Globalisasi, Pembangunan Berkesinambungan dan Gagasan tentang

Faktor L= Leaderships dapat diukur dengan segugus variabel: i perkiraan keahlian dari kualitas leadership, ii tingkat relatif dari kepala korporasi yang berkantor di wilayah itu, iii kepadatan jumlah, budget dan atau tenaga kerja dari bisnis yang luas bagi wilayah dan organisasi kemasyarakatan atau organisasi pengembangan ekonomi per 10,000 populasi, iv derajad perubahanstabilitas leadership dari politik lokal. Faktor I= Institution diukur dengan variabel seperti: i kepadatan institusi korporate dan ormas10.000 penduduk, ii level of government fragmentation, iii kelembagaan formal dari pemerintah diukur dengan publik agensi per 10.000 penduduk, iv banyaknya kantor pusat dari korporasi utama misalnya Fortune 1000 firm, v nilai kapitalisasi yayasan per 10.000 penduduk, vi fragmentasi pemerintahan, vii level organisasi regional jumlah dan budget level, dan vii social capital index. Faktor E= Enterpreneurship diukur dengan variabel: i churn rate rasio yang mulai buka terhadap yang gulung tikar perusahaan atau business start-up rate, ii aktivitas modal ventura, iii aktivitas corporate venturing, iv paten yang diperoleh per 10,000 pekerja, v LQ dari tenaga kerja dalam ‗anilisis simbolik‘ dari okupasi, vii banyaknya warung, kelompok usaha ekonomi dll. Stimson et al. 2005 berpendapat bahwa RED secara positif berhubungan dengan Re, M, I, L, dan E, tetapi mungkin lead ataupun lag dan efek interaksi dalam jangka pendek ataupun jangka menengah dan mungkin mempunyai efek siklis dalam jangka panjang. Oleh karena itu RED dapat diungkapkan seperti dalam Persamaan [2.11]: RED = Ω 1 + Ω 2 Re t-n + Ω 3 M t-n + Ω 4 I t-1 sampai ξ 10 I t-10 10+ Ω 11 L t-n + Ω 12 E t-n +e {2.11} Pendekatan pemodelan ini telah diusulkan oleh Stimson dan Stough, 2008 untuk mengevaluasi proses-proses pertumbuhan endogenik dan untuk menjelaskan bagaimana pengembangan wilayah bisa dipengaruhi oleh, dan juga difasilitasi oleh faktor-faktor leadership, institutional, dan enterpreneurship sebagai variabel intervening atau memediasi variabel yang dihipotesiskan bisa menjadi katalisator yang mempengaruhi proses-proses endogenik tersebut tetapi juga tetap memperhatikan Re dan M dari suatu wilayah, mewakili model operational untuk mengukur dan memeriksa dampak faktor-faktor endogen terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi regional. Penting ditekankan di sini bahwa menjaga dengan argumen kita bahwa strategi pembangunan ekonomi wilayah telah menjadi lebih endogenik dewasa ini, bahwa model framework telah dikembangkan secara eksplisit untuk melakukan konseptualisasi berbagai interaksi dalam proses-proses endogenik. Sehubungan dengan itu Stimson dan Stough 2008 menyatakan masih memerlukan data empiris untuk menguji model tersebut. Faktor endogenik L, I, E di setiap wilayah selalu ada sejauh wilayah tersebut didiami oleh masyarakat dan dalam jangka pendek ketiga faktor endogenik tersebut given sifatnya sebagai aset bagi wilayah yang bersangkutan. Sedangkan untuk faktor Re tidak setiap wilayah memilikinya, apalagi bila faktor ini dikaitkan dengan demand-nya M. Karena itu keterhandalan faktor endogenik itulah yang menjadi tumpuan harapan bagi setiap wilayah, apakah wilayah dengan Re yang dimiliki dapat dikelola dengan sehingga dapat menjadi suatu demand ataukah tidak. Bahkan seperti diungkapkan Stimson et al. 2005 banyak wilayah yang miskin akan Re tetapi menjadi makmur karena karena kuatnya L, yang membuat I menjadi efektifnya sehingga E menjadi berkembang pesat dan selalu dalam kesiagaan alertness untuk meraih peluang pasar M dan siap mengeksploitasi setiap peluang itu menjadi profit, yang pada akhir bermuara pada pesatnya pertumbuhan ekonomi wilayah yang miskin akan Re tersebut. Namun banyak juga yang sebaliknya, wilayah dengan kekayaan Re yang melimpah, malah menjadi kutukan sumberdaya atau resource curse lihat Hayami, 2001 sehingga akhirnya wilayah tersebut terbelakang.

