 1995 : SD Negeri No. 1 Rantau Pauh, Aceh Timur 3. 1995 - 1998 : SD Negeri No. 069 Babussalam, Duri-Riau

4. 1998 - 2001 : SLTP Negeri 2 Mandau, Duri-Riau

5. 2001 - 2004 : SMA Negeri 2 Mandau, Duri-Riau


(7)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru dalam Pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009”

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh bimbingan, bantuan, saran dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Penguji skripsi yang telah banyak memberikan saran dan masukan kepada penulis.

3. Ibu Siti Khadijah Nst, SKM, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing skripsi I atas bantuan, waktu, bimbingan dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.


(8)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

4. Bapak dr. Heldy BZ, MPH, selaku Dosen Pembimbing skripsi II yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, pengarahan dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak

memberikan saran dan masukan kepada penulis.

6. Ibu dr. Halinda Sari Lubis, M.KKK, selaku Dosen Penasehat Akademik di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu dr. Hj. Aisyah Umeda selaku Kepala Puskesmas Pekan Labuhan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

8. Bapak dr. M. Chairani dan Ibu Susi Wahyuni selaku petugas kesehatan di Puskesmas Pekan Labuhan yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

9. Para Dosen dan Staf di FKM USU, khususnya Departemen AKK yang telah membimbing selama perkuliahan.

10.Sahabat-sahabat terbaikku: Dinda, Dita, Fika, Fira, Wiwid, Yana yang selalu mengingatkan, mendoakan, membantu tanpa pamrih, tempat berbagi, dan yang selalu menenangkan jiwa.

11.Terima kasih untuk Dina, Lia, Wella atas kebersamaan mulai dari bangku SD hingga saat ini. Kalian adalah sahabat selamanya.

12.Teman-teman PBL Bandar Baru: Debby, Fani, Laya, Noni, dan Sumisan yang telah menginspirasi penulis dengan kekuatan dan perjuangan kalian selama ini. 13.Teman-teman seperjuangan di Departemen AKK: Abang Zai, Abang Telpa, Roni,


(9)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

14.Sang Pelipur lara Cokil tersayang, terima kasih telah menemani hari-hari penuh perjuangan dan juga buat Vidi, Butet, Monik, Aura, dan Bunda.

15.Rekan-rekan stambuk 2004 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada Abah dan Ibu yang kakak hormati dan sayangi, Syawalluddin Lubis dan Nurhayati, atas segala doa, kekuatan, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan yang diberikan dengan segenap hati yang tulus selama ini. Selanjutnya kepada abang-abangku Budi Lubis, ST, Jurelly Lubis, ST, dan Hendra Syahputra yang selalu melindungi dan mengawal setiap langkah penulis, dan adikku Dewi Astuti atas dukungan moril maupun material dan doanya selama ini. Terima kasih buat semua perhatian dan cinta yang diberikan keluarga kepada penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Amin.

Medan, Juni 2008 Penulis,

(IMELDA ZULIANA)


(10)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

DAFTAR ISI

Hal

Halaman Pengesahan ………....…….. ii

Abstrak ... iii

Abstract ... iv

Riwayat Hidup Penulis ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 8

1.3.Tujuan Penelitian ... 8

1.4.Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Penyakit Tuberkulosis Paru ... 9

2.1.1. Cara Penularan ... 10

2.1.2. Penemuan Penderita TB Paru ... 11

2.1.3. Risiko Penularan ... 11

2.1.4. Gejala Klinis TB Paru ... 12

2.1.5. Tipe Penderita TB Paru ... 12

2.1.6. Pemeriksaan Dahak ... 13

2.1.7. Prinsip Pengobatan ... 15

2.1.8. Efek Samping OAT... 18

2.2. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) ……… 18

2.3. Konsep Perilaku ... 20

2.4. Kepatuhan Berobat ... 25

2.5. Penyuluhan Tuberkulosis ... 29

2.6. Pengawas Menelan Obat (PMO)... 30

2.6.1. Persyaratan PMO... 30

2.6.2. Siapa yang Bisa Menjadi PMO ... 31

2.6.3. Tugas Seorang PMO ... 31

2.7. Kerangka Konsep ... 32

2.8. Hipotesis Penelitian ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1. Jenis Penelitian ... 34

3.2. Lokasi Penelitian ... 34


(11)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

3.3.1. Populasi ... 34

3.3.2. Sampel ... 35

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 35

3.5. Definisi Operasional ... 35

3.6. Aspek Pengukuran ... 37

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 37

1. Karakteristik Individu ... 37

2. Faktor Pelayanan Kesehatan ... 38

3. Faktor Pengawas Menelan Obat (PMO) ... 39

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 39

3.7. Teknik Analisa Data... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 41

4.1. Gambaran Umum Puskesmas Pekan Labuhan ... 41

4.1.1. Data Geografis ... 41

4.1.2. Data Demografi ... 41

4.2. Karakteristik Responden ……….……… 43

4.3. Faktor Pelayanan Kesehatan ... 49

4.4. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)... 52

4.5. Tingkat Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru... 54

4.6. Gambaran Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal Penderita TB Paru ... 56

4.7. Hasil Uji Statistik Bivariat ... 57

4.8. Hasil Uji Statistik Multivariat ... 59

BAB V PEMBAHASAN ... 62

5.1. Pengaruh Umur Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 62

5.2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 64

5.3. Pengaruh Pendidikan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 64

5.4. Pengaruh Pekerjaan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 65

5.5. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 66

5.6. Pengaruh Efek Samping OAT Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 68

5.7. Pengaruh Faktor Pelayanan Kesehatan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 69

5.8. Pengaruh Peran PMO Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 72

BAB VI KESIMPUAN DAN SARAN ... 75

6.1. Kesimpulan ... 75

6.2. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77


(12)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

LAMPIRAN :

Lampiran 1. Kuesioner

Lampiran 2. Hasil-hasil Pengolahan Statistik Lampiran 3. Surat Izin Penelitian


(13)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Karakteristik Individu... 37 Tabel 4.1. Distribusi Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan

Tahun 2009... 42 Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Wilayah Kerja

Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009... 42 Tabel 4.3. Distribusi Tenaga Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan

Labuhan Tahun 2009... 43 Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik di Wilayah Kerja

Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 . ... 44 Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Wilayah Kerja

Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 ... 47 Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Efek Samping OAT di Wilayah

Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 ... 48 Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pelayanan Kesehatan

di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 ... 51 Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Peran PMO di Wilayah Kerja

Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 ... 53 Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peran PMO di Wilayah

Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 ... 53 Tabel 4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kepatuhan Berobat di

Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009... 55 Tabel 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kepatuhan Berobat

di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009... 56 Tabel 4.12. Hasil Uji Statistik Korelasi Pearson... 59 Tabel 4.13. Hasil Analisa Regresi Linier Berganda Tahun 2009... 61


(14)

DAFTAR GAMBAR

Hal


(15)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak.

TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis yang telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Sebagian besar

kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh yang lainnya. Pada tahun 1993, World Health Organization (WHO) mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, karena jumlah kasus TB meningkat dan tidak terkendali khususnya pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries) (Depkes RI, 2007).

Pada tahun 2006, terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB secara global. Diperkirakan 1,7 juta orang (25/100.000) meninggal karena TB termasuk mereka yang juga memperoleh infeksi HIV (200.000) pada tahun 2006 (Depkes dan WHO, 2008).

Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB Paru. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB Paru secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap obat anti TB

(multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak


(16)

berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB Paru yang sulit ditangani (Depkes RI, 2007).

Laporan TB Paru dunia oleh WHO yang terbaru tahun 2006, masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang terbesar nomor tiga di dunia setelah India dan Cina atau sekitar 10% dari total jumlah pasien TB Paru di dunia. Jumlah kasus baru sekitar 539.000 setiap tahunnya dan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun (Depkes RI, 2007).

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa penyakit TB menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernapasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Hasil Survei Prevalensi TB Paru di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB Paru Basil Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara regional, prevalensi TB Paru BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam tiga wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur 210 per 100.000 penduduk (Achmadi, 2005).

Besar dan luasnya permasalahan akibat TB Paru mengharuskan kepada semua pihak untuk dapat berkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan penanggulangan TB Paru. Kerugian yang diakibatkannya sangat besar, bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial maupun ekonomi. Dengan demikian TB Paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Oleh karena itu, perang terhadap TB Paru


(17)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan, dan kelemahan akibat TB Paru (Depkes RI, 2007).

Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan WHO melaksanakan suatu evaluasi bersama (WHO-Indonesia Joint Evaluation) yang menghasilkan rekomendasi perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan TB Paru di Indonesia yang kemudian disebut ”Strategi DOTS (Directly Observed Treatment-Shortcourse)” yang menandai era baru pemberantasan TB Paru di Indonesia. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Dirjen P2M & PL, 1997).

DOTS adalah strategi yang komprehensif untuk digunakan oleh petugas kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB Paru. Penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi di mana WHO menargetkan angka kesembuhan minimal 85% dari penderita TB Paru BTA positif yang terdeteksi (Dirjen P2M & PLP, 1997).

Prinsip DOTS adalah menentukan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan minum obat. Strategi ini diawasi oleh petugas Puskesmas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pihak-pihak lain yang paham tentang program DOTS. Di samping itu, keluarga sangat perlu keterlibatannya dalam pengawasan dan perawatan penderita TB Paru ini (Dirjen P2M & PL, 1997).


(18)

Strategi DOTS telah dilaksanakan di seluruh Puskesmas yang ada di Kota Medan yang berjumlah 39 Puskesmas. Salah satunya adalah Puskesmas Pekan Labuhan yang berada di Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan yang memiliki laboratorium sehingga menjadi Pusat Rujukan Mikroskopis (PRM) untuk pemeriksaan dahak.

Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2006, diketahui bahwa dari 24 penderita TB Paru BTA positif yang ada di Puskesmas Pekan Labuhan, sebanyak 13 orang dinyatakan sembuh (62%). Pada tahun 2007, Puskesmas Pekan Labuhan merupakan Puskesmas dengan angka kesembuhan paling rendah hanya sebesar 20%. Dari jumlah penduduk 26.325 jiwa ditemukan penderita TB Paru klinis sebanyak 162 penderita dan yang dinyatakan BTA positif sebanyak 20 orang. Angka kesembuhan yang dicapai pada tahun tersebut hanya sebesar 20% atau sebanyak 5 (lima) orang. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Puskesmas Pekan Labuhan belum bisa mencapai target yang ditetapkan yaitu angka kesembuhan minimal 85% dan bahkan mengalami penurunan pencapaian angka kesembuhan dari tahun 2006 ke tahun 2007. Keadaan ini memprihatinkan, padahal Depkes RI telah menyediakan obat gratis bagi penderita TB Paru yang berobat ke Puskesmas. Pada tahun 2008, terdapat 161 kasus TB Paru dengan 22 kasus baru BTA positif. Dari 33 penderita yang diobati 19 orang dinyatakan sembuh (57,58%).

Masih rendahnya cakupan angka kesembuhan berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program, karena masih memberi peluang terjadinya penularan penyakit TB Paru kepada anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya. Selain itu memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB


(19)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

Paru terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sehingga menambah penyebarluasan penyakit TB Paru, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru (Amiruddin, 2006).

Untuk mencapai kesembuhan diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi setiap penderita. Paduan OAT jangka pendek dan peran Pengawas Menelan Obat (PMO) merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita. Walaupun paduan obat yang digunakan baik tetapi apabila penderita tidak berobat dengan teratur maka umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan (Depkes RI,1996).

Menurut WHO, tanpa pengobatan selama lima tahun, 50% dari penderita TB Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (Depkes RI, 2002).

Pengobatan penyakit TB Paru zaman sekarang ini sudah semestinya tidak menjadi masalah lagi. Apabila dilihat dari penyebab penyakitnya sudah dapat diketahui dengan pasti, sarana penunjang diagnostiknya sudah ada, bahkan obatnya yang ampuh pun sudah ada, apalagi mengenai dokternya kalau boleh dikatakan sudah berlebihan. Akan tetapi kenyataan yang ada membuktikan bahwa pengobatan tuberkulosis tidaklah semudah yang diperkirakan. Banyak faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan pengobatan, seperti lamanya waktu pengobatan, kepatuhan serta keteraturan penderita untuk berobat, daya tahan tubuh, juga faktor sosial ekonomi penderita yang tidak kalah pentingnya (Situmeang, 2004).

