Pengertian dan Peranan Faktor Entrepreneurship dalam Pembangunan

Fokus dalam Kebijakan Ekonomi Pemikiran dari Keynisian Setelah Perang Dunia II Pemikiran regim Moneterism Mid1970-an-90-an Pemikiran Rasionalisme Akhir 1980an- 90an Sustainablity 1960 1970 1980 1990 2000 Public Economic Development Agency Regulatory Economic Development Mixed Economic Development Focus on Vule-adding strategies Incorporating workforce technology change Innisiative to reduce social desparities by incorporating disadvantaged group into the mainstream economy Initiative to improve enviromental and overall quality of life to attract hilly skilled workers and firms Sustainable development Fokus dalam Strategi Perencanaan Ekonomi Comparative Advantage Competitive Advantage Collaborative Advantage Master Planning Infrastructure Oriented Goals Objectives Planning Structural Planning Strategic Planning Integrated Planning Multisector Integrated Strategic Planning Sumber: Stimson dan Stough 2008. Gambar 15. Perubahan fokus kebijakan pembangunan ekonomi dan strategi perencanaan Seperti dapat dilihat dalam Gambar 15 tersebut, pada separo bagian diagram bagian atas untuk menunjukkan fokus perubahan paradigma pemikiran kebijakan ekonomi dan separo bagian bawah untuk perubahan fokus dalam strategi Perencanan Ekonomi Wilayah. Dalam hal ini dapat diidentikkan bahwa fokus kebijakan ekonomi merupakan penyebab, sedangkan fokus strategi perencaan ekonomi adalah akibat. Kedua pakar ini membuat periodisasi sepuluh tahunan mulai tahun 1960-an sampai periode 2000-an. Periodisasi ini dimaksudkan untuk memudahkan sekalipun dalam realitasnya yang sebenarnya terjadi overlapping waktu. Untuk menunjukkan overlapping itu dibantu dengan petunjuk anak panah. Fokus kebijakan ekonomi berevolusi dalam 4 pemikiran, yaitu: Keynesian setelah Perang Dunia II sampai dekade 1970-an, ke moneterism dekade 1970- an sampai 1990-an, ke rationalism 1980-an sampai 1990-an dan pada dekade 2000-an kini pada Pemikiran Kebersinambungan. Keempat pemikiran tersebut menurunkan perkembangan lima praksis kebijakan ekonomi secara berturut-turut: kebijakan ekonomi publik, ke pengaturan pembangunan ekonomi mix economic development, ke suatu strategi tambah nilai value added, ke inisiatif untuk menekan kesenjangan dengan cara melibatkan kelompok yang kurang beruntung, ke inisiatif perbaikan lingkungan dan kualitas hidup dan kini pada praksis kebijakan pembangunan berkesinambungan. Perkembangan teori dan praksis kebijakan ekonomi tersebut, sesuai dengan periodenya telah melahirkan sekuen perkembangan Fokus Strategi Perencanaan yaitu Comparative Advantage awal dekade 1970-an sampai akhir 1980-an, disusul dan overlap dengan Competitive Advantage akhir dekade 1970-an sampai awal 2000-an, kemudian disusul Collaborative Advantage pada awal 2000-an sampai sekarang. Sebagaimana dengan perkembangan pada fokus Kebijakan Ekonomi, pada fokus Strategi Perencanaan Ekonomi Wilayah juga menurunkan lima sekuen praksis Strategi Perencanaan yaitu: Master Planning awal-akhir 1960-an; Goals and Objectives Planning awal-akhir 1970-an; Structural Planning awal-akhir 1980-an; Strategic Planning akhir 1980-an sampai awal 1990-an; Integrated Strategic Planning awal-akhir 1990-an dan Multisector Integrated Strategic Planning mulai dari akhir 1990-an sampai sekarang. Stimson et al. 2006 sebelumnya mendiskusikan risalah ini secara garis besar, yang esensinya berkisar tidak terlepas dari persoalan-persolan tentang: 1 Kemampuan teori ekonomi neoklasik yang memberikan layanan sebagai dasar bagi teori pengembangan ekonomi wilayah, 2 Evaluasi terhadap kebijakan ekonomi dari pemikiran Keynesian dan dikaitkan dengan paradigma master planning, 3 Pergeseran menurut waktu dari fokus keunggulan komparatif ke keunggulan kompetitif dan kemudian ke keunggulan kolaboratif, 4 Berbagai proses globalisasi dan munculnya perhatian untuk mencapai pembangunan berkesinambungan, dan yang fokus pada self-help dalam mengejar pertumbuhan endogenik wilayah.

