Analisis Putusan No. 1513 Pdt. G 2009 P Bekasi Menurut Undang-
                                                                                Adapun perkawinan yang dapat dibatalkan secara rinci dijelaskan di dalam Undang-Undang  No.  1  Tahun  1974  Tentang  Perkawinan  yaitu  alasan-alasan
pembatalan perkawinan antara lain:
2
1. Perkawinan  yang  di  langsungkan  tidak  memenuhi  syarat-syarat  perkawinan
Pasal 22 UU Perkawinan 2.
Salah satu pihak masih terikat dalam satu hubungan perkawinan Pasal 24 UU Perkawinan
3. Perkawinan  yang  di  langsungkan  tidak  di  hadapan  pejabat  yang  berwenang
Pasal 26 Ayat 1 UU Perkawinan 4.
Perkawinan  yang  di  langsungkan  dengan  tidak  ada  wali  nikah  yang  sah  dan karena tidak ada dua orang saksi Pasal 26 Ayat 2 UU Perkawinan
5. Perkawinan yang di langsungkan karena adanya suatu ancaman yang melanggar
hukum Pasal 27 Ayat 1 UU Perkawinan 6.
Perkawinan  yang  di  langsungkan  karena  adanya  penipuan  atau  salah  sangka mengenai diri suami atau istri Pasal 27 Ayat 2 UU Perkawinan
Dilihat  dari  sebab  terjadinya  pembatalan  perkawinan  pada  putusan  No. 1513  Pdt.  G  2009  PA.  Bekasi,  bahwa  Termohon  II  telah  memalsukan
identitasnya dan ternyata Termohon II telah mempunyai istri dan dua orang anak, dengan  begitu  perkawinannya  dapat  dibatalkan  sesuai  dengan  bunyi  Undang-
Undang Perkawinan pasal 24 dan pasal 27 ayat 2.
2
Kama  Rusdiana  dan  Jaenal  Aripin,  Perbandingan  Hukum  Perdata,  Jakarta:  UIN  Jakarta Press, 2007,Cet Ke-1, h. 14.
Dalam pasal  24 di  jelaskan bahwa barang siapa karena perkawinan masih terikat  dirinya  dengan  salah  satu  dari  kedua  belah  pihak  dan  atas  dasar  masih
adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru. Sedangkan di dalam pasal 27 di jelaskan sebagai berikut:
1. Seorang  suami  atau  istri  dapat  mengajukan  permohonan  pembatalan
perkawinan  apabila  perkawinan  dilangsungkan  dibawah  ancaman  yang melanggar hukum.
2. Seorang  suami  atau  istri  dapat  mengajukan  permohonan  pembatalan
perkawinan  apabila  pada  waktu  berlangsungnya  perkawinan  terjadi  salah sangka mengenai diri suami atau istri.
M.  Yahya  Harahap  mengatakan  bahwa  alasan  pembatalan  perkawinan tersebut  dalam  pasal  27  Ayat  2  Undang-Undang  No.  1  Tahun  1974  Tentang
Perkawinan  adalah  alasan  yang  agak  limitatif  tetapi  tidak  secara  mutlak.  Alasan tersebut  tidak  menutup  kemungkinan  timbulnya  alasan-alasan  lain  yang  dapat  di
gunakan  untuk  mengajukan  pembatalan  perkawinan  yang  di  dasarkan  kepada ketentuan  dalam  batas-batas  perikemanusiaan  dan  kesusilaan,  seperti  penipuan,
penyakit gila dan impoten. Hal ini penting untuk mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana  tersebut  dalam  Undang-Undang  Perkawinan  yaitu  mewujudkan
rumah  tangga  bahagia  dan  sejahtera  serta  kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang
Maha  Esa.  Tujuan  perkawinan  tersebut  tidak  akan  tercapai  kalau  dalam pelaksanaan perkawinan terjadi cacat sehingga merugikan salah satu pihak.
3
Dalam  uji  lapangan  yang  berkaitan  dengan  pembatalan  perkawinan, perkara  yang  di  ajukan  ke  Pengadilan  Agama  se-Jawa  Tengah  yang  menjadi
sampel penelitian, dapat di informasikan melalui tabel berikut:
4
Tabel 4.1 Daftar Perkara Pembatalan Perkawinan Se-Jawa Tengah
No.  Pengadilan Agama Jumlah
Perkara Status Perkara
Diputus       Ditolak        Dicabut 1.
