Pengertian Pembatalan Perkawinan PEMBATALAN PERKAWINAN

16 Sayyid Sabiq menyatakan bahwa memfasakh akad nikah adalah membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara suami istri, fasakh dapat terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal- hal lain yang datang membatalkan kelangsungan perkawinan. 4 Adapun contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam akad perkawinan adalah: 1. Setelah akad nikah ternyata istri adalah saudara susuan, 2. Suami istri masih kecil diakadkan setelah dewasa, ia berhak untuk meneruskan ikatan perkawinanya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini disebut dengan khiyar baliq. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, hal ini disebut dengan fasakh akad. Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari pasangan suami istri mengetahui ada aib pada pihak lainnya sebelum aqad nikah dan ia menerima secara tegas atau ada tanda yang menunjukan kerelaannya, maka hak untuk meminta fasakh dengan alasan aib tersebut hilang. Terdapat 8 delapan aib atau cacat yang membolehkan khiyar, yaitu: Tiga berada dalam keduanya suami atau istri yaitu gila, penyakit kusta dan supak, dua terdapat dalam laki-laki yaitu: unah lemah sahwat, dan impoten, tiga lagi dari perempuan yaitu: tumbuh tulang dalam lubang kemaluan yang 3 Ali Hasabillah, al-furqan Baina Zaujani, Kairo : Daarul fikr, 1949, cet ke 1, hal. 169. 4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terjemahan. Nor Hasanuddin, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006, hal. 211. 17 menghalangi persetubuhan, dan tumbuh daging dalam kemaluan, atau basah karena penyakit keputihan yang menyebabkan hilangnya kenikmatan bersetubuh. 5 Menurut ketentuan hukum Islam, siapa yang mengetahui dan melihat akan adanya seseorang yang berkehendak untuk melangsungkan pernikahan, padahal diketahui bahwa penikahan tersebut cacat hukum karena kurang syarat dan rukun yang ditentukan, maka perkawinan tersebut wajib dicegah. Jika pasangan suami istri mengetahuinya setelah akad nikah, maka pihak yang di rugikan wajib mengajukan pembatalan perkawinan kepada instansi yang berwenang. Dalam literatur fikih tidak di kenal lembaga pencegah perkawinan akan tetapi fikih Islam mengenal dua istilah yang berbeda walaupun hukumnya sama yaitu nikah fasid dan nikah batil. Menurut Al-Jaziry 6 , nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan fasakh atau nikah batil ialah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah di tetapkan oleh syara’. Hukum nikah dari kedua bentuk pernikahan itu adalah sama-sama tidak sah dan harus di batalkan. Meskipun kedua hal tersebut menjadi ikhtilaf para ulama dan para ahli hukum Islam, tetapi kedua hal ini nuansanya tidak bisa di pisahkan dan sangat sulit di bedakan di antara keduanya. 5 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Madzhab, Lentera Basretama, 1999 , h. 351. 6 Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al- Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV Beirut : Dar al- Fikr , h. 118. 18 Ash Shan’ani 7 mengemukakan bahwa nikah fasid itu tidak ada dalam Al- Qur’an dan Al-Hadis, akan tetapi Ash Shan’ani mengemukakan bahwa pada dasarnya dalam Syari’at Islam hanya ada nikah yang sah dan nikah yang bathil saja, tidak ada nikah yang terletak di antara nikah sah dan nikah yang bathil itu. Di kalangan mazhab Syafi’iyyah nikah fasid itu adalah akad nikah yang di lakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi kurang salah satu syarat yang di tentukan oleh syara’, sedangkan nikah batil adalah pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi kurang salah satu rukun syara’. Menurut ahli hukum Islam mazhab Syafi’iyyah, nikah fasid dapat terjadi dalam bentuk: 1 pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki lain 2 pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi syubhat 3 pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita tetapi perempuan tersebut di ragukan iddahnya karena ada tanda-tanda kehamilan Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 hanya mengatur menyangkut pembatalan saja, tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-undang tersebut yang 7 Al-Imam Muhammad Ibn Ismail Al- Kahlani Ash Shan’ani, Subulus Salam, terjemahan Abu Bakar Muhammad, Jilid III, Surabaya : Al-Ikhlas , 1995, h. 118. 19 menyangkut hal pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid dan nikahul bathil Apabila nikah fasid dan nikah batil di kaitkan dengan dengan fasakh, maka fasakh adalah sesuatu yang dapat menyebabkan hubungan suami istri berhenti, baik di hentikan oleh hakim maupun di hentikan dengan sendirinya di karenakan di ketahui tidak terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Dengan demikian putusnya perkawinan dalam bentuk fasakh dapat terjadi karena adanya kesalahan yang terjadi waktu akad atau adanya sesuatu yang terjadi kemudian yang mencegah kelangsungan hubungan perkawinan itu. 8 Bentuk kesalahan yang terjadi waktu akad: a. Di ketahui kemudian bahwa suami istri itu ternyata mempunyai hubungan nasab atau sepersusuan b. ketika di kawinkan umurnya masih kecil belum dewasa dan tidak punya hak pilih, tetapi setelah dewasa dia menyatakan pilihan untuk membatalkan perkawinan c. ketika akad nikah berlangsung suatu kewajaran, kemudian ternyata ada penipuan, baik dari segi mahar atau pihak yang melangsungkan perkawinan Bentuk kesalahan terjadi setelah berlangsungnya akad perkawinan: a. Salah seorang murtad dan tidak mau di ajak kembali kepada Islam b. Salah seorang mengalami cacat fisik yang tidak memungkinkan melakukan hubungan suami istri 8 Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, Cet Ke-2, h. 133. 20 c. Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu pulihnya kehidupan ekonomi si suami. 9 Menurut Al-Jaziri jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seseorang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut perlu dibatalkan, yang melakukan perkawinan tersebut tidak berdosa, jika terjadi persetubuhan maka itu dipandang sebagai wathi’syubhat, tidak dipandang sebagai perzinahan. Jika perkawinan yang di lakukan oleh seseorang sehingga perkawinan itu menjadi tidak sah karena sengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu, persaksian palsu, surat-surat palsu atau hal lain yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka perkawinan yang demikian itu wajib di batalkan. 10 Jadi, ada dua jenis pembatalan dari segi kapan berlakunya yaitu: a. Berlaku surut Apabila pada waktu di langsungkannya akad telah di ketahui sebab yang dapat menyebabkan aqad tidak sah atau perkawinan yang di langsungkan tidak memenuhi syarat atau rukun perkawinan yang telah di tentukan oleh syara. b. Tidak berlaku surut Pembatalan yang tidak berlaku surut yaitu apabila sebab yang dapat membatalkan aqad di ketahui setelah berlangsungnya perkawinan, dengan 9 Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Cet Ke-2, h. 134. 10 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al- Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, jilid IV, hal.119. 21 begitu aqadnya tetap di anggap sah. Seperti contoh setelah perkawinan telah berlangsung, salah satu dari pasangan suami istri keluar dari Islam atau murtad, dengan begitu akadnya tetap di anggap sah.