Kenyataan lain bahwa penyakit TB Paru sulit dibasmi karena obat yang diberikan harus beberapa macam sekaligus serta pengobatannya makan waktu yang lama, setidaknya enam bulan. Hal ini menyebabkan penderita putus berobat. Hal lain


(20)

yang menjadi penyebabnya adalah kurangnya perhatian pada tuberkulosis dari berbagai pihak terkait, akibatnya program penanggulangan TB Paru di berbagai tempat menjadi amat lemah (Dinkes SU, 2005).

Menurut Aditama (1994), kalau pengobatan tidak tuntas malah menyebabkan kuman kebal obat dan tentu akan muncul kuman yang lebih ganas. Setelah makan obat dua atau tiga bulan tidak jarang keluhan pasien hilang tetapi belum berarti sembuh total. Padahal saran dari WHO, dengan strategi DOTS dijalankan dengan baik, pada tahun 2010 sedikitnya 70% kasus TB Paru dapat terdiagnosis dan terobati.

Menurut WHO, bila 70% dari perkiraan penderita baru yang ada, dapat ditemukan dan diobati dengan angka kesembuhan 85% dapatlah dikatakan bahwa program ini berhasil. Dengan kata lain indikator keberhasilan dapat dilihat dari kesembuhan penderitanya.

Kepatuhan berobat penderita TB Paru juga ditentukan oleh perhatian tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan, penjelasan kepada penderita, kalau perlu mengunjungi ke rumah. Keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung jawab petugas kesehatan. (Dirjen P2M dan PLP, 1997).

Penelitian Eliska (2005) menunjukkan bahwa faktor pelayanan kesehatan yaitu penyuluhan kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan berobat penderita TB Paru di Puskesmas Teladan Kota Medan. Berdasarkan penelitian Wahab (2002), faktor yang lebih dominan berpengaruh terhadap keberhasilan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Helvetia adalah sikap pasien, sikap petugas, tipe pengobatan dan penghasilan.


(21)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

Berdasarkan penelitian Senewe (1997), penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah, mutu obat dan jarak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru. Penelitian Tanjung, dkk (1995) di Kecamatan Kotanopan, Tapanuli Selatan menunjukkan bahwa tingginya angka kesakitan, kekambuhan, dan kematian pada penderita TB Paru disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain rendahnya penghasilan, pendidikan dan pengetahuan yang kurang, rendahnya kepatuhan berobat, tidak cocoknya paduan obat, resistensi obat, supervisi dan penyuluhan yang kurang dari petugas.

Menurut Nukman (Permatasari, 2005), faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan TB Paru adalah: 1) faktor sarana yang meliputi tersedianya obat yang cukup dan kontinyu, edukasi petugas kesehatan, dan pemberian OAT yang adekuat; 2) faktor penderita yang meliputi pengetahuan, kesadaran dan tekad untuk sembuh, dan kebersihan diri; 3) faktor keluarga dan lingkungan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa angka kesembuhan penderita TB Paru di Puskesmas Pekan Labuhan belum mencapai target nasional yang telah ditetapkan sehingga penulis tertarik untuk meneliti pengaruh karakteristik individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan efek samping Obat Anti Tuberkulosis), faktor pelayanan kesehatan (ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sikap petugas kesehatan, lokasi/jarak, penyuluhan kesehatan dan kunjungan rumah), dan faktor peran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan pengobatan penderita TB Paru dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan tahun 2009.


(22)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimana pengaruh karakteristik individu, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor peran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan penderita TB Paru dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan tahun 2009.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh karakteristik individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan efek samping OAT), faktor pelayanan kesehatan (ketersediaan OAT, sikap petugas kesehatan, lokasi/jarak, penyuluhan kesehatan dan kunjungan rumah), dan faktor peran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan penderita TB Paru dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan tahun 2009.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada pihak Dinas Kesehatan Kota Medan dalam rangka penanggulangan penyakit TB Paru.

2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan dalam rangka melaksanakan program penanggulangan TB Paru dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada penderita TB paru.

3. Sebagai pengembangan wawasan keilmuan peneliti mengenai upaya


(23)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru)

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh yang lainnya. Tuberkulosis yang dulu disingkat menjadi TBC karena berasal dari kata tuberculosis saat ini lebih lazim disingkat dengan TB saja. Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain (Aditama, 1994).

Kuman penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama Robert Koch ditahun 1882. Hasil penemuannya ini dilaporkan olehnya kepada masyarakat ilmiah pada tanggal 24 Maret 1882. Penemuan ini merupakan peristiwa besar dalam perkembangan pengobatan tuberkulosis, dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya sampai kini diperingati sebagai TB Day (Hari Tuberkulosis) (Aditama, 1994).

Kuman tuberkulosis berbentuk batang berukuran sangat kecil sehingga hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Panjangnya sekitar satu sampai empat mikron dan lebarnya antara 0,3 sampai 0,6 mikron. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37°C yang sesuai dengan tubuh manusia. Untuk berkembang biak basil ini melakukan pembelahan dirinya, dan dari satu basil membelah menjadi dua dibutuhkan waktu 14 sampai 20 jam lamanya. Kalau dilihat struktur kimia, basil ini terdiri dari lemak dan protein (Aditama, 1994).


(24)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

Kuman tuberkulosis mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB Paru cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002).

2.1.1. Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2002).

Perlu diketahui bahwa kuman TB Paru dari dalam paru tidak hanya keluar ketika penderitanya batuk saja. Kuman ini juga dapat keluar bila penderitanya


(25)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

bernyanyi, bersin atau bersiul. Secara umum dapat dikatakan bahwa penularan penyakit TB Paru banyak tergantung dari beberapa faktor seperti jumlah kuman yang ada, tingkat keganasan kuman, dan daya tahan tubuh orang yang tertular (Aditama, 1994).

