Peran Ibnu Sina dalam pengembangan sains islam di Persia : 980–1037 M.

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

LAILI SAHLAH NIM 108022000019

K O N S E N T R A S I T I M U R T E N G A H PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar S.1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 4 Juni 2014


(5)

Laili Sahlah

Peran Ibnu Sina dalam Pengembangan Sains Islam di Persia (980-1037 M).

Studi ini menjawab satu pertanyaan yaitu bagaimana peran Ibnu Sina dalam pengembangan sains Islam di Persia (980-1037 M). Untuk menjawab pertanyaan tersebut digunakan metode historis dengan pendekatan sosiologis. Dikarenakan dari berbagai sumber tertulis peran Ibnu Sina di Persia (980-1037) M, begitu besar pengaruhnya baik di dunia Islam maupun di dunia Barat. Akan tetapi dari berbagai studi ini, penulis belum menemukan keterangan atau penjelasan yang mendalam, peran dan pengaruh keilmuan Ibnu Sina terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Temuan penulis bahwa Ibnu Sina merupakan orang yang hebat dan aktif, ia seorang yang ahli di beberapa bidang sains Islam. Di Persia secara umum Ibnu Sina dikenal sebagai seorang ahli dibidang kedokteran, ia banyak menemukan temuan-temuan baru yang belum pernah orang lain dapatkan. Dan Ibnu Sina juga ahli di bidang filsafat dan fisika. Banyak pemikiran-pemikirannya yang ia tuangkan di karya-karya beliau. Di Barat ia dikenal dengan nama Avicenna.


(6)

KATA PENGANTAR

ميحهرلا نمحهرلا هاللّ مسب

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SWT, yang telah membawa umatnya kepada pengetahuan serta semangat untuk mencari luasnya ilmu di dunia ini.

Skripsi yang berjudul “Peran Ibnu Sina dalam Pengembangan Sains

Islam di Persia (980-1037 M) Alhamdulillah telah penulis selesaikan. Tentunya tidak terlepas dari kekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan penulis, baik karena lokasi kajian, sumber bacaan ataupun kendala-kendala yang penulis alami lainnya. Namun halangan dan rintangan tersebut tidak mengurangi semangat dan kemauan yang diikuti dengan kerja keras dan tindakan serta dorongan dan bantuan yang datang dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat mengatasi permasalahan tersebuat secara bertahap, dan terselesainnya skripsi ini merupakan anugrah yang luar biasa.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidaklah semata dengan kerja keras penulis sendiri, namun banyak pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini baik secara moril maupun materil, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih atas kerjasama dan dorongannya. Dalam hal ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :


(7)

anak dan adik bungsunya ini dan atas doa restunya serta motivasi moril maupun materil dengan penuh keikhlasan yang sangat berharga bagi penulis.

2. Prof. Dr. Oman Fathurahman M. Hum. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. H. Nurhasan, MA selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam dan Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Drs. H. M. Ma’aruf Misbah, MA. yang telah banyak membantu dan

memberikan arahan, selama perkuliahan sampai dengan selesainya skripsi ini.

5. Drs. Azhar Shaleh, MA selaku Dosen Pembimbing yang ditengah kesibukannya bersedia meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan memberikan arahan yang sangat berharga kearah terwujudnya skripsi ini. 6. Bapak Drs. Saidun Derani, MA dan H. Nurhasan, MA selaku penguji yang

telah memberikan kritik, saran dan masukan untuk penulis sehingga selesainya skripsi ini.

7. Bapak Dr. H. Muslih Idris, Lc. MA selaku dosen pembimbing akademik Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

8. Seluruh dosen program studi Sejarah Kebudayaan Islam yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan, motivasi serta bimbingan keilmuannya.

9. Seluruh staf akademik dan pegawai Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10.Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dah Humaniora, dan perpustakaan Iman Jama’ yang telah menyediakan berbagai sumber yang dibutuhkan untuk menulis skripsi ini. 11.Dan teman-teman seperjuangan Sejarah Kebudayaan Islam angkatan 2008

dan para senior serta adik kelas Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dan memotivasi hingga terselesainya skripsi ini.

Penulis hanya dapat berdoa semoga amal baik mereka semua mendapatkan ridho Allah SWT dan dibalas dengan balasan yang berlipat ganda. Amin yaa Robbal ‘Alamin.

Ciputat, 4 Juni 2014


(9)

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR LAMPIRAN... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakng Masalah... 1

B. Permasalahan... 6

a. Identifikasi Masalah... 6

b. Pembatasan Masalah... 6

c. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

D. Studi Pendahuluan... 7

E. Metode Penelitian... 8

1. pendekatan Penelitian... 8

2. Jenis dan Sumber Data... 9

a. Jenis Data... 9

b. Sumber Data... 9

3. Metode Pengumpulan Data atau Heuristik... 10

4. Analisis Data... 10

5. Langkah-langkah Penelitian... 11

F. Sistematika Penulisan... 13

BAB II PERSIA DI MASA IBNU SINA... 15

A. Kelahiran Ibnu Sina... 13

B. Pendidikan Ibnu Sina... 23


(10)

D. Karya-karyanya Ibnu Sina... 25

BAB III IBNU SINA SEBAGAI ILMUAN... 30

A. Bidang Filsafat... . 30

B. Bidang Kedokteran... 45

C. Bidang Fisika... 54

BAB IV PENGARUH KEILMUAN IBNU SINA TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN... 60

A. Pengaruhnya di Dunia Islam... 60

B. Pengaruhnya di Dunia Barat... 62

C. Perkembangan Ilmu Perngetahuan Pasca Ibnu Sina... 64

BAB V Penutup... 67

A. Kesimpulan... 67

B. Saran... 68

DAFTAR PUSTAKA... 69


(11)

1. Lampiran I Gambar Tokoh Ibnu Sina... 73

2. Lampiran II Gambar Ibnu Sina memberikan kuliah tentang anatomi... 74

3. Lampiran III Gambar Ibnu Sina memberikan kuliah kedokteran... 75

4. Lampiran IV Karya-karya Ibnu Sina... 76

5. Lampiran V Gambar cover salah satu buku terjemahan al-Qanun fi Tibb, yaitu The Canon of Medicine of Avicenna... 78

6. Lampiran VI Gambar cover buku autobiografi Ibnu Sina, dalam teks asli Arab dan terjemahan bahasa Inggris... 80


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persia termasuk salah satu wilayah tempat permulaan pembibitan peradaban manusia. Dari wilayah ini dikembangkan kebijaksanaan dan wawasan mengenai berbagai pengalaman hidup bermasyarakat selama ribuan tahun. Peradaban Persia memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan peradaban Islam.

Sebelum masuknya Islam, Persia merupakan kerajaan besar dengan kaisar-kaisarnya yang berkuasa (abad 8 SM - 7 M). Kemudian datang pasukan Islam untuk menaklukkan daerah kekuasaan Persia. Dan pada akhirnya Persia jatuh ketangan Islam pada masa khalifah Umar ibn Khattab dalam perang yang terkenal yaitu perang Qadisiyah.1

Setelah masuknya Islam (8 H/630 M) dan penaklukan Persia oleh orang-orang Arab, perkembangan kebudayaan terpenting dalam Islam (di bidang sains dan teknologi)2 adalah konstribusi para pemikir dan cendekiawan Persia yang

1

Perang Qadisiyah merupakan perang yang sangat hebat, yang terjadi pada tahun 637 M di Qadisiyah dengan kisrah Persia waktu itu Rustam-e-Farrokhzad (Yazdagird III), sementara pihak Arab dipimpin oleh Sa’d ibn Abi Waqqash. Kaum Muslimin menggunakan taktik menyogok tentara-tentara Persia agar membelot dan mengkhianati negara mereka. Rustam terbunuh, pasukan besar sasaniyah kocar kacir dalam kondisi panik dan semua dataran rendah Irak yang subur disebelah barat sungai Tigris (Diljah) terbuka lebar bagi para penakluk. Kemenangan ini mengakibatkan jatuhnya ibu kota Selucia-Ctesiphon yang menandai berakhirnya perlawanan Persia. Ini merupakan kemenangan yang besar. Lihat buku : Philip K. Hitti, History of Arabs,

terjemahan R. Cecep Lukman dan Dedi Selamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2002), h. 194.

2

Sains di sini adalah kumpulan segala ilmu menjadi tunggal (pluribus unum, plurality in unicity) mencakup disiplin-disiplin ilmu pasti dan ilmu pengetahuan alam (sciences), juga ilmu sosial (sosial sciences), serta ilmu rohani-budaya (arts, humanities). Sedangkan teknologi sendiri dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan (sains) yang diterapkan kepada teknik dan industri secara


(13)

pada permulaan abad-abad Islam telah menulis dalam bahasa Arab dan atas nama Islam. Penaklukan-penaklukan oleh Arab selama abad-abad awal Islam (pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah)3 ini membawa mereka kepada hubungan yang dekat dengan peradaban-peradaban besar dunia. Dan salah satu wujud dari peradaban tersebut adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat, dan ilmu-ilmu lainnya.4

Banyak faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan sains dan filsafat di masa dinasti Abbasiyah, di antaranya : Pertama, kontak antara Islam dan Persia menjadi jembatan berkembangnya sains dan filsafat karena secara kultural Persia banyak berperan dalam pengembangan tradisi keilmuan Yunani.5 Kedua, etos keilmuan para khalifah Abbasiyyah tampak menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun yang begitu mencintai ilmu. Ketiga, Peran keluarga Barmak yang sengaja dipanggil khalifah untuk mendidik keluarga istana dalam hal pengembangan keilmuan. Keempat, aktivitas penerjemahan literatur-literatur Yunani ke dalam bahasa Arab demikian besar. Kelima, relatif tidak adanya pembukaan daerah kekuasaan Islam dan pemberontakan-pemberontakan menyebabkan stabilitas negara terjamin. Keenam, adanya peradaban dan kebudayaan yang heterogen di Baghdad menimbulkan

produksi massal modern meninggikan tingkat hidup manusia melalui perombakan kembali alam sekitar, memaksa alam mengabdi kepada manusia. Lihat buku : S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), Cet.3, h. 3.

