Perspektif fiqh Sebab Jatuhnya Pembatalan Perkawinan
22
yang dapat di fasakh yaitu di sebabkan akad nikah yang fasid, nikah sirri, menikah tanpa wali, putusan hakim dengan talaq ba’in dalam perceraian baik
di ceraikan atas putusan hakim atau atas perintah Istri. Menurut kalangan madzhab Hanafiyyah di antara sebab yang dapat mengakibatkan fasakh yaitu
salah satu dari suami atau istri meninggalkan tempat peperangan ke Negara Islam yang aman, karena fakta yang menyebabkan akad nikah fasid, dan salah
satu dari suami atau istri kafir, sedangkan menurut kalangan mazdhab Hanabilah di antara sebab yang dapat menyebabkan fasakh yaitu seorang suami
tidak sanggup memberikan maskawin sebelum di pergauli, nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, dan salah satu dari suami atau istri kafir.
12
Adapun dalam hal fasakhnya suatu pernikahan di sebabkan karena adanya cacat pada wanita yang di nikahi, dalam hal ini istri tetap berhak
mendapatkan mahar. Hal tersebut sesuai dengan hadis Sayyidina Umar yang berbunyi:
13
Umar bin Khattab berkata “laki-laki mana saja yang mengawini seorang perempuan dan bergaul dengannya, lalu menemukan pada istrinya itu mengidap
12
Lihat Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al- Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV Beirut : Dar
al-Fikr , h. 372.
13
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulug Al-Maram, Surabaya: Syirkah Bengkulu Indah, h. 218
23
penyakit sopak, gila atau kusta, maka berikanlah maharnya karena telah bergaul dengannya artinya setelah keduanya dipisahkan”.
Penjelasan dari hadis tersebut bahwa laki-laki yang telah memfasakh perkawinannya karena terdapat cacat pada istrinya tetap wajib membayar mahar
karena suami tersebut harus bertanggung jawab terhadap walinya, meskipun sudah tertipu di dalam pernikahannya dan pernikahannya dapat di fasakh sesuai
dengan apa yang di tetapkan dalam aturan fasakh.
14
Akan tetapi apabila seorang suami tertipu dengan sifat wanita yang dinikahinya tersebut, seperti tertipu karena keperawanannya, ternyata wanita
tersebut tidak perawan, wanita tersebut mengaku muslim, ternyata wanita tersebut bukan muslim, mengaku merdeka, dan mengaku bukan senasab tetapi
ternyata berbeda dengan kenyataannya, maka para ahli fiqih berbeda pendapat dalam hal tersebut kecuali madzhab Hanafiyyah. Menurut pendapat Madzhab
Syafi’iyyah yaitu jika seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan, di syaratkan sebelum atau di saat akad meneliti sifat wanita tersebut, seperti jelas
keislamannya, atau jelas nasabnya, dan jelas status kemerdekaannya. Apabila setelah akad ternyata diketahui berbeda dengan kenyataannya, menurut qaul
yang lebih sahih pernikahannya tetap di anggap sah. Begitu pula menurut Madzhab Hanabilah yaitu apabila seorang laki-laki menipu seorang wanita
dengan sesuatu yang merusak akad, seperti perkara sekufu, kemerdekaannya,
14
Ibid, hal. 522.
24
keturunannya, maka bagi istri berhak untuk memilih antara fasakh atau tetap berlangsung. Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah yaitu tidak di bolehkan
adanya perceraian karena salah satu dari kedua suami istri tertipu oleh sifat dari salah satu kedua suami istri tersebut kecuali terdapat cacat yang dapat
menyebabkan suami istri susah untuk bersenggama.
15
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa putusnya akad meliputi fasakh dan infisakh, hanya saja munculnya fasakh terkadang bersumber dari kehendak
sendiri, keridhaan dan terkadang berasal dari putusan hakim, sedangkan infisakh muncul karena adanya peristiwa alamiah yang tidak memungkinkan
berlangsungnya akad.
