Selanjutnya  ada  pula  bentuk  bersama  materi  yakni  tubuh  materi  yang bersifat  tumbuh  organik  dan  ada  pula  yang  tidak  tumbuh  yakni  benda  mati,
maka  yang  pertama  lebih  unggul  daripada  yang  kedua.  Yang  organik  ada  yang berupa  binatang  dan  ada  pula  yang  tidak,  maka  yang  pertama  lebih  unggul
daripada yang kedua. Manusia ada yang memiliki akal
bi al-malakah
dan ada pula yang  tidak,  maka  yang  pertama  lebih  unggul  daripada  yang  kedua.  Ada  pula
manusia yang akal
bi al-malakah
-nya meningkat menjadi akal aktual dan ada pula yang  tidak  meningkat,  maka  yang  pertama  lebih  unggul  daripada  yang  kedua.
Selanjutnya  ada  manusiayang  memiliki  akal  aktual  dengan  sempurna  secara langsung tanpa latihan, tanpa studi keras dan ada pula yang memiliki akal aktual
dengan  sempurna  secara  tidak  langsung  yakni  melalui  latihan  atau  studi  keras, maka  yang  pertama,  yakni  para  nabi,  lebih  unggul  daripada  yang  kedua,  yakni
para  filsuf.  Para  nabi  berada  di  puncak  keunggulan  atau  keutamaan  dalam lingkungan  makhluk-makhluk  material,  karena  yang  lebih  unggul  harus
memimpin segenap manusia yang diunggulinya.
22
Demikianlah  uraian  Ibnu  Sina  dan  dengan  demikian  ia  bukan  saja mengakui  adanya  nabi  dan  rasul  serta  kenabian  dan  kerasulan,  melainkan  juga
menegaskan bahwa nabi dan rasul lebih unggul dari filsuf.
3. F ilsafat Wujud
Bagi  Ibnu  Sina  sifat  wujudlah  yang  terpenting  dan  yang  mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam paham
22
Ibid.
Ibnu Sina, terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat diluar akal. Wujudlah yang membuat  tiap  esensi  yang  dalam  akal  mempunyai  kenyataan  di  luar  akal.  Tanpa
wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi. Tidak  mengherankan  kalau  dikatakan  bahwa  Ibnu  Sina  telah  terlebih  dahulu
menimbulkan sifat
wujudiyah
atau eksistensialisme dari filosof-filosof lain. Kalau  dikombinasikan,  esensi  dan  wujud  dapat  mempunyai  kombinasi
berikut :
23
1.  Esensi  yang  tak  dapat  mempunyai  wujud,  dan  hal  yang  serupa  ini disebut oleh Ibnu Sina,
mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. 2. Esensi  yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai
wujud.  Yang  serupa  ini  disebut
mumkin
yaitu  sesuatu  yang  mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya ialah alam ini
yang pada awalnya tidak ada, kemuadian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.  Esensi  yang  boleh  tidak  mesti  mempunyai  wujud.  Di  sini  esensi  tidak bisa dipisahkan dari wujud; esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di
sini esensi  tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori  kedua, tetapi  esensi
mesti  dan  wajib  mempunyai  wujud  selama-lamanya.  Yang  serupa  ini disebut  mesti  berwujud  yaitu  Tuhan.
Wajib  al-wujud
inilah mewujudkan
mumkin  al-wujud.
Hubungan
Wajib  al-wujud
dengan
mumkin al-wujud
bersifat emanasionistis
.
23
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 39-40.
Dengan  argumen  ini  Ibnu  Sina  ingin  membuktikan  adanya  Tuhan menurut  logika.  Dengan  demikian,  Tuhan  adalah  unik  dalam  arti,  Dia  adalah
kemaujudan  yang  Mesti,  segala  sesuatu  selain  Dia  bergantung  kepada  diri  dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang Mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun di
dalam  Kemaujudan  ini  tak  boleh  terdapat  kelipatan  sifat-sifat-Nya,  tetapi  Tuhan memiliki  esensi  lain,  tak  ada  atribut-atribut  lain  kecuali  bahwa  Dia  itu  ada,  dan
mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik  dengan  keberadaan-Nya  yang  mesti  itu.  Karena  Tuhan  tidak  beresensi,
maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan. Ibnu  Sina  menganut
paham  emanasi
.  Teori  emanasi  Ibnu  Sina  hampir tidak  berbeda  dengan  teori  emanasi  yang  telah  lebih  dahulu  dikemukakan  al-
Farabi. Dari Tuhan memancarkan 10 akal akal I sampai dengan akal X, 10 jiwa 9  jiwa  langit  dan  1  jiwa  bumi,  dan  10  raga  9  raga  langit  dan  1  raga  bumi.
Emanasi itu adalah akibat aktivitas mengetahui atau berpikir.
24
Ia  berpendapat  bahwa  dari  Tuhan  berpikir  tentang  diri-Nya,  maka memancarkan Akal I. Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan
Akal Pertama adalah sama-sama azali. Selanjutnya Ibnu Sina berpendapat, bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari
Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya
دوجولا بجاو هتادل
dan
هرىغل دوجولا بجاو
atau
Necerssary by Virtue of the Necssary Being dan Possible in Essence
. Dengan demikian ini mempunyai tiga obyek pemikiran : i berpikir tentang  Tuhan,  ii berpikir tentang dirinya sebagai  wajib wujudnya dan
24
Taufik  Abdullah,  Ensiklopedi  Tematis  Dunia  Islam  :  Pemikiran  dan  Peradaban,  h. 198.