Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
                                                                                35
3. Orang-orang  ketiga  lainnya  tidak  termasuk  dalam  huruf  a  dan  b  sepanjang
mereka  memperoleh  hak-hak  dengan  itikad  baik  sebelum  keputusan  tentang pembatalan mempunyai kekuatan hokum tetap.
Sedangkan  menurut  KHI  seperti  yang  terdapat  pada  pasal  75,  dijelaskan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
30
1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami isteri murtad;
2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
3. Pihak  ketiga  sepanjang  mereka  memperoleh  hak-hak  dengan  beritikad  baik,
sebelum  keputusan  pembatalan  perkawinan  mempunyai  kekuatan  hukum yang tetap.
Sedangkan dalam pasal 76 KHI dinyatakan : “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya. ”
Dalam  fiqih  dijelaskan  akibat  hukum  dari  pembatalan  perkawinan  di antaranya yaitu yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, yakni:
1. Apabila telah sempat bersenggama, maka senggama itu tidak di anggap zina
selama benar-benar tidak mengetahui bahwa perbuatan itu haram baginya, dan oleh  karena  itu  tidak  dikenakan  hukum  dera  seratus  kali  bagi  yang  masih
belum pernah menikah dan tidak pula hukuman rajam bagi yang sudah pernah menikah
30
Ibid, h. 113.
36
2. Wajib membayar mahar wanita seperti yang di sepakati, dan kalau belum ada
kesepakatan  tentang  jumlahnya  maka  harus  membayar  jumlah  yang  layak baginya
3. Ibu wanita haram bagi laki-laki menikahinya karena sudah di anggap sebagai
mertuanya, 4.
Jika  senggama  itu  menghasilkan  anak,  maka  anak  itu  di  akui  sebagai  anak ayahnya,  baik  hal  yang  menyebabkan  batalnya  itu  di  sepakati  maupun  di
perselisihkan.
31
Dari  penjelasan  pasal-pasal  diatas  dapat  ditarik  suatu  kesimpulan  tentang akibat hukum dari pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan adalah anak sah dan
merupakan  tanggung  jawab  orang  tua  dalam  pemeliharaannya,  kecuali pembatalan perkawinan  atas dasar kesengajaan para pihak, karena perkawinan
yang  tidak  sah  karena  unsur  kesengajaan  anak  hanya  mempunyai  hubungan nasab dengan ibunya.
2. Penyelesaian  terhadap  harta  bersama  yang  didapat  dalam  perkawinan  yang
dibatalkan  atas  dasar  adanya  ikatan  perkawinan  yang  lebih  dahulu  atau poligami  aturan  hukumnya  belum  jelas.  Sedangkan  terhadap  harta  bersama
yang  didapat  dalam  perkawinan  diselesaikan  menurut  hukumnya  masing- masing, baik menurut hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.
31
Satria  Efendi,  Problematika  Hukum  Keluarga  Islam  Kontemporer,    Jakarta:  Kencana, 2004, Cet Ke-2, h. 26.
37