untuk merancang transformasi struktural perekonomian yang bertumpu pada sektor pertanian. Persamaan itu mendemonstrasikan bahwa pertumbuhan tingkat
pendapatan di sektor pertanian per kapita G_INCP_AGR secara positif nyata dipengaruhi oleh luasan hutan rakyat di hulu HR_HU dan di hilir HR_HI serta
hutan negara di hulu HN_HU walaupun pengaruh tersebut tertunda satu tahun kemudian
t-1. Peranan G_INCP_AGR ini merupakan refleksi dari kapasitas sektor pertanian yang harus mampu menopang
bolstering perkembangan agroindustri, yang telah menyumbang rata-rata 28 dari total PDRB Provinsi
Lampung selama ini lihat Affandi, 2009. Dari catatan statistik 2001-2008 BPS Prop. Lampung 2000-2009 diolah
pangsa produk material dari hasil hutan hanya sekitar 0,45 dari total PDRB. Artinya peranan hutan terhadap G_INCP_AGR tersebut yang paling mungkin
utamanya diatribusi oleh fungsi intrinsiknya, bukan oleh produk material hasil hutannya seperti kayu, getah, madu, sarang walet dll. Atas produk jasa
lingkungan ini seharusnya para petani pemilik HR memperoleh imbalan, tidak seharusnya terus-
menerus mengalami ―free-riding‖ oleh seluruh kelompok masyarakat penikmat rente gratis yang bergerak di sektor-sektor hilir seperti yang
terjadi selama ini. Mengenai relatif rendahnya peranan fungsi intrinsik HN dibandingkan HR
tersebut, tampaknya terletak pada property right-nya. Selama ini pemerintah
kurang mampu menyediakan biaya yang cukup seperti biaya monitoring, pengawasan,
law enforcement dll sehingga sumberdaya HN ini menjadi setara dengan
open access resource dan sekarang nasibnya menjadi seperti nasib barang publik
public good, yang umumnya mengalami tragedy of the common seperti yang dilukiskan dalam karya klasik Hardin 1968. Data dari Dinas Kehutanan
Provinsil Lampung 2005 dikutip Watala, 2008 menguatkan bukti adanya tragedy di wilayah ini, bahwa tutupan hutan negara di Provinsi Lampung telah
terdegradasi akut yaitu 80 di hutan lindung, 76 di hutan produksi tetap, 71 di hutan produksi terbatas, 70 di Taman Hutan Raya, 36 di Taman Nasional
Way Kambas 16 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Mengenai ada waktu tenggang 1 tahun
t-1 dari peranan hutan tersebut juga merupakan bukti tambahan dari atribusi peran fungsi intrinsik hutan
ketimbang peran hasil produk materialnya dalam peningkatan pendapatan per kapita di sektor pertanian G_INCP_AG tersebut. Fungsi regulasi dalam tata air,
kesetimbangan ekologis, penambat karbo dan penyedia amenitas lingkungan yang diperankan oleh hutan secara alamiah tidak mungkin memberikan respon seketika
terhadap hasil-hasil pertanian ataupun G_INCP_AG. Dalam persamaan ini pula ditemukan bahwa pengaruh
market tapping yang diproksi dengan kerapatan jaringan jalan beraspal per 10 ribu hektar untuk di wilayah hilir JL_HI tersebut
juga secara nyata berpangaruh terhadap G_INCP_AGR. Dalam konteks ini juga pengaruh rezim fiskal RZ sudah memberikan kontribusinya secara nyata.
Pada Pers. {4.10} juga dimaksudkan untuk mengekspresikan fenomena transformasi struktural perekonomian, dimana antarsektor juga saling jalin-
menjalin. Bahwa pertumbuhan pangsa sektor pertanian G_AGR_SH sangat nyata secara sistemik berelasi positif dengan G_INCP_AGR sekaligus nyata
berelasi negatif terhadap pertumbuhan pangsa semua sektor lainnya. Artinya bila pertumbuhan pendapatan per kapita di sektor pertanian meningkat maka akan
diiringi oleh G_AGR_SH. Sedangkan bila terjadi peningkatan pertumbuhan pendapatan perkapita dalam sektor industri G_INCP_IND, sektor pertambangan
G_INCP_MIN ataupun dalam sektor-sektor transportasi; komunikasi; konstruksi; perdagangan dan jasa-jasa G_INCP_OTH maka akan terjadi
penurunan G_AGR_SH. Artinya dengan Pers. {4.10} ini perancangan industrialisasi di Provinsi ini dapat dirumuskan sekaligus untuk merumuskan
transfer nilai ekonomi dari jasa lingkungan hutan kepada G_AGR_SH, yang untuk seterusnya ditransmisikan kepada sektor industri dan pertumbuhan ekonomi
G_ECONM.