3

Dinasti Umayyah di Damaskus (660-750 M) dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) di Baghdad. Lihat buku : S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, h. 12-15.

4

Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam : Rekontruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta: PT Grasindo, 2002), h.147

5

Salah satu lembaga yang berperan dalam penyebaran tradisi helenistik (kebudayaan Yunani) di Persia adalah Akademi Jundishapur, terdapat pusat-pusat ilmiah Persia lainnya yaitu Salonika, Ctesiphon, dan Nishapur. Lihat juga buku : Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam,


(14)

3

proses interaksi antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain. Ketujuh, situasi sosial Baghdad yang kosmopolit di mana berbagai macam suku, ras, dan etnis serta masing-masing kulturnya yang berinteraksi satu sama lain, mendorong adanya pemecahan masalah dari pendekatan intelektual.6

Ilmu pengetahuan (sains) Islam juga mengalami kemajuan yang mengesankan melalui orang-orang kreatif seperti al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, Ibnu Sinan, Ibnu Sina (Avicenna), al-Masudi, at-Tabiri, al-Ghazali, Nasir Khuruss, Omar Khayyam dan lain-lain. Sains Islam ini telah melakukan investigasi dalam ilmu kedokteran, teknologi, matematika, geografi, dan bahkan sejarah.7 Dan disini akan dibahas lebih mendalam mengenai peran Ibnu Sina dalam pengembangan sains Islam di Persia.

Syaikh Abu Ali al-Husain Ibn Sina (Ibnu Sina) yang di Barat dikenal dengan nama Avicenna dan wafat pada tahun 1037 M adalah kelahiran Persia yaitu di Afshanah (desa kecil dekat Bukhara “Ibukota Dinasti Samaniyyah”, wilayah Uzbekistan yang kemudian menjadi Persia).8

Ibnu Sina adalah anak dari seorang Gubernur Khormithan. Dia dikenal sebagai otodidak yang amat tekun dan brilian. Tidak seorang pun yang memungkiri kecerdasan otaknya yang luar biasa serta daya ingat yang sangat kuat sehingga dia menjadi seorang dokter, filsuf dan saintis terbesar Islam.9

6

Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, h.147-149.

7

Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 17.

8

M.Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim Yang Mengubah Dunia, (Yogyakarta: DIGLOSSIA, 2007), h. 48.

9

Muhammad Nur Effendi, Cendekiawan Muslim : Pembina Tamadun dan Kecemerlangan Umat, (Jakarta: Perniagaan Jahabersa, 1997), Cet.1, h.152-153.


(15)

Ibnu Sina adalah orang yang pertama kali menunjukkan peranan udara sebagai penyalur menularnya penyakit. Bukunya Al-Qanun fi Al-Tibb (buku pedoman kedokteran) merupakan buku yang terluas dipergunakan oleh kalangan kedokteran baik di daerah Islam, maupun di Eropa, di mana buku tersebut diterbitkan di dalam terjemahan Latin. Bahkan, buku aslinya dalam bahasa Arab dicetak di Roma pada tahun 1593 M, tidak lama setelah adanya percetakan bahasa Arab di sana. Terutama pada abad ke-16 M, buku tersebut mempunyai pengaruh besar di kalangan kedokteran. Namun, buku ini masih dipergunakan juga sampai abad ke-19. Buku ini juga menunjukkan pengetahuan anatomi.10

Selain ahli di bidang kedokteran Ibnu Sina juga seorang filsuf. Salah satu filsafat Ibnu Sina adalah filsafat jiwa. Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan. Keberhasilannya dalam menjabarkan metode-metode terapi jiwa secara praktis telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan sains Islam. Namun, nama Ibnu Sina barangkali hanya terdengar sebagai seorang dokter atau ilmuan muslim, tapi lebih dari itu banyak yang tidak mengenalnya. Padahal beliau adalah filsuf awal yang menjelaskan konsep jiwa secara komplit. Sebagaimana Al-Farabi, dalam filsafatnya jiwa Ibnu Sina menganut paham pancaran. Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal Pertama memancar Akal Kedua dan Langit Pertama; demikian seterusnya sehingga mencapai Akal Kesepuluh dan bumi. Dari Akal Kesepuluh memancar

10


(16)

5

segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril.11

Dan selain ahli di bidang kedokteran dan filsafat, Ibnu Sina juga ahli di bidang fisika. Fisika berhubungan dengan prinsip-prinsip tertentu dan tentang hal-hal yang terkait dengan benda-benda alam. Kajian yang dikemukakan Ibnu Sina dalam masalah ini adalah bersifat teori, dan obyeknya yaitu benda yang wujud, dimana ia terdapat dalam perubahan, diam dan bergerak.12

Dari paparan di atas penulis berusaha menjelaskan bahwa begitu besar peran seorang Ibnu Sina terhadap pengembangan sains Islam di Persia. Secara umum Ibnu Sina sangat dikenal sebagai seorang ahli di bidang kedokteran, namun dari beberapa sumber yang penulis baca,13 Ibnu Sina juga ahli di bidang ilmu pengetahuan yang lain seperti filsafat dan fisika. Maka dari itu menurut penulis, ini menjadi salah satu hal yang penting untuk diangkat, bahwa Ibnu Sina tidak hanya ahli di bidang kedokteran atau pengobatan.

Atas dasar inilah penulis tertarik untuk menulis peranan beliau dalam bidang sains Islam di Persia dengan judul Peranan Ibnu Sina Dalam Pengembangan SainsIslam Di Persia (980 – 1037 M).

11

Harun Nasution, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), Cet. 3, h.70.

12

H.A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. 1, h. 197.

13

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 237.


(17)

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas penulis mengidentifikasi ada beberapa hal yang perlu diungkapkan. Antara lain dalam bab ke-2 tentang Persia di masa Ibnu Sina, mulai dari kelahirannya, pendidikannya, perkembangan intelektual di masa Ibnu Sina sampai karya-karya Ibnu Sina.

Mengenai Ibnu Sina sebagai ilmuan, yaitu di bidang filsafat, kedokteran dan fisika akan dibahas pada bab ke-3. Selanjutnya pada bab ke-4 akan dijelaskan pengaruh keilmuan Ibnu Sina terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, di sini penulis menitikberatkan pada pengaruhnya di Dunia Islam, pengaruhnya di Dunia Barat dan perkembangan ilmu pengetahuan pasca Ibnu Sina.

2. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, permasalahannya dibatasi dalam hal upaya Ibnu Sina mengembangkan sains Islam di Persia yaitu dalam bidang filsafat, kedokteran dan fisika. Adapun waktunya yaitu dari lahirnya Ibnu Sina (980 M) sampai beliau wafat (1037 M), dimana dalam perjalanan hidupnya beliau mempunyai peranan besar dalam pengembangan sains Islam di Persia.

3. Rumusan masalah

Rumusan penelitian ini adalah bagaimana peran Ibnu Sina dalam pengembangan sains Islam di Persia. Studi ini ingin menjawab masalah diatas melalui sumber tertulis atau dokumen. Adapun sub-sub pertanyaannya adalah :

a. Bagaimana Persia di masa Ibnu Sina? b. Bagaimana Ibnu Sina sebagai ilmuan?


(18)

7

c. Bagaimana pengaruh keilmuan Ibnu Sina terhadap perkembangan ilmu pengetahuan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan peran Ibnu Sina dalam pengembangan sains Islam di Persia. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam masalah ini.

2. Bagi komunitas akademik, khususnya fakultas Adab dan Humaniora dalam bidang kajian Sejarah dan Kebudayaan Islam dapat dijadikan masukan untuk penulisan karya ilmiah dalam bidang kesejarahan khususnya mengenai kontribusi tokoh besar di Persia.

3. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan yang berguna dalam memperkarya koleksi perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah pada umumnya di Fakultas Adab dan Humaniora dan jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.

D. Studi Pendahuluan

Dari penelusuran penulis lakukan, belum ditemukan adanya studi yang bersifat komprehensif tentang peran Ibnu Sina dalam pengembangan sains Islam di Persia yang berdampak terhadap kemajuan dan peningkatan pendidikan pada generasi-generasi sesudahnya dalam berbagai bidang misalnya filsafat, kedokteran, dan fisika.


(19)

Memang ada beberapa studi yang dilakukan terkait dengan subjek penelitian di atas misalnya kajian Saharawati Mahmouddin14 terkait dengan persoalan tersebut. Studi Saharawati Mahmouddin untuk menyelesaikan S3 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya hanya menjelaskan tentang siapa Ibnu Sina dan peranannya di bidang kedokteran dan belum memberikan informasi peranan beliau dibidang filsafat dan fisika.

Dengan demikian studi ini dapat melengkapi penelitian di atas tentang Ibnu Sina dan peranannya secara lebih komprehensif dalam mengembangan sains di Persia.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Sartono Kartodirjo seorang sejarawan besar Indonesia mengatakan bahwa peristiwa sejarah itu tidak hanya terjadi dengan melihat satu aspek, melainkan harus dilihat dari beberapa aspek, dan supaya peristiwa masa rekontruksi sejarah masa lampau itu lebih bersifat komfrehensif maka harus ditekankan dengan berbagai pendekatan, seperti dari mana melihatnya, apa yang harus dikaji, unsur mana saja yang harus diungkapkan, sosiologi, antropologi, sosial, budaya, politik, agama, yang terkait dengan interpretasi data untuk menjadi sebuah peristiwa sejarah.15

14

Saharawati Mahmouddin, Sistem Kedokteran Islam : Studi Konsep Kesehatan Mental Ibnu Sina, (Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011), h. 172.

15

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 4-5, 144-156.


