Epidemiologi Obstructive Sleep Apnea OSA

Patogenesis dan patofisiologi OSA Patogenesis dari OSA bersifat multifaktorial yang berawal dari mendengkur saat tidur dan berakhir dengan sindrom obesitas hiperventilasi seperti halnya pada sleep-disordered breathing yang lain. OSA merupakan suatu keadaan yang timbul akibat penyempitan saluran napas bagian atas selama tidur. 10,11 B agan 2.1. Patofisiologi OSA 11 Bagian saluran napas atas yang sering menjadi penyebab dari OSA adalah antara lain hipertrofi konka, rinitis, polip nasalis, deviasi septum, kelainan panjang uvula dan palatum molle serta orofaring. Patensi saluran napas atas dapat diatur oleh otot-otot faring yang dibagi menjadi dua: 1. Otot fase inspirasi, misalnya m.genioglossus yang mengatur dan menyesuaikan gerakan pernapasan. Tonus otot inspirasi ini akan diatur selama tidur; 2. Otot yang memiliki tonus ritmik yang konstan, misalnya m.palatinus tensi yang tonusnya bersifat konstan dan dapat menurun pada keadaan tidur. 10 Resistensi pada saluran napas atas akan meningkat secara bermakna selama periode tidur dan akan lebih meningkat bila terdapat faktor-faktor predisposisi yang mendukung terjadinya penutupan saluran napas atas. Bila tekanan negatif dari otot-otot pernapasan lebih besar dari kemampuan otot-otot Mendengkur Resistensi saluran napas atas Hipopnea Obstructive sleep apnea Sindrom obesitasitas hiperventilasi yang berfungsi untuk memperluas saluran napas atas, maka akan terjadi kolaps pada saluran ini. 10 Periode apnea yang terjadi biasanya berakhir dengan bentuk terbangun secara mendadak dari tidur arousal sehingga otot-otot ini dapat berfungsi lagi dengan cara berdilatasi dan aliran udara kembali normal. Proses arousal ini yang akan menyebabkan periode tidur mengalami fragmentasi sehingga pasien kadang terbangun secara mendadak. Akibat obstruksi yang terjadi, maka saturasi O 2 dalam tubuh akan mengalami penurunan hingga 4-3 atau lebih. Kebanyakan pasien akan mengalami keadaan apnea ini 20-30 kali per jam dan dapat terjadi lebih dari 200 kali per malam. Kondisi ini yang mengakibatkan hipersomnolensi pada pasien-pasien OSA. 10 Faktor predisposisi OSA Faktor predisposisi OSA adalah: obesitas, jenis kelamin laki-laki, usia lanjut, pemakaian obat depresan sistem saraf pusat seperti alkohol dan sedatif, diameter saluran napas yang kecil seperti mikrognathia dan retrognathia, hipotiroidisme atau akromegali, serta genetik dan familial. 6,10 Selain faktor predisposisi yang telah disebut diatas, OSA dapat terjadi karena adanya beberapa kelainan pada struktur saluran napas atas dan leher; antara lain: polip nasi, hipertrofi konka, hipertrofi tonsil, hipertrofi adenoid, deviasi septum nasalis, lingkar leher yang besar, kelainan sendi temporomandibular, makrognatia, makroglosi, dan kelainan palatum. Faktor- faktor predisposisi ini dapat dilihat pada tabel 2.3. 