B. Sebab Jatuhnya Pembatalan Perkawinan

1. Perspektif fiqh

Fiqh Islam mengenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama, yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil, apabila tidak terpenuhi rukun-rukunnya. Hukum nikah fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah. Batalnya perkawinan menurut fiqih Islam antara lain disebabkan oleh 2 dua hal, yaitu: pertama, karena tidak terpenuhi rukun perkawinan dan atau karena tidak terpenuhi syarat perkawinan dan kedua, karena adanya sebab lain setelah perkawinan berlangsung. Pembatalan dimaksud dikenal dengan istilah “fasakh”. 11 Menurut pendapat kalangan madzhab Syafi’iyyah diantara perceraian di sebabkan fasakh yaitu di sebabkan seorang suami berat memberikan maskawin sebelum di pergauli , nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, seorang istri terdapat cacat dari kemaluannya, di sebabkan akad nikah yang fasid, dan tidak sekufu. Kalangan madzhab Malikiyyah berpendapat bahwa di antara sebab 11 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet Ke-3, h. 243. 22 yang dapat di fasakh yaitu di sebabkan akad nikah yang fasid, nikah sirri, menikah tanpa wali, putusan hakim dengan talaq ba’in dalam perceraian baik di ceraikan atas putusan hakim atau atas perintah Istri. Menurut kalangan madzhab Hanafiyyah di antara sebab yang dapat mengakibatkan fasakh yaitu salah satu dari suami atau istri meninggalkan tempat peperangan ke Negara Islam yang aman, karena fakta yang menyebabkan akad nikah fasid, dan salah satu dari suami atau istri kafir, sedangkan menurut kalangan mazdhab Hanabilah di antara sebab yang dapat menyebabkan fasakh yaitu seorang suami tidak sanggup memberikan maskawin sebelum di pergauli, nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, dan salah satu dari suami atau istri kafir. 12 Adapun dalam hal fasakhnya suatu pernikahan di sebabkan karena adanya cacat pada wanita yang di nikahi, dalam hal ini istri tetap berhak mendapatkan mahar. Hal tersebut sesuai dengan hadis Sayyidina Umar yang berbunyi: 13 Umar bin Khattab berkata “laki-laki mana saja yang mengawini seorang perempuan dan bergaul dengannya, lalu menemukan pada istrinya itu mengidap 12 Lihat Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al- Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV Beirut : Dar al-Fikr , h. 372. 13 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulug Al-Maram, Surabaya: Syirkah Bengkulu Indah, h. 218