(20)

9

Dalam penulisan skripsi ini pendekatan yang paling tepat dengan penelitian yang penulis lakukan adalah lebih kepada pendekatan sosiologi karena identik dengan perubahan sosial, peranan dan status sosial dalam mengungkapkan fakta historis terkait uraian skripsi ini.

2. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data

Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah Persia di masa Ibnu Sina, Ibnu Sina sebagai ilmuan dan pengaruh keilmuan Ibnu Sina terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

b. Sumber data

1). Sumber Data Primer

Beberapa sumber yang penulis anggap sebagai sumber primer, pertama adalah , Avicenna (980-1037), A Treatise on the Canon of Medicine of Avicenna (Terj), (New York: AMS PRESS, 1973), buku ini menjadi sumber primer bagi penelitian ini, karena berisi tentang ikhtisar pengobatan Islam Ibnu Sina yang ditulis dalam terjemahan bahasa inggris dari kitab al-Qanun fi Al-Tibb.

Dan kedua adalah William E. Gohlman, The Life of Ibn Sina: A Critical Edition and Annotated Translation (New York: State University of New York Press, 1974). Alasan penulis menjadikan buku ini sebagai sumber primer karena buku ini berisi autobiografi Ibnu Sina, dalam teks asli Arab dan terjemahan bahasa Inggris.


(21)

2). Sumber Data Sekunder

Adapun sumber data sekunder antara lain: pandangan, tulisan orang yang memiliki relevansi dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari buku dan artikel. Di antaranya : pertama, buku Dr. Musthofa Ghalib, Fi Sabil Mausu’ah Falsafiyyah Ibnu Sina, (Beirut: Daar wa Baktabah al-Hilaal, 1979), buku ini berisi tentang biografi Ibnu Sina, perjalanan filsafat Ibnu Sina dan juga mengenai ilmu kedoteran Ibnu Sina yang ditulis dalam teks Arab. Kedua, buku Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (surabaya: Rislah Gusti, 1995), buku ini berisi tentang ruang lingkup dan tingkat ilmu pengetahuan Muslim antara tahun 750-1350 M, dan menunjukkan pengaruh serta dampak ilmu pengetahuan ini pada sekolah-sekolah Kristen Latin di Eropa Barat. Dan ketiga, buku Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), buku ini berisi tentang beberapa filsuf Muslim dan di antaranya adalah Ibnu Sina. Buku ini menjelaskan pemikiran filsafat Ibnu Sina.

3). Metode Pengumpulan Data atau Heuristik

Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, yaitu menelusuri sumber data dari berbagai bacaan baik yang bersifat primer maupun sekunder. Tujuannya untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan berbagai material yang terdapat di ruangan, baik perpustakaan publik maupun pribadi (privat library), misalnya buku-buku, dokumen, koran, majalah, catatan pribadi, monografi, catatan kisah sejarah, hasil penelitian yang dipandang masih berkaiatan dengan


(22)

11

topik masalah.16 Di sini penulis mendapatkan sumber tertulis di perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dan perpustakaan Iman Jama’.

4). Analisis Data

Data yang terkumpul di editing dan kemudian diklasifikasikan untuk dikategorikan. Selanjutnya, data yang terkumpul dipilah berdasarkan kaitannya dengan subyek kajian. Kemudian dilakukan analisis untuk mengungkapkan peranan Ibnu Sina dalam pengembangan sains Islam di Persia. Jadi, penelitian ini bersifat deskriptif-analitis.

5). Langkah-langkah Penelitian

Metode penulisan skripsi yang akan dipakai penulis adalah menggunakan metode penelitian sejarah menurut pandangan Louis Gotchalk, metode penulisan ini menggunakan beberapa cara, yaitu (1) Pengumpulan objek data (Heuristik) yang relevan baik secara tercetak ataupun tertulis (2) Pengolahan dan klasifikasi data (Verifikasi/Kritik) dengan menyingkirkan bahan-bahan bagian yang dianggap tidak relevan ; (3) Pengumpulan kesaksian (Interpretasi/Klasifikasi) yang dapat dipercaya ; (4) Penyusunan kesaksian (Historiografi) yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah untuk pengkajian yang berarti.17

Terkait empat kegiatan dalam metode sejarah tersebut, maka penelitian dalam penulisan skripsi ini akan dilakukan dengan tahap-tahap berikut ini :

1. Heuristik: yaitu pencarian data atau pengumpulan data sumber sejarah serta beberapa tulisan tentang Persia di masa Ibnu Sina, Ibnu Sina

16Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”,

dalam Koentjaraningrat, (ed.),

Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1979, h. 61-92, 87.

17


(23)

sebagai ilmuan khususnya ilmu filsafat, kedokteran, dan fisika, serta pengaruh keilmuan Ibnu Sina terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam pengumpulan data petama penulis akan melakukan pencarian data baik sumber primer maupun sumber sekunder. Proses pencarian data baik primer maupun sekunder dilakukan dengan menggunakan library research, dengan cara mendatangi beberapa perpustakaan. Diantaranya perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Adab dan Humaniora, dan Perpustakaan Iman Jama’.

2. Verifikasi/Kritik: yaitu setelah melakukan pengumpulan sumber-sumber, maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah kritik sumber. Kritik sumber adalah sebuah usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang relevan dengan cerita sejarah yang ingin disusun sesuai dengan judul. Dalam hal ini yang harus diuji adalah keabsahan tentang keaslian sumber yang dilakukan melalui kritik dan keabsahan,18 baik kritik terhadap sumber primer maupun skunder. 3. Interpretasi/Klasifikasi: yaitu penafsiran sejarah atau disebut juga

dengan analisis sejarah, yang bertujuan agar data yang ada mampu untuk mengungkapkan permasalahan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya. Dalam hal ini penulis akan menyampaikan fakta yang satu dengan yang lainnya yang telah di temukan dari hasil heuristik

18

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 54-59.


(24)

13

dan verifikasi. Setelah sumber-sumber diklasifikasikan kemudian sampai kepada tahap penulisan.

4. Historiografi: yaitu kajian tulis yang membahas tentang peristiwa atau tokoh, tahap ini adalah adalah tahap yang terakhir dalam penulisan skripsi. Setelah melakukan tahap heuristik, verifikasi dan interprestasi selanjutnya historiografi dengan menulis dalam satu urutan yang sistematik yang telah di atur dalam pedoman skripsi. Dalam penulisan ini penulis berusaha menyusun cerita sejarah yang utuh versi penulis.

F. Sistematika Penulisan

Agar lebih terarah pembahasan pada skripsi ini, penulis membaginya dalam lima bab dan menyajikannya ke dalam tiga bagian : awal, tengah dan akhir. Bagian awal terdiri atas halaman sampul, halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, halaman pengesahan, halaman abstrak, halaman pengisian kata pengantar, halaman daftar isi dan halaman daftar istilah. Pada bagian pertengahan terdiri dari uraian bab yang dirinci sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, yang terdiri atas uraian Latar Belakang Masalah, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Studi Pendahuluan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Berisi tentang Persia di Masa Ibnu Sina, Dimulai dari Kelahiran Ibnu Sina, Pendidikan Ibnu Sina, Perkembangan Intelektual di Masa Ibnu Sina, dan Karya-Karya Ibnu Sina.


(25)

BAB III : Berisi tentang Ibnu Sina Sebagai Ilmuan, Dimulai dari Bidang Filsafat, Bidang Kedokteran dan Bidang Fisika.

BAB IV : Pengaruh Keilmuan Ibnu Sina Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan, yaitu Pengaruhnya di Dunia Islam, Pengaruhnya di Dunia Barat, dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pasca Ibnu Sina..


(26)

BAB II

PERSIA DI MASA IBNU SINA

A. Kelahiran Ibnu Sina

Abu Ali Husain bin Abdullah bin Sina atau Ibnu Sina (370-429 H/980-1037 M), dikenal di dunia Barat dengan Avicenna dan juga “Pangeran Para Dokter”. Dia juga memperoleh gelar Al-Syaikh al-Ra’is (Pemimpin Orang Bijak) sebutan yang diberikan dari murid-muridnya dan Hujjat al-Haqq (Bukti Sang Kebenaran/Tuhan), yang masih dikenal di Timur dengan gelar itu.1 Ibnu Sina juga pernah dijuluki sebagai Medicorum Principal atau Raja Diraja Dokter oleh kaum Latin Skolastik.2 Ibnu Sina terkenal dalam bidang kedokteran dan juga filsafat. Pada abad pertengahan Ibnu Sina telah menulis autobiografi, yang kemudian dituntaskan oleh muridnya yang sekaligus juga sekretaris dan temannya yang bernama Abu „Ubayd al-Juzjani. Autobiografi/biografi itu kemudian disebarkan oleh sejumlah penulis biografi, seperti Al-Baihaqi (w. 565 H/1170 M), Al-Qifthi (w. 646 H/1248 M), Ibn Abi Ushaibi‟ah (w. 669 H/1270 M) dan Ibn Khallikan (w. 680 H/1282 M).3

Ibnu Sina dilahirkan4 pada tahun 370 H (980 M) di Afshanah, desa kecil dekat Bukhara „Ibukota Dinasti Samaniyyah‟, sekarang wilayah Uzbekistan

1

Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), cet. 1, h. 44-45.

2

Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Jakarta: Mizan Publika, 2011), Cet. 1, h.198).

3

Autobiografi atau biografi Ibnu Sina dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Inggris dapat dilihat dalam William E. Gohlman, The Life of Ibnu Sina: A Critical Edition and Annotated Translation, (New York: State University of New York Press, 1974), h. 16-113.

