Rukun dan Syarat Gadai Syariah, yaitu :

49 b. Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang maka tidak boleh dimanfaatkan. c. Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat dihitung maka rahn tidak sah. 4. Marhun barang Aturan pokok dalam madzab Maliki tentang masalah ini bahwa gadai dapat dilakukan pada semua macam harga, pada semua macam jual beli kecuali pada jual beli mata uang sharf dan pokok modal pada salam yang berkaitan dengan tanggungan. Demikian itu dikarenakan pada sharf diwajibkan tunai, oleh karena itu tidak menjadi akad gadai menggadai. Menurut ulama S yafi’iyah barang yang digadaikan itu memiliki 3 syarat: pertama, berupa utang karena barang nyata itu tidak digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelumnya tidak dapat digadaikan, seperti jika orang menerima gadai dengan imbalan sesuatu yang dipinjamkan. Tetapi Imam Malik membolehkan hal ini. Ketiga, mengikatkan gadai tidak sedang proses penantian terjadi dan tidak menjadi wajib, seperti gadai dalam kitabah. Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: a. Harus diperjualbelikan. b. Harus berupa harta yang bernilai. 50 c. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah. d. Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus barang yang diterima secara langsung. e. Harus dimiliki oleh rahin peminjampegadai setidaknya harus seizin pemiliknya. 28

4. Resiko Kerusakan Barang Yang Digadaikan

menurut Hendi Suhendi dalam bukunya Fiqh Muamalah menyatakan bahwa, menurut Syafi’iyah bila barang gadai atau al- marhun hilang di bawah penguasaan al-murtahin, maka al-murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian al- murtahin atau karena disia – siakan. Konkretnya al-murtahin diwajibkan memelihara al-murhan secara layak dan wajar. Sebab bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apabila hilang menjadi tanggung jawab al- murtahin. 29 Dengan mengutip pendapat Hanafi dan Ahmad Azhar Basyir, Hendi Suhendi menyatkan bahwa al-murtahin yang memegang al-marhun menanggung resiko kerusakan atau kehilangan al-marhun, baik dikarenakan kelalaian maupun tidak. 30 Dengan adanya perbedaan pendapat di atas Hendi Suhendi 28 Heri Sudarmono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah; deskripsi dan ilustrasi, yogyakarta: Ekonisia, 2008, edisi 3, h. 168-169. 29 Ibid,. 30 Ibid,. 51 menyatakan demi tertibnya akan ar-rahn dan tetapnya terjalin silaturrahmi dari kedua belah pihak, sudah selayaknya al-marhun atau barang gadai dijaga dengan sebaik-baiknya oleh al-murtahin.

5. Masalah Riba Dalam Gadai

Pada dasarnya akad ar-rahn adalah akad atau transaksi utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Menurut Hendi Suhendi setidaknya ada 3 faktor yang dapat menimbulkan unsur riba dalam akad gadai. 31 1. Apabila dalam akad gadai tersebut ditentukan bahwa ar-rahin pegadai harus memberi tambahan kepada al-murtahin penerima gadai ketika membayar utangnya. 2. Apabila akad gadai ditentukan syarat - syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan. 3. Apabila ar-rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang ditentukan, kemudian al-murtahin menjual al-marhun dengan tidak memberi kelebihan harga marhun kepada al-rahin. Padahal utang al-rahin lebih kecil dari nilai ar-marhun.

6. Pengambilan Manfaat Barang Gadai

Menurut Syafi’iyah Pengambilan manfaat barang gadai adalah boleh walaupun tanpa seizing al-murtahin. Tetapi usaha untuk menghilangkan 31 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 270 - 271 52 miliknya dari barang itu atau mengurangi harga barang tidak diperbolehkan kecuali dengan izin al-murtahin. Maka tidak sah orang yang menggadaikan menjual barang gadai selama dalam masa digadaikan, begitu pula menyewakannya apabila sewa - menyewa itu dalam masa digadaikan. 32 Menurut Hanafiyah bahwa ar-rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa seizin al-murtahin, begitu pula al-murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin ar-rahin. Mereka beralasan barang gadai harus tetap dikuasai al-murtahin selamanya. Pendapat ini senada dengan Hanabilah, sebab manfaat barang gadai pada dasarnya termasuk rahn atau gadai, akan tetapi sebagian ulama Hanafiyah ada yang bolehkan untuk memanfaatkan barang gadai jika seizin ar-rahin dan sebagian lagi tidak membolehkan mengambil manfaat barang gadai sekalipun mendapat izin dari ar-rahin bahkan mereka mengkategorikan sebagai riba. jika disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan barang gadai maka hukumnya haram, sebab termasuk riba. 33 Jumhur ulama selain Hanabilah berpendapat bahwa al-murtahin boleh memanfaatkan barang gadai, kecuali ar-rahin tidak mau membiayai barang gadai tersebut. Dalamm hal ini al-murtahin diperbolehkan mengambil manfaat barang gadai hanya untuk sekedar mengganti ongkos 32 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2004, h. 310 33 Ibid,.