6 Akibat beberapa faktor predisposisi yang mungkin dapat memperberat atau mempercepat kondisi OSA, maka diperlukan perhatian pasien dan dokter untuk menegakkan diagnosis OSA yang tepat dan cepat. Jika diagnosis telah ditetapkan, maka kualitas hidup pasien dan aktifitas sehari-hari juga meningkat. Tabel 2.3. Faktor predisposisi OSA 6 Faktor-faktor predisposisi yang berperan pada OSA Umum - Obesitas IMT 30 kgm 2 - Jenis kelamin pria wanita - Riwayat OSA pada keluarga - Pasca menopause Genetik atau kongenital - Sindrom Down - Sindrom Pierre Robin - Sindrom Marfan Abnormalitas hidungfaring - Rinitis - Polip nasi - Hipertrofi tonsil atau adenoid - Deviasi septum nasi Penyakit lain - Akromegali - Hipertiroidisme Kelainan struktur saluran napas atas - Lingkar leher 40 cm - Abnormalitas sendi temporomandibular - Abnormalitas Palatum - Mikrognatia - Retrognatia - Makroglosia - Kraniosinostosis Diagnosis OSA OSA dapat didiagnosis dengan adanya gejala OSA pada individu. Gejala yang sering timbul adalah mendengkur keras loud snoring, tidur yang kurang efektif restless sleep dan hipersomnolen pada siang hari. Selain ketiga gejala yang telah disebut, terdapat beberapa gejala lain seperti rasa tersedak choking, Excessive daytime sleepness EDS, kelelahan pagi hari, gangguan memori, penurunan fungsi kognitif, depresi, perubahan mood dan kepribadian, impotensi, pusing pagi hari nocturnal headache, nocturnal sweating dan nocturnal enuresis. 18 Pemeriksaan fisik Selain keluhan dan gejala pasien, pemeriksaan fisik merupakan hal yang penting dalam penegakan diagnosis OSA yaitu: 1. Evaluasi sistemik : Obesitas dan hipertensi merupakan hal yang paling sering ditemukan pada penderita OSA dan keduanya berkaitan dengan tingkat keparahan dari OSA. Studi telah membuktikan bahwa terdapatnya hubungan antara OSA dan individu dengan IMT 27,8 kgm 2 pada laki- laki dan IMT 27,3 kgm 2 pada perempuan. Begitupun individu dengan lingkar leher 17 inci 43.18 cm pada laki-laki dan 15 inci 38.1 cm pada perempuan, maka oleh karena itu, diperlukan pengukuran lingkar leher dan IMT pada individu untuk mengetahui faktor predisposisi. 11,18 Prevalensi OSA meningkat pada penderita hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, penyakit serebrovaskular dan diabetes melitus. Demikian, sangat diperlukan pengukuran tekanan darah dan kadar gula untuk menentukan adanya salah satu dari penyakit yang merupakan faktor risiko OSA. 18 Selain itu, dapat dilihat tanda-tanda tiromegali atau tanda kulit kering, coarse rambut, atau miksedema yang menunjukkan diagnosis hipotiroid atau adanya gejala depresi. Kedua diagnosis tersebut akan menyebabkan individu mengalami hipersomnolensi terus menerus dan kelelahan, maka diperlukan penyingkiran diagnosis tersebut terlebih dahulu. 11 2. Pemeriksaan kepala dan leher : dapat dilakukan pemeriksaan posisi dan ukuran mandibula serta maksila. Pada leher dievaluasi ukuran leher, posisi hioid, dan posisi rahang. 11,18 3. Pemeriksaan hidung : perlu dievaluasi deformitas hidung, tipptosis, nostril asimetris dan obstruksi katup internal. Pemeriksa dapat melakukan Cottle maneuver untuk dilatasi katup nasal dan mengetahui tingkat pernapasan. Dapat dilihat pada rongga nasal: ukuran konka, tanda-tanda polip, massa, rinitis, purulensi dan posisi septum nasal. Nasofaringoskopi dapat digunakan untuk evaluasi konka posterior, orifisium tuba eustachius, katup velofaringeal dan adenoid. Selain itu, velofaring dapat di observasi langsung melalui Muller maneuver. 11,18 4. Pemeriksaan rongga mulut : pada rongga mulut dilakukan observasi ukuran dan posisi lidah, panjang palatum dan uvula, ukuran tonsil, modified Mallmapati score, dan orofaring. 