2.1.2. Penemuan Penderita TB Paru

Menurut Depkes RI (2002), penemuan penderita TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.

2.1.3. Risiko Penularan

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection=ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk sepuluh orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB Paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB Paru. Berdasarkan keterangan tersebut di atas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita TB Paru setiap tahun, di mana 50 penderita adalah BTA positif. Faktor yang


(26)

memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes RI, 2002).

2.1.4. Gejala Klinis TB Paru

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam hari walau tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI, 2002).

Gejala-gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB Paru. Mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang tersangka pasien TB Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2002).

2.1.5. Tipe Penderita TB Paru

Menurut Depkes RI (2002), ada beberapa tipe penderita TB Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu:

1. Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).


(27)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

2. Kambuh (relaps) adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah

mendapatkan pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

3. Pindahan (transfer in) adalah penderita TB Paru yang sedang mendapat

pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan.

4. Setelah Lalai (pengobatan setelah default/drop-out) adalah penderita TB Paru

yang sudah berobat paling kurang satu bulan, dan berhenti dua bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

5. Lain-lain

Gagal yaitu penderita BTA positif yang tetap masih positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih. Bisa juga penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

Kasus Kronis yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif

setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.

2.1.6. Pemeriksaan Dahak

Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga spesimen ”Sewaktu Pagi Sewaktu” (SPS) dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan.


(28)

Adapun tujuan dari pemeriksaan dahak pada program penanggulangan TB Paru adalah:

1. Menegakkan diagnosis dan menentukan tipe/klasifikasi. 2. Menilai kemajuan pengobatan.

3. Menentukan tingkat penularan.

Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada:

- Akhir tahap intensif

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif kategori 2.

- Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2.

- Akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada penderita BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang BTA positif dengan kategori 2.

Pemeriksaan dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan bertujuan untuk menilai hasil pengobatan (sembuh atau gagal).


(29)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

2.1.7. Prinsip Pengobatan

Adapun tujuan dari pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan. Obat yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat. Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS=Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Menurut Depkes (2002), pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap yaitu:

1. Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama ripamfisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 (dua) minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.


(30)

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT:

1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:

• Penderita baru TB Paru BTA positif

• Penderita TB Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat

• Penderita TBC Ekstra Paru berat.

Satu paket kombipak berisi 114 blister harian. 2. Kategori 2 ((2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid(H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan Streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan dengan 1 bulan Isoniazid (H),


(31)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk :

Penderita kambuh (relaps)

Penderita gagal (failure)

Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default). Satu paket kombipak berisi 156 blister harian.

3. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:

• Penderita baru BTA negatif dan Rontgen positif sakit ringan

Penderita Ekstra Paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis),

pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang

belakang), sendi dan kelenjar adrenal. Satu paket kombipak berisi 114 blister harian. 4. OAT Sisispan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan.


(32)

2.1.8. Efek Samping OAT

Sebagian besar penderita TB Paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu, pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Pemantauan dilakukan dengan cara menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT.

Efek samping ringan dari OAT seperti tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki, dan warna kemerahan pada air seni. Efek samping berat dari OAT misalnya gatal dan kemerahan kulit, tuli, gangguan keseimbangan, ikterus tanpa penyebab lain, bingung dan muntah-muntah, gangguan penglihatan, purpura dan syok (Depkes RI, 2002).

2.2. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO, yang dimulai pelaksanaannya di Indonesia pada tahun 1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru BTA positif yang ditemukan (Aditama, 2002).

Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan.


(33)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

Kalau diurai dari kata-katanya, pengertian DOTS dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola program TB untuk memberi direct attention dalam usaha menemukan penderita. Dalam bahasa lain ini diterjemahkan menjadi deteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskopik, kendati sebenarnya pengertiannya dapat diperluas dengan keharusan untuk mendeteksi kasus secara baik dan akurat. Kemudian, setiap pasien harus di-observed dalam memakan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas. Selain itu, tentunya pasien harus menerima

treatment yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dan penyediaan obat

secara baik. Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatan short course standard yang telah terbukti ampuh secara klinik. Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan TB mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2002).

Strategi DOTS mempunyai lima komponen:

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. 2. Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.


(34)

2.3. Konsep Perilaku

Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor internal (dari dalam diri manusia) maupun faktor eksternal (dari luar diri manusia). Faktor internal ini terdiri dari faktor fisik dan psikis. Faktor eksternal terdiri dari berbagai faktor antara lain sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Secara garis besar faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan, baik individu, kelompok, maupun masyarakat, dikelompokkan menjadi empat (Blum, 1974). Konsep Blum menjelaskan bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh:

1. Lingkungan, yang mencakup lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya.

2. Perilaku.

3. Pelayanan kesehatan. 4. Keturunan (hereditas).

Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang memengaruhi derajat kesehatan. Oleh sebab itu, dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis. Menurut Green (Notoatmodjo, 2003), perilaku dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yakni:

1. Faktor predisposisi (predisposing factor)

Faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.


(35)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

2. Faktor pemungkin (enabling factor)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya : air bersih, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, rumah sakit, Posyandu, dokter atau bidan praktek swasta, dan sebagainya.

3. Faktor penguat (reinforcing factor)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.

Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu dikarenakan 4 (empat) alasan pokok yaitu:

1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling)

Yakni dalam bentuk pengetahuan, kepercayaan dan sikap. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain, sedangkan kepercayaan biasanya diperoleh dari orang tua, kakek atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek dan seringnya diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain yang paling dekat.


(36)

2. Orang penting sebagai referensi (Personal reference)

Perilaku orang, lebih-lebih anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting baginya, maka apa yang orang tersebut katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.

3. Sumber-sumber daya (Resources)

Mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya yang berpengaruh positif ataupun negatif terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat.

4. Kebudayaan (Culture)

Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban manusia.

Anderson (Notoatmodjo, 2003) menggambarkan model sistem kesehatan (health system model) yang berupa model kepercayaan kesehatan. Di dalam model Anderson ini terdapat 3 (tiga) kategori utama dalam pelayanan kesehatan, yaitu: 1. Karakteristik Predisposisi (predisposing characterstics)

Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan bahwa tiap individu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam 3 (tiga) kelompok:


(37)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

a. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur.

b. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan, dan sebagainya.

c. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit.