4

Ibnu Sina hidup di masa pemerintahan Abbasiyah periode II (656-1258 M). Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran, dan


(27)

(bagian dari Persia).5 Ayahnya bernama „Abdullah yang berasal dari Balkh, bertemu dan menikah dengan Sitarah. Pasangan ini mempunyai tiga putra, Ali, Al-Husain (Ibnu Sina), dan Mahmud. Saat Ibnu Sina berumur 5 tahun, keluarga ini pindah ke Bukhara pada masa pemerintahan Nuh ibn Mansur. Di situlah, ayahnya diangkat menjadi Gubernur Khormithan, sebuah desa di pinggiran Kota Bukhara. Dan Ibnu Sina berasal dari keluarga bersekte Ismaili.6

Meskipun pemikiran Ibnu Sina dipengaruhi oleh sekte Ismaili, namun ia seorang yang independen, dia mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha menemukan hakikat kebenaran, baik di bidang filsafat maupun di bidang keagamaan. Ibnu Sina memiliki kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dapat menyusul keilmuan para gurunya pada usia 14 tahun.7

B. Pendidikan Ibnu Sina

Selain belajar secara otodidak, Ibnu Sina juga di didik di bawah tanggung jawab seorang guru. Sumber sejarah hanya sedikit yang menyebutkan guru-guru Ibnu Sina, di antaranya yaitu Ismail al-zahid yang mengajarkannya akhlak, tasawuf, dan fiqih. Kemudian Abu „Abdullah al-Natalie yang mengajarkannya

negeri-negeri yang mula-mula di bawah kekuasaan khalifah tersebut memisahkan diri untuk berdiri sendiri menjadi negara kecil yang bersifat semi-merdeka, saling bersaing dan mulai menguasai beberapa bagian dari imperium Islam. Mereka saling berperang satu sama lain. Sedangkan Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan juga merupakan pusat ilmu pengetahuan jatuh ke tangan Bani Buwaih (334 H). Lihat buku Gazi Saloom, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet. 1, h.140.

5

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 285.

6

Ibid.

7


(28)

17

dalam bidang logika dan matematika.8 Dan Ibnu Sina menguasai ilmu kedokteran hanya dalam waktu satu setengah tahun pada gurunya Isa bin Yahya.9

Banyak sejarawan yang memuji kecemerlangan prestasi ilmiah yang dicapai Ibnu Sina, tidak seorang pun yang memungkiri kecerdasan otaknya yang luar biasa serta daya ingatnya yang amat kuat. Menurut George Sarton, ia adalah ilmuwan paling terkenal dan filsuf Islam terbaik dari semua ras, tempat dan waktu.10

Dia mulai belajar pada usia dini, 5 tahun.11 Pada usia 10 tahun ia telah hafal al-Qur‟an dan sebagian besar sastra Arab, serta menjadi pakar puisi Persia. Setelah ditinggal wafat oleh gurunya Abdullah Natalie, Ibnu Sina mengkaji dan mencari ilmu sendiri, seperti dari seorang tukang sayur dia belajar mempelajari aritmatika, dan mulai belajar ilmu lainnya dari seorang sarjana yang mempunyai mata pencarian merawat orang sakit dan mengajar anak muda.12 Dia selanjutnya mempelajari ilmu fisika dan ketuhanan, sehingga namanya menjadi popular lantaran kepiawaiannya pada bidang tersebut.

Setelah berhasil dalam pelajaran-pelajarannya secara baik, ia mempelajari ilmu pengetahuan alam, metafisika, yang di dalamnya terdapat Metafisika-nya Aristoteles (Metaphysics of Aristotle), yang sekalipun ia telah membacanya beberapa kali dan menghafalnya, tetap saja ia mengalami kesulitan untuk menghafalnya, sehingga dalam waktu satu setengah tahun Ibnu Sina

8Ibid,

h. 67.

9

Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, h. 199.

10

M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy, (London: The Octagon Press Ltd, 1982), h. 67.

11

Muhammad Nur Effendi, Cendekiawan Muslim : Pembina Tamadun dan Kecemerlangan Umat, Cet. 1, h.152.

12

Saharawati Mahmouddin, Sistem Kedokteran Islam : Studi Konsep Kesehatan Mental Ibnu Sina, h. 115.


(29)

berkonsentrasi membaca agar mendapatkan pelajaran dan ilmu pengetahuan. Akhirnya buku itu dapat difahaminya ketika membaca buku karangan Al-Farabi13, yang merupakan komentar atas buku Aristoteles. Dia kembali mengkaji logika dan seluruh cabang filsafat, sehingga menguasai seluruhnya. Uniknya juga jika mengalami kesulitan dalam menjawab sebuah masalah atau pertanyaan, maka dia berwudhu dan pergi ke masjid untuk shalat dan berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan dalam menjawabnya. Dan pada larut malam dia melanjutkan belajarnya, bila rasa kantuknya datang atau badannya terasa letih, dia minum secangkir hingga timbul kembali kesegarannya. Tetapi jika kantuk tidak tertahankan, Ibnu Sina tertidur dan bermimpi tentang soal-soal itu biasanya menjadi terang masalahnya.14

Ibnu Sina merasa sangat senang ketika mendapat suatu penemuan yang diperoleh hanya dengan mendapat hidayah Allah SWT. Sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas keberhasilannya itu dia bersedekah kepada kaum miskin.15

Pada usia 16 tahun Ibnu Sina mempelajari kedokteran dan mulai mengobati orang-orang sakit, sehingga namanya semakin terkenal. Ibnu Khalliqan, seorang penulis biografi terbesar, menyebutkan bahwa Ibnu Sina

13

Abu Nasr Al-Farabi (258-339 H/ 870-950 M) adalah filsuf besar peripatik kedua setelah Al-Kindi (185-260 H/801-873 M). Lahir di daerah Farab, daerah Transoxania. Dalam bidang filsafat Al-Farabi merupakan komentator besar Muslim pertama terhadap filsafat Aristoteles. Dan salah satu karya Al-Farabi yang terkenal adalah Kitab al-Jam’ bain Ra’yay al -Hakimain Aflathun al-Ilahi wa Aristhu (Buku tentang Penggabungan antara Pendapat Dua Ahli Hikmah Plato Ilahi dan Aristotelian. Dapat di lihat dalam buku Didin Saifuddin, Zaman Keemasan Islam : Rekontruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 188 dan lihat juga buku Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, h.36-37.

14

Muhammad Nur Effendi, Cendekiawan Muslim : Pembina Tamadun dan Kecemerlangan Umat, h.153-155.

15


(30)

19

menjadi pusat perhatian seluruh dokter dan hakim terkenal di masanya. Mereka biasa menemuinya untuk mendiskusikan penemuan obat dan formula terbarunya. Ia tidak hanya mempelajari ilmu kedokteran, tetapi juga melakukan praktek mengobati orang-orang sakit.16

Pekerjaan pertamanya menjadi dokter. Suatu ketika pada usia 17 tahun ia menyembuhkan Nur bin Mansur, penguasa daerah Bukhara yang menderita sakit keras yang tidak dapat diobati oleh dokter-dokter pada masanya. Akan tetapi setelah Ibnu Sina mengobatinya, sembuhlah dia. Sejak itu Ibnu Sina mendapat sambutan yang baik sekali, kemudian beliau di ditunjuk menjadi dokter Istana Sultan (penguasa). Sejak itu pula Sultan mengizinkannya menggunakan perpustakaannnya yang terkenal sehingga ia bisa menyerap banyak dari buku-buku yang jarang didapat. Kemudian karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu. Dan di umur 21 tahun, dia menulis buku-buku yang abadi dan tak terlupakan.17

Dalam usia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia, Musibah ini telah menimbulkan beban berat atas kehidupan Ibnu Sina, sehingga ia meninggalkan Bukhara menuju Jurjan, dimana ia berjumpa dengan Abu „Ubayd al-Juzjani yang

16

M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Yogyakarta: DIGGLOSSIA, 2007), h. 47.

17

Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994). h. 144


(31)

kemudian menjadi seorang muridnya yang menulis sejarah hidupnya.18 Di Jurjan sampai usia 35 tahun ia mengajar dan mengarang, tetapi tidak lama ia menetap di kota ini karena kekacauan politik yang melanda, lalu ia pergi ke Hamadan (sampai usia 44 tahun) di mana penguasa wilayah ini, Raja Syamsuddaulah telah mengangkatnya sebagai menteri yang merupakan imbalan atas keberhasilan Ibnu Sina menyembuhkan penyakit yang di deritanya. Akan tetapi pihak militer menangkap Ibnu Sina dan merampas harta miliknya serta merencanakan untuk membunuhnya, tapi dilarang oleh Syamsuddaulah, dan kemudian dikeluarkan dari penjara. Kemudian raja ini mengalami sakit perut (maag) dan Ibnu Sina berhasil menyembuhkannya kembali, sehingga untuk kedua kalinya, ia diangkat menjadi Menteri.19

Setelah Syamsuddaulah meninggal dunia, anaknya diangkat sebagai pengganti, dan Ibnu Sina mengundurkan diri sebagai menteri. Ia ingin pergi ke Isfanah untuk bekerja pada istana raja „Ala„uddaulah. Lalu ia ditangkap kembali oleh Tajul muluk, anak Syamsuddaulah, dan dipenjarakan di benteng Fardajan di mana ia tinggal selama empat bulan. Dari Hamadan, ia lari menyamar ke Isfahan (sampai usia 58 tahun), dimana ia disambut dengan baik sekali.20

Ibnu Sina juga pekerja yang luar biasa. Meskipun banyak kesibukan dalam urusan politik, mengajar dan menangani pasien, namun Ibnu Sina juga berhasil menulis buku yang menjadi mahakarya di dunia pengobatan dan filsafat. Dialah yang menjadikan dunia ini sebagai tempat penuh aktivitas, melaksanakan

18

Autobiografi atau biografi Ibnu Sina dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Inggris dapat dilihat dalam William E. Gohlman, The Life of Ibnu Sina: A Critical Edition and Annotated Translation, (New York: State University of New York Press, 1974), h. 16-113.

19

Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), Cet.3, h. 67.

20Ibid.


