Mahasiswa EDS dengan frekuensi olahraga 1xminggu terdapat sebanyak 23 orang 44.2, frekuensi 2xminggu sebanyak 16 orang
69.5, dan frekuensi ≥ 3xminggu sebanyak 15 orang 65.2 serta yang tidak olahraga terdapat sebanyak 23 orang 54.7. Pada mahasiswa
yang tidak mengalami EDS dapat terlihat bahwa sekitar 29 orang 55.7 dengan frekuensi 1xminggu, sebanyak 7 orang 30.4 dengan frekuensi
2xminggu, dan 8 orang 34.7 dengan frekuensi ≥ 3xminggu serta 19 orang 45.2 yang tidak berolahraga.
Tabel 4.8. hubungan kebiasaan merokok dan olahraga dengan EDS
K
Keterangan : Fisher’s test 1 sided
Fisher’s test 2 sided Chi-Square
Dari tabel 4.9. dibawah tentang hubungan ukuran lidah dan mallampati score dengan EDS dapat terlihat bahwa yang mengalami EDS
dengan makroglosi terdapat sebanyak 11 orang 47.8 sedangkan yang normoglosi sebanyak 66 orang 56.4. Mahasiswa non EDS dengan
ukuran lidah normal terdapat sebanyak 51 orang 43.5 sedangkan yang memiliki lidah besar terdapat sebanyak 12 orang 52.1.
Selain itu, ditemukan bahwa mahasiswa dengan EDS pada klasifikasi mallampati score terdapat sebanyak 24 orang 52.1 untuk
Variabel ESS
p-value EDS
n Non EDS
n Merokok:
Positif Negatif
5 71.4 72 54.1
2 28.5 61 45.8
0,458 0,311
Riwayat olahraga:
1xminggu 2xminggu
≥ 3xminggu Tidak olahraga
23 44.2 16 69.5
15 65.2 23 54.7
29 55.7 7 30.4
8 34.7 19 45.2
0,146
derajat I, 39 orang 57.3 untuk derajat II, 9 orang 56.2 untuk derajat III, serta 5 orang 50 pada derajat IV sedangkan mahasiswa non EDS
terdapat sebanyak 22 orang 47.8 pada derajat I, 29 orang 42.6 pada derajat II, 7 orang 43.7 pada derajat III, dan 5 orang 50 pada
derajat IV.
Tabel 4.9. Hubungan ukuran lidah dan mallampati score dengan EDS
Keterangan : Chi-square
Kolmogorov-Smirnov Z
Dari tabel 4.10. dibawah tentang hubungan deviasi septum dan hipertrofi konka dengan EDS dapat terlihat bahwa mahasiswa yang
mengalami EDS dengan deviasi septum terdapat sebanyak 42 orang 56.7 sedangkan EDS dengan hipertrofi konka terdapat sebanyak 37
orang 54.4. Pada keadaan non EDS ditemukan bahwa jumlah mahasiswa
dengan hipertrofi konka adalah 31 orang 45.5 dan 32 orang 43.2 yang mengalami deviasi septum.
Variabel ESS
p-value EDS
n Non EDS
n Ukuran lidah
Normoglosi Makroglosi
66 56.4 11 47.8
51 43.5 12 52.1
0,449
Mallampati score
Class I Class II
Class III Class IV
24 52.1 39 57.3
9 56.2 5 50
22 47.8 29 42.6
7 43.7 5 50
0,221
Tabel 4.10. hubungan deviasi septum dan hipertrofi konka dengan EDS
Keterangan : Chi-square
4.3. Pembahasan
4.3.1. Hubungan jenis kelamin dengan EDS
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa prevalensi EDS pada mahasiswa PSPD ketiga angkatan sekitar 55 dari 140 responden.