5 Perancangan Pertumbuhan Ekonomi untuk Transformasi Struktural
Pertumbuhan ekonomi G_ECONM yang merupakan tema besar dalam setiap teori ekonomi juga dijadikan fokus utama dalam penelitian ini. Seperti
dapat dilihat pada Pers.{4.10} tampak bahwa pada akhirnya model transformasi struktural perekonomian dapat dirancang secara baik. Bahwa pertumbuhan ini
dapat secara sangat nyata positif ditentukan oleh pertumbuhan pangsa sektor industri G_IND_SH dan secara positif sangat nyata dilandasi oleh pertumbuhan
pendapatan per kapita di sektor petanian tahun sebelumnya G_INCP_AGR
t-1
tanpa memandang rezim fiskal RZ yang berlaku. Jika kondisi lain
ceteris-paribus, maka setiap terjadi kenaikan G_IND_SH sebesar 1 persen maka secara instan pada tahun yang sama akan diikuti oleh
kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,745 persen. Demikian juga jika terjadi kenaikan G_INCP_AGR pada tahun sebelumnya sebesar satu persen maka akan
terjadi kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,462 persen pada tahun berjalan. Dalam model ini diperlukan variabel endogen berupa G_INCP_AGR tersebut
dimaksudkan untuk meng- counter istilah lepas landas ala Rostow yang terkesan
bahwa sektor pertanian dapat ditinggalkan ketika suatu perekonomian menjadi sistem perekonomian indusri
. Bahwa dalam modernisasi sistem perekonomian menuju masyarakat industri, sektor pertanian memang pangsanya harus terus
berkurang, namun magnitude-nya tidak, melainkan harus terus tumbuh, apalagi
pada sistem perekonomian yang pada awalnya berkembang dari pertanian dan ekstraksi sumberdaya alam seperti Indonesia.
Artinya bersama dengan pecapaian pertumbuhan ekonomi tersebut maka masyarakatnya harus semakin beralih kepada sektor-sektor yang memerlukan
knowledge capital relatif besar sekaligus semakin banyak yang meninggalkan sektor-sektor primer yang umumnya telah mengalami skala pengembalian yang
semakin menurun DRS: decreasing return to scale beralih ke sektor-sektor
industri mauapu jasa-jasa. Dengan begitu, produktivitas per tenaga kerja di sektor-sektor pertanian akan meningkat, yang berarti juga diikuti oleh
pertumbuhan pendapatan per kapita di sektor ini, yang dapat mencukupi kebutuhan pangan seluruh masyarakat di wilayah termasuk untuk kecupkan
pangan yang berkerja di sektor-sektor industri dan jasa-jasa yang telah bertransformasi tadi.
Pertumbuhan ekonomi merupakan persoalan utama. Banyak sekali suatu sistem perekonomian yang lulus dari persoalan stagnasi pertumbuhan ekonomi,
namun persoalan yang serius yang ke dua dalam pembangunan yang sangat pelik adalah masalah distribusi. Umumnya kelompok masyarakat yang awalnya sudah
kuat malah yang mampu mengakses hasil rente bersama tersebut. Karena pertumbuhan ekonomi bisa saja secara agregat relatif tinggi, namun kesenjangan
antarwaktu ataupun antarwilayah interspatial bisa semakin melebar seperti
dikotomi desa terhadap kota ataupun hulu terhadap hilir.
Sejatinya adanya fenomena tentang makin melebarnya kesenjangan tersebut merupakan indikator dari
market failure. Karena kesenjangan merupakan suatu persoalan
public bad, merupakan eksternalitas negatif dari suatu situasi kerja bersama-sama
collective work di dalam suatu wilayah yurisdiksi tertentu. Oleh karena kesenjangan bukan masalah privat yang dapat eksklusifkan, maka
pemerintah sebagai otoritas pemegang social contract yang harus mengatasi
persoalan tersebut. Namun itu semua itu bergantung pada political will dari
otoritas publik tersebut, yang seringkali juga dikendalikan oleh para teknokra ataupun
interest para perancang kebijakan publik yang dipekerjakan. Seringkali pula
interest tersebut berakar pada ideologi yang sangat mengendalikan.
5.4.2 Strategi Pemerataan Tingkat Kesejahteraan 1 Indeks Nilai Tukar Petani sebagai Piranti Pemerataan Hasil Pembangunan
Sekalipun pertumbuhan ekonomi merupakan persoalan ekonomi yang sangat penting tersebut dapat dicapai, tetapi dalam perancangan praksis
pembangunan wilayah seperti ini belum cukup, mengingat pertumbuhan ekonomi sifatnya antidistribusi, siapa yang paling etis untuk menerima benefit dari
akumulasi kapital tersebut tidak pernah dapat dispesifikasi. Karena itu, dalam pengembangan praksis di sini masih memerlukan suatu jalur yang dapat
memfasilitasi upaya peme rataan ―kue‖ pembangunan tersebut secara adil. Untuk
motif itu, maka dipilih indek pembangunan manusia HDI. Namun karena HDI merupakan suatu indeks komposit dari 3 indeks yaitu indeks konsumsi, indeks
kesehatan dan indeks pengetahuan, maka indeks konsumsi menjadi ujung tombak dari ketiga indeks ini.
Dengan meningkatnya, konsumsi maka diharapkan dapat meningkatan kesehatan dan untuk selanjutnya mampu mengakses pengetahuan, yang
merupakan input kapital untuk segala macam kegiatan dalam berproduksi yang tidak pernah mengalami penyusutan pula. Namun untuk dapat meningkatkan
konsumsi, maka suatu kelompok masyarakat harus memiliki daya beli yang cukup. Mengingat sebagian besar masyarakat di Provinsi Lampung merupakan
petani, dan juga karena kontribusinya yang nyata sebagai tumpuan dalam memasok bahan baku maupun pangan murah maupun bahan baku bagi
pertumbuhan industri tersebut, maka untuk dapat melakukan transmisi secara adil ―kue‖ hasil pembangunan wilayah tersebut diperlukan satu jalur transmisi
sebelumnya, yaitu nilai tukar petani NTP. Jumlah petani yang relatif besar yang juga merupakan partisipan terbesar yang telah mencurahkan segala asset yang
dimiliki untuk pembangunan tesebut juga dapat digunakan sebagai instrumen bagi keefektifan proses distribusi
―kue‖pembangunan tersebut. Tetapi perlu ditekankan di sini bahwa pemilihan NTP sebagai instrumen
pemerataan tersebut bukanlah suatu bentuk charity, melainkan suatu persoalan
etika. Bahwa akumulasi kapital yang diekspresikan dalam bentuk pertumbuhan ekonomi tersebut bukan hanya andil dari para industriawan tetapi juga andil dari
para petani ketika menopang bahan baku industri, pangan murah, maupun dalam penyediaan jasa lingkungan utamanya dari hutan rakyat yang belum memperoleh
imbal jasa sama sekali di wilayah ini. Kecuali itu, para petani layak untuk memperoleh kompensasi ketika harga-harga naik terjadi inflasi akibat para
Entreprenuer melakukan investasi dengan melakukan eksploitasi terhadap segala sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat untuk memperoleh
keuntungan di pasar. Kompensasi itu diperlukan demi untuk menjaga kemampuan petani dalam konsumsi agar tidak jatuh ke level perikehidupan subsisten.