3. KERANGKA PEMIKIRAN LANDASAN IDEOLOGI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Seperti dapat dicermati dalam Stimson et al, 2006 ataupun Stimson dan Stough 2008, bahwa tata kelola pemerintahan merupakan prasyarat yang sangat penting bagi para pelaku ekonomi entrepreneurs lokal agar sukses dalam kompetisi global dengan cara menemukenali recognizing berbagai keunggulan lokal comparative advantage untuk dikelola agar menjadi keunggulan kompetitif competitive advantage. Namun pada masa transisi dari perencanaan terpusat ke pada tata kelola desentralisasi seperti yang berlangsung di Indonesia belakangan ini umumnya bisa menjadi periode kritis. Tatanan kelembagaan formal yang semula terpusat, tidak mudah untuk beralih kepada kelembagaan lokal secara serta merata. Transfer tanggung jawab memerlukan berbagai tahapan proses yang tidak sepenuhnya mudah untuk dikontrol. Padahal tatanan kelembagaan formal dalam periode tersebut bisa megalami turbulensi yang sangat mempengaruhi tatanan kelembagaan lokal, dan pada akhirnya juga mempengaruhi kinerja Leaderships maupun Entrepreneurships yang ada, apalagi dalam negara yang punya kultur patriaki yang sangat kuat seperti di Indonesia umumnya. Dalam periode itu pula, koordinasi seringkali menjadi simpul-simpul lemah, Institutions yang punya peranan sentral bagi berlangsungnya pengambilan keputusan yang mendasari setiap aksi bersama collective action dalam setiap aktivitas masyarakat di setiap wilayah tidak terkecuali aktivitas yang bermotifkan ekonomi seringkali menjadi tidak efektif. Menurut Stimson et al, 2003; 2005 dan 2009 keefektifan dari setiap koordinasi merupakan cerminan dari kuatnya Leaderships di suatu wilayah. Sedangkan kuatnya Leaderships hanya mungkin dibangun bila ada institusi yang efektif pula. Institusi itu sendiri merupakan tata aturan dan norma-norma yang memungkinkan hubungan antarindividu untuk melakukan segala macam bentuk transaksi secara adil, tanpa ada yang khawatir diciderai dalam bentuk kecurangan ataupun dalam bentuk kerugian lainnya. Prasyarat ini tidak sepenuhnya mudah untuk dipenuhi pada periode desentralisasi di Indonesia, yang kemudian banyak menimbulkan berbagai kerusakan pada sumberdaya alam ataupun common pool resources CPRs lainnya, tidak terkecuali sumberdaya hutan lihat Resosudarmo, 2005. Fenomena seperti itu juga dialami oleh wilayah Provinsi Lampung, yang kemudian menyebabkan klimaksnya deforestasi, yang berakibat pada degradasi fungsi intrinsik hutannya, kongesti permintaan bahan baku bagi sektor-sektor agroindustri yang kemudian menimbulkan fenomena skala pengembalian yang terus menurun DRS: Decreasing Return to Scale, stagnasi capaian indikator makro ekonomi wilayahnya seperti pertumbuhan ekonomi yang rendah disertai PDRBKpt yang rendah pula, dan kemiskinan yang pervasive serta IPM yang tertinggal dari rata-rata nasional. Gejala the limit to growth Meadow et al., 1972 dikutip Hayami, 2001 dan SorensenWhitta-Jacobsen, 2009 atau Ricardian trap Hayami, 2001 tersebut harus dipecahkan melalui perencanaan pembangunan ekonomi wilayah RED: Regional Economic Development secara komprehensif. Simpul dari semua pertautan masalah itu adalah bahwa fungsi intrinsik hutan harus segera direstorasi melalui kegiatan aforestasireforestasi AR. Selain karena sangat esensial dalam pemulihan fungsi intrinsik hutan tersebut, kegiatan AR di Popinsi Lampung juga menjadi potensi untuk program akselerasi pengembangan Entreprenuership lokal sehubungan dengan peluang pemasaran jasa karbon global [ M] melalui CDM clean development mechanism dalam skema Protokol Kyoto. Protokol tersebut merupakan kesepakatan kelembagaan global global institution yang harus diimplementasikan pada tataran lokal on farm sehingga juga dapat menjadi peluang untuk mengembangkan jiwa Entrepreneurships petani sekaligus pengembangan Leaderships maupun Institustion-nya di tingkat lokal pula ke depan. Di Provinsi Lampung terdapat sekitar 2 juta ha yang memenuhi semua persyaratan untuk CDM lihat Mudiyarso et al., 2006. Selanjutnya dengan pulihnya fungsi intrinsik hutan ini dan makin berkembangnya ketiga faktor endogenik L, I, E tersebut, maka diharapkan dapat memecahkan Ricardian trap melalui peningkatkan produktivitas sektor- sektor primer perkebunan; pertanian bahan pangan; peternakan dan perikanan, untuk memecahkan masalah ―excess demand” akan bahan baku dalam sektor- sektor agroindustri yang telah beraglomerasi di subwilayah hilir. Mengingat