2. Karakteristik Pendukung (enabling characteristics)

Karakteristik ini mencerminkan bahwa meskipun mempunyai predisposisi untuk menggunakan pelayanan kesehatan, ia tak akan bertindak menggunakannya, kecuali bila ia mampu menggunakannya. Penggunaan pelayanan kesehatan yang ada tergantung kepada kemampuan konsumen untuk membayar.

3. Karakteristik kebutuhan (need characteristics)

Faktor predisposisi dan faktor yang memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan. Dengan kata lain kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana tingkat predisposisi dan enabling itu ada. Kebutuhan (need) di sini dibagi menjadi dua kategori, dirasa atau

preceived (subject assessment) dan evaluated (clinical diagnosis).

Menurut Skinner yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni :


(38)

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu : a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta

pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. c. Perilaku gizi. Makanan dan minuman dapat meningkatkan kesehatan

seseorang, tetapi sebaliknya dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.

2. Perilaku pencarian pengobatan (health behavior)

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri. 3. Perilaku kesehatan lingkungan

Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya.


(39)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

2.4. Kepatuhan Berobat

Kepatuhan berasal dari kata ”patuh” yang berarti taat, suka menuruti, disiplin. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

Menurut Sacket (Ester, 2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

Menurut Sarafino (Bart, 1994) secara umum, ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota keluarga, saudara atau teman khusus.


(40)

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian yaitu:

1. Pemahaman Tentang Instruksi

Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.

Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo (Ester, 2000), yaitu:

a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain.

c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat, maka akan ada efek ”keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis.

d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal yang perlu ditekankan.

2. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan


(41)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

3. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menetukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

4. Keyakinan, Sikap, Kepribadian

Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orang-orang yang tidak patuh adalah Orang-orang-Orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Blumenthal et al (Ester, 2000) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out) dari program pengobatan.

Menurut Schwart & Griffin (Bart, 1994), faktor yang berhubungan dengan ketidaktaatan, secara sejarah, riset tentang ketaatan pasien didasarkan atas pandangan tradisional mengenai pasien sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai, dan masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok


(42)

pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio ekonomi, pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seorang dapat menjadi tidak taat kalau situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai kesehatannya.

Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan: 1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan

Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas. Menurut Sarafino (Bart, 1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat tersebut menurun sampai 54%.

2. Komunikasi antara pasien dan dokter

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat ketidaktaatan misalnya, informasi dengan pengawasan yang kurang,


(43)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan (Bart, 1994).

3. Variabel-variabel sosial

Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari. Secara umum, orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis, daripada pasien yang kurang mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh normatif pada pasien, yang mungkin mengakibatkan efek yang memudahkan atau menghambat perilaku ketaatan.

4. Ciri-ciri individual

Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan. Sebagai contoh : di Amerika Serikat, kaum wanita, kaum kulit putih, dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Bart, 1994).

2.5. Penyuluhan Tuberkulosis

Menurut Depkes RI (2002), penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru.

Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Dalam program


(44)

penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, utuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru dari ”suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan”, menjadi ”suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa disembuhkan”.

Penyuluhan langsung perorangan dapat dianggap berhasil bila:

• Penderita bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya.

• Penderita datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan.

• Anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya.

2.6. Pengawas Menelan Obat (PMO)

Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

2.6.1. Persyaratan PMO

Menurut Depkes RI (2002), persyaratan seorang PMO adalah:

- Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.


(45)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

- Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita. - Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

- Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.

2.6.2. Siapa yang Bisa Menjadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

2.6.3. Tugas Seorang PMO

Menurut Depkes RI (2002), tugas seorang PMO adalah:

- Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

- Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat secara teratur.

- Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

- Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru untuk segera memeriksakan diri ke UPK.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk menggantikan kewajiban penderita mengambil obat dari UPK (Depkes RI, 2002).


(46)

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, maka kerangka konsep penelitian ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Definisi konsep :

1. Karakteristik individu adalah hal-hal yang melekat dalam diri penderita TB Paru yang memengaruhi tingkat kepatuhan dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS yang membedakan seseorang dengan yang lainnya, meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, efek samping OAT.

Karakteristik Individu

1. Umur

2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Pengetahuan 6. Efek samping OAT

Faktor Pelayanan Kesehatan

1. Ketersediaan OAT 2. Sikap petugas kesehatan 3. Lokasi/Jarak

4. Penyuluhan kesehatan 5. Kunjungan rumah

Faktor Peran PMO

Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru


(47)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

2. Faktor pelayanan kesehatan adalah penilaian dari penderita TB Paru terhadap upaya yang diselenggarakan oleh unit pelayanan kesehatan untuk menangani penderita TB Paru meliputi: ketersediaan OAT, sikap petugas kesehatan, lokasi/jarak, penyuluhan kesehatan, dan kunjungan rumah.

3. Faktor peran PMO (Pengawas Menelan Obat) adalah penilaian dari penderita TB Paru terhadap hal-hal yang menjadi tugas dari seorang pengawas menelan obat yang memengaruhi tingkat kepatuhan penderita TB Paru dalam melaksanakan pengobatan, meliputi: penyuluhan, memberi dorongan, mengingatkan dan mengawasi.

4. Tingkat kepatuhan adalah tingkat ketaatan penderita TB Paru dalam melaksanakan pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan.

2.8. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: 1. Ada pengaruh karakteristik individu terhadap tingkat kepatuhan penderita TB

Paru dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan tahun 2009.

2. Ada pengaruh faktor pelayanan kesehatan terhadap tingkat kepatuhan penderita TB Paru dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan tahun 2009.

3. Ada pengaruh faktor PMO (Pengawas Menelan Obat) terhadap tingkat kepatuhan penderita TB Paru dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan tahun 2009.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan cross

sectional yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik individu, faktor

pelayanan kesehatan, dan faktor Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan penderita TB Paru dalam melaksanakan pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan tahun 2009 (Notoatmodjo, 2005).