2.9.1 Dari Keunggulan Komparatif ke Keunggulan Kompetitif dan

Keunggulan Kolaboratif Berkaitan dengan perkembangan fokus Strategi Perencanaan Ekonomi Wilayah dalam konteks penelitian ini penting untuk dikaji lebih jauh. Menurut Stimson et al. 2006 ada 5 dekade yang diwakili oleh transformasi dari ‗the post industiral„ atau oleh fordist‟ era, sampai ke post industrial era dari new knowledge economy, telah terjadi perubahan fokus pada keunggulan komparatif ke fokus keunggulan kompetitif ketika moneterisme mulai mempengaruhi kebijakan ekonomi makro, dan kemudian ke keunggulan kolaboratif. Pergeseran itu dicerminkan dalam evolusi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah. Evolusi dari keungulan komparatif ke kompetitif dan akhirnya ke keunggulan kolaboratif perlu didiskusikan di sini untuk menggambarkan bagaimana satu instrumen dari strategi pengembangan ekonomi wilayah itu muncul dan karena itu lebih lanjut untuk menggambarkan lebih luas tentang proses pembuatan strateginya. Pandangan yang paling tua yaitu keunggulan komparatif dibangkitkan oleh teori ekonomi perdagangan internasional, yang menunjukkan bahwa suatu bangsa atau wilayah perlu atau harus melakukan spesialisasi dalam industri yang mempunyai keunggulan komparatif terutama resource endowment yang dimiliki sehingga punya keunggulan faktor biaya dalam melakukan suatu produksi barang- barang tertentu. Hingga pertengahan 1970-an fokus dari paradigma master planning, goal and objective planning¸ serta structural planning dalam melakukan kebijakan perencanaan telah mempertahankan prinsip-prinsip dari keunggulan komparatif ini. Kebijakan perencanaan utamanya diarahkan kepada pencapaian biaya-biaya produksi relatif paling murah dalam hal tenaga kerja, material, energi, pajak-pajak dan infrastruktur dibandingkan terhadap kompetitornya. Keunggulan komparatif berakar secara kuat pada ilmu ekonomi sisi suplay, yang menjelaskan bahwa barang dan jasa diproduksi dan surplusnya dijual seringkali dengan dukungan subsidi dan insentif untuk tujuan pasar internasional maupun domestik. Belakangan selama dekade 1980-an, melalui pengaruh penulis seperti Porter 1990 fokus strategi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah berubah ke arah keunggulan kompetitif yang menempatkan fokus yang sifatnya kurang kasat mata atau ‗value factor‟ yang di dalamnya termasuk faktor efisiensi, faktor kinerja dan atribut kualitatif seperti kualitas hidup, human and social capitals, dan trust Putnam, 1993; Fukuyama, 1995 ketimbang pada hanya menonjolkan faktor perbedaan biaya dari konsep keunggulan komparatif tersebut. Jadi keunggulan kompetitif penekanannya telah berubah ke arah pandangan bahwa wilayah perlu memfasilitasi berbagai kebijakan dan strategi pelaksanaan untuk mempromosikan keunggulan kompetitif yang dimilikinya. Kebutuhan itu tidak hanya terletak pada cost advantage terutama yang berkaitan dengan produktivitas dan kualitas barang dan jasa yang diperdagangkan tetapi juga pada competitive advantage yang bertalian dengan faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan pengembangan bisnis dan untuk meminimalisir berbagai resiko. Namun menurut Stimson et al., 2009 dewasa ini masih banyak pemerintahan terus mempromosikan perbedaan keunggulan komparartif comparative advantage dan menyediakan insentif untuk menarik kegiatan ekonomi agar mau masuk ke wilayahnya. Perilaku pemerintah seperti ini masih tetap terpaku pada kebijakan strategi keunggulan komparatif, bukan strategi keunggulan kompetitif. Strategi dari kedua macam keunggulan itu berarti masih berkutat pada penerapan