16
Sedangkan Sayyid Sabiq
17
menggunakan istilah mem-fasakh akad nikah yang berarti membatal-kannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami
isteri. Fasakh dapat terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan
kelangsungan perkawinan. Sayid Sabiq menambahkan bahwa fasakh itu terbagi kepada dua macam, yaitu: pertama, fasakh yang berkehendak kepada keputusan
hakim, jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar dan kedua, fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab
fasakh-nya jelas.
15
Ibid, hal. 526.
16
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, 1984, hlm. 3150.
17
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Beirut: Daarul Fikr, 1983, Cet ke-37.
25
Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq tersebut, maka pembatalan perkawinan fasakh dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Dilihat dari sisi sebab pembatalannya, terdiri dari:
1 Sebab yang telah ada pada saat perkawinan dilangsungkan, contohnya
perkawinan dilangsungkan tidak memenuhi rukun danatau syarat perkawinan.
2 Sebab yang terjadi setelah akad perkawinan berlangsung, contohnya
setelah perkawinan berlangsung, salah satu dari suami atau isteri murtad. b.
Dilihat dari kewenangan pembatalannya, terdiri dari: 1
Pembatalan perkawinan melalui keputusan hakim, berarti suami isteri tidak dibolehkan membatalkannya tanpa ada keputusan hakim, hal ini
dilakukan jika alasan yang dapat membatalkan perkawinan masih samar- samar, contohnya karena isteri masih belum memeluk agama Islam,
sedangkan suaminya sudah. Ada kemungkinan, setelah perkara dibawa ke pengadilan, isterinya mau memeluk agama Islam.
2 Pembatalan perkawinan yang tidak harus melalui keputusan hakim,
berarti suami isteri dapat langsung membatalkannya tanpa harus menunggu keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang
membatalkan perkawinan sudah jelas, seperti karena terdapat halangan perkawinan di antara mereka disebabkan hubungan nasab atau sesusuan,
berhubung perkawinan yang demikian adalah haram menurut fiqih Islam.
26
Dasar hukum Putusnya hubungan perkawinan dengan cara fasakh ini, antara lain adalah:
a. Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa Ayat 23 yang berbunyi :
Artinya : “ Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu mertua, anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu dan sudah kamu ceraikan, Maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan diharamkan
bagimu isteri-isteri anak kandungmu menantu, dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah
terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
” b.
Dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, yang berbunyi:
27
Artinya: “Dan dari Abdurraman bin Hurmuz Al-A’raj sesungguhnya Abbas bin Abdullah bin Abbas tela mengawinkan Abdurahmnan bin Hakam dengan
anak putrinya dan sebaliknya Abdurahman mengawinkan Abbas dengan anak putrinya dan mereka berdua menjadikan tukar menukar itu sebagai
maharnya kemudian Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim surat kepada Marwan bin Hakam yang isinya menyuruh Marwan agar menceraikan antara
mereka berdua, seraya berkata dalam suratnya itu inilah nikah syigar yang di
larang oleh Rasulullah SAW.” HR ahmad dan abu daud.
18
c. Dalam Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Hakim, yang berbunyi:
دْي ْنع اق ْيبا ْنع ْجع نْب بعك نْب
: اعْلا ْمَّس ْيّع َّلا يَّص َّلا ْ سر جَ ت
اقف اًض ايب ا حْش ب يأر ا ب ايث ْتعض ْيّع ْتّخد اَّّف ر اَّغ ْي ب ْنم يل :
ْيس ْلا قادِّل اب ا ل ما كّْْ أب ْيقحْلا كب ايث
مكاحلا ا ر
Artinya: “ Hadits dari Zaid bin Ka’ab bin „Ujrah dari bapaknya dia berkata: Rasulullah SAW mengawini seorang wanita dari bani Ghafar. Ketika Rasul
hendak bersetubuh dengannya, wanita itu membuka pakaiannya. Rasul melihat warna putih di rusuknya. Lantas Rasul berkata: Pakailah pakaianmu
dan pergilah kerumah orang tuamu, dan Rasul memberinya mahar
.” HR. Hakim.
19