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan, pada bulan Maret sampai April tahun 2009. Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan angka kesembuhan penderita TB Paru pada Puskesmas ini belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%. Masih rendahnya angka kesembuhan berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan program, karena masih memberi peluang terjadinya penularan penyakit TB Paru kepada anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru kategori 1 yang mengikuti program DOTS di Puskesmas Pekan Labuhan mulai bulan Oktober tahun 2008 sampai dengan Maret 2009 berjumlah 38 orang.


(49)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru yang mengikuti pengobatan dengan strategi DOTS kategori 1 di Puskesmas Pekan Labuhan yang pada saat penelitian sudah menjalani pengobatan di atas 2 (dua) bulan atau sedang dalam tahap lanjutan yaitu sebanyak 38 orang (total sampling).

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu: 1. Data primer, diperoleh dengan wawancara langsung kepada penderita TB Paru

dan petugas kesehatan program penanggulangan TB Paru yang berpedoman pada kuesioner penelitian yang telah ditetapkan dan melakukan cross check.

2. Data sekunder, diperoleh dari laporan pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan, Kartu Pengobatan TBC (formulir TB.01), Formulir Permohonan Laboratorium TBC Untuk Pemeriksaan Dahak (formulir TB.05), dan profil Dinas Kesehatan Kota Medan.

3.5. Definisi Operasional

1. Umur adalah usia responden saat penelitian berdasarkan ulang tahun terakhir, yang dibedakan atas 3 (tiga) kategori berdasarkan Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2008, yaitu: 1) Orang muda: 15-24 tahun; 2) Dewasa: 25-49 tahun; 3) Orang tua: ≥ 50 tahun

2. Jenis Kelamin adalah suatu karakteristik responden yang dibedakan identitasnya dari laki-laki dan perempuan.


(50)

3. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang berhasil ditamatkan responden yang dibedakan atas: tidak tamat SD, SD, SLTP, SLTA, Akademi/Sarjana.

4. Pekerjaan adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh responden sebagai sumber pendapatan utama, yang dibedakan atas bekerja dan tidak bekerja.

5. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden mengenai penyakit TB Paru.

6. Efek samping OAT adalah gejala/keluhan yang diderita responden akibat menelan OAT selama pengobatan.

7. Ketersediaan OAT adalah pandangan responden terhadap kondisi OAT yang diperoleh dari Puskesmas meliputi kecukupan jumlah OAT dan kualitasnya. 8. Sikap petugas kesehatan adalah penilaian responden terhadap tanggapan atau

reaksi petugas kesehatan kepada responden selama mereka menjalani pengobatan. 9. Lokasi/jarak adalah pandangan responden tentang lama perjalanan yang ditempuh dari tempat tinggal responden ke Puskesmas yang diukur dengan jarak, dan sarana transportasi.

10.Penyuluhan kesehatan adalah pandangan responden tentang kegiatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan sehubungan dengan pengobatan TB Paru, untuk mencapai suatu keadaan di mana penderita TB Paru dapat hidup lebih sehat. 11.Kunjungan rumah adalah pandangan responden tentang kegiatan yang dilakukan

petugas kesehatan selama masa pengobatan ke rumah responden.

12.Faktor peran Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah pandangan responden tentang tugas yang dilaksanakan oleh seorang PMO meliputi penyuluhan,


(51)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

memberi dorongan, mengingatkan jadwal pemeriksaan dahak, dan mengawasi penderita menelan obat.

13.Kepatuhan berobat adalah ketaatan responden dalam menelan obat, mengambil obat dan melakukan pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan dan menaati segala nasehat dari petugas kesehatan.

3.6. Aspek Pengukuran

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas 1. Karakteristik Individu

Aspek pengukuran variabel karakteristik individu dapat dilihat pada Tabel 3.1. di bawah ini:

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Karakteristik Individu

Karakteristik Individu

Indi-kator Kategori

Bobot Nilai

B. Nilai seluruh indikator

Skor Skala

Umur a. 15-24 tahun

b. 25-49 tahun c. ≥ 50 tahun

Rasio

Jenis kelamin a. Laki-laki b. Perempuan

Nominal Tingkat

pendidikan

a. Tidak tamat SD b. SD

c. SLTP d. SLTA

e. Akademi / S1

Ordinal

Pekerjaan a. Tidak bekerja

b. Bekerja

Ordinal

Pengetahuan 9 a. Baik

b. Sedang c. Buruk

3 2 1

27 21-27

15-20 9-14 Interval Efek samping OAT a. Ada b. Tidak ada

Ordinal


(52)

2. Faktor Pelayanan Kesehatan

Pengukuran faktor pelayanan kesehatan yang meliputi ketersediaan OAT yang diukur dengan 2 pertanyaan, sikap petugas kesehatan diukur dengan 8 pertanyaan, lokasi/jarak diukur dengan 3 pertanyaan, penyuluhan kesehatan diukur dengan 6 pertanyaan, dan kunjungan rumah diukur dengan 2 pertanyaan, berdasarkan jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden, selanjutnya dikategorikan menjadi tiga (3) yaitu :

a. Baik, jika faktor pelayanan kesehatan yang diterima responden menimbulkan penilaian yang baik, karena kebutuhan yang diinginkan sebagian besar terpenuhi (nilainya >32).

b. Sedang, bila faktor pelayanan kesehatan yang diterima responden menimbulkan penilaian yang kurang baik, karena kebutuhan yang diinginkan hanya sebagian saja yang terpenuhi (nilainya 17-32).

c. Buruk, bila faktor pelayanan kesehatan yang diterima responden menimbulkan penilaian yang tidak baik, karena kebutuhan yang diinginkan sebagian besar tidak terpenuhi (nilainya <17).

3. Faktor Pengawas Menelan Obat (PMO)

Faktor Pengawas Menelan Obat (PMO) diukur dengan 5 pertanyaan yang selanjutnya dibedakan atas 3 kategori yaitu :

a. Baik, bila semua tugas PMO yang diterima responden terlaksana dengan baik yaitu mengawasi, memberikan dorongan, mengingatkan dan memberikan penyuluhan (nilainya >11).


(53)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

b. Sedang, bila tugas PMO yang diterima responden sebagian saja yang terpenuhi (nilainya 6-11).

c. Buruk, bila tugas PMO yang diterima responden semuanya tidak terlaksana dengan baik (nilainya <6).