secara kuat tentang strategi kalahmenang winlose scenario. Belakangan ini perencanaan dan pengembangan ekonomi telah mempromosikan berbagai strategi untuk mencari pengembangan dan mempromosikan keunggulan saling bekerjasama collaborative advantage, dimana berbagai perusahaan perlu berkolaborasi dalam berkompetisi sebagai suatu strategi keunggulan terutama melalui kemitraan dan aliansi partnership and alliance. Perkembangan itu mencerminkan sikap bisnis business attitude, dalam hal ini kalangan bisnis dan organisasi yang telah memiliki pertimbangan rivalnya sendiri-sendiri, sekarang secara aktif mencari mitra strategik dan beraliansi, maupun bentuk-bentuk kolaborasi lainnya untuk mengeksplorasi berbagai oportunitas dan secara sinergi dapat menginduksi benefit untuk memenangkan, mengkreasikan dan memperluas kesempatan bisnisnya. Dalam skema keunggunlan kolaboratif itu menurut Stimson dan Stough 2008 telah muncul keinginan untuk mencari kebersinambungan dan pertumbuhan ekonomi secara menangmenang winwin scenariao sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan ekonomi. Strategi ini adalah loosely refered bagi keunggulan kolaboratif. Strategi ini mewakili suatu paradigma yang belakangan muncul dalam strategi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah dan strategi ini tergantung pada suatu integrasi yang lebih besar, kerjasama cooperation, diantara berbagai kalangan bisnis, pemerintah dan komunitas. Ini juga merupakan bentuk new trust menuju kenunggulan kolaboratif. Bagaimana untuk mencapainya itu telah menjadi suatu elemen yang umum dalam pendekatan baru dan yang sedang berkembang dalam memformulasikan strategi perencanaan pembangunan wilayah dan implementasinya pada sejak pertengahan dekade 1990- an.

2.9.2 Globalisasi, Pembangunan Berkesinambungan dan Gagasan tentang

Regional Self-Help Terjadinya kelimpahan modal di pasar uang pada decade 1980-an diikuti dengan guncangan tahun 1987 dan resesi di tahun 1989, telah mengarah pada pergeseran paradigma yang berfokus pada pembangunan yang berkesinambungan. Pada dekade 1980-an dan memasuki dekade awal 1990-an, berbagai peristiwa telah terjadi secara paralel yang kemudian memberikan dampak nyata terhadap pemikiran ekonomi dan evolusi tentang the best practice dalam strategi perencanaan pembangunan wilayah. Ini termasuk dalam globalisasi, pembangunan berkesinambungan dan ekonomi rasionalisme. Pertama kali perlu melihat berbagai kekuatan interaksi bersama dan kemudian melakukan analisis imperatif dari semua pengaruh itu dalam strategi perencanaan pembangunan dan upaya-upaya yang berkaitan Stimson dan Stough, 2008. Pertama, bahwa globalisasi terus berlangsung mempunyai dampak utama dalam restrukturisasi perekonomian dari suatu wilayah yang bisa positif maupun merugikan terhadap kinerjanya ataupun kemungkinan di masa depan. Pada awal dekade 1990-an, dampak globalisasi telah mengubah wajah dan lokasi produksi, menyebabkan terjadinya spesilaisasi lanjut ataupun terjadinya klastering Dicken, 1992 dikutip Stimson dan Stough, 2008. Globalisasi telah menyebabkan munculnya masyarakat yang bersifat borderless disertai dengan bebasnya arus informasi, dan mobilitas dana antarnegara secara cepat. Adanya transparasi dana yang lebih baik dalam proses bisnis ataupun dalam pemerintahan. Berbagai perubahan tersebut mereduksi pentingnya nation state dan meningkatnya arah fokus ke berbagai kota maupun wilayah-wilayah utama sebagai pusat dan mesin pertumbuhan . Terutama, beberapa wilayah metropolitan dunia dipandang menjadi fokus dominan dari kekuatan-kekuatan yang mengendalikan pertumbuhan