PA Semarang 3
3                      -                  - 2.
PA Temanggung 4
3                      1                 - 3.
PA Klaten 4
4                      -                  - 4.
PA Mungkid 13
13                    -                  - 5.
PA. Karanganyar 9
8                      1                 - 6.
PA Magelang 1
1                      -                  - Jumlah
34 22                    2                 -
Dari  data-data  tersebut  di  atas  yang  berkaitan  dengan  alasan  pembatalan perkawinan  yang paling dominan adalah karena poligami tanpa izin isteri. Dalam
3
Abdul  Manan,  Aneka  Masalah  Hukum  Perdata  Islam  Di  Indonesia,    Jakarta:  Kencana, 2006, Cet Ke-1, h. 66.
4
M u’allim  Amir  Bin,  Yurisprudensi  Peradilan  Agama  Studi  Pemikiran  Hukum  Islam  Di
Lingkungan  Peradilan  Agama  Se-Jawa  Tengah  Dan  Pengadilan  Tinggi  Agama  Semarang,  1991- 1997.
hal  persetujuan  seorang  isteri  di  sebutkan  dalam  pasal  5  Undang-Undang Perkawinan  dan  di  ulang  kembali  dalam  pasal  41  b,  c,  dan  d  dengan  tambahan
penjelasan bahwa : a.
Persetujuan  dari  isteri,  baik  persetujuan  lisan  maupun  tertulis,  apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus di ucapkan
di depan sidang Pengadilan b.
Kemampuan  suami  untuk  menjamin  keperluan  hidup  isteri-isteri  dan  anak- anak, dengan memperlihatkan:
1 Surat  keterangan  mengenai  penghasilan  suami  yang  di  tanda  tangani
oleh bendahara tempat bekerja; atau 2
Surat keterangan pajak penghasilan; 3
Surat keterangan lain yang dapat di terima oleh Pengadilan; c.
Adanya  jaminan  bahwa  suami  akan  berlaku  adil  terhadap  isteri-isteri  dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang di buat dalam
bentuk yang di tetapkan untuk itu maksudnya rumusan dan cara pengucapan pernyataan atau janji itu.
Para Hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan untuk membatalkan suatu  perkawinan  sudah  barang  tentu  di  dasarkan  pada  pertimbangan-
pertimbangan  hukum  tertentu.  Pertimbangan-pertimbangan  hukum  tersebut adakalanya secara eksplisit tertuang dalam naskah putusan, adakalanya di sebutkan
secara  implisit  dalam  naskah  putusan,  serta  yang  menjadi  pertimbangan  hukum
para  hakim  dalam  memutus  perkara  adakalanya  berupa  nash  Al-Quran  dan  Al- Hadis.
Sebagai  bukti  pengggunaan  mekanisme  dan  landasan  hakim  dalam memutus  perkara  sebagaimana  yang  di  ungkapkan  di  atas,  dapat  di  cermati  dari
perkara No. 1513 Pdt. G 2009 PA. Bekasi Hasil  wawancara  penulis  dengan  hakim  Pengadilan  Agama  Bekasi  yang
telah  memutuskan  perkara  pembatalan  perkawinan  tersebut,  menyatakan  bahwa Ketua  Majlis  menetapkan  hukum  pembatalan  perkawinan  karena  pemalsuan
identitas dalam kasus poligami sesuai Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan pasal  24  yang  telah  dijelaskan  diatas.  Alasan  yang  di  berikan  oleh  hakim  bahwa
seorang  suami  apabila  ingin  berpoligami  maka  harus  izin  dari  istri  pertama  pada khususnya dan izin dari Pengadilan Agama pada umumnya.
5
Berdasarkan  pertimbangan  hakim  dalam  menggunakan  landasan  hukum perkara  pembatalan  perkawinan  dapat  di  lihat  dari  putusan  di  Pengadilan  Agama
Se-Jawa Tengah dalam tabel berikut ini:
6
5
Hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi Drs. Humaidi Yusuf, MH  pada tanggal 15 April 2011 di Pengadilan Agama Bekasi.