18 5. Pemeriksaan hipofaring : hipofaring dapat di evaluasi dengan nasofaringoskopi untuk melihat dasar lidah, tonsil lingua, masa obstruksi di supraglottis, glotis, subglottis laring. Kelainan vallecula, epiglottis, dinding lateral faring dan obstruksi umum akibat lidah dapat juga mengakibatkan kolaps hipofaringeal saat tidur. 11,18 6. Obstructive Sleep ApneaHypopnea Syndrome Score OSAHS score : sistem skoring ini telah diciptakan untuk mempermudah staging dari OSA pada individu. Skoring mengandung 3 komponen penilaian; yaitu: a ukuran tonsil, b rongga mulut, dan c BMI. 11 Tabel 2.4. Sistem staging Friedman 11 Stage Friedman Palate Position Ukuran Tonsil BMI I 1 2 3,4 40 40 II 1,2 3,4 1,2 3,4 40 40 III 3 4 0,1,2 0,1,2 40 40 IV 1,2,3,4 0,1,2,3,4 40 Tabel 2.5. Pemeriksaan fisik pada OSA. 18 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Obstruksi nasal - Deviasi septum - Hipertrofi konka - Kolaps katup nasal - Hipertrofi adenoid - Polip atau tumor nasal Obstruksi Orofaringeal - Palatum molle yang besar - Hipertrofi tonsil palatina - Posterior pharyngeal wall banding - Makroglosia - Large mandibular tori - Narrow skeletal arch Obstruksi hipofaringeal - Kolaps dinding lateral faring - Omega-shaped epiglottis - Tumor hipofaringeal - Hipertrofi tonsil lingual - Retrognathia dan mikrognathia Obstruksi laring - Paralisis true vocal cord - Tumor laring Obstruksi leher umum - Lingkar leher yang besar - Redundant cervical adipose tissue Habitus tubuh umum - Obesitas - Achondroplasia - Chest wall deformity - Marfan’s syndrome Tanda kardiovaskular - Hipertensi arterial terutama hipertensi pagi hari - Edema perifer Pemeriksaan radiologi Fiberoptic nasopharyngoscopy merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk evaluasi jalan napas dan menentukan tingkat obstruksi: nasal, retropalatal atau retrolingual. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan berbagai posisi saat bangun dan tidur. 18 Pemeriksaan radiologi dapat juga dilakukan untuk identifikasi letak dan keparahan dari obstruksi saluran napas bagian atas atau kolaps pada OSA. Teknik- teknik radiologi ini hanya dapat dilakukan pada individu yang sadar, maka obstruksi jalan napas selama tidur tidak dapat di identifikasi. Cephalometric radiograph adalah pemeriksaan radiologi yang sering digunakan untuk evaluasi penderita OSA. Pencitraan ini dapat memberikan informasi mengenai tulang dan jaringan lunak. Pada beberapa penelitian telah membuktikan dengan cephalometry bahwa penderita OSA mengalami inferior displacement pada tulang hioid, ruang posterior jalan napas yang sempit dan palatum molle yang panjang namun cephalometry tidak dapat membedakan anatara OSA dan non-OSA secara signifikan. 18 Computed tomograph CT memberi detail anatomi tulang dan jaringan lunak yang sangat baik namun sensitifitasnya untuk diagnosis OSA rendah. Magnetic resonance imaging MRI dapat membedakan antara berbagai jaringan lunak namun MRI ini mahal dan penggunaannya terbatas. Kedua pencitraan ini walaupun sangat baik untuk mendeteksi kelainan anatomi, tetapi tidak dapat membedakan anatara OSA dan non-OSA. 17 Fluoroscopy merupakan alat pemeriksaan jalan napas yang dinamik untuk mengevaluasi letak obstruksi. Somnofluoroscopy adalah pemeriksaan yang dilakukan saat tidur yang mendukung keadaan uvulopalatopharyngoplasty sehingga dapat mengidentifikasi letak dari obstruksi awal namun pemeriksaan ini memerlukan waktu yang lama dan radiasi yang tinggi. 