Dengan kompensasi tersebut sebenarnya bagi kalangan wirausahawan itu sendiri berarti juga demi kebersinambungan untuk memperoleh keuntungan
berikutnya. Ketika konsumsi kalangan petani meningkat, keuntungan akan diperoleh dalam jangka pendek oleh kalangan wirausahawan kapitalis melalui
pembelian consumer good yang telah mereka produksi, selanjutnya akan
meningkatkan kesehatan dan akses terhadap pengetahuan bagi para petani dan keturunannya. Dengan meningkatnya pengetahuan, berarti tersedia
labor augmented by knowledge yang merupakan sumberdaya yang siap dieksploitasi
kembali oleh kalangan wirausahawan kapitalis tersebut. Begitu seterusnya sehingga membentuk rantai kebersiambungan pertumbuhan ekonomi secara
endogenik. Karena itu, dipandang fair bila digunakan NTP sebagai piranti untuk
mendistribusikan rente ekonomi yang telah dicapai secara bersama dalam sistem perekonomian di wilayah provinsi ini.
Seperti dapat diperiksa pada Pers. {4.11}, bahwa NTP perbandingan indeks harga yang dapat diterima petani terhadap harga yang harus dibayar petani
secara sangat nyata dapat ditingkatkan dengan pertumbuhan ekonomi walaupun harus menunggu 1 tahun kemudian
t-1. Penundaan itu sebenarnya berkaitan dengan mekanisme harga atau upah kaku Mankiw, 2007, suatu fenomena
ekonomi dimana harga-harga memerlukan waktu dalam menyesuaikan terhadap adanya guncangan
shock seperti pertumbuhan ekonomi tersebut. Dalam persamaan ini pula ditunjukkan bahwa rezim fiskal RZ telah berperan sangat
penting dalam meningkatkan NTP, yaitu ada peningkatan sebesar 26,6 poin dibandingkan sebelum disentralisasi. Klimaks dari perancangan praksis ini adalah
pada peranan NTP sebagai jalur transmisi benefit dari akumulasi kapital dari hasil eksploitasi semua bentuk sumberdaya wilayah yang tersedia di Provinsi Lampung.
2 Capaian HDI sebagai Fungsi dari Nilai Tukar Petani
Seperti dapat dilihat pada Pers. {4.12}, bahwa NTP secara positif nyata meningkatkan HDI sebesar 0,0510 ketika NTP meningkat 1 poin. Namun secara
eksogenus, jika kemiskinan pedesaan R_POOR meningkat 1, maka akan secara nyata dapat memerosotkan HDI sebesar 0,2692 poin. Kecuali itu, regim
desentralisasi fiskal juga berkontribusi positif secara sangat nyata terhadap HDI yaitu rata-rata sebesar 2,2067 poin lebih tinggi dibandingkan sebelum
desentralisasi.
5.5 Kerangka Kebijakan Fiskal sebagai Piranti Peningktan Kesejahteraan
Masyarakat 5.5.1 Perkembangan Kinerja Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung
Fiskal merupakan piranti utama yang dimiliki oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan publik yang telah diperoleh melalui
social contract. Sebagai otoritas yang memiliki kewenangan secara paksa
coercive untuk melakukan pemungutan pajak maupun pengalokasinya dalam bentuk belanja
daerah, maka Pemerintah Provinsi Lampung punya kewajiban utama dalam membina dan mengembangkan faktor endogenik pembangunan ekonomi wilayah
yang dimiliki, apalagi pada saat tampak gejala terjadinya market failure berupa
distorsi pendistribusian manfaat rente bersama hasil-hasil pembangunan ekonomi wilayah seperti selama ini. Adapun kinerja fiskal Pemerintah Provinsi Lampung
secara deskriptif disajikan pada Tabel 23. Perkembangan kinerja fiskal ini disajikan ilustrasi pada Gambar 29.