(32)

21

semua rencana dan menikmati hasilnya. Dia percaya bahwa seseorang harus menikmati dunia ini untuk memenuhi dan memecahkan rahasia-rahasia alam semesta. Di sisi lain, ia seorang filosof dan negarawan yang luar biasa dan seorang penutur yang menyenangkan21

Pada bulan-bulan terakhir hayatnya, ia meninggalkan pakaian untuk diganti dengan pakaian putih, memerdekakan semua budaknya dan menyedekahkan harta kekayaannya untuk para fakir miskin serta menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah. Dan dalam usia 58 tahun, ketika menyertai perjalanan Amir Alauddin ke Hamadan, Ibnu Sina meninggal dunia karena terserang penyakit usus besar yang tidak sanggup ia mengobatinya, di Hamadan, Persia, pada Ramadhan 1037 M dan dimakamkan di sana, yang sekarang termasuk negara Iran bagian Barat.22

Ketika memperingati 1000 tahun hari kelahirannya (Fair Millenium) di Taheran pada 1955, dilangsungkan Konferensi Internasional tentang Prestasi Ilmu Medis Ibnu Sina. Dalam momen itu, Ibnu Sina dinobatkan sebagai Father of Doctors untuk selama-lamanya, dan untuk itu telah dibangun sebuah monumen sejarah. Sedangkan makam Ibnu Sina di Hamadan dikepung oleh berpuluh-puluh makam para dokter ; agaknya mereka cukup bangga dapat dikuburkan dalam deretan Bapak Dokter Islam itu. Makam itu hingga kini dikunjungi oleh wisatawan domestik dan asing dengan penuh rasa hormat.23

21

M. Atiqul Haque, Wajah Peradaban : Menelusuri Jejak Pribadi-pribadi Besar Islam, h. 65-66.

22

Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, hal.68.

23


(33)

B. Perkembangan Intelektual Di Masa Ibnu Sina

Sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka bahwa pesatnya perkembangan sains dan filsafat ada pada masa dinasti Abbasiyah, hidup di masa pemerintahan Abbasiyah periode II, yaitu masa-masa kelemahan kekhalifahan Abbasiyah. Pada saat itu, kekuasaan para khalifah Baghdad mengalami kelemahan dan para amir penentang muncul di berbagai belahan imperium Islam yang besar itu. Mereka mendirikan negara-negara kecil yang bersifat semi-merdeka, saling besaing dan mulai menguasai beberapa bagian dari imperium Islam. Mereka saling berperang satu sama lain. Bani Buwaih menguasai Baghdad pada tahun 949 M dan menurunkan khalifah Abbasiyah dari singgasana kekuasaan pada tahun 1055 M, serta menyebut para penguasa mereka dengan gelar “sultan”.24

Para filosof dan pemikir Muslim berusaha melindungi para penguasa di negara-negara yang saling bersaing itu. Situasi carat marut yang penuh persaingan politik telah mempengaruhi kehidupan Ibnu Sina. Kehidupannya mengalami keguncangan dan ketidakstabilan. Meskipun demikian, dengan kecerdasan dan otaknya yang cemerlang, Ibnu Sina dapat mengatur waktu untuk belajar, mengajar dan menulis buku, begitu juga para pemikir dan ilmuan lainnya baik para pendahulu Ibnu Sina maupun sezamannya.25

Nama-nama ilmuan dalam masa kejayaan Islam hampir sulit untuk dikatakan hanya menguasai satu disiplin ilmu, karena pada umumnya mereka menguasai sains kealaman di satu pihak, dan di pihak lain mereka juga adalah

24

Gazi Saloom, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h.140.


(34)

23

filsuf-filsuf yang tekun mengkaji tradisi filsafat Yunani. Pada saat yang sama mereka juga mengembangkan pemikiran filsafatnya sendiri. Ibnu Sina, seperti dijelaskan di uraian terdahulu, selain seorang dokter terkemuka ia juga filsuf yang menyempurnakan teori emanasi Al-Farabi.26 Ia yang menyempurnakan teori emanasi Al-Farabi. Dia memperdalam dan menambahkan detail pada teori-teori spekulatif Al-Farabi dalam logika dan metafisika sehingga rumusannya menjadi lebih jelas dan sistematis.27

Ciri paling menonjol dari kemajuan intelektual kaum Muslim adalah penemuan teori-teori di bidang sains. Penelitian-penelitian di bidang sains dilakukan dengan sangat intens oleh para ahli sains kealaman tersebut sehingga penelitian-penelitian mereka menjadi dasar bagi penelitian-penelitian berikutnya yang dilakukan oleh orang lain. Disiplin-disiplin ilmu yang menonjol dielaborasi kaum Muslim adalah astronomi, fisika, kimia, kedokteran, biologi, matematika, dan aljabar.28

Astronomi dikembangkan oleh Kaum Muslim dengan berbagai tujuan, terutama yang berkaitan dengan kesempurnaan menjalankan ibadat, seperti kebutuhan untuk mengetahui arah kiblat, penentuan waktu shalat, penentuan kalender, dan untuk pengamatan gerak benda labgit. Tokoh paling menonjol di

26

Dengan emanasi, Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan sebagai akal berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul maujud lain. Tuhan merupakan maujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai sunstansi. Ia disebut akal pertama yang tak bersifat materi.Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua. Wujud kedua dan akal pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ muncullah langit pertama. Lihat buku : Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam : Rekontruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyyah, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 188.

27Ibid,

h. 189.


(35)

bidang ini adalah Ibn Al-Haitham atau Alhazen (354-430 H/965-1039 M) yang juga seorang yang ahli alam bidang matematika, fisika dan ilmu medis.29

Dalam bidang kimia nama Jabir Ibn Hayyan dapat disebut sebagai tokoh pertama. Ia hidup dari tahun 103-200 H/721-815 M). Dan dalam bidang matematika nama Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi (w. 249 H/863 M) sangat terkenal dengan penemuan-penemuannya. Ia adalah ahli matematika Muslim pertama yang mencolok, pemula sejarah matematika yang sbeenarnya di kalangan Muslim. Tulisannya, Aljabar (Al-Jabr wa Al-Muqabalah) mrupakan karya pertama Muslim dalam aljabar dan menjadi nama tersendiri dalam cabang sains ini.30

Kedokteran pertama kali dikenal kaum Muslim setelah penaklukan kerajaan Sassaniah di Persia. Dokter-dokter terkenal dan paling terkemuka yang dilahirkan dunia Muslim adalah al-Razi (251-813 H/865-925 M) dan Ibnu Sina (370-429 H/980-1037 M). Al-Razi pada awalnya menyibukkan diri dalam bidang kimia. Setelah menggeluti bidang kimia ia menjadi dokter yang terkenal, kemasyhurannyanya hanya dapat ditandingi oleh Ibnu Sina.31

Sebagaimana pula yang telah dijelaskan dimuka, Ibnu Sina adalah seorang filsuf dan saintis terbesar Islam dan tokoh paling berpengaruh dalam bidang umum, kedokteran, seni, dan sains. Dengan kecerdasan dan otaknya yang cemerlang seta kepanaiannya dalam mengatur waktu dalam belajar, mengajar dan menulis buku. Dia meninggalkan sejumlah buku penting yang dia tulis pada saat

29

Ibid, h. 181-185.

30Ibid

, h.184-185.

31

Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Terj), (Bandung: Pustaka, 1986), h. 26.


(36)

25

yang tidak teratur dan tidak stabil. Kadang-kadang dia menulis buku di tengah perjalanan atau ketika selesai bertugas membantu para penguasa, demikian pula pada saat bersembunyi dari para penguasa atau pada saat ditahan di dalam penjara.32

C. Karya-karyanya

Karya tulis yang dihasilkan Ibnu Sina cukup banyak. Kebanyakan penulis menegaskan bahwa jumlahnya tidak kurang dari 276 buah, dalam bentuk buku, risalah, dan dalam bentuk karangan ilmiah bias (prosa) atau dalam bentuk syair.

Dan dalam buku karya Al-Qifti Tarikh al-Hukama’ ada deskripsi terperinci 21 buku utama Ibnu Sina dan 24 buku yang lebih kecil yang berisi tentang obat-obatan, filsafat dan sains. Selain itu, ia juga menulis seratus lebih buklet dengan subjek berbeda-beda seperti geometri, aritmatika, bahasa, musik,

‘ilmu a-kalam dan lain-lain. Dari semua itu, buku terbesar adalah Kitab ash-Shifa dalam 18 volume, an-Najah dalam 10 volume, al-Hikma dalam 10 volume (tentang filsafat) dan Qanun fi at-Thibb. Empat buku ini merupakan sumbangan terbesarnya untuk umat manusia. Kalau bukunya ash-Shifa’ menjadikannya salah satu dokter terbesar dunia, buku al-Hikma menjadikannya dirinya sebagai salah satu filsuf terbesar dunia. Abad demi abad berlalu, namun ash-Shifa’ dan al-Hikma tetap menjadi bukti kebesarannya.33

32

Gazi Saloom, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h.140.

33


(37)

Dari semuanya itu, yang dianggap terpenting oleh para ahli adalah: 1. Kitab Asy-Syifa’ (terdiri dari 18 jilid, ditulis ketika ia bermukim di Hamadan).

Kitab ini merupakan ensiklopedia berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan alam. Dalam buku ini Ibnu Sina membahas fenomena alam yang penting seperti terbentuknya gunung, sebab-sebab terjadinya gempa bumi, terbentuknya awan dan kabut, jatuhnya air hujan, salju dan dingin, terbentuknya sungai es (gletser), terjadinya pengembunan, jatuhnya meteor, munculnya pelangi, dan berbagai fenomena alam dan perbintangan lainnya.34

2. Kitab an-Najah (merupakan ringkasan dari kitab asy-Syifa), kitab ini ditulis bagi orang-orang khusus yang terpelajar yang ingin mengetahui dengan lengkap dasar-dasar ilmu hikmah. Untuk pertama kali buku ini dicetak di Mesir pada tahun 1331 H.

