Dasar Hukum Rahn Gadai

45 terpisahkan, meliputi a. Pemberian pinjaman dengan menggunakan transaksi akad qard. b. Penitipan barang jaminan berdasarkan transaksi akad rahn c. Penetapan sewa akad khasanah tempat penyimpanan barang atas penitipan tersebut melalui transaksi akad ijarah. Dasar hukum rahn berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 25 tahun 2002 Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut: Ketentuan Umum: 1. Murtahin penerima barang mempunyai hak untuk menahan Marhun barang sampai semua utang Rahin yang menyerahkan barang dilunasi. 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. 3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin. 4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 46 5. Penjualan Marhun a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya. b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksadieksekusi melalui lelang sesuai syariah. c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin. Ketentuan Penutup: 1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan 26 Juni 2002 dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. 47 Dasar hukum rahn emas berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI nomor 26 tahun 2002 Fatwa Pertama: 1. Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn lihat Fatwa DSN Nomor: 25DSN-MUIIII2002 tentang Rahn. 2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang marhun ditanggung oleh penggadai rahin. 3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata - nyata diperlukan. 4. Biaya penyimpanan barang marhun dilakukan berdasarkan akad Ijarah. Fatwa Kedua: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan 28 Maret 2002 dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

3. Rukun dan Syarat Gadai Syariah, yaitu :

a. Rukun Gadai Syariah : 1. Ar-rahin orang yang menggadaikan dan al-murtahin penerima gadaiyang memberikan pinjaman adalah orang yang telah dewasa, berakal dan dapat dipercaya. 2. Al-marhun barang yang digadaikan harus ada saat perjanjian gadai dan barang tersebut merupakan milik sepenuhnya dari 48 pemberi gadai. 3. Al-marhunbih utang adalah sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun. 4. Sighat, ijab dan qabul kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai. 27 b. Syarat Gadai Syariah 1. Rahin dan Murtahin Pihak – pihak yang melakukan perjanjian rahn adalah rahin dan murtahin harus mengikuti syarat – syarat berikut kemampuan, yakni berakal sehat, kemampuan juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi kepemilikan. 2. Sighat a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat – syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan. b. Rahn memiliki sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau suatu waktu di masa depan. 3. Murhin bih a. Harus merupakan hak yang wajib diberikandiserahkan kepada pemiliknya. 27 Abdul Rahman Ghazali Dkk, Fiqih Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 266. 49 b. Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang maka tidak boleh dimanfaatkan. c. Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat dihitung maka rahn tidak sah. 4. Marhun barang Aturan pokok dalam madzab Maliki tentang masalah ini bahwa gadai dapat dilakukan pada semua macam harga, pada semua macam jual beli kecuali pada jual beli mata uang sharf dan pokok modal pada salam yang berkaitan dengan tanggungan. Demikian itu dikarenakan pada sharf diwajibkan tunai, oleh karena itu tidak menjadi akad gadai menggadai. Menurut ulama S yafi’iyah barang yang digadaikan itu memiliki 3 syarat: pertama, berupa utang karena barang nyata itu tidak digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelumnya tidak dapat digadaikan, seperti jika orang menerima gadai dengan imbalan sesuatu yang dipinjamkan. Tetapi Imam Malik membolehkan hal ini. Ketiga, mengikatkan gadai tidak sedang proses penantian terjadi dan tidak menjadi wajib, seperti gadai dalam kitabah. Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: a. Harus diperjualbelikan. b. Harus berupa harta yang bernilai.