Tabel 23. Kinerja Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung Periode 1996-2008
Tahun Jumlah
Penduduk [TAX]
[S_APRT] [S_PUBL]
[S_SOC]
Juta -----------------------------Rp Juta10Ribu Penduduk-------------------------
1996 6,38
93,31 38,36
34,51 23,70
1997 6,44
89,63 44,68
37,86 18,90
1998 6,51
60,91 50,35
37,14 3,50
1999 6,58
80,74 66,50
46,70 2,93
2000 6,66
110,26 215,90
47,85 2,85
2001 6,72
185,76 190,10
67,00 1,15
2002 6,79
309,66 173,28
90,95 79,63
2003 6,85
409,35 196,52
507,47 122,62
2004 6,92
554,34 308,54
305,45 0,00
2005 7,12
726,33 345,93
354,29 126,94
2006 7,21
794,88 400,73
759,65 199,64
2007 7,29
862,92 501,15
877,24 178,83
2008 7,39
1,144,33 568,81
773,43 384,26
Rataan= 6,84
417,11 238,53
303,04 88,07
Sd= 0,33
364,71 176,14
322,56 114,41
Sumber: Statistik Keuangan Daerah BPS Provinsi Lampung, 1997-2009; diolah Keterangan: [TAX]= Pendapatan pajak dan retribusi daerah; [S_APPT]= belanja pegawai, [S_PUB]=belanja
publik; [S_SOC]= belanja bantuan sosial; semua dinyatakan dalam Rp Juta10 Ribu penduduk
Penerimaan pajak dan retribusi daerah per 10 ribu penduduk [TAX] terus mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun 1996 sampai 2008.
Pola peningkatan ini juga serupa untuk pengeluaran belanja pegawai [S_APRT]. Sedangkan untuk pengeluaran belanja bantuan sosial per 10 ribu
penduduk [S_SOC] menurun pada periode tahun 1996 sampai 2000, kemudian meningkat sampai tahun 2008 kecuali di tahun 2004.
Gambar 29. Perkembangan Kinerja Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung Periode 1996-2008
Dalam kenyataaannya, peningkatan [TAX] setiap tahun bisa tidak terkait dengan pertumbuhan ekonomi, baik ketika terjadi akselerasi pertumbuhan
ekonomi, stagnan ataupun ketika terjadi kontraksi. Artinya bertambah ataupun tidak kegiatan ekonomi wilayah, pemungutan pajak dan retribusi terus dilakukan.
Fenomena ini terjadi karena layanan publik utamanya layanan administratif selalu disediakan oleh pemerintah lokal seperti ditunjukkan oleh [S_APRT] yang terus
meningkat. Namun tidaklah demikian halnya dengan investasi publik [S_PUBL] ataupun bantuan batuan sosial [S_SOC] sekalipun memiliki
trend meningkat tetapi cukup memberikan pola yang cukup bergejolak. Artinya pengeluaran untuk
pos investasi penyalurannya masih bukan merupakan prioritas utama. Walaupun begitu belanja bantuan sosial [S_SOC] telah meningkat pesat di tahun 2008
hampir 70 dari total belanja pegawai [S_APRT]. Karena itu benefit dari belanja pemeritah Provinsi Lampung ini yang
sebagian diperoleh dari pumungutan pajak daerah dan retribusi daerah ini menarik untuk dievaluasi, utamanya dikaitkan dengan pengembangan kinerja
barang publik public good khususnya yang sangat diperlukan bagi
pengembangan Entrepreneurship di wilayah ini, yaitu kinerja Leadership
maupun Institution. Lebih lanjut evaluasi dampak perilaku fiskal dari
Pemerintah Provinsi Lampung ini perlu dikaitkan dengan kinerja kedua macam barang publik tersebut. Lebih lanjut perilaku fiskal tersebut digunakan untuk
simulasi kebijakan untuk peningkatan kesejahteraan melalui pengembangan faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah di Provinsi Lampung.
5.5.2 Model Piranti Fiskal untuk Stimulasi Kebijakan Pengembangan Faktor
Endogenik Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Untuk melakukan analisis terhadap kebijakan publik ini, maka telah dikembangkan 4 model persamaan untuk mengetahui relasi kinerja antara
pendapatan tingkat pajak retribusi daerah TAX dengan alokasi belanja aparatur [S_APPT], belanja publik [S_PUBL] dan belanja bantuan sosial
[S_SOC] terhadap kinerja Leadership dan Institution. Dalam pemodelan ini
kinerja L juga diproksi dengan kepadatan koperasi10 ribu penduduk di
subwilayah hulu [KOP_HU] dan di subwilayah hilir [KOP_HI]. Sedangkan kinerja
I diproksi dengan intensitas kejahatan10 ribu penduduk di subwilayah hulu [KJ_HU] dan di subwilayah hilir [KJ_HI]. Lebih lanjut perlu dikembangkan
skenario beberapa alokasi keempat bentuk perilaku fiskal tersebut untuk memberikan stimulasi berkembangnya kinerja
Entreprenuership utamanya bagi kalangan industriawan kecil [IKC]. Dipilihnya untuk kalangan ini tidak lain
karena kalangan ini telah terbukti mampu menjadi penghela transformasi struktural perekonomian yang kemudian menjadi motor pertumbuhan ekonomi
wilayah di Provinsi Lampung, seperti yang dapat diperiksa pada Pers.{4.9} dan Pers. {4.12}.
Hasil pemodelan perilaku fiskal diekspresikan sebagai Pers. {4.13} sampai Pers. {4.16}. Hasil analisis regresi keempat model perilaku fiskal ini terhadap
kinerja Leadership dan Institution di wilayah Provinsi Lampung disajikan pada
Lampiran Tabel 16 sampai 19. Secara ringkas disajikan pada Tabel 24. Sebagaimana dapat diperiksa dalam Pers. {1}, bahwa bila tidak ada
perubahan dalam target penerimaan pajak-retribusi daerah [TAX] maupun tidak ada perubahan dalam ketiga pos alokasi anggaran [S_APRT]; [S_PUBL] dan
[S_SOC], maka kinerja L di subwilayah hulu atau [KOP_HU] akan konstan pada
agka 2,56 buah10 ribu penduduk. Bila alokasi anggaran belanja publik [S_PUBL] ditingkatkan Rp1juta10 ribu orang =Rp100 per orang akan
menguatkan kinerja L, yaitu yang diindikasikan oleh meningkatnya [KOP_HU]
secara rata-rata 0,0145 buah10ribu penduduk. Tapi sebaliknya [TAX] pada tahun
sebelumnya ditingkatkan sebesar Rp1juta10 ribu orang di subwilayah hulu ini, maka akan menurunkan secara nyata kekuatan
L di tahun berjalan t-1, seperti yang diindikasikan penurunan [KOP_HU] secara rata-rata sebesar 0,0384 buah.