18 Pemeriksaan khusus Selain pemeriksaan penunjang dengan pencitraan, terdapat beberapa pemeriksaan khusus untuk diagnosis OSA, diantaranya: 1. Multiple sleep latency testing : tes ini merupakan tes yang objektif dalam evaluasi tidur saat beraktifitas dan berapa kali tertidur yang diulang setiap 2 jam. Normal sleep latency adalah 10-20 menit, sedangkan pasien dengan EDS biasanya memiliki sleep latency 5 menit atau kurang. 11,18 2. Polisomnografi PSG : alat ini merupakan alat ukur yang definitif untuk evaluasi OSA sepanjang malam karena melakukan perekaman langsung aktifitas otak pasien selama tidur. PSG merekam durasi tidur dan gejala yang terjadi saat tidur mendengkur, hipopnea, apnea, thoracoabdominal excursion, pergerakan ekstremitas dll. Selain dapat mendiagnosis OSA, PSG juga dapat menentukan tingkat keparahan OSA dan membedakan antara OSA, central sleep apnea dan gangguan lain yang menyebabkan hipersomnolensi. 11,18 3. Drug-induced sleep endoscopy : pemeriksaan ini dilakukan dengan pemberian sedatif untuk mengetahui obstruksi dinamik selama tidur. 11,18 4. Tes subjektif : tes-tes subjektif dapat dilakukan oleh pasien sendiri untuk menilai keadaan hipersomnolensi yang terjadi pada individu saat beraktifitas. Uji yang digunakan adalah : Functional Outcomes of Sleep Questionnaire FOSQ dan Stanford Sleepness Scale SSS. FOSQ menilai kecukupan tidur untuk melakukan aktifitas sehari-hari dan SSS menanyakan seberapa pasien saat ini merasa mengantuk. Selain itu, kuesioner Epworth Sleepiness Scale ESS yang merupakan skala internasional dalam penentuan daytime sleepiness. OSA kemungkinan terjadi pada individu dengan nilai ESS lebih dari 10. 11,18 Tabel 2.6. Epworth sleepness scale 6 Komplikasi Sekitar 20 penderita OSA sering tertidur saat mengendarai mobil dan hal ini meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. Telah dilaporkan dari beberapa studi korelasi antara OSA dan penyakit kardiovaskular seperti hipertensi. Studi mengatakan bahwa penderita OSA yang berat memiliki faktor risiko penyakit hipertensi sebanyak 1,5 pada laki-laki dan 1,17 pada perempuan. 11 Talaksana OSA Obstructive sleep apnea Tatalaksana pada OSA dapat dibagi menjadi dua yaitu: tatalaksana non bedah dan tatalaksana bedah. Talaksana non-bedah - Continuous Positive Airway Pressure CPAP merupakan terapi yang sering digunakan pada OSA. CPAP dapat menurunkan terjadinya dengkuran yang keras dan apnea serta dapat mengatasi EDS. Terapi dengan CPAP sangat efektif dalam menurunkan gejala OSA hingga 90- 95 dengan penggunaan 4-5 jammalam. Penelitian belum mempelajari durasi reguler penggunaan CPAP untuk menurunkan dan mengeliminasi gejala sisa sequelae jangka panjang. Penderita OSA yang menggunakan CPAP biasanya mengalami claustrophobia, pusing, rinitis, iritasi wajah dan hidung, aerophagia. 11 - Oral appliances dapat digunakan pada pasien dengan dengkuran yang primer, OSA ringan sampai sedang dan pasien yang tidak ingin menggunakan CPAP. Titratable mandibular repositioning devices adalah alat yang paling sering digunakan. Alat ini dapat menurunkan gejala OSA dan efektifitasnya sama seperti CPAP. Kerugian dari penggunaan alat ini adalah nyeri pada sendi temporomandibular, sakit kepala dan salivasi berlebihan. 11 - Penurunan berat badan : pasien overweight harus didukung untuk melakukan penurunan berat badan sehingga dapat menjadikan diameter saluran napas lebih luas dan meningkatkan fungsinya. 