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru

Aspek pengukuran pada variabel ini menggunakan skala interval, yang diukur berdasarkan 3 (tiga) kategori yaitu:

• Patuh, apabila responden selalu menelan obat sesuai ketentuan petugas kesehatan yaitu setiap hari pada tahap awal, tiga kali seminggu pada tahap lanjutan dan mengambil obat serta memeriksakan dahak sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan menaati nasihat dari petugas kesehatan (Bobot 3).

• Kurang patuh, jika responden kadang-kadang menelan obat sesuai ketentuan petugas kesehatan atau responden tidak menelan obat 2-8 minggu selama tahap pengobatan lanjutan dan tidak memeriksakan dahak sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan tidak selalu menaati nasihat dari petugas kesehatan (Bobot 2).

• Tidak patuh, jika responden tidak menelan obat sesuai ketentuan petugas kesehatan atau responden tidak menelan obat lebih dari 8 minggu selama tahap pengobatan lanjutan dan tidak mengambil obat serta tidak memeriksakan dahak sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan tidak menaati nasihat dari petugas kesehatan (Bobot 1).


(54)

3.6. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda yaitu untuk membuktikan pengaruh karakteristik individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan, dan efek samping Obat Anti Tuberkulosis), faktor pelayanan kesehatan (ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis, sikap petugas kesehatan, lokasi/jarak, penyuluhan kesehatan, dan kunjungan rumah), dan faktor peran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan pengobatan penderita TB Paru dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan tahun 2009 dengan α = 0,05.


(55)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, 2010.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Puskesmas Pekan Labuhan 4.1.1. Data Geografis

Puskesmas Pekan Labuhan terletak di Jalan K. L. Yos Sudarso kilometer 18,5 Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan. Puskesmas ini didirikan pada bulan Mei 1991 yang diresmikan oleh Walikota Medan Bach Djafar. Pada tahun 1993 Puskesmas Pekan Labuhan menjadi Puskesmas rawat inap dengan jumlah staf 6 (enam) orang. Luas wilayah kerja Puskesmas Pekan Labuhan sekitar 781 Ha, mencakup dua kelurahan yaitu Kelurahan Pekan Labuhan dan Kelurahan Nelayan Indah. Dalam pelayanan kesehatan, Puskesmas Pekan Labuhan dibantu satu satelit yaitu Puskesmas Pembantu (Pustu) Nelayan Indah yang terletak di Kelurahan Nelayan Indah. Letak wilayah kerja Puskesmas Pekan Labuhan memiliki batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Selatan berbatasan dengan tanah masyarakat : 30 m b. Sebelah Utara berbatasan dengan Gudang Farmasi : 30 m c. Sebelah Timur berbatasan dengan jalan Medan Belawan : 40 m d. Sebelah Barat berbatasan dengan tanah masyarakat : 40 m

4.1.2. Data Demografi

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pekan Labuhan sebanyak 28.078 jiwa. Berdasarkan Tabel 4.1. dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dan jumlah Kepala Keluarga (KK) terbanyak terdapat di Kelurahan Pekan Labuhan 41


(56)

dengan 19.124 jiwa dan 4781 KK. Jumlah lingkungan terbanyak terdapat di Kelurahan Pekan Labuhan yaitu 31 lingkungan, sedangkan wilayah terluas di Kelurahan Nelayan Indah dengan luas wilayah 420 Ha.

Tabel 4.1. Distribusi Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009

NO KETERANGAN KELURAHAN TOTAL

Pekan Labuhan Nelayan Indah

1. Luas (Ha) 361 420 781

2. Jumlah Lingkungan 31 8 39

3. Jumlah KK 4781 2239 7020

4. Jumlah Penduduk (orang) 19124 8954 28078

Sumber: SP2TP Puskesmas Pekan Labuhan, 2008.

Mata pencaharian penduduk terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Pekan Labuhan adalah sebagai nelayan sebanyak 5019 orang, sedangkan mata pencaharian sebagai ABRI hanya 84 orang. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4.2. di bawah ini:

Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009

NO. Mata Pencaharian Pekan Labuhan Nelayan Indah

1. Pegawai Negeri 445 63

2. Pegawai Swasta 1443 1082

3. ABRI 76 8

4. Petani 2478 2152

5. Nelayan 2639 2380

6. Pensiunan 80 36

7. Lainnya 9271 3081

Sumber: SP2TP Puskesmas Pekan Labuhan, 2008.

Berdasarkan Tabel 4.3. terlihat bahwa jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas Pekan Labuhan berjumlah 35 orang. Jenis tenaga kesehatan terbanyak adalah perawat yaitu 18 orang, Bidan 6 orang, Dokter Umum, Asisten Apoteker, dan LPCK


(1)

Total Faktor Pelkes Kategori * Kepatuhan Berobat Kategori Crosstabulation Count

Kepatuhan Berobat Kategori

Total Tidak Patuh Kurang Patuh Patuh

Total Faktor Pelkes Kategori

Baik

12 21 5 38

Total 12 21 5 38

Peran PMO * Kepatuhan Berobat Kategori Crosstabulation Count

Kepatuhan Berobat Kategori

Total Tidak Patuh Kurang Patuh Patuh

Peran PMO

6 2 1 0 3

7 6 1 0 7

8 2 7 1 10

9 0 5 2 7

10 1 6 0 7

11 0 1 2 3

12 1 0 0 1

Total 12 21 5 38

Peran PMO Kategori * Kepatuhan Berobat Kategori Crosstabulation Count

Kepatuhan Berobat Kategori

Total Tidak Patuh Kurang Patuh Patuh

Peran PMO Kategori

Rendah 2 1 0 3

Sedang 9 20 5 34

Tinggi 1 0 0 1


(2)