Tabel 24. Model Perilaku Piranti Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung dalam Kaitannya
dengan Kinerja Leadership dan Keefektifan Institution
No. Persamaan
Bentuk Relasi
R2 adj
P- value
{4.13} .
Kepadatan Koperasi10
Penduduk di Hulu
[KOP_HU]
t
= 2,56 - 0,0384[TAX]
t-1
+ 0,0279[S_APRT]
t-1
+ 0,0145[S_PUBL]
t
+ 0,0065 [S_SOC]
t
+ 7,09[RZ] 83,7
0,049
{4.14} Kepadatan
Koperasi10 Penduduk di
Hilir [KOP_HI]
t
= 3,34 - 0,0317[TAX]
t-1
+ 0,0184[S_APRT]
t-1
+ 0,0122[S_PUBL]
t
+ 0,00890 [S_SOC]
t
+ 6,28[RZ] 83,1
0,051
{4.15} Intensitas
Kejahatan10 Ribu Peduduk
di Hulu [KJ_HUI]
t
= - 0,030 + 0,0106 [TAX]
t
+ 0,00673[S_APRT]
t
- 0,00106[S_PUBL]
t
-0,0158 [S_SOC]
t
- 4,03[RZ] 88,4
0,001
{4.16} Intensitas
Kejahatan10 Ribu Peduduk
di Hilir [KJ_HI]
t
= 1,93 + 0,0393[TAX]
t
+ 0,0025[S_APRT]
t
- 0,00300[S_PUBL]
t
- 0,0657[S_SOC]
t
-14[RZ] 47,1
0,084
Sumber: Hasil penelitian 2011 Keterangan: [TAX]= pajak retribusi daerah, [S_APPT]= belanja pegawai, [S-PUB]= belanja publik,
[S_SOC]= belanja bantuan sosial; [KOP]=kerapatn koperasi, [KJ]=intensitas kejahatan; HU=hulu; HI=hilir =sangat nyata pada taraf 1, =nyata pada taraf 5; =nyata pada taraf 10
Fenomena yang serupa tentang perilaku komponen fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung juga dapat ditunjukkan pada kinerja
L di subwilayah hilir. Seperti dapat diperiksa pada Pers.{2} bahwa dalam kondisi yang di-
certeris- parisbus-kan seperti di atas secara berturut-turut perubahan komponen fiskal
seperti di subwilayah hulu tersebut maka akan memberi respon terhadap kinerja L di subwilayah hilir yang serupa juga yaitu berturut-turut berupa: jumlah yang
konstan sebanyak 3,34 peningkatan secara rata-rata 0,0122 dan diikuti oleh penurunan secara rata-rata sebanyak 0,0317 buah [KOP_HI]. Namun perbedaan
regim RZ tidak seperti di subwilayah hulu, di subwilayah hilir ini secara efektif nyata telah meningkatkan kekuatan
L seperti diindikasikan oleh perbedaan [KOP_HI] yang positif sebesar 6,28 buah10ribu penduduk dibandingkan sebelum
regim desentralisasi fiskal berlangsung.
Perbedaan keefektifan regim terhadap penguatan L dalam fiscal
decentralization setting antara kedua subwilayah tersebut nampaknya antara lain bertalian dengan kinerja aglomerasi industri pengolahan yang lebih kuat di
subwilayah hilir lihat Affandi, 2009, dimana interaksi antarorang atau antarpelaku ekonomi dapat membangkitkan
incremental daily knowledge maupun knowledge spill over sebagai turunan dari proses aglomerasi kegiatan
perekonomian tersebut menjadi lebih intensif. Dengan begitu peningkatan [KOP_HI] yang hanya sebesar 6,28 buah10ribu penduduk tersebut sudah
menunjukkan perbedaan yang nyata di antara 2 regim fiskal tadi, sedangkan peningkatan [KOP_HU] sampai sebesar 7,09 buah belum berbeda nyata. Dengan
kata lain, kinerja L lebih efektif di subwilayah hilir sebagai dampak dari
perkembangan aglomerasi kegiatan ekonomi di subwilayah hilir tersebut. Mungkin pula perbedaan keefektifan tersebut juga diatribusi atau bersumber dari
perbedaan perilaku masyarakat yang berbasis pada perbedaan kultur di kedua subwilayah tersebut. Namun hal ini di luar kajian dari disertasi ini karena itu perlu
penelitian lebih lanjut secara tersendiri. Adapun pengaruh fungsi fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung
terhadap keefektifan I
nstitution di kedua subwilayah ini dapat diungkapkan dalam model Pers.{3} dan Pers.{4}. Jika intensitas kejahatan digunakan sebagai
pewakil surrogate bagi keefektifan I, dengan tiap peningkatan target perolehan
[TAX] maka akan menurunkan keefektifan I seperti diindikasikan oleh
peningkatan intensitas kejahatan secara instan di tahun yang sama di subwilayah hulu [KJ_HU] dan hilir [KJ_HI] secara sangat nyata masing-masing sebesar
0,0106 dan 0,0393 buah koperasi per 10 ribu penduduk jika kondisi-kondisi lain dalam
ceteris-paribus. Dalam konteks ini, pajak-retribusi daerah [TAX] sebagai instrumen fiskal
dapat bertindak sebagai pisau bermata dua, di satu sisi diperlukan untuk pembiyaan investasi publik, tetapi di sisi lain dapat menekan aktifitas
perekonomian akibat penurunan kinerja industri kecil. Bila sisi mata ke dua yang mengiris, maka akan berujung pada penurunan kinerja
Entreprenuer di kalangan IKC, meningkatkan pengangguran, merangsang kriminalitas diikuti dengan
berbagai macam penyakit sosial masyarakat lainnya, yang akhirnya bermuara
pada buruknya kinerja I di suatu wilayah. Fakta tentang adanya respon berupa
peningkatan intensitas kejahatan di subwilayah hulu yang lebih besar dari pada di hilir akibat peningkatan tingkat [TAX] dalam jumlah yang sama tersebut di atas
dapat menguatkan argumentasi ini. Di subwilayah hilir, aglomerasi kegiatan perekonomian jauh lebih kuat
lihat Affandi, 2009 sehingga populasi IKC jauh lebih besar. Padahal IKC justru merupakan penyerap utama tenaga kerja yang ditolak oleh sektor primer sektor
pertanian yang produktivitas marginalnya sudah sangat menurun bahkan negatif. Jika IKC ini banyak yang gulung tikar akibat pengenaan pajak tadi, maka dampak
negatifnya berupa peningkatan intensitas KJ melalui peningkatan pengangguran akan lebih berat terjadinya di subwilayah hilir.