lapangan pekerjaan, investasi, dan distribusi jaringan tempat pasar global yang sedang berlangsung. Dengan berbagai perubahan itu maka muncul fokus baru kepada wilayah ketimbang fokus kepada perekonomian nasional, seperti pemerintah meletakkan penekanan pada kebutuhan akan keahlian dari tenaga kerja yaitu kualitas buruh dan penekanan pada technology driven investment. Sebagai tambahan bahwa dengan globalisasi tersebut, korporasi tranasional kemudian melakukan eksploitasi terhadap adanya perbedaan regional yang tercipta, baik oleh karena strategi keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif, seperti kebijakan-kebijakan proteksi dan intervensionist yang ditarik oleh pemerintah Stimson dan Stough, 2008. Kedua, adanya berbagai isu yang berhubungan dengan pembangunan berkesinambungan dan kualitas hidup mulai punya pengaruh nyata terhadap pengembangan ekonomi lokal dan kibijakan perencanaan. Tumbuhnya kesadaran akan lingkungan, masalah-masalah sosial, pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan telah mengarahkan kepada integrated strategic planning untuk pengembangan ekonomi pada dekade 1990, seperti Gambar 15 Stimson dan Stough, 2008. Selama dekade 1990-an dan memasuki dekade milenium baru, maka mulai muncul clash antara globalisasi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu-isu untuk melakukan pembangunan berkesinambungan dan peningkatan kualitas hidup. Fenomena itu mengarahkan munculnya paradigma baru dalam pemikiran ekonomi, yaitu bagaimana untuk mencapai pembangunan secara berkesinambungan. Untuk mencapai pembangunan berkesinambungan sekarang menghadapi tantangan yang mengerikan formidable bagi para pembuat kebijakan ekonomi regional karena mereka harus mencari formula strategi dalam suatu lingkungan yang baru dan cepat berubah, ketidakmenentuan juga berhubungan dengan pencapain pemeliharaan secara kontinyu, renewable dan berkaitan dengan sistem sosial serta lingkungan yang berkesinambungan pula. Ketiga, antara dekade 1980-1990-an juga merupakan abad ekonomi rasionalisme dengan penekanan pada kebijakan publik akan korporatisasi dan privatisasi terhadap aset-aset publik dan fungsi-fungsinya. Ideologi neoliberal yang menjadi batu loncatan bagi pengembangan ekonomi wilayah dan strategi perencanaan di berbagai negara difokuskan pada pandangan bahwa kebijakan sentral ataupun nasional harus mencari kondisi fasilitasi yang akan mampu mendorong pengembangan kapasitas dan kapabilitas lokal dalam tiap wilayah dengan mengandalkan pada strategi self-help. Hal itu mewakili pergeseran nyata pada penekanan proses-proses endogenik bagi pertumbuhan dan perkembangan wilayah. Jadi dari dekade 1990-an, peningkatan fokus pada integrated strategic planning sebagai suatu paradigma yang pervasive bagi pengembangan ekonomi telah mengarahkan suatu interest baru dalam klaster-klaster industri dan peranan dari smart and soft infrastructure dalam berbagai proses penyusunan perencanaan dan pengembangan ekonomi wilayah. Sebagiamana dibahas oleh Stimson et al. 2006 munculnya perhatian kepada keberkesinambungan telah mengarahkan pada evolusi dari suatu paradigm baru untuk memandang pertumbuhan dan pembangunan. Model-model pertumbuhan tradisional didasarkan pada premis-premis lama seperti: i tujuan maksimalisasi keuntungan, ii produksi masyarakat dan konsumsi yang merupakan sumberdaya intensif dan konsentrasi di pusat-pusat kota besar, iii teknologi berbasis energi fosil, iv pemusatan skala besar sistem industri, iv asumsi bahwa manusia dominan terhadap sumberdaya alam yang dianggap melimpah dan tak terbatas maupun terhadap