3. Kitab Asbab Huduts Al-Huruf. Kitab ini merupakan kitab yang lucu dan telah terlebih dahulu ada pada masanya. Dalam buku ini, Ibnu Sina membahas apa yang saat ini dikenal dengan ilmu fonetis (suara). Dia memadukan antara studi fonetis pada dua bahasa, yaitu bahasa Arab dan bahasa Persia. Buku ini terdiri dari beberapa bab, yaitu : Bab pertama, tentang sebab-sebab terjadinya suara. Bab kedua, tentang sebab-sebab terjadinya huruf. Bab ketiga, tentang anatomi tenggorokan. Bab keempat, tentang sebab parsial terbentuknya huruf Arab. Bab kelima, tentang huruf yang serupa dengan huruf-huruf ini dan bukan dalam bahasa Arab. Bab keenam, tentang huruf-huruf ini, yang mana

34

Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, tt), h.292.


(38)

27

yang tidak dapat diucapkan tetapi kadang-kadang dapat terdengar (dalam arti bahwa huruf-huruf ini keluar secara otomatis dan bukan dilakukan oleh manusia.35

4. Kitab al-Isyarah wa at-Tanbihat (terdiri dari tiga jilid, yang membicarakan logika, fisika, dan metafisika, merupakan karya terakhir yang dihasilkan Ibnu Sina).36

5. Kitab Qanun fi At-Thibb (ensiklopedi kedokteran, yang menjadi pegangan wajib di universitas-universitas Eropa sampai abad ke-17).

Konstribusi terpenting Ibnu Sina yang diwariskan kepada dunia kedokteran adalah masterpiece-nya dalam ilmu medis, yaitu Qanun fi al-Tibb.37

Dalam buku Autobiografi atau biografi Ibnu Sina, telah disebutkan katalog dari semua buku-bukunya, yaitu :38

(1) Kompilasi, 1 volume. (2) Jumlah dan substansi, 20 volume. (3) Pekerjaan baik dan jahat, 2 volume. (4) Syifa (penyembuhan), 18 volume. (5) Qanun, 14 volume. (6) Komprehensif / pengamatan, 1 volume. (7) Penghakiman, 20 volume. (8) Najat (pembebasan), 3 volume. (9) Bimbingan, 1 volume. (10) Petunjuk, 1 volume. (11) Ringkasan tengah, 1 volume. (12) „Ala‟i, 1 volume. (13) Kolik, 1 volume. (14) Bahasa Arab, 10 volume. (15) Obat jantung, 1 volume. (16) Perlambangan, 1 volume. (17) Sebagian dari filsafat Timur, 1 volume (18)

35Ibid

,h. 193-194.

36

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h. 197-198.

37

Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, h. 201.

38

Autobiografi atau biografi Ibnu Sina dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Inggris dapat dilihat dalam William E. Gohlman, The Life of Ibnu Sina: A Critical Edition and Annotated Translation, (New York: State University of New York Press, 1974), h. 47.


(39)

Penjelasan kata modal, 1 volume. (19) Pengembalian, 1 volume. (20) Asal dan pengembalian. (21) Percakapan, 1 volume. Di antara risalahnya, yaitu (22) Takdir. (23) Instrumen astronomi. (24) Objek dari “kategori”. (25) Logika. Dan dalam bentuk puisi, yaitu (26) Puisi tentang keagungan dan filsafat. (27) Pada konsonan. (28) Pertimbangan topik dialektis. (29) Ringkasan denyut nadi, Di Persia : (30) Definisi. (31) Benda angkasa. (32) Instruksi dalam ilmu logika. (33) Cabang filsafat. (34) Batas dan tak terhingga. (35) Sebuah perjanjian, yang dibuat untuk dirinya sendiri. (36) Hayy ibn Yaqzan. (37) Dimensi tubuh bukan bagian dari esensinya. (38) Pada ketidakmungkinan hal yang sama menjadi substansi dan kecelakaan. (39) Pengetahuan tentang Zaid bukanlah pengetahuan dari „Amr. (40) Surat untuk teman-teman dan para pejabat. (41) Surat tentang pertanyaan yang terjadi antara dia dan lainnya. (42) Komentar „Qanun”. (43) Filsafat penting.

Natsir Arsyad menyebutkan bahwa buku Qanun Ibnu Sina sejak zaman Dinasti Han di Cina telah menjadi buku standard karya-karya medis Cina. Pada Abad Pertengahan, sejumlah besar karya Ibnu Sina telah diterjemahkan dalam bahasa Latin dan Ibrani, yang merupakan bahasa-bahasa pengantar ilmu pengetahuan pada masa itu. Qanun telah dianggap sebagai buku sucinya ilmu pengetahuan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa dan telah menjadi buku yang menguasai dunia pengobatan Eropa selama kurang lebih 500 tahun. Qanun juga digunakan sebagai buku teks kedokteran di berbagai universitas di Prancis, misalnya Sekolah Tinggi kedokteran Montpellier dan Louvain pada abad ke-17. Penerbitan Qanun dalam bentuk salinan langsung,


(40)

29

terjemahan, komentar ataupun yang lainnya, berlangsung terus menerus sampai pada abad ke-18.39

Buku Qanun itu sendiri terdiri dari lima bagian pokok, yaitu :40

1. Prinsip-prinsip umum kedokteran yang meliputi filsafat kedokteran, anatomi, fisiologi, pemeliharaan kesehatan (higienis) dan penanganan penyakit-penyakit;

2. Obat-obat yang sederhana;

3. Gangguan-gangguan organ dalam dan luar tubuh;

4. Beragam penyakit yang memengaruhi tubuh secara umum, tidak terbatas pada satu organ tubuh, dan

5. Obat-obat persenyawaan kompleks (dikutip dalam Nasr, 1976 :178-79).

39

Natsir Arsyad, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah, (Bandung: Mizan, 1989), h. 190-191).

40Al-Qanun fi Thibb

terjemahannya dalam bahasa Inggris dapat dilihat dalam Oskar Cameron Gruner, The Canon of Medicine of Avicenna, (New York: AMS Press, 1973), bag. I-IV, h.25-135, 460-534.


(41)

A. Bidang Filsafat

Kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam.1 Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Usaha penerjemahan naskah-naskah dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat telah dilakukan pada masa klasik Islam, dari berbagai bahasa, seperti bahasa Siryani, Yunani, Persia, dan India, ke dalam bahasa Arab. Usaha penerjemahan tersebut berlangsung selama tidak kurang dari satu setengah abad di zaman klasik Islam (abad ke-1 hingga ke-7 H), dan berlangsung secara besar-besaran di Baghdad sejak masa pemerintahan al-Mansur (137-159 H/754-775 M), serta mencapai puncaknya pada masa pemerintahan al-Makmun (198-218 H/813-833 M).2

Filsafat bukanlah ilmu karena ilmu adalah a posteriori (kesimpulan-kesimpulannya ditarik setelah pengujian berulang-ulang; untuk ilmu tertentu, melalui percobaan-percobaan), sedangkan filsafat adalah a priori (kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian ilmiah). Bahkan, cabang-cabang filsafat seperti metafisika, estetika dan etika sukar diuji kebenarannya, sedangkan ilmu

1

Pada mulanya, kaum Muslimin menerjemahkan karya-karya filsafat Thales (624-546 SM), pythagoras (530-495 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (4277-327 SM), Aristoteles (384-322 SM), Theophratos (371-287 SM), Klaudios Ptolemaios (87-168 M), Klaudios Galenos (129-199 M), serta filsuf-filsuf Yunani lainnya. Lihat buku S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), Cet.3, h. 80.

2

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve, 2002), h.195.


(42)

31

bersifat empirik, filsafat bersifat spekulatif kontemplatif (merenung dan bersamadi). Dengan demikian, filsafat mempunyai kaitan erat dan saling berpengaruh dengan ilmu.3

Dalam pemikiran klasik, falsafah atau filsafat merupakan induk segala ilmu pengetahuan. Darinya segala jenis ilmu itu berasal. Konsep ini berasal dari pemikiran Yunani, terutama dari Aristoteles. Dari sini kemudian Aristoteles mempengaruhi para pemikir Islam, termasuk Ibnu Sina.4

Jika dilihat dari sisi zaman, maka ilmu yang beragam jenis itu menurut Ibnu Sina dapat dibagi 2 bagian : pertama, ilmu yang hanya berlaku pada zaman tertentu saja karena sering berubah-ubah, dan kedua, ilmu yang tidak terkait dengan zaman berlaku sepanjang masa. Ilmu inilah yang disebut “ilmu hikmah”.5

Adapun ilmu hikmah itu, ia terdiri dari : ilmu dasar dan ilmu cabang, seperti: kedokteran, pertanian, ilmu nujum dan lain-lain. Ilmu dasar merupakan bagian yang terpenting dalam ilmu hikmah, dan Ibnu Sina membaginya kepada dua bagian: ilmu mantik (ilmu alat dalam berpikir) dan ilmu yang bukan alat yang digunakan dalam hal-hal yang empiris dan metafisis, dan ini terdiri dari dua bagian :6

a. Ilmu teoritis yang bertujuan untuk membersihkan jiwa melalui makrifah.

b. Ilmu praktis yang bertujuan untuk beramal sesuai dengan makrifat.

3

S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, h. 79.

4

Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 70.

5Ibid. 6Ibid.


(43)

Yang pertama berupaya untuk mengetahui kebenaran, dan yang kedua untuk mengetahui kebaikan.

Selanjutnya ilmu teoritis itu dibagi kepada empat bagian : fisika, matematika, ketuhanan dan ilmu kulli yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan materi, seperti kesatuan, kebanyakan, bagian, seluruh dan sebab-akibat. Demikian pula ilmu praktis dibagi kepada empat bagian : akhlak, mengatur rumah tangga, mengatur negara dan kenabian.7

Dengan ilmu hikmah, manusia akan memperoleh kesempurnaan itu akan diperoleh tidak hanya sekedar mengetahui hal-hal teoritis, tetapi ia juga harus bekerja dan berusaha agar hidupnya sesuai dengan apa yang diketahuinya.