6
Amir  Bin Mu’allim,  Yurisprudensi  Peradilan  Agama  Studi  Pemikiran  Hukum  Islam  Di
Lingkungan  Peradilan  Agama  Se-Jawa  Tengah  Dan  Pengadilan  Tinggi  Agama  Semarang,  1991- 1997.
Tabel 4.2
No. Pengadilan Agama
Juml ah sampe
l per ka
ra Landasan Hukum Atau Rujukan
Dalil Syar’i Peraturan Perundang-
undangan Al
-Qur ’an
Al -Ha
dis Kitab Fi
qih UU
No. 141970 UU
No.11974 UU
No.71989 KHI
P P
No.91075 Ke
pmen HI
R
1. Temanggung
2 1
- 1
- 1
1 2
- -
- 2.
Magelang 1
- -
1 -
1 1
1 -
- -
3. Karanganyar
3 -
- 1
- 2
2 2
- -
- 4.
Klaten 2
- -
1 -
1 1
1 -
- -
5. Mungkid
4 -
- -
- 2
3 3
- -
- 6.
Semarang 1
- -
- -
1 1
1 1  -
- Jumlah
15 4
- -
2 15  12  11  5  1
-
Kasus gugatan pembatalan perkawinan seperti yang tergambar dalam data- data tersebut di atas menunjukkan bahwa:
a. Secara  umum  penekanan  skala  prioritas  dalam  hal  penggunaan  rujukan
sebagai dasar hukum dalam memutuskan perkara lebih menekankan peraturan perundang-
undangan dibandingkan dengan dalil syar’i. b.
Perujukan terhadap kitab-kitab fiqh sebagai dasar memutuskan perkara lebih banyak  dilakukan  dari  pada  merujuk  pada  nash  Al-Quran  dan  Al-Sunnah.
Sedangkan  dalam  hal  perujukan  terhadap  peraturan  perundang-undangan, penggunaan UU Nomor 7 Tahun 1989 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 lebih
mendapat prioritas di banding yang lain. c.
Pengadilan  Agama  yang  satu  dengan  Pengadilan  Agama  yang  lain  beragam dalam hal penerapan rujukan sebagai dasar hukum memutus perkara.
Adanya  keberagaman  tersebut  memberi  kesan  bahwa  meskipun  statusnya sebagai  Pengadilan  Agama  yang  mestinya  banyak  berkaitan  dengan  nuansa
keagamaan namun dalam prakteknya ternyata cenderung lebih banyak menerapkan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum dalam memutus perkara.
Menurut analisis penulis terhadap pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut kurang tepat apabila hakim menjatuhkan
putusan  dengan  pasal  24  saja,  karena  apabila  dilihat  dari  duduk  perkara  pada putusan No. 1513  Pdt. G 2009  PA. Bekasi,  Pemohon  mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan dengan sebab Termohon II telah memalsukan identitasnya yang  mengaku  berstatus  jejaka,  dengan  begitu  hakim  lebih  tepat  apabila
memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut dengan menggunakan pasal 24 dan pasal 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, seperti
yang  telah  di  kemukakan  oleh  M.  Yahya  Harahap  bahwa  perkawinan  dapat  di batalkan  apabila  salah  satu  pihak  melakukan  penipuan  dalam  bentuk  pemalsuan
identitas,  seperti  contoh  pria  tersebut  sudah  pernah  kawin  tetapi  di  katakannya masih  jejaka  atau  bentuk  perbuatan  licik  lainnya  sehingga  perkawinan  tersebut
dapat berlangsung.
Adapun pasal 27 itu lengkapnya berbunyi sebagai berikut: 1.
Seorang  suami  atau  istri  dapat  mengajukan  permohonan  pembatalan perkawinan  apabila  perkawinan  dilangsungkan  dibawah  ancaman  yang
melanggar hukum. 2.
Seorang  suami  atau  istri  dapat  mengajukan  permohonan  pembatalan perkawinan  apabila  pada  waktu  berlangsungnya  perkawinan  terjadi  salah
sangka mengenai diri suami atau istri.