BAB V PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Produsen Tempe
Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan pada 10 industri pengolahan tempe yang menjual hasil produksi di pasar Sei Sikambing Kota Medan, maka
diperoleh data bahwa distribusi produsen tempe berdasarkan jenis kelamin lebih banyak laki-laki 90 dibandingkan dengan perempuan 10. Menurut asumsi
peneliti, kemampuan dan keahlian dalam mengolah produk tempe tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan dapat mengolah dan menghasilkan
tempe. Tetapi jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap jumlah tempe yang dihasilkan setiap harinya, karena pada umumnya kekuatan fisik laki-laki lebih kuat
dari pada perempuan. Pada penelitian sebelumnya Sianipar, 2009 yang meneliti tentang kajian
cemaran Salmonella sp pada susu kedelai diperoleh bahwa jenis kelamin perempuan lebih bersih dalam melaksanaan higiene sanitasi dari pada laki-laki. Hal ini disebabkan
karena perempuan lebih memperhatikan kebersihan saat mengolah tempe sedangkan laki-laki tidak terlalu memperhatikan kebersihan pada saat pembuatan tempe, bahkan
terkadang pembuat dengan jenis kelamin laki-laki membuat tempe sambil merokok. Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan pada 10 industri pengolahan
tempe yang menjual hasil produksi di pasar Sei Sikambing Kota Medan diperoleh bahwa umur produsen tempe yang paling muda adalah 24 tahun dan yang paling tua
adalah 50 tahun. Jumlah produsen yang umurnya dibawah 34 tahun berjumlah 4 orang dan umur produsen yang di atas 34 tahun berjumlah 6 orang.
Universitas Sumatera Utara
Menurut penelitian Marsaulina 2004 menunjukkan bahwa ada hubungan antara higiene sanitasi dengan umur. Semakin tinggi umur penjamah makanan maka
semakin baik kebersihan penjamah makanan. Menurut asumsi peneliti semakin bertambah umur seseorang maka pengetahuan tentang kebersihan akan semakin tinggi.
Pada umumnya pada anak-anak kurang memperhatikan kebersihan tetapi apabila sudah dewasa maka pengetahuan tentang kebersihan akan bertambah sehingga lebih
memperhatikan kebersihan. Berdasarkan hasil observasi yang peneliti telah lakukan pada 10 industri
pengolahan tempe yang menjual hasil produksi di pasar Sei Sikambing Kota Medan diperoleh bahwa tingkat pendidikan produsen tempe yang paling banyak adalah SMA
sederajat dan sudah terdapat produsen tempe yang telah menamatkan pendidikannya di tingkat Diploma Sarjana 10.
Menurut Afifah 2008 tidak terdapat hubungan pengetahuan higiene sanitasi dengan prilaku higiene sanitasi. Jadi tingkat pengetahuan yang tinggi belum tentu
higiene sanitasi terjaga dengan baik. Pada penelitian ini, produsen yang telah tamat diploma belum memperhatikan kebersihan pada saat pengolahan tempe. Hanya saja
produsen tempe ini telah menggunakan alat mesin penggiling yang lebih canggih daripada produsen lain, dan usaha produksi tempe sudah lebih besar dibandingkan
yang lain. Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan pada 10 industri pengolahan
tempe diperoleh bahwa industri pengolahan yang produsennya telah menamatkan pendidikan diploma menghasilkan produk tempe lebih banyak setiap harinya yaitu
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan ± 15.000 kgbulan. Jumlah yang sedemikian banyak karena produsen ini
telah menggunakan mesin khusus untuk pengolahan tempe. Menurut asumsi peneliti, apabila produsen suatu industri rumah tangga telah
menyelesaikan pendidikan sarjana, maka wawasan dan pola pikir berbisnis produsen akan berbeda dibandingkan dengan produsen yang belum menduduki pendidikan
tinggi. Produsen yang telah tamat sarjana, menurut peneliti akan semakin selektif dalam pemilihan metode dan penggunaan alat untuk proses pengolahan tempe
sehingga secara langsung atau tidak langsung tingkat pendidikan akan memiliki pengaruh terhadap kualitas dan kuantitas suatu produk industri rumah tangga
khususnya industri pengolahan tempe. Berdasarkan hasil observasi yang telah peneliti lakukan diperoleh bahwa lama
berproduksi yang paling lama adalah 45 tahun dan yang paling muda berproduksi adalah 2 tahun. Produsen tempe yang lebih lama berproduksi adalah produsen D yang
telah menamatkan pendidikan tingkat SMAsederajat. Produsen D ini telah berproduksi selama 45 tahun dan setiap bulannya menghasilkan 3600 kgbulan yang
telah jelas tujuan konsumennya. Produsen H telah memiliki konsumen yang jelas dan pasti setiap harinya.
Menurut Afifah 2008 tidak terdapat hubungan pengetahuan higiene sanitasi dengan prilaku higiene sanitasi. Menurut asumsi peneliti hal ini dapat menguatkan
bahwa lama berproduksi tidak berhubungan dengan higiene sanitasi. Karena semakin lama berproduksi belum tentu higiene sanitasinya bertambah baik. Secara umum
higiene sanitasi industri pengolahan tempe masih tergolong kurang, hal ini disebabkan
Universitas Sumatera Utara
karena kebiasaan dari masing-masing individu dan ketersediaan dari fasilitas higiene sanitasi pada indusrti pengolahan tempe.
Menurut asumsi peneliti jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh kepada higiene sanitasi pengolahan. Karena semakin banyak jumlah tenaga kerja kemungkinan
higiene sanitasinya kurang baik. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran penjamah makanan dan keterbatasan peralatan higiene sanitasi seperti sarung tangan,
celemek, tutup kepala dan peralatan yang lainnya. Menurut Mutiara 2010 jumlah tenaga kerja berpengaruh secara signifikan terhadap produksi tempe. Hal ini
dikarenakan berapapun jumlah tenaga kerja dalam proses produksi akan mempengaruhi produksi tempe, hanya saja jika jumlah tenaga kerja sedikit maka akan
membutuhkan waktu yang cukup lama. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan pada 10 industri
pengolahan tempe yang menjual hasil produksi di pasar Sei Sikambing Kota Medan diperoleh bahwa tidak ada satu pun produsen tempe yang pernah mengikuti kursus
pengolahan makanan sebelum berproduksi. Hasil wawancara yang peneliti peroleh bahwa untuk produsen I mengaku belajar membuat tempe dari saudaranya sendiri.
Rata-rata produsen tempe mengetahui cara mengolah tempe dari produsen lain yang telah berhasil membuat suatu produk tempe. Tetapi terdapat juga produsen yang
mengetahui cara membuat tempe dengan belajar sendiri. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 942 Tahun 2003, penjamah
makanan berkewajiban memiliki pengetahuan tentang higiene sanitasi makanan dan gizi serta menjaga kesehatan yang diperoleh melalui kursus higiene sanitasi makanan
yang penyelenggara pelatihan adalah pusat, dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan
Universitas Sumatera Utara
kabupatenkota atau lembaga yang telah terdaftar di pemerintah daerah setempat. Menurut asumsi peneliti, pola penyelenggaraan pelatihan atau kursus higiene sanitasi
makanan sebaiknya dilakukan yang secara proaktif oleh penyelenggara karena pada umumnya masyarakat belum mengetahui adanya pelatihan ini sehingga mayoritas
msyarakat khususnya produsen tidak pernah mendapatkan pelatihan kursus pengolahan makanan yang higiene sebelumnya.
5.2 Observasi Enam Prinsip Higiene Sanitasi Pada Industri Pengolahan