BAB II TEORI TERJEMAH DAN
METODE PENERJEMAHAN AL QURAN
A. Teori Terjemah
1. Pengertian Terjemah
Terjemahan didefinisikan secara beragam rupa dengan sepenuhnya bergantung pada pandangan yang diemban oleh sang pemberi definisi. Orang
mungkin memberi definisi berdasarkan pada pengalihan bentuk-bentuk dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, mungkin pula orang memberi definisi dengan
menekankan terjemahan sebagai pengalihan arti dan pesan dari suatu bahasa sumber BSu ke dalam bahasa sasaran BSa, atau bahkan berdasarkan pada
pandangan yang mengusung terjemahan sebagai suatu proses transfer budaya. Berikut merupakan petikan beberapa pendapat ahli bahasa tentang definisi
terjemahan yang kerap menjadi rujukan para pelaku dan pemerhati terjemahan. Catford 1995:20, dalam bukunya A Linguistic Theory of Translation,
mendefinisikan terjemahan sebagai pengalihan wacana dalam bahasa sumber BSu dengan wacana padanannya dalam bahasa sasaran BSa. Disini, Catford
menekankan bahwa wacana alihan haruslah sepadan dengan wacana aslinya. Karena padanan merupakan kata kunci dalam proses terjemahan, dengan
sendirinya pesan dalam wacana alihan akan sebanding dengan pesan pada wacana asli. Sebaliknya, jika wacana alihan dan wacan asli tidak sepadan, wacana alihan
tidaklah dianggap sebagai suatu terjemahan. Berbeda dari Catford, Levy menekankan bahwa terjemahan merupakan
suatau keterampilan dimana identitas penerjemah dapat direfleksikan dalam 6
bentuk opininya. Levy dalam bukunya Translation as A Decision Process dikutip dalam Holidaja, 1993:49 mengemukakan bahwa terjemahan adalah suatu proses
kreatif yang selalu memberi kebebabasan atau pilihan pada penerjemah bertali beberapa kemungkinan kesepadanan terdekat dalam membuahkan makna
situasional. Lebih lanjut Levy mengatakan sebagai suatu proses kreatif. Terjemahan memberi peluang kepada penerjemah dalam bentuk kebebasan atau
otonomi untuk menemukan kesepadanan yang persis menurut konteks situasi. Dengan otonomi ini, seorang penerjemah memiliki peluang yang besar dan
signifikan dalam mengembangkan keterampilan dan kebiasaannya. Dia bebas untuk berkreasi menginterpretasikan apa yang telah dituliskan oleh penulis asli
selama tidak keluar dari konteks. Sejalan dengan paparan Levy, Larson 1984:3, dalam bukunya Meaning-
Based Translation: A Guide to Cross-Language Aquivalence, mendefinisikan
terjemahan sebagai suatu perubahan dari bentuk BSu kedalam BSa dimana makna harus dijaga untuk tetap sama. Dia memaparkan bahwa terjemahan terdiri atas
penelusuran leksikon, struktur gramatial, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari
BSu, menganalisanya
untuk menentukan makna dan kemudian
merekonstruksi makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang wajar dalam BSa. Dengan kata lain, Larson mengisyaratkan
bahwa terjemahan merupakan pengalihan makna dari BSu ke dalam BSa, makna
tersebut dialihkan ke dalam BSa melalui struktur semantik dan ia harus dipertahankan walaupun bentuknya berubah.
3
Dalam buku yang ditulis oleh J. C. Catford, terbit tahun 1965 pada Oxford University Press, berjudul A linguistic Theory of Translation. Catford
mendefinisikan penerjemahan sebagai “the replacement of textual material in another langauage the sourch language SL,
yang diartikan sebagai ‘penggantian bahan kenaskahan dalam satu bahasa bahasa sumber dengan padanan bahan
kenaskahan dalam satu bahasa lain bahasa sasaran’.”
4
Newmark 1988:5 dalam bukunya A Teks Book of Translation memandang terjemahan adalah mengungkapkan makna suatu wacana ke dalam
bahasa lain seperti wacana yang dimaksudkan oleh penulisnya. Bislin 1976 seperti dikutip suryawinata 1989 menunjuk bahwa
terjemahan adalah pengalihan pikiran dan ide dari BSa ke dalam BSu, baik itu bahasa lisan maupun tulisan, baik bahasa itu sudah memiliki otobiografi sistem
tulis ataupun belum, baik itu bahasa isyarat untuk orang-orang tuli ataupun bukan.
5
Dalam buku Menjadi Penerjemah yang ditulis oleh Ibnu Burdah, dia mendefinisikan terjemahan sebagai suatu usaha memindahkan pesan dari teks
barbahasa Arab teks sumber dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia
3
O. Setaiwan Djuharie, Teknik dan Panduan Menerjemahkan Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia,
Bandung: Yrama Widya, 2005, h. 20, cet 2.
