Hasil penelitian ini, dapat terlihat bahwa riwayat tonsilektomi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan EDS baik secara statistik
maupun secara klinis. Hal tersebut dikarenakan jumlah responden dengan riwayat tonsilektomi tebatas hanya 10 orang sehingga untuk analisa
statistik tidak mencukupi untuk menimbulkan signifikansi sedangkan secara klinis tidak terlihat pengaruh yang cukup tehadap EDS akibat
adanya beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi EDS selain riwayat tonsilektomi. Pada individu dengan tonsilektomi namun ia memiliki faktor
risiko lain seperti obesitas dan ukuran lidah yang besar akan tetap ada gejala EDS.
Pada literatur menyatakan adanya hubungan operasi tonsilektomi dengan menurunkan EDS tetapi bukan menghilangkan gejala tersebut.
Selain itu, ukuran tonsil yang besar dinyatakan bahwa dapat mengganggu saluran napas sehingga proses bernapas tidak baik. Secara statistik
memang tidak terdapat hubungan yang signifikan namun dapat dilihat secara klinis bahwa prevalensi mahasiswa yang mengalami EDS dengan
ukuran tonsil T2 dan T3 lebih tinggi daripada yang non EDS sehingga perlu dilakukan studi ini pada populasi yang lebih luas. Terdapat satu
kasus dengan ukuran T4 yang tidak mengalami EDS dan hal tersebut berbeda dengan pernyataan pada penelitian sebelumnya. Pada satu kasus
tersebut kemungkinan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi proses bernapasnya lebih baik walaupun ukuran tonsilnya besar seperti lidah yang
kecil, rongga mulut yang luas ataupun IMT yang normal. Selain itu, pengisian kuesioner ESS juga bersifat subjektif sehingga mendiagnosis
keadaan OSA dan identifikasi faktor penyebabnya.
4.3.4. Hubungan kebiasaan merokok dan olahraga terhadap EDS
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat merokok dan olahraga dengan
EDS. Nilai p = 0,458 untuk 1 sided dan p = 0,311 untuk 2 sided pada variabel kebiasaan merokok dan nilai p = 0,148 pada variabel kebiasaan
olahraga. Celik dkk, pada penelitiannya telah melaporkan bahwa individu
yang merokok dapat mempengaruhi keadaan EDS dan OSAS sehingga didapatkan bahwa jumlah orang yang merokok dengan OSAS sekitar 52
orang dari 799 responden 6.5 dan 24 orang 3 yang mengalami OSAS dan EDS. Kumar dkk, melaporkan dalam penelitiannya bahwa 40
individu merokok yang mengalami EDS. Haglow memiliki pendapat yang berbeda pada penelitiannya yang menunjukkan bahwa kebiasaan merokok
tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap EDS tetapi lebih berhubungan dengan keadaan fatigue. Secara statistik kebiasaan merokok
memang tidak menunjukkan adanya hubungan dengan EDS namun terlihat dari hasil analisis bivariat bahwa dari 7 mahasiswa yang memiliki
kebiasaan merokok terdapat sebanyak 5 mahasiswa 71.4 diantaranya yang positif EDS. Presentase 71.4 pada mahasiswa dengan kebiasaan
merokok dan EDS cukup tinggi dan diperlukan studi analitik pada populasi lebih besar dari orang yang merokok sehingga dapat dianalisa
korelasinya secara statistik. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya dengan nilai signifikansi 0,05 karena keadaan
EDS tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kebiasaan merokok.
28,34-35
Haglow dkk, pada penelitiannya menyatakan bahwa aktifitas fisik dan olahraga tidak berhubungan secara langsung dengan keadaan EDS.
Hal yang sama dikatakan oleh Butner dkk, pada studi yang ia lakukan bahwa olahraga dan aktifitas fisik tidak memiliki pengaruh terhadap OSA
ataupun EDS. Pada penelitian ini ditemukan bahwa prevalensi EDS pada mahasiswa yang tidak berolahraga adalah 68.8 yang merupakan angka
cukup tinggi sehingga kemungkinan pengaruh olahraga terhadap EDS besar, maka diperlukan penelitian selanjutnya yang dapat mengkaitkan
antara kebiasaan olahraga secara spesifik dengan EDS dan OSA pada populasi yang luas.
28,36
4.3.5. Hubungan ukuran lidah dan mallampati score terhadap EDS
Berdasarkan analisis statistik dapat terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ukuran lidah p = 0,449 dan mallampati
score p = 0,221 dengan keadaan EDS. Rodrigues dkk, melaporkan pada
studi yang ia lakukan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara mallampati score yang tinggi dengan indeks apnea hipoapnea dengan nilai
p = 0,0227 dan OR = 5.053, 95 yakni pengaruh mallampati score pada OSA sebesar 83.4. Pada penelitian ini, hasil kedua variabel ini dapat
terlihat bahwa presentase normoglosi dan mallampati score derajat II dengan keadaan EDS lebih tinggi. Lowe pada penelitiannya telah
menyatakan bahwa indeks apnea hipoapnea berhubungan dengan keadaan makroglosi dengan menggunakan Computed Tomographic sebagai alat
ukur. Hasil tersebut berbeda dengan literatur dan penelitian sebelumnya dikarenakan adanya faktor lain yang berpengaruh pada keadaan EDS
seperti individu dengan makroglosi namun perbandingan bagian rongga mulutnya cukup besar maka tidak timbul kesulitan dalam bernapas.
37,38
4.3.6. Hubungan deviasi septum dan hipertrofi konka dengan EDS
Berdasarkan analisis statistik dapat terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara deviasi septum p = 0.658 dan hipertrofi
konka p = 0.892 dengan keadaan EDS. Pada beberapa literatur disebutkan bahwa kedua variabel tersebut menjadi salah satu faktor risiko
dari kondisi OSA yang ditandai dengan gejala EDS namun belum ada penelitian sebelumnya yang menyebutkan seberapa besar pengaruh
hipertrofi konka dan deviasi septum terhadap EDS. Rodrigues dkk, pada penelitiannya menyatakan bahwa hubungan obstruksi nasal dengan OSA
tidak bermakna dengan nilai p = 0,667. Penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang signifikan tetapi terlihat bahwa dari 73 orang dengan
hipertrofi konka terdapat sekitar 43 orang 58.9 yang positif EDS dibandingkan yang non EDS. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara
klinis kemungkinan timbul gejala EDS namun belum terbuktikan secara statistik.
37
4.4. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian adalah jumlah sampel, keterbatasan alat-alat untuk
pemeriksaan fisik, serta waktu pemeriksaan yang tidak sesuai dengan responden.