Selain itu, terhadap peningkatan belanja aparatur [S_APRT] juga memperlihatkan respon yang berbeda terhadap kinerja
I antara kedua subwilayah di Provinsi Lampung. Jika faktor-faktor lain dipertahankan tetap, maka setiap
peningkatan [S_APRT] sebesar Rp1 juta per 10 ribu penduduk, maka akan terjadi peningkatan [KJ_HU] secara nyata sebesar 0,00673 dan secara tidak nyata sebesar
0,0025 [KJ_HI]. Namun sebalikya, dengan setiap peningkatan belanja publik S_PUBL sebesar Rp1juta10 ribu orang maka akan secara nyata diikuti dengan
penurunan intensitas di subwilayah hulu [KJ_HU] sebesar 0,0016 per 10 ribu penduduk, tetapi tidak secara nyata terhadap intensitas kejahatan di subwilayah
hilir [KJ_HI]. Alokasi belanja publik khususnya di subwilayah hulu tersebut nampaknya
dapat menjadi insentif bagi peningkatan keamanan melalui perbaikan kualitas layanan publik termasuk penyediaan sarana maupun prasaran, yang kemudian
menjadi stimulasi bagi peningkatan kesempatan kerja, menurunkan pengangguran dan akhirnya menurunkan berbagai persoalan sosial yang sering beriringan
dengan kriminalitas. Mekanisme penurunan intensitas kejahatan seperti ini nampaknya juga
dapat terjadi oleh peningkatan belanja batuan sosial [S_SOC] utamanya di sub wilayah hulu. Jika kondisi-kondisi lain dipertahankan tetap, maka untuk setiap
peningkatan [S_SOC] sebesar Rp 1 Juta10 ribu penduduk akan secara nyata menurunkan sebesar 0.0657 [KJ_HI] tetapi tidak secara nyata [KJ_HU] yaitu
hanya 0,0158 kejadian per 10 ribu penduduk. Lebih lanjut, hasil disentralisasi fiskal sudah cukup menggembirakan pada upaya peningkatan kinerja
I di kedua subwilayah Provinsi Lampung ini.
Sebagaimana diindikasikan pada Pers. {4.15} bahwa di subwilayah hulu telah terjadi penurunan intensitas kejahatan secara nyata sebesar 4.03 kejadian per
10 ribu penduduk pada subwilayah hulu dibandingkan sebelum desentralisasi berlangsung. Penurunan tersebut lebih pesat dan secara statistik sangat nyata di
subwilayah hilir, yaitu turun secara rata-rata 14,0 kejadian per 10 ribu penduduk dibandingkan sebelum desentralisasi berlangsung.
5.5.3 Dampak Alokasi Fiskal dan Skema Reforestasi terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Hasil simulasi kebijakan fiskal Pemerintah Provinsi Lampung terhadap [G_ECONM], [NTP] dan [HDI] dibawah skema tanpa dan dengan reforestasi 100
ribu ha disajikan pada Tabel 25, sedangkan untuk skema reforestasi sampai 250 ribu ha disajikan ada Tabel 26. Bila diperbandingkan terhadap kondisi tanpa
skema reforestasi dan sekaligus tanpa peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah provinsi [TAX] atau
Skenario No.1 atau Simbol A.1.a. atau Skenario BAU business as usal, maka dengan kedua tabel tersebut dapat diperiksa bahwa
secara umum makin luas reforestasi makin kuat peranannya dalam mencegah korbanan atau penurunan [HDI] yang disebabkan oleh peningkatan penerimaan
pajak dan retribusi daerah provinsi [TAX]. Fakta ini juga merupakan bukti peranan fungsi intrinsik hutan bagi kesejahteraan masyarakat.