4
A.Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, Yogyakarta: Kanisius, 1989
5
O. Setaiwan Djuharie, Teknik... h. 21
bahasa sasaran. Definisi sederhana tersebut memuat unsur-unsur utama dalam penerjemahan, yaitu:
6
a. Bahasa Sumber atau
Seorang penerjemah harus mampu bernalar dan memiliki yang barangkali dapat diistilahkan dengan sebutan wawasan teknik yang memungkinkannya
mengikuti setiap penalaran yang terdapat dalam teks yang harus diterjemahkan, dan memungkinkannya bernalar bagi dirinya sendiri tentang berbagai masalah
yang harus dijumpainya dalam menerjemahkan. Tanpa kemampuan itu ia akan tersesat karena tidak mungkin menerjemahkan sesuatu dengan layak tanpa
memahaminya. Kekurangmampuan itu mungkin disebabkan oleh keseganan untuk berusaha berpikir sebagaimana yang dituntut kepadanya.
Kesalahan penerjemah merupakan kesalahan yang serius, jika hasil terjemahan melenceng dari apa yang ingin disampaikan teks aslinya. Hal ini bisa
terjadi disebabkan oleh kecerobohan, kelalaian atau pemaksaan diri penerjemah untuk melakukan hal diluar kemampuannya. Kesalahan-kesalahan saperti ini
sebenarnya masih dapat dihindari, jika penerjemah mengetahui betul apa yang dikehendaki oleh teks asli, ataupun ia menolak pekerjaan yang diluar
kemampuannya. b. Bahasa Sasaran
atau Bahasa Indonesia adalah salah satu tabi’ yang menyerap banyak sekali
kosa kata dalam peristilahan bahasa Arab. Proses ini berjalan beriringan dengan proses Islamisasi dan hubungan yang intensif antara Indonesia dan Timur Tengah
6
Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. cet. 1.
Arab. Perjumpaan keduanya bukan dalam posisi yang seimbang, tatapi sebaliknya, salah satu pihak bahasa Arab mendominasi atau mempengaruhi
pihak lain bahasa Indonesia. Latar historis tersebut sesungguhnya merupakan iklim yang sangat
menguntungkan bagi dunia penerjemahan Arab–Indonesia. Sebagai akibat dari melimpahnya kata-kata Arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia,
banyak sekali ditemukan kesamaan kosa kata di antara kedua bahasa tersebut. Di sisi lain kondisi ini kadang-kadang justru ‘menjebak’ penerjemah.
Sebab adanya kesamaan istilah tidak otomatis menunjukan adanya kesamaan makna dan persepsi dari masing-masing penuntutnya.
Contoh : kata
yang biasa diartikan sabar. Apabila tidak jeli dan waspada terhadap bahasa serapan semacam ini, penerjemah
akan mudah menggunakan kata tersebut dalam terjemahannya. Padahal, oleh penutur masing-masing bahasa pemaknaan kedua kata tersebut dipersepsikan
sangat berbeda. Dalam bahasa Arab, makna dari kata sabar lebih dominan kepada ‘aktivitas’. Misalnya sabar dalam melakukan tugas berat, sabar dalam berjuang,
dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, makna dari kata sabar lebih bersifat ‘pasif’, seperti sabar menerima musibah, sabar menerima penderitraan,
dan sebagainya. Kata Arab sabar dalam banyak kasus sesungguhnya akan lebih tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “teguh, tegar, atau gigih”,
ketimbang diterjemahkan sebagai kata ‘sabar’ itu sendiri. Hal lain yang lebih menarik adalah adanya perkembangan terahir sejak
peradaban Barat menggeser peradaban Islam, dan muncul sebagai peradaban
major dunia. Kekuatan Barat pun kemudian menjadi super power. Perubahan konteks peradaban ini membawa perubahan signifikan dalam peta relasi linguistik
dunia. Barat menjadi ‘imam dan guru’, sementara yang lain termasuk Arab dan Indonesia menjadi tabi’ pengikut. Bahasa Arab dan bahasa Indonesia berada
pada posisi yang kurang lebih sama, sebagai tabi’ dari bahasa-bahasa lain, yaitu bahasa-bahasa Barat, terutama bahasa Inggris. Implikasi linguistik dari keadaaan
ini adalah, bahasa Indonesia tidak secara dominan berkiblat dan menyerap bahasa Arab semata, akan tetapi beralih kepada bahasa Inggris. Bahkan bahasa Arab
sendiri juga berkiblat dan menyerap banyak istilah dan pengaruh dari bahasa Inggris.
2. Jenis - Jenis Terjemahan