lingkungan v maksimalisasi tujuan dari sosial benefit. Namun paradigma pembangunan berkesinambungan yang baru tersebut adalah didasarkan pada premis: i tujuan yang viable bagi pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan, ii konservasi sumberdaya dalam proses produksi melalui efisiensi energi, teknologi, dan penyebaran pusat-pusat produksi pada skala yang lebih lokal, iii suatu pergeseran ke arah energi alternatif, daur ulang dan konservasi sumberdaya yang dapat habis berpaham bahwa kebergantungan sumberdya yang dapat habis dan sering tidak dapat digantikan, dan bahwa konservasi merupakan suatu prinsip long term viability. Jadi perbaikan dalam kinerja regional mungkin tidak perlu didefinisikan ataupun dipandang dalam ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi saja sebagaimana definisi tipikal dalam ukuran pertumbuhan PDB perkapita. Lebih lanjut bahwa tidak ada pertumbuhan tidak sama dengan tidak ada pengembangan . Lebih merupakan pada apa yang dipandang sebagai yang menjadi penting oleh sasaran pembangunan berkesinambungan, walaupun pembangunan yang demikian ini harus meminimalkan biaya baik itu biaya ekonomi, sosial, maupun biaya lingkungan dan eksternalitas negatif, serta maksimalisasi manfaat. Ini melangsir isu-isu trade off yang menantang bagi para perencana maupun para pengambil kebijakan Stimson dan Stough, 2008.

2.9.3 Kebutuhan terhadap Adanya The New Growth Theory

Selama dekade 1980-an saat fokus paradigma kebijakan ekonomi telah bergeser ke moneterisme dan ekonomi rasionalisme, telah terjadi pergeseran dari keunggulan komparatif suatu wilayah ke keunggulan kompetitif, dan telah terjadi pergeseran strategi perencanaan dari Master Planing dan Struktural Planing kepada Pardigma Startegic Planning. Berkaitan dengan itu perlu konseptualisasi pertumbuhan ekonomi regional dan pembangunan telah mulai muncul apa yang sekarang dikenal dengan ‗New Growth Theory‘ Stimson dan Stough, 2008. Rees 1979 dikutip Stimson et al., 2006 mengusulkan bahwa teknologi merupakan pengendali utama dalam pembangunan ekonomi wilayah. Sejak itu hingga 2 sampai 3 dekade, ternyata literatur ilmu regional telah memperlihatkan bagaimana teknologi secara langsung banyak dikaitkan dengan konsep aglomerasi perekonomian dalam pengembangan ekonomi wilayah. Setelah periode tersebut banyak dikaitkan ke konsep baru yaitu konsep tentang kewirausahaan atau entrepreneurship lama yang dikemas kembali, kelembagaan dan leadership Stimson et al., 2006. Lucas, 1988 dan Romer 1990 telah mencari hubungan untuk menjelaskan perkembangan teknis technical progress dalam perannya sebagai generator perkembangan ekonomi yang merupakan pengaruh endogenik ketimbang eksogenus sebagai faktor yang diyakini oleh ekonom neoklasik dalam periode yang sangat lama. Erickson 1994 adalah diantaranya yang menunjukkan bahwa perubahan teknologi berkaitan dengan kekompetitifannya suatu wilayah. Selain itu, siklus produk, bila digabungkan kedalam spatial setting secara berbeda dalam suatu wilayah maka ada melalui 3 tahap yaitu: i tahap inovasi, ii tahap pertumbuhan, iii tahap standarisasi Stimson et al., 2006. Selama periode transisi, suatu produksi akan bergeser dari wilayah asal yang berbiaya tinggi ke wilayah dengan biaya produksi yang lebih rendah. Pergeseran tempat produksi ini seringkali bahkan harus merelokasi ke luar negeri, dengan cara mempercepat evolusi proses internasionalisasi dalam proses produksi. Dengan begitu beberapa wilayah merupakan innovator, sementara wilayah lainnya menjadi cabang pabriknya ataupun resipien dari inovasi tersebut, dan ini mungkin menjadi