11 - Modifikasi gaya hidup : pasien di edukasi agar tidak menggunakan obat- obat sedatif, alkohol, nikotin dan kafein pada sore hari karena zat tersebut akan mempengaruhi tonus otot-otot saluran napas dan mekanisme sentral pernapasan. 11 - Terapi posisi : beberapa pasien mengalami OSA pada posisi tertentu seperti pada pasien dengan primery supine-dependent obstructive, biasanya di beritahukan agar tidur dalam posisi lateral dekubitus untuk mencegah terjadinya obstruksi. Terapi lain adalah eksternal nasal dilator dan obat efedra-efedrin merupakan pengobatan yang populer untuk mengatasi dengkuran dan OSA. Walaupun beberapa obat ini dapat mengurangi gejala mendengkur pada pasien dengan rinitis kronik atau obstruksi nasal, namun produk ini belum terbukti memberikan keuntungan yang signifikan dalam mengatasi primary snoring atau OSA. 11 Talaksana bedah - Persiapan pre-operasi : penatalaksanaan operatif dilakukan tergantung dari letak kelainan individu yang menyebabkan terjadinya OSA dengan tujuan mengoptimalkan efektifitas dari operasi dan meminimalkan morbiditas. Evaluasi ulang dilakukan 4-6 bulan setelah operasi untuk mengetahui efek dari terapi bedah tersebut pada pasien OSA. Prosedur-prosedur pembedahan akan dilakukan setelah pemeriksaan fisik, endoskopi dengan maneuver Muller, sefalometri dan PSG. Pembedahan ini memiliki dua fase yaitu fase 1 dan fase 2 operasi. 11,18 - Operasi fase 1: operasi ini dilakukan pada pasien OSA tipe 1 anatomi saluran napas atas seperti obstruksi orofaringeal dengan uvulopalatopharyngoplasty UPPP, tipe 2 anatomi saluran napas atas seperti obstruksi orofaringeal dan hipofaringeal dengan UPPP dan genioglossus advancement dengan atau tanpa hyoid myotomy, dan tipe 3 anatomi saluran napas atas seperti obstruksi hipofaringeal dengan genioglossus advancement tanpa operasi palatum. Semua pasien yang akan menjalani fase 1 pembedahan akan dilakukan anastesi umum dan harus diberitahukan kemungkinan risiko dari anastesi, nyeri postoperasi, infeksi, perdarahan, dan insufisiensi velopharyngeal jangka panjang dan pendek pada pasien UPPP. 11,18 - Pembedahan fase 2 maxillary-mandibulae osteotomy : dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan operasi fase 1 setelah di evaluasi 6 bulan kemudian. 11,18 - Selain yang telah disebut, terdapat beberapa tindakan bedah dalam penatalaksanaan OSA tergantung pada letak kelainannya seperti: laser- assisted uvuloplasty LAUP, ablasi radiofrekuensi, operasi basis lidah, trakeostomi, implant palatal. 11,18

2.7. Excessive Daytime Sleepiness EDS

Excessive Daytime Sleepiness EDS salah satu komponen dari kelainan hipersomnia yang didefinisikan berdasarkan International Classification of Sleep Disorders ICSD sebagai kondisi individu yang jatuh tidur termasuk kesulitan dalam mengendalikan keadaan sadar penuh dan secara tidak sadar jatuh tidur. 19 Pada praktik klinik, keluhan EDS ini biasanya di interpretasikan sebagai perasaan mengantuk, penurunan tenaga, dan kelelahan serta rasa kantuk yang tidak dapat di kontrol. Secara klinis, terjadi kesulitan dalam membedakan antara EDS yang sebenarnya dari kondisi kelelahan yang biasa. Kevin R. telah melaporkan prevalensi EDS berkisaran antara 3 hingga 20 yang dipilih secara random pada orang usia lanjut dan sebanyak 22.6 pada orang yang mengalami EDS dengan kecelakaan kerja. 