Adapun pemikiran filsafat Ibnu Sina, diantaranya : 1. Filsafat Jiwa

Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran. Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal pertama memancar Akal Kedua dan Langit Pertama; demikian seterusnya sehingga tercapai Akal Kesepuluh dan bumi. Dari Akal Kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril.8

Berlainan dengan Al-Farabi, Ibnu Sina berpendapat bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat :9

7Ibid

, h. 70.

8

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 23.


(44)

33

a. sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran Allah (Neccessary by virtue of the Necessary Being)

b. dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya (Possible in essence).

Dengan demikian Ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.

Jiwa manusia, sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :10

I. Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya : 1. makan

2. tumbuh

3. berkembang biak

Jadi, jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh, dan berkembang biak.

II. Jiwa binatang dengan daya-daya : 1. gerak

2. menangkap, dengan dua bagian : a. gerak

10


(45)

b. menangkap, dengan dua bagian : (1) menangkap dari luar dengan panca indera, dan (2) menangkap dari dalam dengan indera-indera batin, yang terdiri atas lima indra, yaitu :11

i. Indera bersama, yang menerima segala apa yang ditangkap oleh indera luar. Contohnya kucing yang disiram air.

ii. Indra khayyal (representasi), yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama. Contohnya kucing dapat mengetahui keberadaan tikus karena pengalaman yang direkam di dalam ingatannya.

iii. Imajinasi, yang menyusun apa yang disimpan dan khayyal.

iv. Estimasi, yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya umpamanya keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala.

v. Indera pemeliharaan (rekoleksi), yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.

Dengan demikian, jiwa binatang lebih tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan hanya sekedar makan, tumbuh, dan berkembang biak, tetapi telah dapat bekerja dan bertindak serta telah merasakan sakit dan senang seperti manusia.

III. Jiwa Manusia, mempunyai dua daya :

1. Praktis, yang berhubungannya dengan badan.

11

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof & Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), h. 105.


(46)

35

2. Teoritis, yang hubungannya dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkat :

i. Akal materiil, yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.

ii. Akal al-malakat, yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.

iii. Akal Aktual, yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak. iv. Akal Mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang

hal-hal abstrak tanpa perlu pada daya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif12

Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat pada kesempurnaan.

Dalam hal ini daya praktis mempunyai kedudukan penting. Daya inilah yang berusaha mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat dalam badan tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan. Menurut pendapat Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan

12


(47)

mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, jiwa masih bersahajat dengan badan. Karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir.13

Pancaindera yang lima dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indera bersama, estimasi, dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Apabila jiwa telah mencapai kesempurnaannya maka badan tidak diperlukan lagi bahkan menjadi penghalang mewujudkan kesempurnaan. Sejalan dengan terpisahnya antara badan dengan jiwa tersebut, maka jiwa manusia tidak mesti hancur dengan dengan hancurnya badan. Tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang terdapat dalam diri manusia, maka hanya mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat fisik yang akan mati dengan matinya badan dan tak kan dihidupkan kembali di akhirat. Balasannya untuk kedua jiwa ini pun dicukupkan di dunia saja. Berbeda denga jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang abstrak yang akan dihidupkan kelak di akhirat.14

Pemikirannnya yang intens terhadap jiwa menyebabkan Ibnu Sina sampai pada kesimpulan bahwa jiwa bersifat kekal (abadi). Menurut Ibnu Sina, hanya dengan keabadian jiwalh nikmat surga dan siksaat neraka dapat terlaksana,

13

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 32.

14 Ibid.


(48)

37

seperti dijelaskan oleh ayat al-Qur‟an (QS. Al-Baqarah : 25 dan 39).15 Kelanjutannya ialah bahwa yang berbangkit pada hari kiamat hanya jiwa, tanpa badan.16

2. Filsafat Kenabian

Dalam teori kenabian, Menurut Ibnu Sina sebagian manusia dianugrahi Tuhan akal potensial/material yang sedemikian kuat, yang oleh Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi (daya luar biasa) atau al-quwwah al-qudsiyyah (daya suci). Daya yang ada pada akal potensial seperti ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat menerima cahaya kebenaran atau wahyu Tuhan melalui akal aktif.17 Akal yang seperti ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya pada nabi-nabi.18

Dalam buku Hasyimsyah Nasution, sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibnu Sina membagi manusia ke dalam empat kelompok: mereka yang kecakapan teoritisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa

15

QS. Al-Baqaroh ayat 25 tersebut artinya : “...Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnyaada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”.

Sedangkan, QS Al-Baqaroh ayat 39 tersebut artinya : “...Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.

16

Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. 1, h.138

17

Akal Aktif diidentifikasi sebagai Jibril, malaikat pembawa wahyu. Lihat : Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama : Filsafat Islam, h. 80.

18


(49)

manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia. Kemudian mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang-orang yang daya teoritisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.19

Dalam tulisannya yang khusus untuk mengukuhkan adanya kenabian, Risalah fi Isbat an-Nubuwwah, Ibnu Sina berupaya menunjukkan adanya perbedaan keunggulan atau keutamaan pada segenap wujud, pada akhirnya menegaskan bahwa para nabi, yang akal teoritis mereka mengaktual dengan sempurna secara langsung, lebih utama dari mereka (para filsuf), yang akal teoritis mereka mengaktual dengan sempurna secara tidak laangsung (yakni dengan perantara, seperti latihan dan belajar keras). Uraian Ibnu Sina mengenai hal ini adalah sebagai berikut :20

Ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam materi dan ada pula yang berada dalam materi, maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua.21

19

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 75.

20

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h. 201-202.

21Ibid


(50)

39

Selanjutnya ada pula bentuk bersama materi (yakni tubuh materi) yang bersifat tumbuh (organik) dan ada pula yang tidak tumbuh (yakni benda mati), maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Yang organik ada yang berupa binatang dan ada pula yang tidak, maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Manusia ada yang memiliki akal bi al-malakah dan ada pula yang tidak, maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada pula manusia yang akal bi al-malakah-nya meningkat menjadi akal aktual dan ada pula yang tidak meningkat, maka yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Selanjutnya ada manusiayang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa latihan, tanpa studi keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan atau studi keras), maka yang pertama, yakni para nabi, lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk material, karena yang lebih unggul harus memimpin segenap manusia yang diunggulinya.22

Demikianlah uraian Ibnu Sina dan dengan demikian ia bukan saja mengakui adanya nabi dan rasul serta kenabian dan kerasulan, melainkan juga menegaskan bahwa nabi dan rasul lebih unggul dari filsuf.

3. Filsafat Wujud

Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam paham


(51)

Ibnu Sina, terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat diluar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan sifat wujudiyah atau eksistensialisme dari filosof-filosof lain.

Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :23

1. Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina, mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. 2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya ialah alam ini yang pada awalnya tidak ada, kemuadian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.

3. Esensi yang boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al-wujud inilah mewujudkan mumkin al-wujud. Hubungan Wajib al-wujud dengan mumkin al-wujudbersifat emanasionistis.

23


(52)

41

Dengan argumen ini Ibnu Sina ingin membuktikan adanya Tuhan menurut logika. Dengan demikian, Tuhan adalah unik dalam arti, Dia adalah kemaujudan yang Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang Mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun di dalam Kemaujudan ini tak boleh terdapat kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan.

Ibnu Sina menganut paham emanasi. Teori emanasi Ibnu Sina hampir tidak berbeda dengan teori emanasi yang telah lebih dahulu dikemukakan al-Farabi. Dari Tuhan memancarkan 10 akal (akal I sampai dengan akal X), 10 jiwa (9 jiwa langit dan 1 jiwa bumi), dan 10 raga (9 raga langit dan 1 raga bumi). Emanasi itu adalah akibat aktivitas mengetahui atau berpikir.24

Ia berpendapat bahwa dari Tuhan berpikir tentang diri-Nya, maka memancarkan Akal I. Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan Akal Pertama adalah sama-sama azali. Selanjutnya Ibnu Sina berpendapat, bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (

دوجولا بجاو

هتادل

dan

هرىغل دوجولا بجاو

atau Necerssary by Virtue of the Necssary Being dan Possible in Essence). Dengan demikian ini mempunyai tiga obyek pemikiran : (i) berpikir tentang Tuhan, (ii) berpikir tentang dirinya sebagai wajib wujudnya dan

24

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h. 198.


(53)

(iii) dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul jiwa-jiwa, dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.25

Akibat aktivitas berpikir akal I, memancar akal II. Sebagai akibat aktivitas berpikir kedua, memancarkan jiwa, dan langit pertama. dan sebagai akibat aktivitas ketiga, memancarkan raga langit pertama. Akal II juga memiliki tiga aktivitas seperti tersebut diatas. Dan akibatnya juga tiga, muncul akal III, jiwa langit kedua, dan raga langit kedua. Demikian seterusnya hingga Akal X, jiwa langit kesembilan (bulan), dan raganya (planet). Dari Akal X hanya memancar jiwa, raga dan bumi. Akal X tidak cukup kuat untuk memancarkan akal berikutnya. Pada bumi banyak muncul raga-raga tumbuhan, binatang, dan manusia, yang masing-masing raga itu ditempati oleh satu jiwa individual.26

Akal-akal adalah para malaikat, Akal I adalah malaikat tertinggi dan akal X adalah Malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya. Akal bersifat tetap dan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung dengan falak (gerakan alam di langit). Tuhan adalah al-Khair al-Mutlak (Tuhan sendiri)27 dan Akal hanyalah al-Khair yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk kesempurnaan dirinya. Kerinduan Jiwa falak kepada al-Khair disebut Isyq

25

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 70.

26

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, h. 198.

27

Tuhan menjadi tujuan tiap-tiap jiwa manusia, sebagaimana juga Dia menjadi tujuan segala gerakan alam di langit (falak). Falak itu bergerak secara beredar menaati Khair al-Mutlak. Gerakan falak itu merupakan gerakan jiwa (nafs), sebab falak itu menyerupai manusia.