Correlations

1 -.451** -.393* .383* -.132 -.125 .039 -.216 -.049 -.179

.004 .015 .018 .430 .456 .815 .192 .770 .282

38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

-.451** 1 .034 -.418** .163 .072 .245 .244 .233 .306

.004 .841 .009 .329 .666 .138 .139 .159 .062

38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

-.393* .034 1 .072 .725** .323* -.068 .072 -.181 .455**

.015 .841 .666 .000 .048 .683 .669 .278 .004

38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

.383* -.418** .072 1 -.004 -.012 -.197 -.186 -.142 .022

.018 .009 .666 .983 .941 .236 .264 .393 .896

38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

-.132 .163 .725** -.004 1 .276 .121 .354* .015 .661**

.430 .329 .000 .983 .093 .468 .029 .930 .000

38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

-.125 .072 .323* -.012 .276 1 -.144 .145 .149 .323*

.456 .666 .048 .941 .093 .387 .385 .372 .048

38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

.039 .245 -.068 -.197 .121 -.144 1 .070 .268 .276

.815 .138 .683 .236 .468 .387 .678 .104 .094

38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

-.216 .244 .072 -.186 .354* .145 .070 1 .218 .150

.192 .139 .669 .264 .029 .385 .678 .188 .369

38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

-.049 .233 -.181 -.142 .015 .149 .268 .218 1 .484**

.770 .159 .278 .393 .930 .372 .104 .188 .002

38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

-.179 .306 .455** .022 .661** .323* .276 .150 .484** 1

.282 .062 .004 .896 .000 .048 .094 .369 .002

38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Umur Responden Jenis Kelamin Pendidikan Status Pekerjaan Pengetahuan Responden

Efek Samping OAT

Lokasi/Jarak Penyuluhan Kesehatan Peran PMO Kepatuhan Berobat Umur Responden Jenis Kelamin Pendidikan Status Pekerjaan Pengetahuan Responden Efek Samping OAT Lokasi/Jarak Penyuluhan

Kesehatan Peran PMO

Kepatuhan Berobat

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). **.

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.


(3)

Regression

Variables Entered/Removedb

Peran PMO, Pengetahuan Responden, Jenis Kelamin, Sikap Petugas Kesehatan, Lokasi/Jarak, Efek Samping OAT, Pendidikana

. Enter

Model 1

Variables Entered

Variables

Removed Method

All requested variables entered. a.

Dependent Variable: Kepatuhan Berobat b.

Model Summ aryb

.838a .703 .634 1.160 2.235

Model 1

R R Square Adjust ed R Square St d. E rror of the Es timate

Durbin-W atson

Predic tors: (Constant), Peran P MO, Penget ahuan Responden, Jenis Kelamin, Sik ap Petugas Kesehatan, Lokasi/Jarak, E fek Samping OA T, P endidikan

a.

Dependent Variable: Kepatuhan Berobat b.

ANOV Ab

95.469 7 13.638 10.141 .000a

40.347 30 1.345

135.816 37

Regres sion Residual Total Model 1

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Predic tors: (Constant), Peran P MO, Penget ahuan Responden, Jenis Kelamin, Sikap Petugas Kesehatan, Lokasi/Jarak, E fek Samping OA T, P endidikan

a.

Dependent Variable: Kepat uhan Berobat b.


(4)

Coefficientsa

-12.125 8.305 -1.460 .155

.305 .402 .080 .757 .455 .885 1.130

.223 .291 .122 .766 .450 .389 2.571

.305 .094 .493 3.236 .003 .426 2.348

.086 .191 .051 .452 .654 .776 1.289

.586 .543 .119 1.078 .290 .817 1.224

.235 .295 .087 .796 .433 .819 1.221

.558 .140 .442 3.973 .000 .800 1.251

(Constant) Jenis Kelamin Pendidikan

Pengetahuan Responden Efek Samping OAT Sikap Petugas Kesehatan

Lokasi/Jarak Peran PMO Model

1

B Std. Error

Unstandardized Coefficients

Beta Standar

dized Coeffici

ents

t Sig.

Toler

ance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: Kepatuhan Berobat a.

Collinearity Diagnostics a

7.723 1.000 .00 .00 .00 .00 .00 .00 .00 .00

.115 8.196 .00 .29 .16 .01 .02 .00 .00 .01

.074 10.196 .00 .63 .10 .00 .03 .00 .01 .04

.050 12.468 .00 .05 .02 .01 .76 .00 .03 .00

.018 20.858 .00 .01 .06 .01 .05 .00 .06 .92

.012 25.734 .00 .01 .57 .93 .02 .00 .00 .03

.009 30.018 .01 .01 .06 .05 .10 .01 .90 .00

.000 175.788 .98 .00 .04 .00 .03 .99 .00 .00

Dimen sion 1 2 3 4 5 6 7 8 Model 1

Eigenvalue

Condition Index

(Cons

tant) JK Pdkn Pthn Efek SPK L/K PMO

Variance Proportions

Dependent Variable: Kepatuhan Berobat a.


(5)

Re siduals Sta tisti csa

5.69 14.34 9.71 1.606 38

-2. 501 2.884 .000 1.000 38

.320 1.018 .515 .138 38

5.43 14.92 9.73 1.649 38

-2. 225 2.159 .000 1.044 38

-1. 918 1.862 .000 .900 38

-2. 201 2.214 -.007 1.010 38

-2. 988 3.052 -.017 1.320 38

-2. 363 2.380 -.010 1.044 38

1.841 27.550 6.816 4.658 38

.000 .253 .034 .057 38

.050 .745 .184 .126 38

Predic ted V alue St d. P redic ted Value St andard E rror of P redicted Value

Adjust ed P redicted Value Residual

St d. Residual St ud. Residual Deleted Residual St ud. Deleted Residual Mahal. Dis tanc e Cook's Dis tanc e

Centered Leverage Value

Minimum Maximum Mean St d. Deviat ion N

Dependent Variable: Kepatuhan Berobat a.

Charts

Regression Standardized

Residual

2 1

0 -1

-2

Frequency

10 8 6 4 2 0 Histogram Dependent Variable: Kepatuhan Berobat

Mean =-4.16E-16฀ Std. Dev. =0.9฀N =38


(6)

Observed Cum

Prob

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0

E

xpect

ed

C

um

P

rob

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: Kepatuhan Berobat

Regression Standardized

Predicted Value

3 2 1 0 -1 -2 -3

R

egressi

on

S

tudent

iz

ed

R

esi

dual

3 2 1 0 -1 -2 -3 Scatterplot