19 Penyebab dari EDS bervariasi seperti insufisiensi tidur, tidur yang tidak adekuat akibat konsumsi obat-obat tertentu dan kondisi kesehatan yang serius. Sekitar 65 penyakit tidur primer dapat menyebabkan EDS. OSA salah satu kondisi yang paling sering dikaitkan dengan keadaan EDS pada individu dengan skor apnea-hypopnea 5 atau lebih. Kevin R. menduga bahwa EDS diderita oleh 2 dari populasi perempuan dan 4 dari populasi laki-laki. 19 Untuk menilai keadaan EDS dimulai dari riwayat individu secara klinis untuk identifikasi EDS dari keadaan kelelahan umum. Riwayat ini meliputi jadwal tidur, perilaku tertentu saat tidur, faktor risiko dari penyakit napas saat tidur atau narkolepsi, dan riwayat keluarga. Kemudian dilakukan penilaian secara subjektif oleh individu tersebut dengan menggunakan kuesioner khusus untuk menilai keadaan EDS seperti kuesioner Stanford Sleepiness Scale dan Epworth Sleepiness Scale. Walaupun ESS ini tidak tervalidasi pada pasien yang banyak namun kuesioner ini paling sering digunakan karena singkat, mudah digunakan dan di interpretasikan, serta dapat digabungkan dengan kuesioner lain untuk diagnosis penyakit-penyakit tidur. 19 Selain itu, salah satu penyebab primer dari EDS adalah kekurangan durasi tidur pada malam hari. Di beberapa negara masalah kekurangan tidur timbul akibat adanya tekanan ekonomi dan sosial. Gangguan sirkadian pada individu dapat menjadi salah satu penyebab dasar dari gejala EDS. siklus sirkadian normal dapat diatur oleh nukleus supra-kiasmatikus dari hipotalamus sehingga lokasi tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor berupa aktifitas fisik terutama sinar lingkungan. EDS juga sering dialami oleh shift-workers yang memiliki durasi tidur lebih sedikit dalam 24 jam. 20

2.8. Kerangka Teori

Gangguan pernapasan saat tidur Saturasi O 2 dalam darah berkurang Pasien terbangun mendadak arousal pada malam hari Proses tidur tidak efektif tidur NREM stadium 34 terganggu Abnormalitas frekuensi napas episodik saat tidur Obstructive Central Campuran Otot-otot faring relaksasi Resistensi sal. Napas atas meningkat Kegagalan Sistem saraf pusat SSP tidak mengirim sinyal ke otot penapasan Aliran udara yang masuk menurun Tidak bernapas Aliran udara berkurang Kegagalan SSP Sistem kardiorespirasi tidak terkendali Ganggauan pernapasan Gangguan pada otot- otot pernapasan Resistensi sal. Napas atas meningkat Aliran udara berkurang Mendengkur keras saat tidur dan Hipersomnolensi siang hari Excessive daytime sleepiness EDS Obstructive sleep apnea OSA Gangguan napas berat Hipoventilasi alveolar kronik, hiperkapnea Faktor risiko: obesitasitas, usia lanjut, hipertensi, ganggguan jantung Kelainan palatum, makroglosia, retrognatia, mikrognatia, lingkar leher 40 cm, hipertrofi tonsil, rinitis, polip nasal, deviasi septum nasi

2.9. Kerangka Konsep

Keterangan : : area penelitian Kelainan otot faring Ukuran leher yang besar Jenis kelamin Indeks massa tubuh Riwayat tonsilektomi Riwayat merokok Makroglosi Kebiasaan olahraga Gangguan pernapasan saat tidur Gejala utama : mendengkur keras dan hipersomnolensi Pemeriksaan subjektif : Epworth sleepness scale ESS Excessive daytime sleepness EDS Obstructive sleep apnea OSA Obstruksi jalan napas atas Rongga nasal Naso-orofaring Hipofaring Deviasi septum Hipertrofi konka Tonsil Palatum Dasar lidah Rhinitis alergi