Klaim pernanan fungsi intrinsik tersebut dipandang absah mengingat kontribusi produk material hasil-hasil hutan baik kayu maupun nir kayu tidak
diperhitungkan sebagai penyumbang pendapatan masyarakat, melainkan hanya dengan memperhitungkan luasan keempat kelompok hutannya saja, yang mana
dengan proksi luasan hutan tersebut secara implisit mencerminkan adanya fungsi jasa pengaturan hidrologis, jasa keanekaragaman hayati, jasa ekologis kawasan,
jasa sekuestrasi karbon maupun jasa amenitas lingkungan yang dapat dibangkitkan semakin besar dengan semakin luas keempat kelompok hutan
tersebut. Fakta ini mudah difahami bila merujuk kembali pada Pers.{4.8} sampai
Pers. {4.13}, yang secara simultan menunjukan hubungan yang searah antara luasan kepada [G_INCP_AGR], [G_IND_SH], [G_ECONM], [NTP] dan [HDI].
Temuan ini juga menjadi perangsang penelitian lebih lanjut untuk mengkaji nilai ekonomi dari kelima bentuk jasa lingkungan yang dapat dibangkitkan oleh fungsi
intrinsik hutan dari masing-masing luasan kelompok hutan tersebut dikaitkan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita sektor pertanian [G_INCP_AGR],
pertumbuhan pangsa industri [G_IND_SH], pertumbuhan ekonomi [G_ECONM], nilai tukar petani [NTP] dan kinerja [HDI].
Selain untuk memeriksa pengaruh skema reforestasi tersebut, simulasi ini juga dimaksudkan untuk memeriksa atau mengevaluasi dampak alokasi fiskal
Pemerintah Provinsi Lampung khususnya pengaruh dari peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah [TAX] beserta cara alokasi pembelanjaannya. Dengan
ini, maka dapat dijadikan instrumen otoritas lokal dalam menstimulasi pemerataan hasil-hasil pembangunan dengan cara melindugi daya beli petani, yang merupakan
partisipan pembangunan terbesar dari sisi jumlahnya di provisi ini yang sekaligus juga merupakan cara untuk mempertahankan capaian [HDI] yang dapat menjadi
determinan penting bagi pertumbuhan ekonomi secara endogenik yang berkesinambungan. Kecuali itu, hasil simulasi ini juga dapat digunakan sebagai
pegangan bagi otoritas Provinsi Lampung dalam upaya meningkatkan PAD pendapatan asli daerah melalui peningkatan [TAX] khususnya ketika target
capaian atau skema reforestasi telah berhasil menjadi hutan dewasa dengan luasan dan dengan distribusi seperti disajikan dalam Tabel 25 dan 26 tersebut. Untuk itu
maka evaluasi dirinci menurut target skema luasan reforestasi seperti dirinci pada bagian berikut.
1
Tanpa Skema Reforestasi
Dampak kebijakan fiskal Provinsi Lampung dibawah skenario tanpa dan dengan skema reforestasi sampai 100 ribu ha disajikan pada Tabel 25. Perlu
ditegaskan di sini bahwa kriterium yang digunakan untuk evaluasi di disini hanyalah kreterium tunggal yaitu [NTP]. Suatu skenario atau pilihan kebijakan
fiskal dipandang sebagai suatu kebijakan yang adil, etis dan berkesinambugan jika pilihan tersebut memberikan [NTP] 100. Dengan kriterium ini kadangkala juga
dapat menciderai pertumbuhan ekonomi maupun capaian [HDI].
Tabel 25. Dampak Skema Reforestasi 0 dan 100 Ribu ha dan Alokasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi, NTP dan HDI
No. Sken
ario Skema
Reforestasi Alokasi
Belanja dari Tambahan
[TAX] Simbol
Tambhn Pendap
atan dari
[TAX] [G_ECONM]
[NTP] [HDI]
Hasil Simulasi
Delta Hasil
Simulasi Delta
Hasil Simulasi
Delta 1
A .
Tanpa Reforesta
si Alokasi 1:
0[S_APRT] 100[S_PUB]
0[S_SOC] A.1.a
5,26 105,77
70,96 2
A.1.b 5
4,64 -12
96,73 -9
69,51 -2
3 A.1.c
10 4,02
-24 87,70
-17 68,06
-4 4
A.1.d 15
3,40 -35
78,66 -26
66,61 -6
5 A.1.e
20 2,78
-47 69,62
-34 65,16
-8 6
A.1.f 30
1,54 -71
51,55 -51
62,50 -12
7 Alokasi 2:
0[S_APRT] 75[S_PUBL]
25[S_SOC] A.2.a
5,26 105,77
70,96 8
A.2.b 5
4,88 -7
100,22 -5
68,79 -3
9 A.2.c
10 4,50
-14 94,67
-10 68,04
-4 10
A.2.d 15
4,12 -22
89,13 -16
67,30 -5
11 A.2.e
20 3,74
-29 83,58
-21 66,56
-6 12
A.2.f 30
2,98 -43
72,49 -31
65,07 -8
13 B 100 Ribu
ha secara Proporsio
nal di 4 Kelompok
Hutan
Alokasi 1: 0[S_APRT]
100[S_PUB ] 0[S_SOC]
B.1.a 5,45
4 108,54
3 72.32
2 14
B.1.b 5
4,83 -8
99,50 -6
71.10 15
B.1.c 10
4,21 -20
90,47 -14