Angka kejadian EDS ini yang cukup tinggi tidak hanya karena adanya kelainan pada saluran napas atas secara struktural tetapi dapat juga
dipengaruhi oleh faktor keadaan fisik dan mental mahasiswa dengan kondisi jadwal yang padat dan tingkat stress yang cukup tinggi. National
Sleep Foundation 2000 Omnibus Sleep in America telah melaporkan bahwa sekitar 43 dari populasi dewasa mengalami EDS beberapa hari
dalam satu bulan dan 20 mengalami hal yang sama beberapa hari dalam satu minggu.
20
Kondisi EDS pada penelitian ini didominasi oleh populasi laki-laki dengan presentase 61.3 dibandingkan dengan perempuan yang memiliki
presentase 52. Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan kondisi EDS dengan
nilai p = 0,306. Tan dkk, telah melaporkan pada penelitiannya bahwa prevalensi EDS pada berbagai macam RAS Asia adalah 10.8 yang
Variabel ESS
p-value EDS
n Non EDS
n Deviasi septum
Deviasi Tidak deviasi
42 56.7 35 53
32 43.2 31 46.9
0.658
Hipertrofi konka
Eutrofi Hipertrofi
40 55.5 37 54.4
32 44.4 31 45.5
0,892
sering mengalami rasa mengantuk namun hanya 9 diantaranya yang diklasifikasikan sebagai penderita EDS sedangkan penelitian yang
dilakukan pada populasi Brazil oleh Rocha dkk, melaporkan bahwa prevalensi EDS sekitar 16.8 dari populasi tersebut dan ditemukan pada
populasi perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.
21
Bixler dkk, pada penelitiannya melaporkan bahwa prevalensi EDS adalah 8.7 dengan presentase yang sama pada laki-laki dan perempuan.
Selain itu, Punjabi pada studi yang ia lakukan mencatat bahwa prevalensi Obstructive Sleep Apnea yang berkaitan dengan keadaan EDS sekitar 3-
7 pada laki-laki dan 2-5 pada perempuan di populasi umum. Pada
penelitian ini, prevalensi EDS sangat tinggi melebihi setengah dari populasi target dibandingkan dengan pelaporan penelitian sebelumnya.
Hal tersebut dikarenakan adanya faktor lain pada mahasiswa dengan usia produktif 16-23 tahun seperti kelelahan fisik akibat aktifitas pada saat
kuliah dan durasi tidur malam yang minim. Walaupun perbedaan jenis
kelamin tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik namun terlihat bahwa pada laki-laki angka kejadian EDS lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan yang menunjang studi dari Punjabi namun bertolak dengan studi Bixler dan Rocha. Ketidaksesuaian ini terjadi
karena adanya faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keadaan EDS seperti keadaan insomnia yang tercatat pada studi yang dilakukan oleh
Subramanian dkk, cukup tinggi pada populasi perempuan 62 dibandingkan laki-laki 53. Diperlukan studi pada populasi lebih luas
sehingga dapat dianalisa secara statistik.
22-25
4.3.2. Hubungan indeks massa tubuh dengan EDS
Berdasarkan analisis statistik ditemukan pada penelitian ini bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dan kondisi EDS
dengan nilai p = 0,514. Gunes dkk, pada penelitiannya telah melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dengan keadaan
EDS p = 0,01 dan rata-rata IMT yang mengalami EDS adalah 27.6 kgm
2
. Gunes telah menganalisis nilai OR pada IMT terhadap EDS yang
memiliki nilai 1.145 yakni; obesitas berpengaruh sebesar 53.3 terhadap EDS. Hal tersebut diperkuat oleh studi Resta dkk, yang menyatakan bahwa
prevalensi OSA pada populasi obesitas melebihi 50 dengan rata-rata IMT 40 kgm
2
dan presentase EDS secara signifikan meningkat pada populasi obesitas dibandingkan dengan populasi non obesitas p 0.001.
Penelitian Haglow juga mendukung hasil studi sebelumnya dengan menyatakan bahwa IMT akan mulai memberikan hubungan yang
signifikan dengan keadaan EDS adalah IMT 25 kgm
2
p = 0.001 sedangkan Bixler mengatakan bahwa prevalensi EDS terlihat meningkat
secara signifikan pada IMT 28 kgm
2
. Selain itu, Slater dkk, melaporkan dalam studinya bahwa rata-rata nilai ESS 12.9 pada populasi obesitas
dibandingkan yang non obesitas dengan nilai rata-rata ESS 10.4 sehingga obesitas dinyatakan berkaitan dengan keadaan EDS pada 15.7 dari
populasi.