(54)

43

Mutlak. Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa dan berlangsungnya berbagai macam hal.28

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel emanasi Ibnu Sina di bawah ini.29

(Subjek) Akal yang ke Sifat Allah sebagai Wajib al-Wujud menghasil kan Dirinya sendiri sebagai Wajib wujud li ghairihi, menghasilk an Dirinya sendiri mumkin wujud lizathihi Keterangan I Wajib al-Wujud Akal II

Jiwa I yang menggerakk an Langit Pertama Masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet karena (immateri) tidak bisa langsung menggerakkan jisim (materi), II Mumki n al-Wujud Akal III

Jiwa II yang menggerakk

an

Bintang-bintang

III Sda Akal IV

Jiwa III yang menggerakk

an

Saturnus

IV Sda Akal V

Jiwa IV yang menggerakk

an

Yupiter

V Sda Akal VI

Jiwa V yang menggerakk

an

Mars

VI Sda Akal VII

Jiwa VI yang menggerakk

an

Matahari

VII Sda Akal VIII

Jiwa VII menggerakk

an

Venus

VIII Sda Akal IX

Jiwa VIII yang menggerakk Merkuri 28

Hasyimsyah Nasution, h. 70.

29

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof & Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), h. 101.


(55)

an

IX Sda Akal X

Jiwa IX yang menggerakk

an

Bulan

X Sda -

Jiwa X yang menggerakk an Bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur (udara, api, air, dan tanah).

Akal X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya karena kekuatannyasud ah lemah.

Akal-akal dan planet-planet dalam emanasi di atas dipancarkan (diciptakan) Allah secara hierarkies. Keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqqul Allah tentang zat-Nya sebagai sumber energi dan menghasilkan energi yang mendahsyat. Ta’aqqul Allah tentang zat-Nya adalah ilmu Allah tentang diri-Nya dan ilmu itu adalah daya (al-qudrat) yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui Allah. Dari hasil ta’aqqul Allah terhadap zat-Nya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet.30

Filsuf yang mendukung pemikiran Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan tidak tersibukkan dengan sesuatu yang ada di luar diri-Nya. Tuhan hanya memikirkan diri-Nya karena Dia adalah „aql. Dengan kata lain, Tuhan adalah

30


(56)

45

subjek sekaligus objek pemikiran. Karena itu, Tuhan tidak perlu tahu hal-hal yang bersifat partikular. Hal-hal yang bersifat partikular adalah khusus bagi yang terbatas yang terpengaruh dengan berbagai kejadian dan objek pengetahuan setelah terjadi. Pendapat tersebut tidak dapat diterima oleh Ibnu Sina. Baginya, Tuhan Maha Mengetahui segala yang sudah atau yang akan terjadi dalam kekuasaan-Nya sejak azali. Jadi, pengetahuan-Nya itu bukanlah karena sesuatu itu sudah terjadi, bahkan pengetahuan-Nya itulah yang menjadi sebab bagi terjadinya segala sesuatu.31

B. Bidang Kedokteran

Ilmu kedokteran termasuk ilmu yang telah melesat perkembangannya, dimana kaum Muslimin telah memberikan sumbangsih luar biasa pada masa peradaban mereka yang cemerlang. Sumbangan tersebut belum pernah dilakukan secara menyeluruh, unggul, dan terbukti dalam perjalanan sejarah.

Kedokteran Islam bukan sekedar mendiagnosa mengobati penyakit lalu selesai, tapi meliputi pada dasar-dasar eksperimen yang membalikkan pengaruhnya sedemikian tinggi dan menakjubkan pada seluruh sisi-sisi latihan (praktik) kedokteran sebagai pemeliharaan dan pengobatan, atau meringankan dan memberikan obat-obatan, atau menjauhkan manusia dan pola hidup buruk dengan melaksanakan anjuran kedokteran.32

Di antara kehebatan peran umat Islam dalam dunia kedokteran dapat dilihat dari orang-orang jenius dibidang kedokteran yang sangat jarang. Mereka

31

Hasyimsyah Nasution, h. 71.

32

Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), h. 271.


(57)

dengan izin Allah memberikan konstribusi besar dalam memutar roda perjalanan kedokteran menuju ke arah lain, mengikuti arah perjalanan pergerakan generasi kedokteran sampai hari ini.

Ketika Islam datang, orang-orang Arab jahiliyah juga mempunyai semisal tabib, sehingga Rasulullah menganjurkan untuk berobat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Usamah bin Syarik, “Berobatlah, karena Allah tidak menurunkan penyakit kecuali membuat obatnya. Kecuali satu penyakit: tua!” Rasulullah berobat dengan madu dan kurma serta ilalang alami, dan sebagainya yang dikenal dengan Tibbun Nabawi (Pengobatan Nabi).33

Kaum Muslimin tidak hanya berhenti pada pengobatan Nabawi. mereka juga mengerti sejak awal bahwa ilmu-ilmu duniawi, termasuk ilmu kedokteran mengadakan penelitian dan kajian terus-menerus dengan berpegang pada apa yang terdapat pada umat-umat lain. Karena itu, sebagai praktik terhadap petunjuk Islam, mereka terus memompa semangat untuk menambah segala sesuatu yang membawa manfaat. Mencari segala hikmah di mana saja berada. Demikianlah kita melihat kaum Muslimin mengambil pengetahuan kedokteran dari Yunani di samping dari negeri-negeri Islam sendiri yang ditaklukannya.

Para ilmuan kedokteran kaum Muslimin mempunyai keistimewaan. Merekalah yang pertama kali mengetahui spesialisasi kedokteran. Di antara mereka adalah dokter spesialis mata, memberinya nama dengan Kahalain (Mata Hitam). Kemudian ada yang spesialis bedah, hijamah (bekam), spesialis penyakit


(1)

(2)

Lampiran IV

Karya-karya Ibnu Sina1

1. An-Najah, Kairo: Percetakan Sa’adah, 1331 H. (Buku ini merupakan ringkasan buku asy-Syifa dan dijelaskan oleh Fakhruddin ar-Razi yang meninggal dunia pada tahun 600 H).

2. Al-Isyarat wa at-Tanbihat, Kairo: 1325 H. (juga diterbitkan baru-baru ini oleh Sulaiman Dunya. Al-Juzjati berkomentar bahwa buku ini merupakan buku terakhir dan terbaik yang ditulis oleh Ibnu Sina, serta dijelaskan oleh Nasiruddin ath-Thusi yang meninggaal dunia pada tahun 762 H).

3. Al-Qanun fi Tibb, roma, 1653.

4. Risalah fi Ma’rifat an-Nafs an-Nathiqah wa Ahwaliha, diterbitkan oleh Muhammad Tsabit al-Fandi, Kairo, 1934.

5. Mabhats ‘an al-Quwa an-Nafasaniyah, diterbitkan oleh Fandik, Kairo, 1315 H.

6. Ahwal an-Nafs, ditahkik oleh Fu’ad al-Ahwani, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub

al-‘Arabiyah, 1952; bersama tiga buku kecil lainnya, yaitu Mabhats ‘an al

-quwa an-Nafasaniyah, Risalah fi Ma’rifat an-Nafs an-Nathiqah wa Ahwaliha, dan Risalah fi al-Kalam ‘an an-Nafs an-Nathiqah.

7. Sembilan buku kecil tentang hikmah fisika, Istanbul, 1298 H.

8. Uyun al-Hikmah, ditahkik dan diterbitkan oleh Abdurrahman Badawi, Cetakan II, Kuwait: Wakalah al-Mathbu’at, 1980.

9. Hayy bin Yaqzhan, Kairo: 1809.

10.At-Ta’liqat ‘ala Hawasyi Kitab an-Nafs li Aristho, ditahkik oleh Abdurrahman Badawi, Kairo: Lembaga Buku Nasional Mesir, 1973. 11.Al-Qashidah al-‘ainiyah fi an-nafs: Syarh al-Manawi, Kairo 1318 H. 12.Kitab as-Siyasah, diterbitkan dan diberi komentar oleh Bapak Paulus

Ma’luf Jesuit, Beirut, 1911.


(3)

13.Kitab al-Mubahatsat, termasuk buku Aristho ‘inda al-‘Arab, Cetakan II, disusun oleh Abdurrahman al-Badawi, Kuwait: Wakalah al-Mathbu’at, 1978.

14.Sadidiyah, buku ilmu kedokteran. 15.Al-Musiqa, buku tentang musik.

16.Al-Manthiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli. 17.Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.

18.Danesh Nameh, buku filsafat.

19.Mujiz, Kabir wa Shagir, sebuah buku yang menerangkan tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.

20.Al-Inshaf, buku tentang keadilan sejati.

21.Al-Hudud, berisikan istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang dipakai di dalam ilmu filsafat.

22.Hikmah el Masyriqiyyin, Falsafah Timur (Britannica Encyclopedia, vol. II, hal 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).


(4)

Cover salah satu buku terjemahan al-Qanun fi Tibb, yaitu The Canon of Medicine of Avicenna


(5)

(6)

Lampiran V

Cover buku autobiografi Ibnu Sina, dalam teks asli Arab dan terjemahan bahasa Inggris.

The Life of Ibn Sina First Edition

Published by State University of New York Press 99 Washington Avenue, Albany, New York 12210 © 1974 State University of New Yo.rk

All rights reserved

Printed in the United States of America

Library of Congress Catalog in Publication Data Avicenna, 980-1037.

The life of Ibn Sina,

Arabic text and English translation of the author's autobiography, Sirat al- Shaykh al-Ra'is, which was completed by al-Juzajani.

Originally presented as the editor's thesis, University of Michigan. Includes bibliographies.

J. Avicenna, 980-1037. 1. Al-juzajani, 'Abd al-Wahid ibn Muhammad, 11 th cent. II. Gohlman, WillIam E., ed. III. Title.