Analisis Putusan No. 1513 Pdt. G 2009 P Bekasi Menurut Madzhab

77 4. Karena seorang suami telah tertipu dengan sifat kewanitaannya, seperti seorang wanita mengaku perawan tetapi pada kenyataannya tidak perawan, mengaku merdeka ternyata budak. 2 Melihat dari duduk perkara pada putusan No. 1513 Pdt. G 2009 PA. Bekasi bahwa perkawinannya batal karena Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas, dengan begitu apabila di analisis menurut pendapat Madzhab Syafi’iyyah maka perkawinan tersebut dapat di batalkan karena telah tertipu dari pada sifat salah satu dari kedua suami istri tersebut. Apabila di qiyaskan sifat te rsebut kepada pendapat Madzhab Syafi’iyyah bahwa pernikahan dapat di batalkan apabila salah satu keduanya tertipu oleh sifat suami atau istri, seperti contoh wanita mengaku perawan akan tetapi kenyataannya tidak perawan. Begitu pula pada kasus tersebut bahwa Termohon II yang telah mengaku sebagai jejaka tetapi ternyata telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Akan tetapi Madzhab Syafi’iyyah memberi keterangan lebih lanjut bahwa di syaratkan bagi seseorang yang ingin menikah terlebih dahulu meneliti sifat dari keduanya sebelum atau di saat dilakukannya akad. Dengan begitu apabila sesudah akad diketahui adanya penipuan terhadap sifatnya maupun tertipu karena terdapat cacat, maka pernikahannya tetap di anggap sah. 2 Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islam Wa Adilatuh, Beirut : Daarul Fikr, 1996 , Juz VII, Cet Ke-I, hal. 525. 78 Menurut analisis penulis, melihat dari duduk perkara pada putusan No. 1513 Pdt. G 2009 PA. Bekasi bahwa perkawinannya batal disebabkan bahwa Termohon II telah memalsukan identitasnya yang mengaku sebagai jejaka ternyata di ketahui bawa Termohon II telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Dengan begitu, perkawinan tersebut sebenarnya memang dapat dibatalkan karena telah melanggar aturan hukum perkawinan yang berlaku. Apabila dikaitkan dengan pendapat Madzhab Syafi’iyyah maka sebenarnya perkawinan tersebut tetap di anggap sah, akan tetapi di berikan pilihan perkawinannya bisa di batalkan atau perkawinannya tetap berlangsung. Karena menurut pendapat Madzhab Syafi’iyyah perkawinan dapat dibatalkan apabila salah satu dari keduanya telah tertipu dengan sifat dari kedua suami istri.

B. Analisis Putusan No. 1513 Pdt. G 2009 PA. Bekasi Menurut Madzhab

Hanafiyah Dalam putusan No. 1513 Pdt. G 2009 PA. Bekasi diketahui sebab terjadinya pembatalan perkawinan yaitu: 1. Di ketahui bahwa Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas yaitu mengaku sebagai jejaka 2. Bahwa Termohon II ternyata di ketahui telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah di antara sebab perkawinan dapat di batalkan yaitu: 79 1. Salah satu dari suami atau istri meninggalkan tempat peperangan ke Negara Islam yang aman, 2. Di sebabkan akad nikah yang fasid, 3. Salah satu dari suami atau istri kafir 3 Dalam hal perkawinan dapat di batalkan apabila salah satu dari kedua suami istri telah tertipu oleh sifat dari salah satu kedua suami istri tersebut seperti apa yang telah di kemukakan oleh pendapat Madz hab Syafi’iyyah, Madzhab Hanafiyah berbeda pendapat. Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah bahwa tidak membolehkan adanya perceraian kecuali di sebabkan cacat yang menyebabkan suami istri susah untuk bersenggama. Dalam hal perceraian di sebabkan adanya cacat maka jika perceraian qabla dukhul, bagi istri mendapat setengah maharnya, akan tetapi jika perceraian ba’da dukhul maka bagi istri wajib ber’iddah. 4 Menurut analisis penulis, melihat duduk perkara pada putusan No. 1513 Pdt. G 2009 PA. Bekasi bahwa permohonan pembatalan perkawinan di sebabkan karena Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas, dengan begitu Termohon II telah melakukan penipuan terhadap Termohon I, maka apabila di analisis menurut pendapat Madzhab Hanafiyyah perkawinannya tidak dapat di batalkan, karena bukan dengan sebab adanya cacat melainkan karena di 3 Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al- Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV Beirut : Dar al- Fikr , h. 372. 4 Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islam Wa Adilatuh, Beirut : Daarul Fikr, 1996 , Juz VII, Cet Ke-I, hal. 523.