23,26-29
Pada penelitian ini, ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara IMT dan EDS secara statistik namun dapat dilihat bahwa dari 23
orang dengan kategori obesitas terdapat 13 orang yang mengalami EDS dibandingkan 10 orang yang non EDS sehingga ini menunjukkan secara
klinis adanya pengaruh obesitas terhadap keadaan EDS. Hal ini terjadi dikarenakan populasi obesitas pada mahasiswa tidak banyak sehingga
diperlukan populasi lebih luas dalam menghubungkan antara EDS dan obesitas. Hasil statistik dari penelitian ini tidak sesuai dengan literatur
karena pada beberapa literatur yang dilakukan di luar indonesia kategori obesitas berbeda dengan kategori Asia Pacific. Oleh karena itu, populasi
pada penelitian ini dengan kategori obesitas disamakan dengan kategori overweight di luar Indonesia sehingga IMT overweight tidak menunjukkan
hubungan yang bermakna dengan EDS. Selain itu, perlu dipertimbangkan kondisi lingkar leher dan faktor lain yang dapat mempengaruhi EDS
seperti keadaan mental dan penyakit metabolik. Pada individu yang memiliki lingkar leher yang besar dapat mempengaruhi proses bernapas
sehingga saluran napas menjadi lebih sempit dan udara sulit untuk dialirkan. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Bixler dkk, melaporkan
bahwa keadaan mental seperti depresi dan penyakit metabolik seperti diabetes dapat mempengaruhi keadaan EDS dengan nilai OR 95 CI 1.9
yang berarti sekitar 60 keadaan tersebut dapat menyebabkan EDS.
23
4.3.3. Hubungan hipertrofi tonsil dan riwayat tonsilektomi terhadap
EDS
Berdasarkan hasil analisis statistik dapat dilihat bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat tonsilektomi dan
keadaan EDS dengan nilai p = 0,754 untuk 1 sided dan p = 0,496 untuk 2 sided sedangkan hasil analisis statistik hipertrofi tonsil menunjukkan tidak
ada hubungan bermakna dengan kondisi EDS pada nilai p = 0,620. Mu
pada penelitiannya telah melaporkan hipertrofi adenotonsilar sebagai faktor risiko dari OSAS. Prevalensi OSAS sekitar 3.2 - 12.1 dengan
hipertrofi tonsil pada usia 2 sampai 8 tahun. Hasil studi Ungkanont dan Areyasathiodmon memperkuat pernyataan Mu dengan mengatakan bahwa
terdapat korelasi yang signifikan antara ukuran tonsil dengan OSA-18 score p = 0,034 sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Ia
mengderajatifikasikan ukuran tonsil dan mencari besar korelasinya terhadap kualitas hidup. Pada ukuran T3 dan T4 ditemukan bahwa hal
tersebut dapat menurunkan kualitas hidup sebesar 78.2 OR 3.6 sedangkan pada T1 dan T2 kualitas hidup dapat menurun sekitar 41.1
OR 0.7.
30-31
Zonata melaporkan hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu bahwa tidak terdapatnya korelasi antara ukuran tonsil
dengan keadaan OSA p 0,05. Pada studi yang dilakukan oleh Nakata menyebutkan bahwa dengan operasi tonsilektomi sederhana dapat
mengurangi indeks apnea hipopnea. Delapan dari 13 pasien tidak lagi menggunakan CPAP setelah menjalani operasi tonsilektomi sederhana
sehingga gejala dari OSA berupa EDS dapat menghilang. Selain itu, dilaporkan bahwa penggunaan CPAP telah menurun secara signifikan
setelah operasi tonsilektomi dilakukan p 0,05.
32-33