33
3 Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah
tirinya. 4
Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri
atau isteri-isterinya.
28
Sedangkan pasal 71 KHI menjelaskan tentang aturan dimana suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tidak
mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Di dalam pasal 72 KHI dijelaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan
apabila: 1
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum 2
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
salah sangka mengenai calon suami atau istri. Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan
perkawinan diatur dalam pasal 73, yaitu :
28
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata hukum Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1994 , h. 97.
34
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami
atau isteri, b.
Suami atau isteri, c.
Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Pembicaraan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan itu sebelumnya telah berlangsung dan akibat dari perkawinan tersebut menghasilkan anak dan
harta bersama.
29
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 28 ayat 2 dinyatakan :
Keputusan tidak berlaku surut terhadap : 1.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. 2.
Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang
lebih dahulu.
29
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004 , h. 113.
35
3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hokum tetap.
Sedangkan menurut KHI seperti yang terdapat pada pasal 75, dijelaskan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
30
1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami isteri murtad;
2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik,
sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Sedangkan dalam pasal 76 KHI dinyatakan : “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya. ”
Dalam fiqih dijelaskan akibat hukum dari pembatalan perkawinan di antaranya yaitu yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, yakni:
1. Apabila telah sempat bersenggama, maka senggama itu tidak di anggap zina
selama benar-benar tidak mengetahui bahwa perbuatan itu haram baginya, dan oleh karena itu tidak dikenakan hukum dera seratus kali bagi yang masih
belum pernah menikah dan tidak pula hukuman rajam bagi yang sudah pernah menikah
30
Ibid, h. 113.