68,69 -2
16 B.1.d
15 3,59
-32 81,43
-23 67,48
-3 17
B.1.e 20
2.97 -44
72,40 -32
66,27 -5
18 B.1.f
30 1,73
-67 54,32
-49 65,06
-8 19
Alokasi 2: 0[S_APRT]
75[S_PUBL] 25[S_SOC]
B.2.a 5,45
4 108,54
3 72.32
2 20
B.2.b 5
5,07 -4
102,99 -3
71.57 1
21 B.2.c
10 4,69
-11 97,44
-8 70.83
22 B.2.d
15 4,31
-18 91,90
-13 70.09
-1 23
B.2.e 20
3,93 -25
86,35 -18
69.34 -2
24 B.2.f
30 3,17
-40 75,26
-29 67.85
-4 25
C 100 Ribu
ha untuk [HR_HU]
2X, [HR_HI]
3X sisanya
untuk [HN]
Alokasi 1: 0[S_APRT]
100[S_PUB L] 0[S_SOC]
C.1.a 5,72
9 112,53
6 76.33
8 26
C.1.b 5
5,10 -3
103,49 -2
75.12 6
27 C.1.c
10 4,48
-15 94,46
-11 73.90
4 28
C.1.d 15
3,86 -27
85.42 -19
72.69 2
29 C.1.e
20 3,24
-38 76,38
-28 71.48
1 30
C.1.f 30
2,01 -62
58,31 -45
69.06 -3
31 Alokasi 2:
0[S_APRT] 75[S_PUBL]
25[S_SOC] C.2.a
5,72 9
112,53 6
76.33 8
32 C.2.b
5 5,34
2 106,98
1 75.58
7 33
C.2.c 10
4,96 -6
101,43 -4
74.48 5
34 C.2.d
15 4,58
-13 95,89
-9 74.10
5 35
C.2.e 20
4,20 -20
90,34 -15
73.35 3
36 C.2.f
30 3,44
-35 79,25
-25 71.07
1 37
D 100 Ribu
ha untuk [HR_HU]
3X, [HR_HI]
2X sisanya
untuk [HN]
Alokasi 1: 0[S_APRT]
100[S_PUB L] 0[S_SOC]
D.1.a 5,67
8 111,69
6 75.49
6 38
D.1.b 5
5,05 -4
102,66 -3
74.28 5
39 D.1.c
10 4,43
-16 93,62
-11 73.07
3 40
D.1.d 15
3,81 -28
84,59 -20
71.85 1
41 D.1.e
20 3,19
-39 75,55
-29 70.64
42 D.1.f
30 1,95
-63 57,48
-46 68.22
-4 43
Alokasi 2: 0[S_APRT]
75[S_PUBL] 25[S_SOC]
D.2.a 5,67
8 111,69
6 75.49
6 44
D.2.b 5
5,29 106,14
74.74 5
45 D.2.c
10 4,90
-7 100,60
-5 74.00
4
46 D.2.d
15 4,52
-14 95,05
-10 73.26
3 47
D.2.e 20
4,14 -21
89,51 -15
72.51 2
48 D.2.f
30 3,38
-36 78,41
-26 71.03
Sumber: Hasil penelitian 2011 Keterangan: Kenaikan Pendapatan [TAX] sebesar 0; 5; 10; 15; 20; dan 30 adalah setara dengan Rp 0,00; 19,95; 39,91; 59,86; 79,81
dan 119,72 juta10ribu penduduk
Penurunan [G_ECONM] demi untuk pemerataan distribusi hasil-hasil pembangunan melalui upaya mempertahankan [NTP] tersebut tetap merupakan
pilihan kebijakan yang dinilai adil, megingat pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran indikator capaian kesejahteraan yang masih kasar sifatnya, antidistribusi
dan tidak dapat menjadi instrumen pemihakan kepada golongan ekonomi lemah yang utamanya hidup pedesaan seperti petani ataupun kelompok usaha mikro.
Begitu pula dengan penurunan [HDI] sampai pada batas-batas tertentu asalkan peurunan ini disertai oleh peningkatan atau pereduksian [NTP] 100. Sebab jika
daya beli petani dapat dipertahankan [NTP100], maka akan menjamin tingkat konsumsinya sekaligus dapat meningkatkan kesehatannya yang akhirnya dapat
mengakses pengetahuan, yang berarti [HDI] akan pulih kembali di tahun menndatang.
Sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 25, bawa Skenario 2 simbol
A.1.a bila tanpa adanya skema reforestasi Nol ha atau reforestasi belum berhasil, maka tidaklah etis Pemerintah Provinsi Lampung melakukan peingkatan
pendapatan [TAX] sampai 5, jika dibelanjakan menurut Alokasi 1 100 untuk
S_PUBL karena akan menciderai daya beli petani yaitu [NTP] akan turun dari posisi 105,77 ke posisi 96,73 dan [G_ECONM] dari 5,26 ke 4,64 juga [HDI]
dari posisi 70,96 ke 69,51; atau setara masing-masing mengalami penurunan sebesar 9, 12 dan 2. Penurunan ketiga indikator kesejahteraan ini semakin
besar dengan semakin besarnya peningkatan pendapatan [TAX]. Namun jika digunakan untuk
Alokasi 2 75 untuk S_PUBL dan 25 utuk S_SOC keadaanya menjadi berubah, dimana peningkatan pendapata dari [TAX] sampai
5 telah mengurangi penurunan [NTP] secara tidak nyata yaitu sebesar -5 saja.
Realitas tersebut memperlihatkan bahwa Alokasi 2 penggunaan 75 dari
perolehan kenaikan [TAX] untuk peningkatan [S_PUBL] disertai 25 untuk [S_SOC] lebih efektif dalam mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat
dari pada Alokasi 1 tambahan perolehan dari [TAX] dialokasikan untuk belanja
publik [S_PUBL] seluruhnya atau 100. Makna penting dari temuan ini adalah bahwa:
i bila tanpa adanya skema reforestasi Skema A, maka akan etis jika peningkatan PAD melalui peningkatan perolehan [TAX] mecapai 5 atau sekitar