inovator melalui pertumbuhan endogenik. Markusen 1985 dalam Affandi, 2009 memperluas penerapan teori siklus produk dengan cara mengartikulasikan bagaimana siklus profit dan oligopoli dalam berbagai jenis organisasi dan pengembangan korporasi bisa melipatgandakan perbedaan pengembangan wilayah. Konsep tentang innovative mellieu harus diformulasikan untuk menjelaskan : how, when and why dari suatu generasi teknologi baru. Gagasan itu berhubungan kembali tentang pentingnya untuk melakukan aglomerasi perekonomian dan lokalisasi ekonomi yang telah dipandang lebih maju dalam pengembangan ruang-ruang industri baru Krugman, 1991, 2010a, dan 2010b. Fukuyama 1999 telah menunjukkan bahwa bukan hanya faktor ekonomi saja penentunya tetapi juga faktor-faktor nilai dan kultur – termasuk modal sosial dan trust — yang sangat penting bagi peningkatan aglomerasi teknologi tersebut. Fenomena pada Silicon Valley merupakan contoh nyata, di sana terjadi kolaborasi diantara berbagai pengusaha kecil dan menengah melalui jejaring dan aliansi serta hubungan dengan universitas, meniru suatu Research Development serta iklim bisnis entrepreneurships. Namun Ress 2001 dikutip Stimson et al., 2006 menunjukkan bahwa teori yang didasarkan pada teknologi untuk pengembangan ekonomi wilayah perlu mengintegrasikan peranan entrepreneurships dan leaderships utamanya sebagai faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah dan oleh karena itu link antara peranan perubahan teknologi dan leadership yang dapat diarahkan ke pertumbuhan wilayah industri baru dan untuk melakukan regenerasi terhadap industri yang lebih tua. Menurut Stimson dan Stough 2008 bahwa New Growth Theory Model memungkinkan dan mempunyai implikasi bahwa ada dua aspek penting yaitu: i efek aglomerasi skala ekonomi dan eksternalitas dan ii ketidaksempurnaan pasar, dengan mekanisme harga tidak perlu membangkitkan terhadap pilihan outcome melalui alokasi sumberdaya yang efisien. Selain itu juga bahwa proses akumulasi kapital dan perdagangan bebas tidak perlu mengarah ke konvergensi upah dan level harga diantara semua wilayah, dengan efek aglomerasi yang positif serta dengan konsentrasi aktivitas ke beberapa wilayah saja melalui efek self- enforcing yang menarik bagi investasi baru. Artinya yang paling penting, dalam konsep New Growth Theory memungkin terjadi aglomerasi maupun divergensi.

2.9.4 Implikasi dari The New Growth Theory dalam Penyusunan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah

Menurut Stimson dan Stough 2008, bahwa tantangan yang dihadapi oleh para perencana pengembangan ekonomi wilayah ke depan adalah bagaimana untuk merumuskan kebijakan yang akan memberikan respon kepada: i adanya dinamika global, dan ii adanya kekosongan kebijakan pemerintah yang mampu mempercepat adopsi kebijakan makro yang berorientasi untuk kepentingan regional. Pada kenyataanya sampai kini bahwa pada satu waktu wilayah diproteksi terhadap adanya serangan kompetisi dari luar, dan untuk beberapa konteks perekonomiannya bisa dimanipulasi oleh pemerintahan pusat. Tetapi bahwa kemampuannya adalah untuk berkompromi dalam mengatasinya sebagai ekonomi rasionalisme yang dikejar oleh pemerintah pusat telah meninggalkan banyak wilayah yang mengekang dirinya sendiri. Beberapa wilayah terus mencari dukungan dan mencari sumberdaya kepada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi agar mengarahkan perekonomian dan investasinya untuk merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun sayangnya banyak sekali wilayah yang gagal untuk memahami bahwa globalisasi telah meninggalkan pemerintahan yang