Analisis Putusan No. 1513 Pdt. G 2009 PA. Bekasi Menurut Kompilasi
Sedangkan apabila dilihat dari duduk perkara pada putusan No. 1513 Pdt. G 2009 PA. Bekasi pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
dengan alasan bahwa termohon II telah melakukan pemalsuan identitas, yang dalam hal ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 72 ayat 2 yang
berbunyi: 1
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum 2
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
salah sangka mengenai calon suami atau istri. Sedangkan sebab kedua setelah diketahuinya Termohon II melakukan
pemalsuan identitas, diketahui bahwa Termohon II telah mempunyai istri dan dua orang anak. Dengan begitu perkawinannya dapat di batalkan sesuai dengan pasal
71 huruf a yang berbunyi: Perkawinan
dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
Kompilasi Hukum Islam tampaknya telah mengantisipasi kekurangan hal yang tersebut dalam pasal 27 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
melalui pasal 72 ayat 2. Di kemukakan bahwa perkawinan dapat di batalkan tidak hanya salah sangka mengenai diri suami atau istri tetapi juga termas
uk “penipuan”. Penipuan yang tersebut di sini tidak hanya di lakukan oleh pihak pria saja, tetapi dapat juga
dilakukan oleh pihak wanita. Dari pihak pria biasanya penipuan di lakukan dalam bentuk pemalsuan identitas, misalnya pria tersebut sudah pernah kawin tetapi di katakannya
masih jejaka atau perbuatan licik lainnya sehingga perkawinan tersebut dapat berlangsung. Penipuan yang di lakukan oleh pihak wanita biasanya menyembunyikan kekurangan yang
ada pada dirinya, misalnya di katakan tidak ada cacat fisik, tetapi kenyataannya tidak demikian.
11
Menurut analisis penulis melihat duduk perkara No. 1513 Pdt. G 2009 PA. Bekasi seharusnya putusan tersebut lebih sesuai apabila diputuskan
berdasarkan pasal 72 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang telah di sebut di atas, karena pemohon yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tersebut
menjelaskan dengan tegas bahwa Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas dengan memalsukan statusnya sebagai jejaka, yang kemudian diketahui
bahwa Termohon II telah mempunyai istri dan dua orang anak. Selain itu pengajuan permohonan tersebut di ajukan oleh wali dari Termohon I yang telah
mengetahui Termohon II melakukan pemalsuan identitas. Apabila kasus tersebut di ajukan oleh istri pertama, maka baru bisa di anggap sebagai poligami liar karena
perkawinannya yang kedua tidak mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang telah di jelaskan oleh Abdul Manan dalam
bukunya Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia yang telah di sebutkan di atas yang dengan jelas menyatakan bahwa pembatalan perkawinan
11
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet Ke-1, h. 67.
karena pemalsuan identitas yaitu sesuai dengan pasal 72 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam.
Seperti pada putusan Mahkamah Agung Nomor 05 KAG2005 seorang lelaki bernama Ton mengaku jejaka melangsungkan perkawinan dengan seorang
wanita bernama Masti pada tanggal 21 September 1983 dicatat oleh PPN yang berwenang. Dari perkawinan tersebut belum di peroleh anak. Pada tanggal 25
April 1991 seorang wanita bernama Karti mengajukan pembatalan perkawinan Ton dengan Masti karena tidak di lengkapi izin poligami dari Pengadilan,
sedangkan pada waktu mereka melangsungkan perkawinan Ton masih terikat perkawinan sah dengan Karti. Gugatan tersebut di kabulkan oleh Pengadilan
Agama karena melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
12
Dalam tingkat banding putusan Pengadilan Agama tersebut di batalkan oleh Pengadilan Tinggi dengan pertimbangan: “bahwa gugatan pembatalan
perkawinan seperti yang telah di ajukan oleh penggugat adalah merupakan hak yang di berikan oleh undang-undang kepada isteri untuk mengajukan pembatalan
perkawinan yang kedua dari suami. Namun menurut kepatutan serta rasa keadilan penggunaan hak tersebut bukanlah tidak di batasi waktu berlakunya. Sebab apabila
hak tersebut merupakan hak yang tidak di batasi oleh waktu maka berarti walaupun isteri menyadari telah terjadi perkawinan suami tanpa izin Pengadilan
akan bisa di gunakan kapan saja walaupun perkawinan itu telah di ketahui puluhan
12
Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 05 KAG2005 tanggal 28 Juli 2006.
tahun yang lalu dan sudah mempunyai anak cucu dan ini berarti pula bukan akan menimbulkan manfaat bagi keluarga, akan tetapi akan menimbulkan mafsadat bagi
keluarga. Oleh karena itu menurut Pengadilan Tinggi Agama Jakarta rasa keadila akan terpenuhi baik terhadap hak Penggugat maupun Tergugat I dan Tergugat II
apabila terhadap gugatan pembatalan perkawinan a quo di lakukan kias analog dengan Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan, demikian pula dengan Pasal 72
KHI di mana harus di ajukan paling lambat 6 bulan sejak yang bersangkutan menyadari dan atau mengetahui perkawinan di maksud.
Putusan Pengadilan Tinggi Agama tersebut di batalkan oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan : “bahwa Pasal 27 Udang-Undang No.1 Tahun 1974
hanya berlaku bagi suami atau istri yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dirinya sendiri dan bukan permohonan untuk pembatalan perkawinan
orang lain.
13
Melihat Putusan Mahkamah Agung tersebut apabila di kaitkan dengan Putusan Pengadilan Agama Bekasi maka seharusnya hakim lebih tepat
memutuskan perkara pembatalan perkawinan akibat pemalsuan identitas dengan menggunakan pasal 27 Undang-Undang Perkawinan atau dengan Pasal 72 KHI.
Karena dalam Putusan No. 15 PDTG2009PA. Bekasi di ketahui bahwa yang mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan adalah wali dari
Termohon I dan persetujuan Termohon I, dengan begitu pembatalan perkawinan
13
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Hukum Perdata Islam Studi Tentang Pergeseran Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam Tahun 1991-2007
tersebut untuk perkawinan Termohon I dengan Termohon II bukan pembatalan perkawinan untuk Termohon II dengan isteri pertamanya atau untuk orang lain.
76